Hak publik pula untuk memiliki persepsi tersendiri tentang apa itu keadilan. Dengan logikanya yang sederhana, masyarakat kadang bahkan lebih cermat dalam menakar keadilan ketimbang para penegak hukum yang berkiblat dengan logika-logika yuridis yang kaku tanpa memiliki nurani keadilan itu sendiri (Adnan Buyung Nasution)
Masyarakat dihinggapi perasaan tak berdaya (powerless), pesimis, dan frustrasi menghadapi mandulnya hukum dalam mencipta keadilan. Hari ini Prita, esok, atas nama hukum, mungkin kita yang akan ”dipritakan”. Bak kata sosiolog Imam B. Prasodjo (vivanews.com), Koin receh adalah bentuk perlawanan dengan satire di tengah ketidakberdayaan, sekaligus adalah kanal nonagresi untuk meliberasi diri dari semua emosi, kejengkelan, dan ketegangan psikologis akibat keadilan yang tak tertegakkan. Sementara uang receh sengaja dipilih untuk menggambarkan begitu mudah dan murahnya keadilan itu dibeli. Hati publik yang terketuk dalam kasus Prita adalah tanda hati yang masih memiliki empati. Secara imajinatif, publik memosisikan dirinya pada perasaan, pikiran, dan penderitaan seorang ibu rumah tangga, yang atas nama hukum dipaksa negara membayar ratusan juta, justru ketika ia menuntut haknya. Empati itu lantas mengalirkan dukungan yang tidak sebatas pada pernyataan belaka, tetapi diikuti perilaku prososial berupa pengumpulan uang receh yang secara spontan dilakukan di beberapa kota di Indonesia. "Uang Receh" menjadi catatan manis ..... "fenomena sosial" yang menampar kebekuan hukum Indonesia. Namun Catatan Manis tersebut kehilangan "mantagi" oleh aturan hukum lainnya yang bernama KASASI.
Palu hakim acapkali lebih berpaling kepada mereka yang berduit. Asumsi tersebut memang tidak dapat digeneralisasi, tetapi setidaknya kasus Prita menjadi pelajaran bahwa lembaga peradilan kita masih perlu pembenahan. Sepertinya kita harus lebih dewasa lagi dalam berpikir dan bersikap. Kita harus dapat melihat sebuah permasalahan dengan berbagai pertimbangan. Setidaknya ada pertimbangan tentang nilai-nilai kebenaran, kejujuran dan keadilan yang menjadi patokan di dalamnya. Jangan hanya berpedoman pada Undang-undang yang sering menyesatkan dan sering menimbulkan perdebatan. Kedewasaan dalam beretika dan berpikir harus kembali kita kedepankan. Bukan malah memperuncing permasalahan dan saling berkeras untuk mengklaim sebagai pihak yang benar dengan menjadikan Undang-undang sebagai senjata yang mematikan.
Prita tidak salah (setidaknya menurut saya yang "bodoh" dalam ilmu hukum). Ibu tiga anak ini hanya mengkritik managemen rumah sakit yang merugikan kepentingan pasien. Lalu kemudian dia menggunakan media online untuk itu, dan menurut saya sah-sah saja karena media itu kan terbuka untuk publik. Langkah MA yang menghukum Prita dengan UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) semakin menunjukkan ketidakpekaan lembaga ini terhadap perubahan kesadaran publik dalam menggunakan teknologi informasi. Menghukum dia dengan menggunakan UU informasi dan transaksi elektronik, itu membungkam hak kritik, membungkam hak untuk melakukan koreksi. Akhirnya .......... Membandingkan PRITA dengan GAYUS TAMBUNAN, NUNUN, NAZARUDDIN dan entah siapa lagi (saking banyaknya) ...... memberikan sebuah pelajaran kepada kita bahwa Terkadang HUKUM itu "Tajam Sebelah".
Berikut saya kutip pernyataan Wayan Sudirta (anggota DPD) dari detik.com :
Referensi : detik.com. Photo : www.mediaindonesis.com
Masyarakat dihinggapi perasaan tak berdaya (powerless), pesimis, dan frustrasi menghadapi mandulnya hukum dalam mencipta keadilan. Hari ini Prita, esok, atas nama hukum, mungkin kita yang akan ”dipritakan”. Bak kata sosiolog Imam B. Prasodjo (vivanews.com), Koin receh adalah bentuk perlawanan dengan satire di tengah ketidakberdayaan, sekaligus adalah kanal nonagresi untuk meliberasi diri dari semua emosi, kejengkelan, dan ketegangan psikologis akibat keadilan yang tak tertegakkan. Sementara uang receh sengaja dipilih untuk menggambarkan begitu mudah dan murahnya keadilan itu dibeli. Hati publik yang terketuk dalam kasus Prita adalah tanda hati yang masih memiliki empati. Secara imajinatif, publik memosisikan dirinya pada perasaan, pikiran, dan penderitaan seorang ibu rumah tangga, yang atas nama hukum dipaksa negara membayar ratusan juta, justru ketika ia menuntut haknya. Empati itu lantas mengalirkan dukungan yang tidak sebatas pada pernyataan belaka, tetapi diikuti perilaku prososial berupa pengumpulan uang receh yang secara spontan dilakukan di beberapa kota di Indonesia. "Uang Receh" menjadi catatan manis ..... "fenomena sosial" yang menampar kebekuan hukum Indonesia. Namun Catatan Manis tersebut kehilangan "mantagi" oleh aturan hukum lainnya yang bernama KASASI.
Palu hakim acapkali lebih berpaling kepada mereka yang berduit. Asumsi tersebut memang tidak dapat digeneralisasi, tetapi setidaknya kasus Prita menjadi pelajaran bahwa lembaga peradilan kita masih perlu pembenahan. Sepertinya kita harus lebih dewasa lagi dalam berpikir dan bersikap. Kita harus dapat melihat sebuah permasalahan dengan berbagai pertimbangan. Setidaknya ada pertimbangan tentang nilai-nilai kebenaran, kejujuran dan keadilan yang menjadi patokan di dalamnya. Jangan hanya berpedoman pada Undang-undang yang sering menyesatkan dan sering menimbulkan perdebatan. Kedewasaan dalam beretika dan berpikir harus kembali kita kedepankan. Bukan malah memperuncing permasalahan dan saling berkeras untuk mengklaim sebagai pihak yang benar dengan menjadikan Undang-undang sebagai senjata yang mematikan.
Prita tidak salah (setidaknya menurut saya yang "bodoh" dalam ilmu hukum). Ibu tiga anak ini hanya mengkritik managemen rumah sakit yang merugikan kepentingan pasien. Lalu kemudian dia menggunakan media online untuk itu, dan menurut saya sah-sah saja karena media itu kan terbuka untuk publik. Langkah MA yang menghukum Prita dengan UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) semakin menunjukkan ketidakpekaan lembaga ini terhadap perubahan kesadaran publik dalam menggunakan teknologi informasi. Menghukum dia dengan menggunakan UU informasi dan transaksi elektronik, itu membungkam hak kritik, membungkam hak untuk melakukan koreksi. Akhirnya .......... Membandingkan PRITA dengan GAYUS TAMBUNAN, NUNUN, NAZARUDDIN dan entah siapa lagi (saking banyaknya) ...... memberikan sebuah pelajaran kepada kita bahwa Terkadang HUKUM itu "Tajam Sebelah".
Berikut saya kutip pernyataan Wayan Sudirta (anggota DPD) dari detik.com :
Prita Mulyasari terancam dibui menyusul putusan Mahkamah Agung yang memutuskan Prita bersalah kasus pencemaran nama baik RS Omni Alam Sutera, Tangerang. Anggota DPD I Wayan Sudirta berpendapat Prita tidak layak dipenjara. "Prita itu orang baik, bukan perampok, pencuri, tidak ambil uang negara, dan merugikan negara. Kalau dihukum, apa tidak cukup hukuman percobaan? karena kasus perdatanya saja tidak terbukti. Padahal masih banyak koruptor dan pengemplang uang negara yang masih bergentayangan," kata anggota DPD, I Wayan Sudirta, kepada detikcom, Sabtu (9/7/2011). DPD mendorong agar Prita mengajukan PK. "Diharap saat PK, ada hakim yang menggunakan nurani, tidak hanya fakta dan data di perkara pidana tetapi disandingkan dengan perdata yang gugatan lawan ditolak, lalu disandingkan juga dengan kasus korupsi besar, seperti BLBI yang pelakunya tidak tersentuh," papar pria yang juga Ketua Kaukus Antikorupsi DPD ini. Wayan meminta agar hakim-hakim di MA tidak hanya menjadi alat dan mulut UU semata melainkan menjadi alat dan mulut keadilan. "Tanya pada rakyat apakah Prita layak dihukum sementara koruptor tidak tersentuh. Hakim harus punya kemampuan menggali rasa keadilan yang hidup di masyarakat," kata Wayan. Ia juga akan membahas kasus Prita di Komite I DPD pada Senin 11 Juli 2011. "Kita harap Prita dapat dukungan mayoritas masyarakat Indonesia. Andaikata Prita masih membutuhkan pengacara tambahan, DPD bisa menjadi penghubung," ujar Wayan. MA mengabulkan kasasi jaksa dan menyatakan Prita Mulyasari bersalah karena menggunakan sarana elektronik terkait layanan RS Omni International, Alam Sutera, Tangerang.
Referensi : detik.com. Photo : www.mediaindonesis.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar