Sabtu, 17 September 2011

Manusia itu (bukan) Kita dan Mereka

Oleh : Muhammad Ilham

Masalahnya karena mereka hanya melihat : "nyawa siapa".
Jawaban yang mereka munculkan adalah : Nyawa "mereka" atau Nyawa "kita".
Mereka sama sekali tidak mengenal Nyawa Manusia.

Ambon "manise" kembali rusuh. Karena ditakutkan "Luka Lama Berdarah Lagi" - meminjam penggalan syair nyanyi dangdut - pihak keamanan bergerak cepat agar eskalasi konflik tak menjalar luas. Walau konflik horizontal juga sering terjadi di daerah lain, tapi Ambon teramat beda. Catatan hisoris daerah asal penyanyi legendaris yang beberapa hari lalu meninggal dunia, Utha Likumahua ini, menjadi potensi besar untuk bergolak menjadi teramat "jauh" dan besar. Ambon "manise" yang kemudian jadi Ambon "menangise" beberapa hari lalu meninggalkan catatan "kelam" kemanusiaan, dalam waktu yang tak terlalu lama, sekian orang meninggal. Terbunuh, tentunya. Begitu mudahnya nyawa melayang sia-sia. Sebagaimana halnya juga yang terjadi di daerah-daerah lain di Nusantara ini. Banyak berita yang termaktub dalam media massa dan televisi, hanya karena persoalan sepele, nyawa mudah tercerabut dari tubuh. Beberapa hari lalu, misalnya, Kota Padang sedikit geger. Seorang "praktisi pasar" (bahasa lain dari Preman yang biasa mangkal di pasar dan terminal) dibunuh dengan hiasan belasan luka bacokan. Persoalannya kembali sepele, pelaku yang berprofesi sebagai sopir angkot merasa direndahkan oleh si korban. Korban marah karena setelah wangi-wangian disemprotkannya ke mobil angkot si pelaku, si pelaku yang konon bernama Al "Barangin" ini tak mau membayar. Adu mulut yang terjadi siang hari, berlanjut dengan pembunuhan pada malam harinya. Demikian setidaknya yang saya baca dari koran pagi beberapa hari lalu. Peristiwa-peristiwa seperti diatas sudah teramat lumrah kita saksikan dan baca. Begitu mudah orang menghilangkan nyawa seseorang.

Saya tak ingin menganalisis patologi sosial ini dari perspektif sosiologis ataupun politik. Dengan perspektif yang teramat kaya dari sosiologi dan ilmu politik, patologi sosial diatas terasa teramat logis untuk dijelaskan. Saya hanya ingin melihat dari perspektif yang ringan-ringan saja. Kebetulan sore tadi anak saya membaca al-Qur'an berikut terjemahannya : "Barang siapa yang membunuh satu jiwa, bukan lantaran suatu jiwa atau pengrusakan di muka bumi, seakan membunuh manusia kesemuanya; dan barangsiapa yang menghidupinya seakan menghidupi manusia kesemuanya" (Q. 5: 32). Sangat indah dan solutif kalam Allah ini memberikan perumpamaan. Ayat ini kemudian mengingatkan saya dengan salah satu film Hollywood - saya lupa judul film tersebut - yang mengkisahkan tentang sebuah degradasi moral, kehidupan Samurai pada masa rezim Tokugawa di era Jepang klasik. Seorang samurai bersama dengan temannya yang tentunya juga samurai, berjalan-jalan ke sebuah desa. Mereka berdiskusi kecil tentang ketajaman pedang (icon seorang samurai) yang mereka miliki masing-masing. Lalu, di depan mereka berjalan seorang petani, penduduk desa yang dilalui samurai dan temannya yang juga samurai ini. Si petani dipanggil. Begitu petani ini datang dan membungkuk di depan samurai ini, si samurai tersebut kemudian mengayunkan pedang ditangannya ke leher petani yang hari itu salah memilih "takdir". Kepala melayang, tubuh menggelimpang. "Ah benar, tajam juga pedang kau ini", kata teman samurai itu sambil berdecak kagum. Merekapun berlalu sambil memandangi pedang berkilatan dalam basuhan darah.

Perbincangan Nabi Ibrahim dan Raja Babilonia, Namrudz, dinukilkan dalam al-Qur'an : "Aku juga (seperti Tuhan) menghidupkan dan mematikan" (Q. 2 : 258). Lalu Nambrudz memanggil dua orang, seorang ia suruh bunuh dan seorang lagi dibiarkan hidup. Namrudz ingin mengatakan kepada Nabi Ibrahim : "Aku bisa membunuh dan membiarkan orang hidup lho !". Samurai dan Namrudz tersebut mungkin tidak pernah mengenal ayat yang sore tadi dibaca oleh anak saya. Tapi cerita begitu mudahnya orang membunuh terus menjalar dan menjulur hingga abad yang dikatakan "modern" danberperikemanusiaan ini. Bahkan jauh mengerikan. Pol Pot, misalnya, meninggalkan catatan horor kemanusiaan dalam sejarah ummat manusia. Ia yang tamatan Sorbonne University Perancis ini membantai lebih kurang dua juta manusia Kambodja. Khmer Merah jadi perpanjangan tangannya. Sekian juta terbunuh pada masa Joseph Stalin dengan Gullag-nya. Sejumlah orang Yahudi mati di kamp-kamp konsentrasi Autswitzh Adolf Hitler. Sekian juta orang lagi raib di kamar-kamar konsentrasi KGB era Uni Sovyet. Berapa orang yang diculik dan dibunuh karena perbedaan ideologis, hampir di berbagai belahan dunia. Berapa yang di dor begitu saja karena faktor politik-ideologis serta ekonomi ? "Barang siapa yang membunuh satu jiwa, demikian dalam al-Qur'an - bukan lantaran suatu jiwa atau pengrusakan di muka bumi .... ". Nampaknya, konsep tentang nyawa bagi para pembunuh, baik sakla besar ataupun kecil, tidaklah sama dengan al-Qur'an. Masalahnya karena mereka hanya melihat : "nyawa siapa". Jawaban yang mereka munculkan adalah : Nyawa "mereka" atau Nyawa "kita". Mereka sama sekali tidak mengenal Nyawa Manusia. Sepertinya mereka itu bukanlah bagian dari manusia itu sendiri. Wallahu a'lam !

Foto : www.jppn.com

Tidak ada komentar: