Mendengar "nyanyian" Nazaruddin dari negeri "antah barantah", mengingatkan kita pada Megawati Sukarnoputri. Lantunan instrumentalia mantan bendaharawan Partai Demokrat yang seumpama lantunan Kitaro tersebut, membuat "pilihan politik/style politik" Megawati terasa "kontekstual" bagi situasi politik Indonesia masa transisi ini. Ketika kasus Nazaruddin mulai mencuat, saya tidak percaya seorang Anas Urbaningrum terlibat. Bagaimana pun, latar belakang Anas adalah seorang aktivis-intelek. Partai Demokrat juga partai pertamanya. Mana mungkin dalam tempo waktu 5 tahun bisa mengubah Anas sedemikian jauh. Tatkala... Anas mati-matian membela bendaharanya itu saya juga maklum. Nazar anggota Tim Suksesnya sewaktu Kongres Partai Demokrat 2010 lalu. Sudah sewajarnya dibela meskipun tahu ada indikasi pelanggaran hukum yang dilakukan Nazar. Ruhut Sitompul, Bhatoegana, Saan Mustofa juga melakukan hal yang sama terhadap teman “faksi” mereka itu. Tapi, pernyataan Nazar kemarin kalau dicermati sungguh luar biasa mengerikannya. Khususnya betapa besar biaya untuk menggolkan Anas pada kongres tahun lalu. Dua puluh juta dollar! Sebegitu besarkah uang untuk sebuah kursi ketua umum partai penguasa? Lagipula, Anas bukanlah seorang pengusaha beken seperti halnya Aburizal Bakrie dan Surya Paloh. Kedua orang ini konon menghabiskan uang ratusan miliar di Munas Golkar tahun 2009 lalu. Tapi Anas?
Peluru yang ditembakkan Nazar kemarin mulai membukakan mata saya betapa parpol adalah cerminan dari kegagalan demokrasi di Indonesia. Katanya parpol itu adalah pilar demokrasi, kalau tidak ada parpol belum demokrasilah sebuah negara. Lewat parpol suara rakyat (demos) dilembagakan. Dengan demikian, demokratis tidaknya sebuah negara ditandai lewat demokrasi dalam parpol itu sendiri. Parpol yang demokratis pasti memilih wakil rakyat yang tepat berdasarkan kualitas. Jadi bukan cara-cara feodal dan nepotis di mana orang-orang dekat saja yang terpilih. Untuk menjamin hal itu, proses pemilihan para pengurus juga harus demokratis. Setiap pemilik suara bebas menentukan pilihannya. Bebas di sini tentu bukan karena fulus yang mengalir ke kantong. Kalau karena uang, tentu bukan kebebasaan lagi tetapi kebablasan. Apalagi jikalau beberapa calon menggunakan cara yang sama. Tinggalah siapa beri lebih tinggi dia yang dapat suara. Karena dasarnya uang, manusia pun jadi lupa diri. Apabila calonnya kalah, mereka pun pecah dengan kelompok pemenang. Akhirnya timbul kegaduhan yang membuat suasana partai tidak kondusif. Kalau apa yang dikatakan Nazar itu benar, hal ini pula yang terjadi pada Partai Demokrat. Pantas saja, mengapa sampai timbul faksi-faksi dalam partai itu. Tidak mungkin sebegitunya andai pertarungan itu dilakukan fair demi menyenangkan Sang Bapak. Bahkan Sang Bapak itu—menurut Nazaruddin lagi—tahu apa yang terjadi tapi didiamkan sehingga Sang Bapak sampai perlu membantah lewat konferensi pers.
Dari kejadian ini, saya jadi paham mengapa partai-partai lebih suka menggunakan cara-cara feodal dalam memilih ketua. PDI Perjuangan misalnya, selalu memunculkan Megawati, padahal banyak kader potensial yang dimilik partai ideologis Bung Karno itu. Hanya pada Megawati “orang-orang Banteng” patuh karena cintanya pada Bung Karno serta perjuangan Megawati sendiri selama Orba. Bisa jadi bukan karena itu saja. Ada alasan lain seperti hasrat tiada henti Mega sendiri untuk menjadi raja capres di tahun 2014 nanti. Tapi paling tidak kita bisa melihat PDI sampai sekarang tetap adem-ayem. Mereka satu suara mendengar petuah Sang Ibu. Dia bilang “oposisi”, tidak ada yang berani bantah. Wakil Walikota Surabaya yang berniat mundur karena tidak suka menjadi orang nomor dua—sebelumnya menjabat walikota—mengurungkan niatnya lantaran Sang Ibu tidak beri restu. Partai lain semisal PKB dan PKS hampir sama polanya. Yang satu dulu Gus Dur yang beri perintah sedangkan yang kedua lewat lembaga Majelis Syura yang digenggam seorang ustadz. Partai-partai ini ideologis dan kultural. Mereka haus kekuasaan juga, tapi sadar bahwa kekuasan itu harus diraih lewat kekompakan tanpa konflik. Walau mereka tahu hal itu tidaklah demokratis.
Peluru yang ditembakkan Nazar kemarin mulai membukakan mata saya betapa parpol adalah cerminan dari kegagalan demokrasi di Indonesia. Katanya parpol itu adalah pilar demokrasi, kalau tidak ada parpol belum demokrasilah sebuah negara. Lewat parpol suara rakyat (demos) dilembagakan. Dengan demikian, demokratis tidaknya sebuah negara ditandai lewat demokrasi dalam parpol itu sendiri. Parpol yang demokratis pasti memilih wakil rakyat yang tepat berdasarkan kualitas. Jadi bukan cara-cara feodal dan nepotis di mana orang-orang dekat saja yang terpilih. Untuk menjamin hal itu, proses pemilihan para pengurus juga harus demokratis. Setiap pemilik suara bebas menentukan pilihannya. Bebas di sini tentu bukan karena fulus yang mengalir ke kantong. Kalau karena uang, tentu bukan kebebasaan lagi tetapi kebablasan. Apalagi jikalau beberapa calon menggunakan cara yang sama. Tinggalah siapa beri lebih tinggi dia yang dapat suara. Karena dasarnya uang, manusia pun jadi lupa diri. Apabila calonnya kalah, mereka pun pecah dengan kelompok pemenang. Akhirnya timbul kegaduhan yang membuat suasana partai tidak kondusif. Kalau apa yang dikatakan Nazar itu benar, hal ini pula yang terjadi pada Partai Demokrat. Pantas saja, mengapa sampai timbul faksi-faksi dalam partai itu. Tidak mungkin sebegitunya andai pertarungan itu dilakukan fair demi menyenangkan Sang Bapak. Bahkan Sang Bapak itu—menurut Nazaruddin lagi—tahu apa yang terjadi tapi didiamkan sehingga Sang Bapak sampai perlu membantah lewat konferensi pers.
Dari kejadian ini, saya jadi paham mengapa partai-partai lebih suka menggunakan cara-cara feodal dalam memilih ketua. PDI Perjuangan misalnya, selalu memunculkan Megawati, padahal banyak kader potensial yang dimilik partai ideologis Bung Karno itu. Hanya pada Megawati “orang-orang Banteng” patuh karena cintanya pada Bung Karno serta perjuangan Megawati sendiri selama Orba. Bisa jadi bukan karena itu saja. Ada alasan lain seperti hasrat tiada henti Mega sendiri untuk menjadi raja capres di tahun 2014 nanti. Tapi paling tidak kita bisa melihat PDI sampai sekarang tetap adem-ayem. Mereka satu suara mendengar petuah Sang Ibu. Dia bilang “oposisi”, tidak ada yang berani bantah. Wakil Walikota Surabaya yang berniat mundur karena tidak suka menjadi orang nomor dua—sebelumnya menjabat walikota—mengurungkan niatnya lantaran Sang Ibu tidak beri restu. Partai lain semisal PKB dan PKS hampir sama polanya. Yang satu dulu Gus Dur yang beri perintah sedangkan yang kedua lewat lembaga Majelis Syura yang digenggam seorang ustadz. Partai-partai ini ideologis dan kultural. Mereka haus kekuasaan juga, tapi sadar bahwa kekuasan itu harus diraih lewat kekompakan tanpa konflik. Walau mereka tahu hal itu tidaklah demokratis.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar