Jatuhnya rezim Mubarak dan tewasnya lima tentara perbatasan Mesir (18/8/11) membuat masa depan hubungan Israel-Mesir yang sebelumnya ”sangat dekat” menjadi pertanyaan besar. Persepsi dan sentimen negatif sebagian masyarakat Mesir terhadap Israel semakin terlihat jelas. Tewasnya lima tentara Mesir yang diduga akibat terjangan peluru operasi militer Israel segera direspons secara keras oleh para pemimpin sipil maupun militer, dan ditanggapi secara keras oleh rakyat dan pemuda Mesir. Tuntutan untuk memutus hubungan diplomatik dengan Israel yang mulai menguat pascarevolusi 25 Januari kini semakin memperoleh momentum emasnya setelah kerusuhan di depan kompleks Kedutaan Mesir di Giza, Kairo. Hubungan kedua negara sekarang mencapai titik terburuk selama 30 tahun terakhir. Bagi Mesir, mengubah hubungan dengan Israel bukanlah perkara sederhana. Di samping recovery stabilitas politik, ekonomi, dan keamanan pascarevolusi masih jauh dari berhasil, Mesir harus mempertimbangkan berbagai implikasi yang sangat mungkin timbul akibat perubahan sikapnya terhadap Israel. Terlebih lagi kedekatan itu diikat oleh perjanjian internasional dengan level agreement.
Di tengah beratnya kondisi ekonomi saat ini, Mesir tentu sangat mem butuhkan bantuan keuangan dari AS, negara-negara Eropa, dan negara-negara Teluk yang selama ini mengalir deras kepada mereka. Bantuan itu merupakan ”imbalan” perdamaiannya dengan Israel dan dukungannya terhadap AS melawan Saddam Hussein, kekuatan-kekuatan poros Iran, dan gerakan radikal di kawasan. Siapa pun yang memerintah Mesir tentu mengerti betapa besar nilai bantuan itu di tengah situasi yang belum menentu seperti sekarang. Pemutusan hubungan dengan Israel, apalagi diikuti permusuhan dengannya, jelas berpengaruh besar terhadap keberlangsungan bantuan tersebut. Iran dan kekuatan-kekuatan yang berada di porosnya jelas tidak memiliki kemampuan finansial sebagaimana negara-negara di atas andaikata Mesir ingin mengubah haluan politik luar negerinya. Di tengah situasi politik dan militer di kawasan yang memanas, kendati euforia anti-Israel membuncah di kalangan rakyatnya, pemerintah Mesir tampaknya juga enggan terseret lagi ke arena perang yang destruktif. Pengalaman Mesir berperang melawan Israel pada 1948 hingga 1973 menyadarkan mereka akan akibat-akibat perang. Perang bukan hanya menghancurkan mesin-mesin militer, tapi juga menghancurkan kehidupan, peradaban, dan masa depan. Pemerintah dan sebagian rakyat Mesir sangat sadar bahwa perang telah membuat mereka menderita, miskin, kehilangan sanak saudara dan kebersamaan, serta hanya mewariskan dendam. Mesir sangat kecil kemungkinan untuk kembali pada posisi itu lagi. Apalagi, kini persenjataan Israel semakin kuat dan diyakini telah berkapasitas nuklir.
Perubahan secara ekstrem hubungan Mesir-Israel dalam waktu dekat ini mungkin tidak terjadi, apalagi Mesir saat ini di bawah pemerintahan transisi. Meski demikian, isu hubungan dengan Israel hampir bisa dipastikan menjadi salah satu tema paling menonjol dalam pemilu Mesir sekitar dua bulan ke depan. Kecurigaan mengenai peran Israel dalam berbagai kerusuhan di Mesir, tindak spionase, dan upaya-upaya ”membelokkan” arah revolusi akan menjadi bunga-bunga kampanye yang menarik massa. Fundamental Sebaliknya, Israel memandang hubungan baik dengan Mesir adalah kepentingan fundamental negara dan bangsa yang sulit memperoleh sekutu kawasan tersebut. Karena itu, mereka berupaya keras dan sekuat tenaga mempertahankan hubungan dekat itu. Tel Aviv tampak sekali tidak mau terpancing dengan reaksi keras Mesir terhadap kematian lima tentaranya. Mereka juga berupaya hati-hati mengomentari peristiwa di kedutaan mereka di Kairo. Ada pejabat Israel yang menyatakan bahwa itu adalah upaya pihak eksternal untuk mengeruhkan hubungan Mesir-Israel. Sikap itu tentu masuk akal karena hubungan perdamaian dengan Mesir bukan hanya berkaitan dengan kerja sama ekonomi, terutama impor gas alam, namun juga berkaitan erat dengan eksistensi dan masa depan mereka di kawasan. Bagaimana mereka akan terus bertahan hidup sementara mereka dikepung musuh dari segala arah.
Perdamaian dengan Mesir adalah harapan mereka untuk dapat hidup normal dengan bangsa-bangsa di kawasan, kendati entah kapan itu terwujud. Israel juga sadar dengan kekuatan dan pengaruh Mesir baik di Timur Tengah, dunia Islam, bahkan di negara-negara Barat. Faktanya, ketika Mesir berhenti berperang dengan Israel, tidak ada lagi negara Arab yang berani melakukan ofensif terbuka terhadap negara itu. Bahkan, ketika Gaza dibombardir dan Lebanon Selatan diserang dengan segenap tragedi kemanusiaannya, tak satu pun negara Arab yang terjun ke arena perang, apalagi berani pasang badan. Kepentingan Israel lain adalah hubungan baik dengan Mesir akan menjadi jembatan Israel untuk membangun hubungan normal dengan negara-negara Arab, Afrika, dan dunia Islam. Jelas, Tel Aviv dan masyarakat Israel sangat kecewa dengan respons reaktif rakyat Mesir. Namun, mereka jelas tidak akan mengorbankan hubungan strategis itu hanya demi sebuah pembalasan emosional.
Sumber : (c) I. Burdah/Padang Ekspres/September 2011
Foto : abcnews.com
Di tengah beratnya kondisi ekonomi saat ini, Mesir tentu sangat mem butuhkan bantuan keuangan dari AS, negara-negara Eropa, dan negara-negara Teluk yang selama ini mengalir deras kepada mereka. Bantuan itu merupakan ”imbalan” perdamaiannya dengan Israel dan dukungannya terhadap AS melawan Saddam Hussein, kekuatan-kekuatan poros Iran, dan gerakan radikal di kawasan. Siapa pun yang memerintah Mesir tentu mengerti betapa besar nilai bantuan itu di tengah situasi yang belum menentu seperti sekarang. Pemutusan hubungan dengan Israel, apalagi diikuti permusuhan dengannya, jelas berpengaruh besar terhadap keberlangsungan bantuan tersebut. Iran dan kekuatan-kekuatan yang berada di porosnya jelas tidak memiliki kemampuan finansial sebagaimana negara-negara di atas andaikata Mesir ingin mengubah haluan politik luar negerinya. Di tengah situasi politik dan militer di kawasan yang memanas, kendati euforia anti-Israel membuncah di kalangan rakyatnya, pemerintah Mesir tampaknya juga enggan terseret lagi ke arena perang yang destruktif. Pengalaman Mesir berperang melawan Israel pada 1948 hingga 1973 menyadarkan mereka akan akibat-akibat perang. Perang bukan hanya menghancurkan mesin-mesin militer, tapi juga menghancurkan kehidupan, peradaban, dan masa depan. Pemerintah dan sebagian rakyat Mesir sangat sadar bahwa perang telah membuat mereka menderita, miskin, kehilangan sanak saudara dan kebersamaan, serta hanya mewariskan dendam. Mesir sangat kecil kemungkinan untuk kembali pada posisi itu lagi. Apalagi, kini persenjataan Israel semakin kuat dan diyakini telah berkapasitas nuklir.
Perubahan secara ekstrem hubungan Mesir-Israel dalam waktu dekat ini mungkin tidak terjadi, apalagi Mesir saat ini di bawah pemerintahan transisi. Meski demikian, isu hubungan dengan Israel hampir bisa dipastikan menjadi salah satu tema paling menonjol dalam pemilu Mesir sekitar dua bulan ke depan. Kecurigaan mengenai peran Israel dalam berbagai kerusuhan di Mesir, tindak spionase, dan upaya-upaya ”membelokkan” arah revolusi akan menjadi bunga-bunga kampanye yang menarik massa. Fundamental Sebaliknya, Israel memandang hubungan baik dengan Mesir adalah kepentingan fundamental negara dan bangsa yang sulit memperoleh sekutu kawasan tersebut. Karena itu, mereka berupaya keras dan sekuat tenaga mempertahankan hubungan dekat itu. Tel Aviv tampak sekali tidak mau terpancing dengan reaksi keras Mesir terhadap kematian lima tentaranya. Mereka juga berupaya hati-hati mengomentari peristiwa di kedutaan mereka di Kairo. Ada pejabat Israel yang menyatakan bahwa itu adalah upaya pihak eksternal untuk mengeruhkan hubungan Mesir-Israel. Sikap itu tentu masuk akal karena hubungan perdamaian dengan Mesir bukan hanya berkaitan dengan kerja sama ekonomi, terutama impor gas alam, namun juga berkaitan erat dengan eksistensi dan masa depan mereka di kawasan. Bagaimana mereka akan terus bertahan hidup sementara mereka dikepung musuh dari segala arah.
Perdamaian dengan Mesir adalah harapan mereka untuk dapat hidup normal dengan bangsa-bangsa di kawasan, kendati entah kapan itu terwujud. Israel juga sadar dengan kekuatan dan pengaruh Mesir baik di Timur Tengah, dunia Islam, bahkan di negara-negara Barat. Faktanya, ketika Mesir berhenti berperang dengan Israel, tidak ada lagi negara Arab yang berani melakukan ofensif terbuka terhadap negara itu. Bahkan, ketika Gaza dibombardir dan Lebanon Selatan diserang dengan segenap tragedi kemanusiaannya, tak satu pun negara Arab yang terjun ke arena perang, apalagi berani pasang badan. Kepentingan Israel lain adalah hubungan baik dengan Mesir akan menjadi jembatan Israel untuk membangun hubungan normal dengan negara-negara Arab, Afrika, dan dunia Islam. Jelas, Tel Aviv dan masyarakat Israel sangat kecewa dengan respons reaktif rakyat Mesir. Namun, mereka jelas tidak akan mengorbankan hubungan strategis itu hanya demi sebuah pembalasan emosional.
Sumber : (c) I. Burdah/Padang Ekspres/September 2011
Foto : abcnews.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar