Senin, 11 Juli 2011

Hatta dan Kultus

Oleh : Muhammad Ilham


"Kultus, membuat daya kritis dan kewarasan kita hilang".
(Mohammad Hatta)


Karena ingin tetap waras, Mohammad Hatta mengirim surat perpisahan pada sahabatnya, Bung Karno Sang Putra Fajar. Setelah Bung Karno ditahbiskan jadi Presiden seumur hidup dengan seabrek gelar-gelar pengkultusan, dan itu diterima dengan welcome oleh Bung Karno, maka saat itu juga Hatta merasa perlu untuk mengambil jarak dari sahabat-nya itu, tanpa konfrontasi, tanpa menyakiti dan dengan elegan. Bacalah Memoir Bung Hatta, didalamnya tergambar bagaimana Hatta ingin mengatakan bahwa rakyat Indonesia akan menjadi rakyat tidak waras, bila sang pemimpin merasa nyaman kala dikultuskan, karena baginya, pemimpin bukan dijunjung setinggi langit tanpa cacat-cela. Pemimpin bagi putra Batuhampar ini ibarat filosofi Minangkabau, (hanya) ditinggikan seranting, didahulukan selangkah. Ada perhitungan, ada batas dan ada penghormatan yang rasional dan normal.

Mungkin Bung Karno tak meminta, tapi membiarkan, sama halnya dengan meng-iya-kan. Bukankan diam itu tanda setuju (setidaknya, demikian kata almarhumah ibu saya kala menerima pinangan almarhum ayah saya, beliau jawab dengan diam, dan seluruh hadirin mengatakan calon anak daro setuju). Karena membiarkan itulah, akhirnya sejarah mencatat "lelucon" sanjungan yang mengarah pada pengkultusan buat Bung Karno ini, "Pemimpin Besar Revolusi", "Penyambung Lidah Masyarakat", "Nahkoda Agung", "Wartawan Agung", "Rimbawan Agung" dan sederet sebutan lainnya. Konon ayah saya yang pengagum berat Bung Karno ini juga pernah mengatakan pada saya bahwa Bung Karno itu adalah "Penakluk Wanita Gentlemen". Entahlah, tapi ia flamboyan, dikagumi banyak wanita, semuanya cantik.

Zaman nampaknya tak lepas dari pengkultusan. Lihatlah, kala skuad Sepak Bola Korea Utara yang dianggap sebagai tim penuh "misteri" pada perhelatan Piala Dunia Afrika Selatan Juni lalu, begitu mengagungkan pemimpin mereka, Kim Jong-Il. Dalam wawancara skysport dengan kapten tim sepakbola negara yang beribukotakan Pyongyang ini, kebanggaan apa yang akan kalian persembahkan buat rakyat Korea Utara?. Jawab si-kapten ini sederhana : "pertama kami persembahkan bagi Bapa Agung Kim Jong-Il, ia yang bisa mengubah pasir jadi padi, membuat bom dari batang pohon tinggi, pusat partai yang gilang gemilang tinggi menjulang tak terbilang", kata si-kapten dengan sesegukan. Sulit untuk memahami mengapa semua ini terjadi. Tapi semua itu adalah contoh dari begitu banyak pemimpin yang dikultuskan. Stalin, yang bernama lengkap Joseph Ilyich Stalin ini, memiliki banyak koleksi gelar yang luar biasa, "Pemimpin Besar nan Agung Rakyat Sovyet", "Genius Ummat Manusia", "Cahaya Pembimbing Ilmu", "Ahli Agung Dalam Hal Keputusan-Keputusan Revolusioner Yang Berani" dan entah apalagi. Konon, menurut sejarawan Anton Antonov, ada 24 gelar menjulang disematkan kepada pemimpin yang identik dengan horor-state ini.

Ada pemujaan yang tulus, yang tidak memiliki hubungan dengan kekuasaan yang besar. Manusia bisa idiot sekali merindukan sang Terkasih, sang Pujaan, Sang Bapak dan seterusnya, perwujudan dari segala yang diidam-idamkannya. Dan ketika Tuhan tak diyakini lagi atau disingkirkan dari perbendaharaan kata - misalnya kasus Korea Utara, kasus Bung Karno, kasus Stalin diatas - maka sang Terkasih, sang Pujaan, Sang Bapak dan seterusnya hadir pada sosok Bung Karno, Stalin dan Kim, bahkan bisa pada artis, SBY ataupun Mbah Maridjan. Maka beruntunglah bagi orang yang percaya bahwa Tuhan tak bisa digantikan dan nabi-pun tak ada lagi setelah berakhir pada Muhammad bin Abdullah. Karena itulah, Islam mengajarkan, jangan sekali-kali "menduakan" Tuhan, karena membuat kamu tak waras dan tidak memiliki kemampun berfikir kritis. Hatta benar, dan ia tak mau "menduakan" Tuhan, karena ia ingin tetap waras dan kritis.

Tidak ada komentar: