Sungai Brantas, Kediri, Jawa Timur, 19 Februari 1948. Di sinilah Tan Malaka tamat riwayat. Tak banyak penggalan fisik dari tokoh legendaris ini. Jauh dari “kemewahan” fotografis ala Bung Karno (yang memiliki ribuan koleksi foto dalam berbagai momen). Seorang pejuang kiri nasionalis yang radikal ini, yang bernama lengkap Sutan Ibrahim Gelar Datuk Tan Malaka, hanya menyisakan sedikit saja kenangan dalam bentuk fisik. Kita kini bahkan harus menikmati foto klasik hitam putih itu-itu melulu —-demi menggambarkan raut muka Tan Malaka. Di novel ini, tegas-tegas menggambarkan Tan Malaka sebagai seorang messiah (Ratu Adil, yang sakti mandraguna). Kala itu, Indonesia bergeliat dengan sebuah era yang disebut oleh sejarawan Taufik Abdullah sebagai A Decade of Ideology. Semangat zaman (zeitgeist) kental dengan nuansa pergumulan ideologi dan api pembebasan —dari cengkraman kumpeni. Penyerapan dan transfer ideologi sedemikian marak (termasuk dari dunia Eropa dan dunia Islam). Sederetan tokoh ideolog (corong pengobar ideologi) berlahiran. Seperti H.O.S Tjokraminoto, Akhmad Dahlan, Bung Karno, Hatta, Semaun, Sneevilt, dan sudah pasti Tan Malaka sendiri.
Namun, lebih dari nama-nama tadi, hanya Tan Malaka yang nyaris dimitoskan di saat itu juga (era 30-an). Terbukti dari novel ini. Berjudul Patjar Merah Indonesia, karangan Matu Mona, yang terbit pertama kali di Tahun 1939, dan diterbitkan kembali oleh Penerbit Beranda di Tahun 2001 (buku jilid I) dan di Tahun 2010 (buku jilid II). Lepas dari muatan fiktif di buku ini, bahwa setidaknya Novel ini memperkuat asumsi yang patut kita angkat kembali. Betapapun ideologi barat berdatangan, tetapi tetap saja butuh domestifikasi, alias penjinakan dan adaptasi, agar sesuai dengan alam pikir masyarakat Indonesia. Masyarakat politik Indonesia waktu itu tak sepenuhnya bisa mengikuti pakem ideologi dari luar yang kental dengan rasionalisme, materialism, pragmatisme, nasionalisme, liberalisme, atau komunisme sekalipun. Sebab, keyakinan-keyakinan mistis bin takhyul masih sangat dominan. Tan Malaka sekalipun, tak bisa bebas dari kultur seperti ini. Ia dipuja karena peran-perannya yang rahasia. Kalau memakai bahasa gaul sekarang, maka sosok Tan Malaka sungguh seksi (penuh daya tarik). Bukankah benar tesis dari Ruth McVey, bahwa para pengobar komunisme zaman itu, tak benar-benar disiplin menerapkan Marxisme Leninisme yang anti takhyul (dan bahkan tak percaya Tuhan)? Mereka justru ringan saja mencampur-baurkan komunisme dengan ajaran-ajaran khas Jawa dan Sunda (seperti kasus Banten). Tan Malaka sendiri, seperti terurai dalam buku Pemikiran Politik Tan Malaka, karya Safrizal Rambe (Pustaka Pelajar, Februari 2003), tak pernah menafikan gejala “irasionalitas” di masyarakat Indonesia. Menurut Tan Malaka, basis filsafat materialism yang menafikan segala sesuatu yang tidak konkret, tidaklah cocok diterapkan di Indonesia. Karena bagaimanapun, sebagai fakta sosial, irasionalisme dan takhyul di Indonesia itu ada. Dari sini, menjadi kuatlah bukti (atau klaim) dari penerbit novel ini, bahwa di zamannya, Novel Patjar Merah Indonesia, yang mencampur-baurkan mitos dan kenyataan tentang Tan Malaka ini sangat laris, terbit berkali-kali, terjual ribuan copy.
Buku ini terdiri dari dua jilid. Mengisahkan petualangan tokoh-tokoh PKI di pembuangan, seperti Tan Malaka (yang hadir dengan berbagai nama tergantung di mana ia tinggal), Semaun (Semaunov), Alimin (Aliminsky), Musso (Paul Mussotte), Darsono (Darsonov), Soebakat (Tjo Beng Kiat), dan lain-lain. Mereka terus berjuang melawan imperialism, baik di Indonesia, Asia, Arab, dan juga Eropa. Tokoh utamanya, yaitu Patjar Merah (alias Tan Malaka), dikisahkan sangat lihai memakai ilmu-ilmu gaib, berkali-kali lolos dari sergapan para intel di manapun ia berada. Secara dramatik, kisah Tan Malaka terurai detil. Mulai dari kedatangannya di negeri Siam (Thailand), menjalin romantika asmara dengan Madmoseille Ninon yang cantik jelita. Alur kemudian berpindah-pindah. Disertai dengan adegan-adegan spionase, pengkhianatan, dinas rahasia, peran ganda, dan unsur ketegangan. Di jilid satu, narasi seperti ini sangat dominan. Sementara di jilid II, pembaca di bawa ke perantauan orang-orang seperti Semaunov, Darsonov, Paul Mussotte, dan Aliminsky. Tetapi ada petikan menarik. Bahwa ketika Musso dan Darsono diburu kaum fasis Nazi (yang saat itu mencekam Jerman, Italia, Perancis, dan Spanyol), keduanya singgah dan mencari penyelamatan di dalam masjjid. Lantas terurailah percakapan dari kedua orang itu, tentang kesaktian masing-masing yang diajarkan guru-guru mereka di kampung, oleh para Kyai tempat mereka mengaji. Sungguh sebuah narasi yang nyaris konyol, bila ditubrukkan dengan wawasan publik Indonesia, yang mengecak nama-nama tersebut sebagai atheis… !
Sebagai catatan akhir, tak mudah memperlakukan posisi buku ini. Lantaran layak berada dalam kategori apapun. Meski fiktif, tetapi latar dan konteks kejadian terekam dalam dokumen sejarah. Penulisnya pun juga adalah tokoh pergerakan (sempat menjadi tahanan Polisi Rahasia Belanda). Konon, penulis buku ini yang bernama asli Hasbullah Parindoerie), adalah praktisi jurnalistik yang sangat intelektual, dan mengaku pernah bertemu secara langsung dengan Tan Malaka di Singapura. Penulis buku ini pula yang memperkenalkan kosa kata “wartawan” dalam khasanah Bahasa Indonesia. Paling penting, justru melahap setiap petikan fakta yang bertabur di setiap lembar halaman. Misalnya tentang negeri Siam, Filipina zaman baheula. Atau tentang pergulatan batin Tan Malaka. Atau juga tentang sejarah dunia di masa itu. Selain keunikan istilah yang laku sebagai bahasa intelektual di Indonesia tempo doeloe. Namun bukan berarti Tan Malaka mewariskan catatan kering. Lebih dari sekedar cukup, bahkan melimpah: buku-buku, pamphlet, brosur, memoir, surat-surat pribadi, hingga Roman (atau Novel) bertebaran di mana-mana. Kiprah mantan Ketua PKI di tahun 20-an ini teramat lekat dengan arsip dan dokumen sejarah. Sumber-sumber berserak di segala pihak, baik kawan maupun lawan. Tak ayal, jika kemudian sosoknya bertabur dengan mitos, legenda, dan juga tanpa kecuali: fiksi.
Informasi Detil Buku:Namun, lebih dari nama-nama tadi, hanya Tan Malaka yang nyaris dimitoskan di saat itu juga (era 30-an). Terbukti dari novel ini. Berjudul Patjar Merah Indonesia, karangan Matu Mona, yang terbit pertama kali di Tahun 1939, dan diterbitkan kembali oleh Penerbit Beranda di Tahun 2001 (buku jilid I) dan di Tahun 2010 (buku jilid II). Lepas dari muatan fiktif di buku ini, bahwa setidaknya Novel ini memperkuat asumsi yang patut kita angkat kembali. Betapapun ideologi barat berdatangan, tetapi tetap saja butuh domestifikasi, alias penjinakan dan adaptasi, agar sesuai dengan alam pikir masyarakat Indonesia. Masyarakat politik Indonesia waktu itu tak sepenuhnya bisa mengikuti pakem ideologi dari luar yang kental dengan rasionalisme, materialism, pragmatisme, nasionalisme, liberalisme, atau komunisme sekalipun. Sebab, keyakinan-keyakinan mistis bin takhyul masih sangat dominan. Tan Malaka sekalipun, tak bisa bebas dari kultur seperti ini. Ia dipuja karena peran-perannya yang rahasia. Kalau memakai bahasa gaul sekarang, maka sosok Tan Malaka sungguh seksi (penuh daya tarik). Bukankah benar tesis dari Ruth McVey, bahwa para pengobar komunisme zaman itu, tak benar-benar disiplin menerapkan Marxisme Leninisme yang anti takhyul (dan bahkan tak percaya Tuhan)? Mereka justru ringan saja mencampur-baurkan komunisme dengan ajaran-ajaran khas Jawa dan Sunda (seperti kasus Banten). Tan Malaka sendiri, seperti terurai dalam buku Pemikiran Politik Tan Malaka, karya Safrizal Rambe (Pustaka Pelajar, Februari 2003), tak pernah menafikan gejala “irasionalitas” di masyarakat Indonesia. Menurut Tan Malaka, basis filsafat materialism yang menafikan segala sesuatu yang tidak konkret, tidaklah cocok diterapkan di Indonesia. Karena bagaimanapun, sebagai fakta sosial, irasionalisme dan takhyul di Indonesia itu ada. Dari sini, menjadi kuatlah bukti (atau klaim) dari penerbit novel ini, bahwa di zamannya, Novel Patjar Merah Indonesia, yang mencampur-baurkan mitos dan kenyataan tentang Tan Malaka ini sangat laris, terbit berkali-kali, terjual ribuan copy.
Buku ini terdiri dari dua jilid. Mengisahkan petualangan tokoh-tokoh PKI di pembuangan, seperti Tan Malaka (yang hadir dengan berbagai nama tergantung di mana ia tinggal), Semaun (Semaunov), Alimin (Aliminsky), Musso (Paul Mussotte), Darsono (Darsonov), Soebakat (Tjo Beng Kiat), dan lain-lain. Mereka terus berjuang melawan imperialism, baik di Indonesia, Asia, Arab, dan juga Eropa. Tokoh utamanya, yaitu Patjar Merah (alias Tan Malaka), dikisahkan sangat lihai memakai ilmu-ilmu gaib, berkali-kali lolos dari sergapan para intel di manapun ia berada. Secara dramatik, kisah Tan Malaka terurai detil. Mulai dari kedatangannya di negeri Siam (Thailand), menjalin romantika asmara dengan Madmoseille Ninon yang cantik jelita. Alur kemudian berpindah-pindah. Disertai dengan adegan-adegan spionase, pengkhianatan, dinas rahasia, peran ganda, dan unsur ketegangan. Di jilid satu, narasi seperti ini sangat dominan. Sementara di jilid II, pembaca di bawa ke perantauan orang-orang seperti Semaunov, Darsonov, Paul Mussotte, dan Aliminsky. Tetapi ada petikan menarik. Bahwa ketika Musso dan Darsono diburu kaum fasis Nazi (yang saat itu mencekam Jerman, Italia, Perancis, dan Spanyol), keduanya singgah dan mencari penyelamatan di dalam masjjid. Lantas terurailah percakapan dari kedua orang itu, tentang kesaktian masing-masing yang diajarkan guru-guru mereka di kampung, oleh para Kyai tempat mereka mengaji. Sungguh sebuah narasi yang nyaris konyol, bila ditubrukkan dengan wawasan publik Indonesia, yang mengecak nama-nama tersebut sebagai atheis… !
Sebagai catatan akhir, tak mudah memperlakukan posisi buku ini. Lantaran layak berada dalam kategori apapun. Meski fiktif, tetapi latar dan konteks kejadian terekam dalam dokumen sejarah. Penulisnya pun juga adalah tokoh pergerakan (sempat menjadi tahanan Polisi Rahasia Belanda). Konon, penulis buku ini yang bernama asli Hasbullah Parindoerie), adalah praktisi jurnalistik yang sangat intelektual, dan mengaku pernah bertemu secara langsung dengan Tan Malaka di Singapura. Penulis buku ini pula yang memperkenalkan kosa kata “wartawan” dalam khasanah Bahasa Indonesia. Paling penting, justru melahap setiap petikan fakta yang bertabur di setiap lembar halaman. Misalnya tentang negeri Siam, Filipina zaman baheula. Atau tentang pergulatan batin Tan Malaka. Atau juga tentang sejarah dunia di masa itu. Selain keunikan istilah yang laku sebagai bahasa intelektual di Indonesia tempo doeloe. Namun bukan berarti Tan Malaka mewariskan catatan kering. Lebih dari sekedar cukup, bahkan melimpah: buku-buku, pamphlet, brosur, memoir, surat-surat pribadi, hingga Roman (atau Novel) bertebaran di mana-mana. Kiprah mantan Ketua PKI di tahun 20-an ini teramat lekat dengan arsip dan dokumen sejarah. Sumber-sumber berserak di segala pihak, baik kawan maupun lawan. Tak ayal, jika kemudian sosoknya bertabur dengan mitos, legenda, dan juga tanpa kecuali: fiksi.
Judul: Patjar Merah Indonesia (Edisi I dan II)
Penulis: Matu Mona (Hasbullah Parindoerie)
Penerbit: Beranda, Juni 2010 (terbit pertama kali Tahun 1936).
Tebal: Jilid I (271 halaman) dan Jilid II (228 halaman)
ISBN: 978-979-16030-3-1
Sumber : Koleksi Resensi Buku (c) Endi Biaro
Tidak ada komentar:
Posting Komentar