Pangeran Arab lainnya punya cara istimewa bagaimana menikmati kekayaan. Sheikh Hamad bin Hamdan Al Nahyan, misalnya. Lelaki 63 tahun itu berasal dari keluarga kerajaan Abu Dhabi. Ia punya koleksi 200 mobil, dengan nilai total US$20 juta (Rp170,9 miliar). Itu termasuk tujuh Mercedes 500 SEL bercatkan warna-warna pelangi. Itu sebabnya dia dijuluki Sheikh Pelangi. Untuk menyimpan kendaraannya, ia membangun garasi berbentuk piramida. "Kami tak pernah sekali pun menyimpan uang di bank. Kami selalu menghamburkan uang yang kami dapatkan,” ungkapnya kepada Discovery Channel. Dia memang tak pernah berhenti menarik perhatian. Misalnya, dia mengerjakan proyek mengukir namanya sendiri pada sebuah pulau. Di pasir Al Futaisi, demikian nama pulau itu, Hamad mencetak namanya di hamparan sepanjang 3 kilometer. Tinggi hurufnya sekitar 800 meter. Kata itu, yakni sama dengan namanya – Hamad – lantas dialiri air. Konon, ukiran nama itu bisa ditatap dari luar angkasa. Itu bukan pertama kali dia punya kegilaan terhadap sesuatu “yang besar”, atau “yang maha”. Misalkan, pada awal 1980an, ia pernah merakit truk terbesar di dunia. Modelnya adalah tiruan Dodge Power Wagon produksi Amerika Serikat. Truk rancangannya punya ukuran delapan kali lebih besar dari ukuran Dodge biasa. Bobotnya 50 ton. Di dalamnya, ada empat kamar tidur. Di bak truk itu, ada landasan helikopter. Yang mengagumkan, kendaraan itu bisa dioperasikan.
Walid dan Hamad hanyalah sebagian kecil dari ratusan pangeran kerajaan Arab yang terkenal bergelimang harta. Turut ada di dalam daftar: Muhammad bin Issa al-Jabir, Muhammad al-Amudi, Issam al-Zahid, dan Keluarga Bin Laden, untuk menyebut beberapa nama. Pada 2010 saja, seperti dilansir laman Arabian Business, nilai kekayaan 50 orang terkaya di jazirah Arab mencapai US$245 miliar (sekitar Rp2.000 triliun). Tak semua pundi berisi uang dari minyak, komoditas andalan tanah Arab, di mana Saudi sendiri menyumbang 20 persen cadangan minyak dunia. Rezeki para raja itu juga mengalir dari properti, bisnis konstruksi, investasi di perusahaan multinasional, dan sebagainya. Tapi menjadi kaya tak selamanya juga bernama harum. Yang kadang terdengar di kuping orang banyak adalah pelbagai rahasia di balik tembok istana. Masih terang di ingatan, pada penutupan milenium lalu, ada skandal penyelundupan kokain melibatkan seorang pangeran kerajaan Saudi. Kasus itu luar biasa. Nilai barang haram itu mencapai US$15 juta (atau berkisar Rp128 miliar). Dari Kolombia, negeri dari mana kokain itu diterbangkan dengan Boeing 727 milik pribadi, Pangeran Nayef bin Fawaz al-Shaalan, sang otak di balik penyelundupan, membawanya ke Prancis. Tuduhan lebih gawat pun meruyak. Penyidik dari badan penanggulangan narkotika AS (DEA) menyatakan keuntungan penjualan kokain itu konon akan digunakan sang pangeran membiayai teroris. Tak jelas, tudingan itu terbukti atau tidak. Persidangan Nayef pun berjalan in absentia. Pengadilan menyatakan ia bersalah, dan wajib membayar denda US$100 juta. Tapi di manakah Nayef saat hakim mengetuk palu vonis?
Tak ada tempat senyaman rumah, demikian kata pepatah. Ia telah berada di Saudi, berkat akal-akalan cukup mujarab: kekebalan diplomatik. Sialnya, Prancis tak punya perjanjian ekstradisi dengan Saudi. Nayef pun tak tersentuh jangkauan hukum internasional. Di negeri sendiri, ia sudah pasti kebal hukum. Skandal lain, yang dulunya terdengar lamat-lamat, tiba-tiba menggelegar bak meriam. Akhir tahun lalu, bocoran nota diplomatik AS disebarkan laman WikiLeaks. Dilaporkan soal kegemaran para pangeran Saudi menggelar pesta besar-besaran. Di sana ada obat-obatan terlarang, alkohol, dan tentunya seks massal. Seperti dinukil dari laman The Guardian, para pejabat dari konsulat Jeddah melukiskan pesta Halloween diadakan diam-diam oleh para pemuda berdarah biru itu. Tak ada lagi penghormatan atas segala perbuatan yang dilarang di dalam Islam, ajaran yang jadi pegangan bagi seluruh rakyat Saudi, terutama para anggota kerajaan. Hal ini seturut temuan stasiun televisi ABC tentang gaya hidup berlebih-lebihan para keturunan kerajaan Saudi dalam investigasi mereka di French Riviera. Dalam penelusuran itu, ABC menemui seorang wanita panggilan yang punya koneksi luas ke lingkaran dekat kaum elit, dan berpengaruh Prancis.
Sang sumber menuturkan dalam semalam, para pangeran sanggup menghabiskan sekurangnya US$50 ribu demi menjemput kesenangan dari para wanita panggilan. Abdul Aziz bin Fahd, 38, anak kesayangan almarhum Raja Fahd, adalah salah satu pelanggan utama mereka. Ia tak pernah ragu menghabiskan lebih banyak uang ketika bersama para wanita panggilan. Di Arab Saudi, perilaku semacam itu jelas melanggar hukum, dan dapat diancam hukuman berat. Apalagi jika dilakukan oleh rakyat biasa. Tapi itu tak berlaku bagi anggota kerajaan. “Ketika anda mendengar pelanggar hukum, maka pertanyaannya adalah siapa yang melakukannya,” Mai Yamani, seorang antropologis yang juga anak mantan Menteri Perminyakan, Sheikh Ahmad Zaki Yamani, seperti dikutip dari ABC.Menurutnya, di Saudi berlaku semacam ketentuan tak tertulis: para pangeran Saudi tak tersentuh hukum. Mereka ada di atas hukum. Mereka di luar hukum. Itu sebabnya sanksi hukum seakan muskil dijatuhkan kepada keluarga istana. Tak heran Pangeran Nayef, sang penyelundup kokain itu, bebas berkeliaran di tanah Arab. Aksi protes warga, yang rata-rata berasal dari golongan minoritas Syiah, kadang muncul meningkahi tindak-tanduk keluarga istana. Tapi protes itu seperti teriakan yang menguap di padang pasir. Kebebasan berbicara dibatasi. Tuntutan warga dihadapi secara personal. Aturan agama yang terlalu ortodoks tetap berlaku, dan petugas keamanan bersenjata lengkap kapan pun dapat menindak kaum yang tak diinginkan. Sejauh ini, keluarga kerajaan, yang juga memerintah negeri, mampu menangkis tuntutan reformasi.
Meski begitu, tatkala negara-negara di jazirah Arab itu digoyang oleh gerakan demokrasi, Arab Saudi tak ayal ikut gelisah. Para aktivis pro perubahan lalu menyebarkan di internet tiga petisi reformasi politik radikal. Yang paling serius, satu petisi diteken 1.500 figur, termasuk kaum liberal dan Islamis. Isinya menuntut agar kerajaan menjalankan 12 langkah reformasi menuju sistem monarki konstitusional. Selain itu, terilhami revolusi Mesir, para tokoh itu berkampanye lewat Facebook. Mereka mengundang warga Saudi bergabung dalam “day of rage” pada Maret lalu. Tentu, dengan 39% populasi didominasi anak-anak muda berusia 20-24 tahun—dan celakanya mereka dalam keadaan menganggur, Arab Saudi pantas khawatir. Kerajaan lalu bereaksi. Laman petisi online itu pun diblokir. Seperti dilaporkan The Economist, seorang kiai Syiah ditangkap karena khotbah Jumatnya mendukung monarki konstitusional. Agar keadaan lebih tenang, raja lalu memberikan semacam sogokan kecil, suatu formula standar menghadapi tekanan dari rakyat bawah. Dia mengeluarkan paket bantuan sebesar US$35 juta, berisi subsidi hutang rumah tangga, kredit rumah lebih besar, dan kenaikan gaji sebesar 15% bagi pegawai negeri. Tak hanya di dalam negeri, pemerintah Saudi pun serius menghadapi ancaman ‘revolusi’ di luar wilayahnya. Business Week menulis pada awal Agustus tahun ini, kaum Sunni di Saudi curiga Iran terlalu jauh menebarkan pengaruh ke negara-negara Arab, seperti Bahrain dan Irak. Itu sebabnya, mereka mencoba melemahkan Iran lewat perdangangan minyak. “Sektor perminyakan Iran teramat rapuh. Saatnya mendesak pemerintahan mereka bergabung dalam upaya dunia mewujudkan perdamaian,” Pangeran Turki al-Faisal, mantan kepala badan intelijen Arab Saudi, menegaskan dalam pidatonya. Kini, Arab Saudi juga tengah menyaksikan 24 juta penduduk Yaman dalam keadaan kelaparan, dilengkapi persenjataan berat. Mereka juga cemburu dengan kekayaan negara tetangganya, dan bersiap menyeberangi perbatasan. Jika perang saudara meletus di Yaman, gelombang pengungsi akan menggulung wilayah perbatasan. Para petinggi kerajaan Saudi juga masih bimbang memulangkan Presiden Ali Abdullah Saleh, yang kini memulihkan diri di Riyadh dari cedera serangan bom, ke Sana, ibukota Yaman. Seandainya saat itu tiba, anggota kerajaan patut berdoa agar Kingdom Tower, proyek ambisius dicanangkan Pangeran Walid, telah sempurna. Menara itu akan menjulang tinggi sekitar satu kilometer. Mungkin tempat itu cocok untuk berlindung, sekaligus menjadi menara pengawas.
Tulisan : (c) vivanews.com/sorot
Foto : Pangeran Al-Walid & Tower Walid (www.forbes.com)