Karena memang, terkadang seseorang dinilai salah oleh zamannya.
(Frantz Fanon)
"Matanya bulat seindah bola pingpong, memancarkan kebeningannya dalam berfikir", demikian penggalan kalimat pujian (mungkin meminjam sebagian syair Iwan Fals : "mata indah bola pingpong") pada Bacharuddin Joesoef Habibie (BJ. Habibie) pada era 1996-1997. Tersebab matanya "membelalak" bulat-menarik, sehingga mata Habibie dianggap seumpama bola pingpong. Menteri beberapa periode pada masa Orde Baru ini dijulang-puji setinggi langit. Teknokrat jebolan Aanchen Universitet Jerman yang bergelar "Mr. Crack" ini dianggap sebagai figur muslim "borjuis" panutan dan dibanggakan. Suami Ainun "si mata indah" Besari juga dipandang kaum muslim Indonesia sebagai orang yang mampu "menghijaukan" ranah politik Indonesia era 1990-an. Pokoknya, ayah Ilham dan Tareq Habibie, walau badannya pendek, tapi otaknya cemerlang, bening sebening bola matanya. Bahkan penyanyi balada Iwan Fals merasa perlu untuk menulis satu bait dalam lagunya Guru Omar Bakrie : ....... lahirkan otak orang seperti otak Habibie. Habibie bahkan ditahbiskan sebagai "orang paling berpengaruh" di lingkaran Soeharto pasca kematian ibu Tien. Putra Mahkota Politik Soeharto, demikian kata indonesianist William Liddle di jelang Pemilu 1998. Pada era ini, perbincangan terpusat pada Habibie. Kecuali bagi yang iri-dengki, khususnya kalangan militer (maklum Habibie berasal dari kalangan sipil), hampir tak ada cela founding father Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) tersebut. Tapi, "mata indah bola pingpong" Habibie ini (kemudian) kehilangan kebeningan pada era 1999-an, seketika ia menjadi Presiden RI setelah lengser keprabon-nya Soeharto. Habibie yang dijulang tinggi pada masa Orde Baru, justru dipojokkan dari segala mata angin. "Bola matanya" yang bak bola pingpong diplesetkan jadi pemikiran bulat yang tak punya ujung pangkal. Bulat, memang tak bersegi. Mana pangkal, mana ujung tak dijumpai. Dan, kebeningan Habibie selama ini berubah drastis menjadi figur yang tidak menarik lagi bagi lawan politiknya. Habibie yang dianggap sebagai Presiden RI pembuka "kran" demokrasi ini, dituding-hina. Ia salah, mengapa Habibie jadi Presiden.
Lalu, Abdurrahman Wahid yang juga (ikut) menyerang Habibie dengan anekdot "Gila"nya yang terkenal itu: "Soekarno gila perempuan, Soeharto gila harta, Habibie gila beneran dan saya - maksudnya Abdurrahman Wahid - justru pemilihnya yang gila" juga diserang hingga ke lobang privasinya kala anak emas Nahdhatul Ulama ini jadi Presiden RI. Padahal, pasca Habibie, pada pundak Abdurrahman Wahid inilah, diharapkan Indonesia modern terlahirkan secara demokratis. Melalui improvisasi Poros Tengah-nya Amien Rais, Gus Dur naik tahta. Tapi sayang, oleh Amien Rais pula, ia disuruh keluar dari istana dan digantikan oleh Megawati Soekarno Putri. Megawati yang "manis-kemayu" itu, dicintai dan dianggap representasi "makhluk terzalimi" oleh rezim politik Orde Baru (include didalamnya rezim Habibie). Dengan otoritas-genetik yang dimilikinya, Megawati binti Soekarno ini dianggap sebagai sosok yang pas memimpin Indonesia pasca reformasi. Tapi apa nyana, seketika "soulmate" Taufik Kiemas ini jadi Presiden RI, hantaman kiri-kanan berdatangan. Dianggap sebagai Cut Nya' Dien yang pendiam seribu basa. Ia-lah yang dianggap oleh berbagai media kala ia berkuasa sebagai Presiden RI paling pelit dalam sejarah, pelit bicara. (Mbak) Mega tak sempat menikmati kekuasaan paruh kedua. Ia dikalahkan anak buahnya, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dalam Pemilihan Presiden Langsung pertama dalam sejarah ketatanegaraan Indonesia.
Banyak harapan diletakkan pada pundak putra Pacitan ini. Presiden yang dianggap gagah, pintar dan kharismatik ini "melayari" dua paruh kekuasaannya. Sebagaimana halnya Habibie, Megawati dan Gus Dur, maka SBY yang menantu bekas Komandan RPKAD nan terkenal itu - Sarwo Edhie Wibowo - juga merasakan bagaimana "pahitnya" jadi Presiden RI. Tak ada celah yang tidak luput dari serangan. Apapun yang dilakukan oleh SBY, pencitraan dan tindakan lamban, menjadi dua kata yang dilekatkan pada mantan Menkopolhukam masa Megawati Soekarnoputri ini. "Maju kena mundur kena", harus dinikmati SBY. Banyak kebijakan dan tindakannya selalu dilihat pada posisi berseberangan. Ketika ia tidak mensikapi apa yang dikatakan oleh para elit Partai Demokrat - partai yang didirikannya - tentang calon Presiden dari Partai berlambang bintang mercy ini adalah Ani Yudhoyono yang nota bene adalah istrinya, banyak pengamat yang mengatakan diamnya SBY sebagai tindakan politik yang tak etis. Diamnya tersebut berarti SBY setuju. Ini artinya, SBY menyetujui politik dinasti sebagaimana yang terjadi di India, Korea Utara ataupun di negara-negara non-monarkis Timur Tengah dan Afrika Utara sana. Namun kala SBY mengatakan bahwa 2014 nanti, ia dan keluarganya (anak dan istrinya) tidak ikut mencalonkan diri menjadi calon Presiden, bermunculan pula tanggapan para pengamat : "SBY tak demokratis dan melanggar undang-undang, karena menghambat hak asasi manusia untuk dicalonkan jadi Presiden", kata seorang pengamat politik yang "teramat" rajin menganalisis gerak-gerik politik SBY. Namanya saja pengamat, (serasa) jauh lebih pintar dari pemain. Maju kena mundur kena. Diam dianggap lamban, cepat dianggap ceroboh dan intervensi. Padahal, di awal tahun 2004, SBY digadang-gadangkan seperti "Imam Mahdi" bagi Indonesia.
Betapapun hebatnya seorang pemimpin, pasti ada celah-celah tertentu yang enak untuk dikecam. Bila ia sukses di satu bidang, dibidang lain ia akan "ditembak". Dan biasanya, kesuksesan besar dan kelebihan utama seseorang itu akan abih tandeh oleh secuil kesalahannya. Jangankan Habibie, Mega, Abdurrahman Wahid ataupun SBY, tokoh besar se"gadang" Soekarno dan Gamal Abdel Nasser juga tak luput dari hal sedemikian. Soekarno, misalnya. Siapa yang meragukan kebesaran dan ketokohannya. Pemersatu bangsa, proklamator, tokoh bangsa, pejuang kemerdekaan tanah air sejak muda, penggali Pancasila ...... tapi (masih ) teramat sering kita mendengar tentang "kegenitannya". Bahkan - meminjam istilah tokoh posmo Jean Bauddrillard - Soekarno dianggap "megalomania", orang yang gemar serba besar dan serba cemerlang. Bahkan Cindy Adams, penulis biografi Soekarno, pernah mempertanyakan (sekaligus menjawab sendiri), mengapa Soekarno begitu suka menggunakan berbagai lambang dan logo kebesaran di dadanya. "Pasti terlihat gagah dan jumawa", kata Cindy Adams. Soekarno-pun meng-iyakannya. Ditengah "megalomania"nya ini, sejarah mencatat rakyat masih susah. Tapi kenyataannya, ketika "Putra Fajar" ini meninggal dunia, ia tidak meninggalkan kekayaan buat keluarganya. Walau gosip tentang kekayaannya yang "tertanam" di negeri antah berantah (hingga) kini masih terus dijaga oleh sebagain orang. Soekarno yang "besar" itu (tetap) terus disalahpahami.
Kemudian ambillah contoh Gamal Abdel Nasser. Walau Nasser dianggap sebagai tokoh pemersatu bangsa Arab yang dikenal teramat susah untuk bersatu (bahkan Ibnu Khaldun menganggap orang Arab hanya bisa disatukan oleh Nabi yang berasal dari Arab saja), walau Nasser dianggap orang besar yang berhasil membabat feodalisme dan mendirikan masyarakat yang demokratis dan sosialis, walaupun ia hidup dengan amat sederhana dan tidak korup, yang lebih suka tinggal di tempat/barak perwira dibandingkan di istana, betapapun beliau sudah mampumembawa Mesir sebagai bangsa yang disegani dan diperhitungkan dalam konstelasi politik dunia pada masanya, tapi - sebagaimana halnya Soekarno, masih tetap saja ada suara-suara sinis mengenai dirinya. Desas desus yang menyindirnya sebagai pemimpin otoriter dan tidak becus. Ada anekdot tentang ktidaksukaan orang Mesir terhadap Nasser yang dikagumi Khaddafi ini. Anekdot yang pernah saya baca dalam sebuah kolom kolumnis Mahbub Junaidi di Harian Kompas kala saya masih di SMP. Anekdot yang menunjukkan ketidaksukaan sebagian orang Mesir (mungkin tidak sebagian, tapi sebagian kecil) pada Nasser. Mesir dibawah Nasser dianggap sebagai negeri "berbudaya ntel", tertutup dan sok gawat. Ekonomi pasar bebas menjadi tidak bisa berkutik karena tangan-tangan negara amat kuat mencengkeram. Kaum kapitalis dalam negeri terjepit karena Nasser menginginkan masyarakat yang sosialis. Untuk memperoleh barang-barang kebutuhan harian, orang terpaksa mengantre. Akibat dari hidup serba antre ini, ada orang yang menjadi gusar.
"Apa kalau mau beli pisau orang harus antre?", tanyanya suatu ketika.
"Oh, kalau sekedar pisau, tak perlu mengantre" jawab temannya.
Maka orang ini segera membeli sebilah pisau belati di pasar dan langsung bergegas menuju kediaman Preside Nasser. Di pintu gerbang ia dihadang oleh pengawal.
"Apa maksud saudara ke tempat Presiden Nasser!"
"Saya mau membunuhnya. Ia sudah bikin susah hidup saya dan semua orang Mesir".
"Oh, itu bisa saja. Tapi saudara harus antre !", kata pengawal.
Ternyata antrean orang yang ingin (berniat) membunuh Nasser cukup panjang. Karena tak tahan dengan antrean yang pan jang tersebut, ia kemudian pulang .... dan tidur !.
Saya yakin, anekdot tersebut bukanlah mencerminkan keadaan Mesir sesungguhnya dalam bersikap terhadap orang sebesar Nasser. Ketidaksenangan orang terhadap seseorang, adalah sesuatu yang lumrah, dan bisa terjadi pada siapa saja. Menghadapi gerakan sosialis Arab yang dilancarkan Gamal Abdel Nasser, sikap progressif revolusioner yang ditunjukkannya merupakan refleksi terhadap sikap anti-Israel yang tidak kenal kompromi, sudah barang tentu menumbuhkan rasa tidak senang lawan-lawan politiknya. Mereka inilah yang kemudian memanfaatkan "kondisi-kondisi" dalam negeri untuk menyebarkan anekdot seperti diatas. Intinya, semua pemimpin dan orang besar, mau tidak mau, harus menerima resiko macam itu. Historia vitae magistra, kata Bennedicto Croce. Biarlah sejarah yang akan menjadi saksi, apakh orang-orang seperti Soekarno atau Nasser itu seorang oportunis yang korup dan memikirkan dirinya sendiri, atau seorang pemimpin yang mampu memaksa orang lain untuk menghormati negerinya dengan sikap tegar tanpa menunduk-runduk pada "kekuatan lain". Biarlah sejarah pula yang nantinya akan "menilai" siapa sebenarnya Habibie dengan bola "mata pingpong"nya, apakah makna "gila"nya Gus Dur ataupun "diam emas"nya Megawati serta politik akomodasi dan penuh perhitungan SBY. Karena memang, kata Frantz Fanon, terkadang seseorang dinilai salah oleh zamannya. Dan, tak salah memang kemudian, bila Soeharto dirindukan orang pada masa sekarang. Tak kecil kemungkinan, Megawati atau SBY dibaca dengan penuh gairah pada masa cucu-cicit kita kelak.
Lalu, Abdurrahman Wahid yang juga (ikut) menyerang Habibie dengan anekdot "Gila"nya yang terkenal itu: "Soekarno gila perempuan, Soeharto gila harta, Habibie gila beneran dan saya - maksudnya Abdurrahman Wahid - justru pemilihnya yang gila" juga diserang hingga ke lobang privasinya kala anak emas Nahdhatul Ulama ini jadi Presiden RI. Padahal, pasca Habibie, pada pundak Abdurrahman Wahid inilah, diharapkan Indonesia modern terlahirkan secara demokratis. Melalui improvisasi Poros Tengah-nya Amien Rais, Gus Dur naik tahta. Tapi sayang, oleh Amien Rais pula, ia disuruh keluar dari istana dan digantikan oleh Megawati Soekarno Putri. Megawati yang "manis-kemayu" itu, dicintai dan dianggap representasi "makhluk terzalimi" oleh rezim politik Orde Baru (include didalamnya rezim Habibie). Dengan otoritas-genetik yang dimilikinya, Megawati binti Soekarno ini dianggap sebagai sosok yang pas memimpin Indonesia pasca reformasi. Tapi apa nyana, seketika "soulmate" Taufik Kiemas ini jadi Presiden RI, hantaman kiri-kanan berdatangan. Dianggap sebagai Cut Nya' Dien yang pendiam seribu basa. Ia-lah yang dianggap oleh berbagai media kala ia berkuasa sebagai Presiden RI paling pelit dalam sejarah, pelit bicara. (Mbak) Mega tak sempat menikmati kekuasaan paruh kedua. Ia dikalahkan anak buahnya, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dalam Pemilihan Presiden Langsung pertama dalam sejarah ketatanegaraan Indonesia.
Banyak harapan diletakkan pada pundak putra Pacitan ini. Presiden yang dianggap gagah, pintar dan kharismatik ini "melayari" dua paruh kekuasaannya. Sebagaimana halnya Habibie, Megawati dan Gus Dur, maka SBY yang menantu bekas Komandan RPKAD nan terkenal itu - Sarwo Edhie Wibowo - juga merasakan bagaimana "pahitnya" jadi Presiden RI. Tak ada celah yang tidak luput dari serangan. Apapun yang dilakukan oleh SBY, pencitraan dan tindakan lamban, menjadi dua kata yang dilekatkan pada mantan Menkopolhukam masa Megawati Soekarnoputri ini. "Maju kena mundur kena", harus dinikmati SBY. Banyak kebijakan dan tindakannya selalu dilihat pada posisi berseberangan. Ketika ia tidak mensikapi apa yang dikatakan oleh para elit Partai Demokrat - partai yang didirikannya - tentang calon Presiden dari Partai berlambang bintang mercy ini adalah Ani Yudhoyono yang nota bene adalah istrinya, banyak pengamat yang mengatakan diamnya SBY sebagai tindakan politik yang tak etis. Diamnya tersebut berarti SBY setuju. Ini artinya, SBY menyetujui politik dinasti sebagaimana yang terjadi di India, Korea Utara ataupun di negara-negara non-monarkis Timur Tengah dan Afrika Utara sana. Namun kala SBY mengatakan bahwa 2014 nanti, ia dan keluarganya (anak dan istrinya) tidak ikut mencalonkan diri menjadi calon Presiden, bermunculan pula tanggapan para pengamat : "SBY tak demokratis dan melanggar undang-undang, karena menghambat hak asasi manusia untuk dicalonkan jadi Presiden", kata seorang pengamat politik yang "teramat" rajin menganalisis gerak-gerik politik SBY. Namanya saja pengamat, (serasa) jauh lebih pintar dari pemain. Maju kena mundur kena. Diam dianggap lamban, cepat dianggap ceroboh dan intervensi. Padahal, di awal tahun 2004, SBY digadang-gadangkan seperti "Imam Mahdi" bagi Indonesia.
Betapapun hebatnya seorang pemimpin, pasti ada celah-celah tertentu yang enak untuk dikecam. Bila ia sukses di satu bidang, dibidang lain ia akan "ditembak". Dan biasanya, kesuksesan besar dan kelebihan utama seseorang itu akan abih tandeh oleh secuil kesalahannya. Jangankan Habibie, Mega, Abdurrahman Wahid ataupun SBY, tokoh besar se"gadang" Soekarno dan Gamal Abdel Nasser juga tak luput dari hal sedemikian. Soekarno, misalnya. Siapa yang meragukan kebesaran dan ketokohannya. Pemersatu bangsa, proklamator, tokoh bangsa, pejuang kemerdekaan tanah air sejak muda, penggali Pancasila ...... tapi (masih ) teramat sering kita mendengar tentang "kegenitannya". Bahkan - meminjam istilah tokoh posmo Jean Bauddrillard - Soekarno dianggap "megalomania", orang yang gemar serba besar dan serba cemerlang. Bahkan Cindy Adams, penulis biografi Soekarno, pernah mempertanyakan (sekaligus menjawab sendiri), mengapa Soekarno begitu suka menggunakan berbagai lambang dan logo kebesaran di dadanya. "Pasti terlihat gagah dan jumawa", kata Cindy Adams. Soekarno-pun meng-iyakannya. Ditengah "megalomania"nya ini, sejarah mencatat rakyat masih susah. Tapi kenyataannya, ketika "Putra Fajar" ini meninggal dunia, ia tidak meninggalkan kekayaan buat keluarganya. Walau gosip tentang kekayaannya yang "tertanam" di negeri antah berantah (hingga) kini masih terus dijaga oleh sebagain orang. Soekarno yang "besar" itu (tetap) terus disalahpahami.
Kemudian ambillah contoh Gamal Abdel Nasser. Walau Nasser dianggap sebagai tokoh pemersatu bangsa Arab yang dikenal teramat susah untuk bersatu (bahkan Ibnu Khaldun menganggap orang Arab hanya bisa disatukan oleh Nabi yang berasal dari Arab saja), walau Nasser dianggap orang besar yang berhasil membabat feodalisme dan mendirikan masyarakat yang demokratis dan sosialis, walaupun ia hidup dengan amat sederhana dan tidak korup, yang lebih suka tinggal di tempat/barak perwira dibandingkan di istana, betapapun beliau sudah mampumembawa Mesir sebagai bangsa yang disegani dan diperhitungkan dalam konstelasi politik dunia pada masanya, tapi - sebagaimana halnya Soekarno, masih tetap saja ada suara-suara sinis mengenai dirinya. Desas desus yang menyindirnya sebagai pemimpin otoriter dan tidak becus. Ada anekdot tentang ktidaksukaan orang Mesir terhadap Nasser yang dikagumi Khaddafi ini. Anekdot yang pernah saya baca dalam sebuah kolom kolumnis Mahbub Junaidi di Harian Kompas kala saya masih di SMP. Anekdot yang menunjukkan ketidaksukaan sebagian orang Mesir (mungkin tidak sebagian, tapi sebagian kecil) pada Nasser. Mesir dibawah Nasser dianggap sebagai negeri "berbudaya ntel", tertutup dan sok gawat. Ekonomi pasar bebas menjadi tidak bisa berkutik karena tangan-tangan negara amat kuat mencengkeram. Kaum kapitalis dalam negeri terjepit karena Nasser menginginkan masyarakat yang sosialis. Untuk memperoleh barang-barang kebutuhan harian, orang terpaksa mengantre. Akibat dari hidup serba antre ini, ada orang yang menjadi gusar.
"Apa kalau mau beli pisau orang harus antre?", tanyanya suatu ketika.
"Oh, kalau sekedar pisau, tak perlu mengantre" jawab temannya.
Maka orang ini segera membeli sebilah pisau belati di pasar dan langsung bergegas menuju kediaman Preside Nasser. Di pintu gerbang ia dihadang oleh pengawal.
"Apa maksud saudara ke tempat Presiden Nasser!"
"Saya mau membunuhnya. Ia sudah bikin susah hidup saya dan semua orang Mesir".
"Oh, itu bisa saja. Tapi saudara harus antre !", kata pengawal.
Ternyata antrean orang yang ingin (berniat) membunuh Nasser cukup panjang. Karena tak tahan dengan antrean yang pan jang tersebut, ia kemudian pulang .... dan tidur !.
Saya yakin, anekdot tersebut bukanlah mencerminkan keadaan Mesir sesungguhnya dalam bersikap terhadap orang sebesar Nasser. Ketidaksenangan orang terhadap seseorang, adalah sesuatu yang lumrah, dan bisa terjadi pada siapa saja. Menghadapi gerakan sosialis Arab yang dilancarkan Gamal Abdel Nasser, sikap progressif revolusioner yang ditunjukkannya merupakan refleksi terhadap sikap anti-Israel yang tidak kenal kompromi, sudah barang tentu menumbuhkan rasa tidak senang lawan-lawan politiknya. Mereka inilah yang kemudian memanfaatkan "kondisi-kondisi" dalam negeri untuk menyebarkan anekdot seperti diatas. Intinya, semua pemimpin dan orang besar, mau tidak mau, harus menerima resiko macam itu. Historia vitae magistra, kata Bennedicto Croce. Biarlah sejarah yang akan menjadi saksi, apakh orang-orang seperti Soekarno atau Nasser itu seorang oportunis yang korup dan memikirkan dirinya sendiri, atau seorang pemimpin yang mampu memaksa orang lain untuk menghormati negerinya dengan sikap tegar tanpa menunduk-runduk pada "kekuatan lain". Biarlah sejarah pula yang nantinya akan "menilai" siapa sebenarnya Habibie dengan bola "mata pingpong"nya, apakah makna "gila"nya Gus Dur ataupun "diam emas"nya Megawati serta politik akomodasi dan penuh perhitungan SBY. Karena memang, kata Frantz Fanon, terkadang seseorang dinilai salah oleh zamannya. Dan, tak salah memang kemudian, bila Soeharto dirindukan orang pada masa sekarang. Tak kecil kemungkinan, Megawati atau SBY dibaca dengan penuh gairah pada masa cucu-cicit kita kelak.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar