Dalam konteks psiko-sejarah bangsa kita mewarisi terlalu banyak dendam sejarah, xenophobia, dan mental inferior, yang sudah akut. Dibutuhkan keberanian tersendiri untuk mengurai, mengakui dengan jujur, dan membangun satu kesepahaman baru tentang Indonesia selanjutnya. Seringkali kita memilih sikap tidak mengungkap cerita sejarah yang dibungkam, demi untuk menjaga keutuhan bangsa. Padahal cara itu tidak selamanya benar. Bagaimanapun pahitnya, fakta-fakta sejarah adalah pelajaran sangat penting untuk angkatan berikut. Sejarah ”sesungguhnya” sering ditentukan oleh kuasa dan tafsir apa yang kita pakai untuk membacanya lagi. Kasus tragedi 1965-1966, adalah sebagai contoh terbaik diantara - tentunya - begitu banyak contoh-contoh yang lain. Adu cerita dan buku putih tentang siapa benar-siapa salah, hanya akan mengaburkan pelajaran utama dari peristiwa waktu itu. Tuduh-menuduh bahwa PKI melakukan kudeta, Soeharto yang merancang kudeta, Soekarno di kudeta, atau bahkan Soekarno sendiri mengkudeta dirinya, adalah argumen sejarah tanpa ujung dan hanya memicu perdebatan kontroversial berulang. Sedang jika menggunakan optik geostrategi maka akan terlihat gambar terang bahwa hampir seluruh (untuk tidak menyebut semua) komponen strategis Indonesia masuk dalam perangkap raksasa dari perang dingin antara blok barat (AS) dan blok timur (Uni Soviet).
China dan Rusia waktu itu saling berebut posisi sebagai kiblat utama komunisme di Asia. PKI yang awalnya sangat taat dengan pola-pola komintern di Rusia, lalu berbelok menggunakan banyak metode revolusi China ala Mao. Elit-elit PKI tidak setangguh Ho Chi Minh yang berhasil membuat siasat tepat atas konflik politis China versus Rusia. PKI akhirnya menjadi unit politik nasional yang labil dalam menentukan garis anutan. Situasi ini dimanfaatkan dengan baik oleh blok Barat dengan menggunakan program IMET (internasional military education and training) merekrut perwira angkatan darat ditambah aktifis politik anti-Soekarno untuk merancang satu peralihan kekuasaan. Sudah waktunya kita untuk sama-sama mengakui bahwa dilevel teknis, bisa saja pihak tertentu disebut sebagai pelaku. Tapi sejujurnya sebagai satu bangsa, kita semua (PKI, TNI, Mahasiswa, Ormas Keagamaan) adalah korban dari permainan politik global. Blok barat dan blok timur melihat Indonesia sebagai front depan yang harus direbut dan diposisikan sebagai negara pinggiran penyagga gerak internasional mereka. Siapapun yang ambil untung menumpuk kekayaan dari peristiwa ini, adalah cerita tentang manusia picik, rakus dan gila kuasa.
Setiap dendam yang kita warisi, adalah perangkap bagi seluruh anak bangsa. Dendam etnik, dendam bias agama, dendam politik wilayah, dendam gunung atas pantai, dendam desa pada kota, dan dendam rakyat pada penguasa. Mayoritas akar masalah adalah problem struktural politik-ekonomi, lalu berdampak sistematis atas cara pandang dan mental sosial masyarakat. Berakar pada politik transmigrasi Belanda yang diduplikasi oleh Orde Baru, ditambah dengan ketimpangan struktur sosial-ekonomi atas masyarakat lokal. Dari sini lahirlah ”dendam orang dayak pada madura”, dan ujungnya konflik kekerasan. Kini, kebalikan orang madura menyimpan dendam pada orang dayak. Buah dari skenario global, mutasi konflik vertikal ke horisontal, dan provokasi politisi lokal, melahirkan kekerasan komunal di Poso dan Ambon yang bias agama. Kini, meski konflik telah mereda, namun dibutuhkan satu integrasi metode besar-besaran untuk menjahit lagi kembali cita-cita bersama sebagai satu bangsa. Dendam politik wilayah lebih banyak lagi. Tema ini tidak hanya pada logika Jawa-Luar Jawa atau Indonesia Barat-Indonesia timur, tapi telah merambah hingga ketingkat lokal. Pemekaran wilayah dijadikan medium untuk menterjemahkan ini. Etnopolitik dan semangat chauvinisme adalah bukti. Pembangunan yang terkonsentrasi pada wilayah tertentu, hingga komposisi dan distribusi kekuasaan timpang jadi argumen utama.
Pemahaman yang tepat atas pemberontakan DI-TII, PRRI, Permesta, dan banyak peristiwa lain perlu di dudukkan secara proporsional. Lepas dari tafsir tunggal dan tidak terjebak oleh keinginan untuk ”menistakan” tiap pihak terlibat. Kita masih melihat sikap ”berat hati” dari sejumlah elit militer dan purnawirawan TNI-Polri untuk mau mengakui kekeliruan politik militer selama masa orde baru dan menimbulkan korban ditingkat rakyat mulai dari Aceh sampai Papua. Meski selintas seperti tanpa arti, tapi kesediaan Abdurrahman Wahid (Gusdur) untuk meminta maaf atas keterlibatan sejumlah organisasi dibawah payung NU dalam ”sikap berlebihan” saat operasi penumpasan PKI, patut untuk menjadi contoh bagi semua pihak yang benar-benar merasa diri dan kelompoknya sebagai patriot dan nasionalis sejati. Satu hal paling urgen adalah dendam rakyat pada penguasa. Dalam sikap paling pasif dan hipokrisi menyedihkan, sesungguhnya rakyat Indonesia faham jika mereka hanya dijadikan umpan dan korban dari satu permainan politik tingkat tinggi selama puluhan tahun. Mereka mungkin tidak mampu menyusun satu rangkaian epistemologi sistematis menjelaskan keterjebakan yang dialami selama ini. Tapi naluri politik serta daya sensitifitas psikologis akan memberi pelajaran cukup, bahwa kelicikan harus dibalas dengan kelicikan. Dua efek yang akan muncul jika elit politik terus memelihara manipulasi dan hegemoni politik mereka atas rakyat adalah: satu, lahirnya pragmatisme politik dan sikap oportunis ekstrim. Kedua, ledakan massa bersifat destruktif dan mendorong situasi menjadi chaos tak terpimpin sama sekali. Untuk menjadi bangsa yang kuat, dalam spirit nusantara, maka segala bentuk dendam sejarah haruslah dikelola dengan baik dan ditransformasi menjadi energi gerak untuk menata kehidupan nasional seluruh rakyat. Seolah lupa atau bahkan mengidap amnesia sejarah dan memaksa agar abai atas fakta-fakta bukanlah sikap seorang negarawan. Tetapi berlama-lama dalam ”kemarahan historis” yang makin termoderasi oleh banyaknya ”tangan tak jelas” terlibat seolah benar-benar ingin mengungkap sejarah sedang sejatinya hanya soal eksistensi institusional, juga bukan sikap bijak. Kita butuh ketegasan dan pengakuan, sekaligus ke-awas-an tingkat tinggi, agar tak jatuh tertimpa tangga pula.
Sumber : A. Gafur/kompasiana. Foto : www.suaramerdeka.com
China dan Rusia waktu itu saling berebut posisi sebagai kiblat utama komunisme di Asia. PKI yang awalnya sangat taat dengan pola-pola komintern di Rusia, lalu berbelok menggunakan banyak metode revolusi China ala Mao. Elit-elit PKI tidak setangguh Ho Chi Minh yang berhasil membuat siasat tepat atas konflik politis China versus Rusia. PKI akhirnya menjadi unit politik nasional yang labil dalam menentukan garis anutan. Situasi ini dimanfaatkan dengan baik oleh blok Barat dengan menggunakan program IMET (internasional military education and training) merekrut perwira angkatan darat ditambah aktifis politik anti-Soekarno untuk merancang satu peralihan kekuasaan. Sudah waktunya kita untuk sama-sama mengakui bahwa dilevel teknis, bisa saja pihak tertentu disebut sebagai pelaku. Tapi sejujurnya sebagai satu bangsa, kita semua (PKI, TNI, Mahasiswa, Ormas Keagamaan) adalah korban dari permainan politik global. Blok barat dan blok timur melihat Indonesia sebagai front depan yang harus direbut dan diposisikan sebagai negara pinggiran penyagga gerak internasional mereka. Siapapun yang ambil untung menumpuk kekayaan dari peristiwa ini, adalah cerita tentang manusia picik, rakus dan gila kuasa.
Setiap dendam yang kita warisi, adalah perangkap bagi seluruh anak bangsa. Dendam etnik, dendam bias agama, dendam politik wilayah, dendam gunung atas pantai, dendam desa pada kota, dan dendam rakyat pada penguasa. Mayoritas akar masalah adalah problem struktural politik-ekonomi, lalu berdampak sistematis atas cara pandang dan mental sosial masyarakat. Berakar pada politik transmigrasi Belanda yang diduplikasi oleh Orde Baru, ditambah dengan ketimpangan struktur sosial-ekonomi atas masyarakat lokal. Dari sini lahirlah ”dendam orang dayak pada madura”, dan ujungnya konflik kekerasan. Kini, kebalikan orang madura menyimpan dendam pada orang dayak. Buah dari skenario global, mutasi konflik vertikal ke horisontal, dan provokasi politisi lokal, melahirkan kekerasan komunal di Poso dan Ambon yang bias agama. Kini, meski konflik telah mereda, namun dibutuhkan satu integrasi metode besar-besaran untuk menjahit lagi kembali cita-cita bersama sebagai satu bangsa. Dendam politik wilayah lebih banyak lagi. Tema ini tidak hanya pada logika Jawa-Luar Jawa atau Indonesia Barat-Indonesia timur, tapi telah merambah hingga ketingkat lokal. Pemekaran wilayah dijadikan medium untuk menterjemahkan ini. Etnopolitik dan semangat chauvinisme adalah bukti. Pembangunan yang terkonsentrasi pada wilayah tertentu, hingga komposisi dan distribusi kekuasaan timpang jadi argumen utama.
Pemahaman yang tepat atas pemberontakan DI-TII, PRRI, Permesta, dan banyak peristiwa lain perlu di dudukkan secara proporsional. Lepas dari tafsir tunggal dan tidak terjebak oleh keinginan untuk ”menistakan” tiap pihak terlibat. Kita masih melihat sikap ”berat hati” dari sejumlah elit militer dan purnawirawan TNI-Polri untuk mau mengakui kekeliruan politik militer selama masa orde baru dan menimbulkan korban ditingkat rakyat mulai dari Aceh sampai Papua. Meski selintas seperti tanpa arti, tapi kesediaan Abdurrahman Wahid (Gusdur) untuk meminta maaf atas keterlibatan sejumlah organisasi dibawah payung NU dalam ”sikap berlebihan” saat operasi penumpasan PKI, patut untuk menjadi contoh bagi semua pihak yang benar-benar merasa diri dan kelompoknya sebagai patriot dan nasionalis sejati. Satu hal paling urgen adalah dendam rakyat pada penguasa. Dalam sikap paling pasif dan hipokrisi menyedihkan, sesungguhnya rakyat Indonesia faham jika mereka hanya dijadikan umpan dan korban dari satu permainan politik tingkat tinggi selama puluhan tahun. Mereka mungkin tidak mampu menyusun satu rangkaian epistemologi sistematis menjelaskan keterjebakan yang dialami selama ini. Tapi naluri politik serta daya sensitifitas psikologis akan memberi pelajaran cukup, bahwa kelicikan harus dibalas dengan kelicikan. Dua efek yang akan muncul jika elit politik terus memelihara manipulasi dan hegemoni politik mereka atas rakyat adalah: satu, lahirnya pragmatisme politik dan sikap oportunis ekstrim. Kedua, ledakan massa bersifat destruktif dan mendorong situasi menjadi chaos tak terpimpin sama sekali. Untuk menjadi bangsa yang kuat, dalam spirit nusantara, maka segala bentuk dendam sejarah haruslah dikelola dengan baik dan ditransformasi menjadi energi gerak untuk menata kehidupan nasional seluruh rakyat. Seolah lupa atau bahkan mengidap amnesia sejarah dan memaksa agar abai atas fakta-fakta bukanlah sikap seorang negarawan. Tetapi berlama-lama dalam ”kemarahan historis” yang makin termoderasi oleh banyaknya ”tangan tak jelas” terlibat seolah benar-benar ingin mengungkap sejarah sedang sejatinya hanya soal eksistensi institusional, juga bukan sikap bijak. Kita butuh ketegasan dan pengakuan, sekaligus ke-awas-an tingkat tinggi, agar tak jatuh tertimpa tangga pula.
Sumber : A. Gafur/kompasiana. Foto : www.suaramerdeka.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar