Rabu, 27 Juli 2011

Islam dan Budaya Lokal Minangkabau Modern : Genealogi Islam Radikal di Nusantara

Ditulis ulang : Muhammad Ilham
(c) Mestika Zed

Pembaruan Islam pertama di Minangkabau terjadi pada penghujung abad ke-18, bersamaan dengan meningkatnya perdagangan kopi Minangkabau di pantai barat Sumatera. Selama berabad-abad pantai barat Sumatera menjadi ajang pertarungan dagang antara VOC dan Aceh serta pedagang lokal Minangakabau. Mula-mula emas dan kemudian lada. “Kebangkitan ekonomi” Minangkabau pada penghujung abad ke- 18 dan abad ke-19, menurut Dobbin (1983) telah mengotori lembaran sejarah Minangkabau, terutama setelah daerah itu ditarik ke dalam ekonomi pasar dunia. Komersialisi komoditi pertanian Minangkabau telah melahirkan kelas pedagang yang menyebar kemakmuran ke pedalaman. Kemakmuran selanjutnya merembet kepada dorongan mengejar kesenangan duniawi (hedonisme). Maka pada penghujung abad ke-18, kebiasaan lama menyabung ayam dan kecanduan minum madat, mengunyah sirih dan tembakau (bahasa sekarang Nafza), kumat meraja lela. Sementara itu kelompok pembaharu agama yang relatif ‘moderat” yang berpusat di Koto Tua Agam di bawah tarekat Syatariyah pimpinan Tuanku Koto Tuo sibuk dengan perdebatan mengenai seruan kembali ke syariah bersama aliran Nagsyabadiyah. Kelompok pembaharu ini kemudian mendapat amunisi baru ketika sekelompok tokoh ulama yang baru pulang dari naik haji dari Makkah. Mereka lalu mendorong timbulnya gerakan Paderi yang radikal.

Gerakan Paderi adalah gerakan radikal pertama dan terbesar di Asia Tenggara, mirip dengan gerakan revivalisme Islam seperti yang dilakukan oleh rekan-rekan mereka dalam perkumpulan tareqat di Afrika Utara (Marokko dan Sudan) serta di India (Dobbin, ibid dan Vol, 1982, Laffan, 2003). Gerakan itu menyapu bersih lawan-lawan mereka, khususnya dari kaum adat yang dianggap pembela ajaran adat lama dan kerajaan. Gerakan itu makin meluas dan massif ketika campur tangan Belanda pada tahun 1820-an dan celakanya, pertaruangan berakhir dengan kemenangan Belanda dan bukan salah satu pihak yang beratrung, kaum adat dan reformis Islam. Analisis sejarah mengenai ideologi Gerakan Paderi cenderung mengaitkannya dengan atau setidaknya mendapat inspirasi dari Gerakan Wahabi di Arab Saudi, dan segera mendapat pengikutnya lewat guru-guru tareqat di surau-surau pedalaman Minangkabau. Namun menurut kesaksian Syeikh Jalaluddin Ahmad (Pakiah Saghir) yang ikut berperan di awal Gerakan Paderi dalam bukunya dikatakan bahwa gerakan Paderi di Minangkabau menganut ajaran Tuanku Di Ulakan (Tharekat Syattariyah). Tidak seperti dikatakan banyak buku sejarah bahwa awal gerakan Paderi itu menganut faham Wahabi yang dibawa tiga orang haji yang pulang dari Tanah Suci Mekah. Salah seorang haji ialah "Haji Miskin", ia sampai di Minangkabau setelah empat tahun gerakan tersebut mulai. Diceritakan tatkala Haji Miskin kembali dari Mekah, ia langsung berdakwah di Batu Taba, Canduang (Syeh Djalluddin, trans. 1991). Sebab pada masa dahulu sebelum berangkat ke Tanah Suci Mekah, ia lama berguru pada ayah Syekh Jalaluddin di nagari Canduang tersebut. Setelah setahun lamanya ia mengajar di nagari tersebut dan barulah setelah itu ia kembali ke kampung halamannya di Pandai Sikek. Jadi tidak ada catatan adanya bentrokan faham atau aliran antara Haji Miskin dengan tokoh Paderi waktu itu, yakni Tuanku Nan Tuo yang beraliran ajaran Tuanku Di Ulakan. Bahkan Tuanku Nan Tuo konon pernah marah ketika mendengar rencana hendak membunuh Haji Miskin yang ketika itu mengajar di mesjid Aia Tabik, Payakumbuh. Lalu Tuanku Nan Tuo bersama pengikutnya datang ke kawasan itu menolong beliau. Adapun pangkat atau jabatan Syekh Jalaluddin waktu itu selain guru agama, juga sebagai "Kepala Bermulut" (Juru Bicara) Tuanku Nan Tuo.


Surau suku sekitar tahun 1880-an di Bukittinggi, koleksi museum Leiden
Sumber:geheugenvannederland (2011). Gambar kanan, surau suku di Simabur, Kab.Pariangan Tanah Datar
(hasil penelitian Nasbahry Couto, 1996)


Abad ke-19 menyaksikan dominasi kekuasan Eropa (Belanda), yang semakin meluas dan masuknya pengaru Barat ke dalam nilai-nilai sosial lokal lewat jaringan birokrasi dan pendidikan sekuler. Namun demikian kehadiran Belanda untuk sementara waktu unsur-unsur Islam dikucilkan. Dengan kuasa dan wibawa kaum adat yang diberikan mandat oleh Belanda, kelompok Islam membangun keutuhan umat lewat lembaga surau. Dari suraulah lahirnya kaum “intellegentsia agama”, sementara di luar sana muncul kelas baru yang disebut kaum terpelajar hasil pendidikan sekuler Belanda. Kebanyakan mereka menjadi birokrat atau guru sekolah. Pada awal abad ke-20 kolonialisme tidak hanya bertindak sebagai penjajah dalam arti kelompok demoninan yang mengeksploitasi sumber daya lokal (alam dan manusia), melainkan memperkenalkan ide tengan “kamajuan”, suatu corak kebudayaan yang sama sekali lain dari yang dianut oleh budaya lokal selama ini. Sekularisme tidak hanya bermakna memisahkan agama dari urusan negara, tetapi juga melahirkan kelas baru yang di luar kelompok kaum adat dan agama. Dengan demikian, masalah pertama yang harus dihadapi oleh budaya Minangkabau masa kolonial ialah menjaga keutuhan komunitas dari ketagangan kultural dan struktural segi tiga antara rasionalisasi adat dan syara’ atau aqidah dan ide “kemajuan” atau kemodrenan yang diidentikkan dengan bawaan Barat.

Pergumulan intelektual antara ketiga unsur inilah yang mewarnai ketegangan dan konflik budaya Minangkabau awal abad ke-20. Dalam konteks inilah lahirnya gerakan Islam Minangkabau modernis seeprti yang dikaji oleh Deliar Noer (1982). Gerakan pembaruan Islam generasi kedua oleh para ulama Kaum Muda awal abad ke 20 bukan berasal dari semangat gerakan Pan Islamisme di Timur Tengah. Sejak akhir abad ke-19 gerakan itu di Minangkabau menampakkan wujud dalam bentuk konflik Kaum Muda vs Kaum Tua. Dari satu segi, gerakan ini dapat dilihat sebagai kelanjutan dari periode sebelumnya. Risalah agama tetap dijadikan sebagai landasan perubahan sosial, tetapi selain itu juga terjadinya pematangan orthodoksi ajaran. Namun isu yang dipersoalkan sudah bergeser, demikian juga metode yang digunakan. Isu sentral pada periode ini ialah masalah fikh, khususnya masalah-masalah khilafiah. Sementara itu perdebatan seru antara pengikut tareqat Naqshabandiayah dan Syatariyah menimbulkan polarisasi ke dalam, seperti yang tampak dari konflik antara kaum tua dan kaum muda. Yang sangat khas dari periode ini ialah metode yang digunakan lewat diskursus intelektual, baik melalui buku, media massa (majalah dan surat kabar), atau forum muzakarah. Begitu dahsyatnya arus gerakan itu di tengah-tengah masyarakat, sehingga menyebabkan para ahli cenderung menilai bahwa tonggak sejarah pembaharuan Islam terpenting di Indonesia berkambang subur di Minangkabau pada periode awal abad ke-20. Basis gerakan itu berada di surau dan lembaga pendidikan modern suasta yang dikelola oleh kelompok Islam, baik kaum tua maupun kaum muda. Surau-surau ini pada gilirannya juga berafiliasi dengan organisasi massa seperti SI (kemudian PSII) dan Muhammadiyah, Permi dan bahkan juga dengan PKI.

Periode berikutnya, yakni yang ketiga ialah Gerakan Islam Ideologis, yang berkembang ketika Islam berhadapan dengan kekuasaan politik kenegaraan sejak periode perjuangan kemerdekaan, 1945 sampai tahun 1960-an. Memang Gerakan Kaum Muda sebelumnya juga telah menampilkan dirinya sebagai gerakan ideologi tandingan terhadap ideologi dominan, yaitu hegemoni kolonialisme, tetapi berbeda dengan Gerakan Islam Ideologis yang berkembang kemudian, gerakan pembaharuan Kaum Muda menampilkan tiga ciri utamanya. Kecuali lebih mengutamakan diskursus intelektual ke dalam anggota masyarakat penganutnya sendiri; juga menggunakan basisnya di lembaga keagamaan seperti di surau-surau, mesjid dan lembaga pendidikan agama. Lagi pula, gerakan ideologis Kaum Muda tampak lebih bersifat akomodatif terhadap ideologi-ideologi kepartaian sezaman (seumpaman sosialisme dari SI Cokromainoto-Abdul Muis, dan komunisme Dt. Batuah dkk, Dan kemudian Permi dan kemudian Masyumi). Ketiga ciri ini berbeda perkembangannya dalam era Orde Baru ketika (i) kelompok Islam tampil sebagai pembela ideologi tandingan terhadap pluralisme partai-partai politik yang ada, baik sekuler maupun gerakan keagamaan ‘tradisional’, seperti Perti. [b] Gerakan pembaharuan Islam Ideologis, seperti yang terdapat dalam Partai Masyumi dan Muhammadiyah; lebih mengutamakan diskursus politik ketika bergumul dengan kekuasaan negara Republik Indonesia dan [c] basis utamanya justeru sudah semakin meluas, bukan hanya dalam lembaga keagamaan dan pendidikan, tetapi di dalam isntitusi politik atau partai itu sendiri. Dalam hal ini misalnya, perdebatan tentang konsep “Negara Islam”, seperti juga kontribusi Islam dalam perjuangan kemerdekaan yang cenderung dimarginalkan, seperti juga ketika kelompok Islam merasa diperlakukan tidak adil oleh negara, salah satu bibit ketidakpuasan dan menyediakan jerami kering di musim kemarau.

Mengapa generasi kita cenderung latah untuk mebuat undang-undang dan “dialog interaktif’ ketimbang menelorkan fikiran-fikiran bernas untuk keluar dari tantangan zaman hari ini? Mengapa adat dan budaya kita selalu hangat dibicarakan, tetapi seringkali ditinggalkan dalam praktek? Bukankah segala yang kini dianggap ide­al dan baik, seperti ide tentang kemajuan, egaliter, keadilan, kebersamaan, keterbukaan dan seterusnya, telah tercakup dalam ajaran dua pencipta agung adat Minangkabau, Datuk Perpatih Nan Sabatang dan Datuk Ketemanggungan? Akan te­tapi mengapa kenyataan sosial yang dijumpai dalam kehidupan sehari-hari kita sudah sedemikian merosot, tidak lagi mengidahkan ajaran adat yang bersendikan agama tersebut?

Penyatuan sistem adat dengan Islam, setiap suku diwajibkan memiliki surau suku,
hasil penelitian Nasbahry Couto, di Nagari Saningbakar, Kabupaten Solok, tahun 2004.


Jawaban sederhananya ialah karena tuntutan adat tak dipenuhi dan adat yang terpakai sudah tidak murni lagi. Maka demi kemajuan, tuntutan adat yang ideal haruslah dipenuhi, atau, sebaliknya, perobahan-perobahan haruslah dijalankan demi ketinggian adat dan "semarak gunung Merapi", simbol kebesaran alam Minangkabau. Namun masalahnya tentu tidak sesederhana itu. Kini kita berada pada suatu kisaran sejarah yang sama sekali lain dari zaman ketika nenek moyang kita yang hidup dalam suasana agraris. Zaman ketika mereka masih mampu mencukupi sendiri kebutuhan hidup keluarga (self-subsistenced), kepemilikan komunal (tanah ulayat), dan zaman ketika pengalaman merantau di masa lalu bukan terutama untuk tujuan ekonomi, melainkan untuk menuntut ilmu dan kepuasan batin untuk melakukan mobilitas sosial di luar kampung halamannya. Bukankah orang Minangkabau di Sumatera Barat dikenal memiliki tingkat mobalitas individual yang tinggi; mereka jug terbiasa melakukan perjalanan jauh untuk berniaga, bahkan sampai ke pantai timur Afrika dan di sana mereka bergabung dalam kelompok pemukiman Melayu Madagaskar dan di Semenanjung Malaya mereka mendirikan Negeri Sembilan (Mestika Zed, 2010).

Dalam suasana silang budaya global seperti sekarang, tampaknya sia-sia mempertanyakan apakah pendukung suatu kebudayaan ― atau yang lebih halusnya “peradaban” ― sanggup mengetahui dan memahami kebudayaan lain. Pepatah Arab mengatakan, “tuntutlah ilmu pengetahuan walaupun sampai ke negeri Cina” dan setidaknya orang Islam telah lebih dulu meneguk khazanah ilmu pengetahuan (termasuk seni dan filsafat) Helenis, jauh sebelum Eropa modern terjaga dari tidur panjangnya selama Abad Pertengahan, sehingga memungkinkan mereka untuk bangkit kembali sejak zaman Renaissanse abad ke-11 dan 12 M. Nenek moyang orang Indonesia juga sudah lama bersentuhan dengan peradaban-peradaban besar seperti India dan Cina, tetapi hanya agama Islam yang membawa mereka ke dunia modern tatkala tradisi-tradisi lokal menyerap Islam sebagai identitas komunitas mereka yang relatif langgeng sampai hari ini, sehingga dalam peta agama dunia, negeri bekas jajahan Belanda itu dikenal sebagai pemeluk agama Islam terbesar dunia saat ini. Perbenturan budaya adalah suatu kenicayaan, hal yang tak terelakkan dan akan berlangsung terus (Janse, 1982, Hadle (2008). Adanya konflik dan konsesus dengan sedirinya juga mengidikasikan pula perlu pembelajaran terus menerus, sehingga menghasilkan sintesis baru dalam mengahadapi era global di mana hegemoni pemikiran global yang bersumber di Barat yang ditandingi dengan khazanah buadaya sendiri. Harus diakui, bahwa kini orang Minangkabau bukan lagi semata-mata menjadi ’anak-kemenakan’ (warga) dari ninik mamak di nagari ini dan itu saja. Kini mereka juga menjadi bagian dari anak kemenakan (warga negara) Indonesia dan dunia global yang semakin terbuka untuk disiasti memperkuat budaya sendiri dan bukan sebaliknya.

Tidak ada komentar: