Wajah kebingungan terpancar pada sebagian besar penonton yang melenggang keluar dari ruang pertunjukan Teater Salihara Oktober tahun lalu. Ragam pertanyaan sepertinya membuat beberapa hadirin kebingungan. Pertanyaan yang muncul dari keraguan dan ketidaktahuan. “Opera apa ini? Sungguh, tak mengerti. Tidak ada ceritanya.” “Judulnya Opera Tan Malaka, tapi dimana Tan Malaka-nya?”. “Goenawan Mohammad (GM) yang terlalu pintar atau aku yang terlalu bodoh?”. “Oh, jadi itu yang Tan Malaka itu? Dia komunis ya? Atheis dong!”. Ragam pertanyaan yang menarik—semenarik senyum GM dalam meningkahi jabatan tangan dan ucapan selamat dari beberapa rekan dan hadirin yang sepertinya juga kebingungan menyaksikan malam penutupan Festival Salihara. Apakah GM menyenangi kebingungan para penontonnya itu? Menarik. Semenarik pesta penuh alkohol sesudahnya—tanda pesta sudah usai. Mungkin seperti itu. Mungkin pula tidak—karena aku tak hadir sesudahnya, sama seperti Tan Malaka yang tak pula hadir di opera-esai itu. Aku tak hadir maka aku ada.
Sebelumnya, di penghujung 2009 terbit sebuah buku berjudul “Tan Malaka dan Dua Lakon Lain” yang ditulis oleh GM dan itulah pertemuan pertamaku dengan naskah Tan Malaka. Butuh waktu satu tahun untuk menunggu pementasannya. Cukup lama persiapannya ternyata. Tak apa, karena yang menarik bagiku saat itu adalah diskusi mengenai Tan Malaka selama tiga hari sebelum Opera Tan Malaka dimulai. Filmku “Selopanggung”, film dokumenter tentang penggalian makam Tan Malaka di Kediri juga diputar. Harry Poeze, yang juga memberi diskusi, malah ingin membandingkan hasil komponis Tony Prabowo dengan Peter Schat yang membuat satu komposisi berjudul “An Indic Requiem”(1995). Dalam sebuah wawancara, Schat mengakui bahwa tenor, orkestra dan koir ini tercipta sebagai bentuk kreasi seninya yang terinspirasi oleh kejahatan kolonialisme Belanda terhadap Indonesia dan oleh perjuangan Tan Malaka dalam melawan kolonialisasi tersebut. Menarik. Aku pun hadir kemudian sebagai satu penonton yang sudah membaca lakon bernama Opera Tan Malaka. Aku pun datang tidak dengan kosong, karena aku mengetahui sedikit banyak tentang Tan Malaka, setidaknya itu yang kupikir. Tapi ternyata aku keluar dengan ekspresi yang sama dengan mereka yang tak membaca naskah lakon itu. Ada apa ini? Lalu tak lama kemudian, di awal Januari 2011, rekaman pagelaran tersebut yang sedianya akan diputar di beberapa stasiun televisi lokal justru dilarang penayangannya di Malang dan Kediri. Pelarangan ini konon datang dari pihak militer yang masih alergi dengan hal-hal yang berbau komunisme. Entah benar entah tidak. Ada apa ini? Rakyat yang tak menonton dokumentasi pergelearan pun ikut-ikutan bingung. Tapi satu hal yang pasti, hal ini tak menyurutkan GM untuk melanjutkan karnaval Opera Tan Malaka.
Opera-esai tiga babak ini kembali ditayangkan 23-24 April lalu di Taman Ismail Marzuki (TIM) Jakarta. Konsep opera tahun sebelumnya direnovasi mengingat setting yang tak lagi sama dengan Salihara yang tak cukup besar. Opera Tan Malaka menjadi opera yang dinamis. Komposisi brilian Tony Prabowo yang di-conduct oleh Josefino Chino Toledo bersaing dengan koreografi tari apik dari Fitri Setyaningsih. Aria dari Paduan Suara Paragita Universitas Indonesia berpadu dengan nyanyian Nyak Ina “Ubiet” Rasukie dan Binu Doddy Sukaman. Narasi Landung Simatupang dan Adi Kurdi yang berbalasan secara paralel. Banyak cara bagi GM untuk mempromosikan lakonnya kali ini. Entah karena promosi entah karena diundang, tak tanggung-tanggung, Wakil Presiden Boediono beserta istri hadir di pementasan kali ini. “Berat,” demikian katanya ketika ditanya oleh rekan-rekan wartawan mengenai opera tersebut. Nah lho?. Menarik pula akhirnya kemudian ketika Haluan memuat dua opini dari Indra J. Piliang (3/5/11) dan Raudal Tanjung Banua (9/5/11)—dua orang yang tak (mau) menonton Opera Tan Malaka. Mereka memberikan opini dari ketidakhadirannya. Satu opini dibuka bahwa Opera Tan Malaka adalah lakon ahistoris—Tan Malaka bukan opera. Salah arah. Satu opini kemudian bersetuju pula dengan opini sebelumnya. Melalui kacamata ekstrinsik berupa orientasi pengarang dengan lingkungan sosialita ibukota dilihat bahwa telah terjadi pencairan sosok Tan Malaka sehingga menjadi lebih instan. Opera ini dianggap tak hanya salah arah, tapi juga salah kotak.
Jika IJP bertanya musik apa yang disukai Tan, maka ini adalah pertanyaan menarik. Mengenai musik, Tan Malaka adalah seorang pemain biola ketika bersekolah dulu di Bukit Tinggi dan di Belanda. Bahkan beberapa minggu setelah proklamasi, bersama Ahmad Soebardjo dan Jo Paramitha, Tan Malaka memainkan salah satu komposisi Schubert. Jo pun menanyakan apakah Tan Malaka akan kembali bermain musik. Tidak, selama Belanda belum keluar dari pantai Indonesia, demikian jawabnya. Mengenai sastra, pada tahun 1927, Tan Malaka mengaku sedang menulis sebuah novel mengenai penindasan yang terjadi pada bangsanya. Ia tak berhasil menyelesaikan novel itu. Satu hal yang patut diingat, rekannya Semaoen dan Mas Marco juga menulis novel pada waktu itu—namun mereka berhasil menyelesaikan karya mereka. Tan Malaka akhirnya mengirim draft novel itu ke Adinegoro dan Adinegoro menyerahkan surat-surat itu ke Hasbullah Parindurie yang kemudian dikenal dengan nama pena Matu Mona. Pada tahun 1938 terbitlah roman spionase Patjar Merah Indonesia di Medan. Roman ini menjadikan sosok Tan Malaka sebagai legenda—terutama bagi dunia pergerakan saat itu.
Mengenai lakon, sekitar tahun 1944-an, di Banten, Tan Malaka mendirikan satu klub drama (dan sepakbola) bernama Pantai Selatan. Tan Malaka tak hanya menuliskan lakonnya tapi juga menyutradarainya. Ada dua lakon yang diketahui yang pernah ia sutradarai di Banten; Hikayat Hang Tuah dan Prajurit Pekerja. Kritiknya terhadapnya kejamnya fasisme Jepang dan kondisi menyedihkan kaum romusha ia sampaikan melalui bentuk lain. Gaya penulisan lakon Tan Malaka ini masih dipertahankan dan bisa dilihat pada karyanya yang tulis lima tahun kemudian yang terbit dalam bentuk brosur (Muslihat, Politik). Satu hal pula yang patut diingat, Roestam Effendy sebagai tokoh Murba juga adalah seorang pegiat teater. Mengenai olahraga pun, Tan Malaka menggagas pembuatan satu lapangan sepakbola di Banten bagi para pekerja romusha. Ia kerap menggelar pertandingan sepakbola waktu itu. Dalam hal ini, sepertinya Tan Malaka yang ditugasi dalam hal propaganda oleh Komintern melihat seni sebagai bagian penting dalam praktik dekolonisasi bangsanya. Berpuluh tahun kemudian, dalam pameran “Dari Penjara ke Pigura” Agus Suwage menjadikan satu potret Tan Malaka sebagai lukisannya. Ia memberikan anasir-anasir merah berapi di pepinggir rambut Tan Malaka. Beberapa kalimat Tan Malaka dibiarkan menyatu dengan lukisan sehingga mencipta suatu dialektika antara kata dan rupa. Erik Wirawan, mahasiswa IKJ, pun membuat satu film fiksi pendek berjudul “Tan Malaka” yang diputar di berbagai festival. Keinginan untuk membuat Tan Malaka dalam versi layar lebar pun mulai menjadi wacana di kalangan filmmaker kelas atas tanah air—entah siapa yang akan lebih dulu merealisasikannya. Bahkan kelak akan ada sebentuk randai akan dipentaskan tentang Tan Malaka. Tak hanya GM yang mengapresiasi Tan Malaka—apapun bentuknya. Maka di sinilah aku ingin mengambil posisi. Aku mengapresiasi Tan Malaka dengan caraku.
Jika Althusser menyarankan untuk sedikit serius dalam memperhatikan sesuatu yang tak-hadir (absence) dalam teks bukan karena ia tak muncul di dalam teks, melainkan ada satu proses penyembunyian di dalam teks tersebut. Ia sengaja disembunyikan—oleh seseorang, oleh sesuatu, untuk suatu tujuan. Jika Tan Malaka yang tak hadir di dalam Opera Tan Malaka dianggap sebagai alegori dari ketidakhadirannya dalam konstelasi sejarah bangsa ini, semacam ada dan tiada, hadir untuk hilang, hidup untuk mati, maka dapat dilihat bahwa GM pun punya maksud tertentu kenapa ia menghilangkan Tan Malaka di dalam opera tersebut—sama seperti penguasa bangsa ini yang meniadakan Tan Malaka dalam buku sejarah resmi. GM tak menjawab, pun seperti diamnya penguasa. Tugas kitalah untuk mencari jawabannya—dengan berbagai cara. Bagiku, Tan Malaka adalah simbol dari absensivitas itu sendiri. Kediriannya menjadi petanda semangat jaman, penanda bagi takutnya para penguasa. Ia tiada maka ia ada. Ia ada dalam ketiadaannya. Ia tiada dalam keadaannya. Ia adalah narasi. Ia hadir dalam diskursus. Ia dimunculkan dan dihilangkan sekaligus. Ia dirayakan justru ketika ia selesai. Idealismenya malah dijadikan pijakan kapitalistis. Ia ditunggu. Ia dicaci. Ia dibunuh. Ia dikubur. Ia digali. Ia dicintai. Ia dibenci. Gagasan-gagasan besarnya dilupakan. Tan Malaka menjadi kompleksitas itu sendiri. Ambigu. Realitas dan fiksi campur aduk. Ketika sejarah cenderung menghilangkan potensi seseorang yang dianggap lawan penguasa maka kemudian seni yang memunculkannya kembali. Ini yang aku percaya, Tan Malaka adalah wajah kita sendiri—baik sebagai individu atau sebuah bangsa. Entah dengan Anda.
(c) Devy K. Alamsyah (Note diskusi Facebook)
Sebelumnya, di penghujung 2009 terbit sebuah buku berjudul “Tan Malaka dan Dua Lakon Lain” yang ditulis oleh GM dan itulah pertemuan pertamaku dengan naskah Tan Malaka. Butuh waktu satu tahun untuk menunggu pementasannya. Cukup lama persiapannya ternyata. Tak apa, karena yang menarik bagiku saat itu adalah diskusi mengenai Tan Malaka selama tiga hari sebelum Opera Tan Malaka dimulai. Filmku “Selopanggung”, film dokumenter tentang penggalian makam Tan Malaka di Kediri juga diputar. Harry Poeze, yang juga memberi diskusi, malah ingin membandingkan hasil komponis Tony Prabowo dengan Peter Schat yang membuat satu komposisi berjudul “An Indic Requiem”(1995). Dalam sebuah wawancara, Schat mengakui bahwa tenor, orkestra dan koir ini tercipta sebagai bentuk kreasi seninya yang terinspirasi oleh kejahatan kolonialisme Belanda terhadap Indonesia dan oleh perjuangan Tan Malaka dalam melawan kolonialisasi tersebut. Menarik. Aku pun hadir kemudian sebagai satu penonton yang sudah membaca lakon bernama Opera Tan Malaka. Aku pun datang tidak dengan kosong, karena aku mengetahui sedikit banyak tentang Tan Malaka, setidaknya itu yang kupikir. Tapi ternyata aku keluar dengan ekspresi yang sama dengan mereka yang tak membaca naskah lakon itu. Ada apa ini? Lalu tak lama kemudian, di awal Januari 2011, rekaman pagelaran tersebut yang sedianya akan diputar di beberapa stasiun televisi lokal justru dilarang penayangannya di Malang dan Kediri. Pelarangan ini konon datang dari pihak militer yang masih alergi dengan hal-hal yang berbau komunisme. Entah benar entah tidak. Ada apa ini? Rakyat yang tak menonton dokumentasi pergelearan pun ikut-ikutan bingung. Tapi satu hal yang pasti, hal ini tak menyurutkan GM untuk melanjutkan karnaval Opera Tan Malaka.
Opera-esai tiga babak ini kembali ditayangkan 23-24 April lalu di Taman Ismail Marzuki (TIM) Jakarta. Konsep opera tahun sebelumnya direnovasi mengingat setting yang tak lagi sama dengan Salihara yang tak cukup besar. Opera Tan Malaka menjadi opera yang dinamis. Komposisi brilian Tony Prabowo yang di-conduct oleh Josefino Chino Toledo bersaing dengan koreografi tari apik dari Fitri Setyaningsih. Aria dari Paduan Suara Paragita Universitas Indonesia berpadu dengan nyanyian Nyak Ina “Ubiet” Rasukie dan Binu Doddy Sukaman. Narasi Landung Simatupang dan Adi Kurdi yang berbalasan secara paralel. Banyak cara bagi GM untuk mempromosikan lakonnya kali ini. Entah karena promosi entah karena diundang, tak tanggung-tanggung, Wakil Presiden Boediono beserta istri hadir di pementasan kali ini. “Berat,” demikian katanya ketika ditanya oleh rekan-rekan wartawan mengenai opera tersebut. Nah lho?. Menarik pula akhirnya kemudian ketika Haluan memuat dua opini dari Indra J. Piliang (3/5/11) dan Raudal Tanjung Banua (9/5/11)—dua orang yang tak (mau) menonton Opera Tan Malaka. Mereka memberikan opini dari ketidakhadirannya. Satu opini dibuka bahwa Opera Tan Malaka adalah lakon ahistoris—Tan Malaka bukan opera. Salah arah. Satu opini kemudian bersetuju pula dengan opini sebelumnya. Melalui kacamata ekstrinsik berupa orientasi pengarang dengan lingkungan sosialita ibukota dilihat bahwa telah terjadi pencairan sosok Tan Malaka sehingga menjadi lebih instan. Opera ini dianggap tak hanya salah arah, tapi juga salah kotak.
Jika IJP bertanya musik apa yang disukai Tan, maka ini adalah pertanyaan menarik. Mengenai musik, Tan Malaka adalah seorang pemain biola ketika bersekolah dulu di Bukit Tinggi dan di Belanda. Bahkan beberapa minggu setelah proklamasi, bersama Ahmad Soebardjo dan Jo Paramitha, Tan Malaka memainkan salah satu komposisi Schubert. Jo pun menanyakan apakah Tan Malaka akan kembali bermain musik. Tidak, selama Belanda belum keluar dari pantai Indonesia, demikian jawabnya. Mengenai sastra, pada tahun 1927, Tan Malaka mengaku sedang menulis sebuah novel mengenai penindasan yang terjadi pada bangsanya. Ia tak berhasil menyelesaikan novel itu. Satu hal yang patut diingat, rekannya Semaoen dan Mas Marco juga menulis novel pada waktu itu—namun mereka berhasil menyelesaikan karya mereka. Tan Malaka akhirnya mengirim draft novel itu ke Adinegoro dan Adinegoro menyerahkan surat-surat itu ke Hasbullah Parindurie yang kemudian dikenal dengan nama pena Matu Mona. Pada tahun 1938 terbitlah roman spionase Patjar Merah Indonesia di Medan. Roman ini menjadikan sosok Tan Malaka sebagai legenda—terutama bagi dunia pergerakan saat itu.
Mengenai lakon, sekitar tahun 1944-an, di Banten, Tan Malaka mendirikan satu klub drama (dan sepakbola) bernama Pantai Selatan. Tan Malaka tak hanya menuliskan lakonnya tapi juga menyutradarainya. Ada dua lakon yang diketahui yang pernah ia sutradarai di Banten; Hikayat Hang Tuah dan Prajurit Pekerja. Kritiknya terhadapnya kejamnya fasisme Jepang dan kondisi menyedihkan kaum romusha ia sampaikan melalui bentuk lain. Gaya penulisan lakon Tan Malaka ini masih dipertahankan dan bisa dilihat pada karyanya yang tulis lima tahun kemudian yang terbit dalam bentuk brosur (Muslihat, Politik). Satu hal pula yang patut diingat, Roestam Effendy sebagai tokoh Murba juga adalah seorang pegiat teater. Mengenai olahraga pun, Tan Malaka menggagas pembuatan satu lapangan sepakbola di Banten bagi para pekerja romusha. Ia kerap menggelar pertandingan sepakbola waktu itu. Dalam hal ini, sepertinya Tan Malaka yang ditugasi dalam hal propaganda oleh Komintern melihat seni sebagai bagian penting dalam praktik dekolonisasi bangsanya. Berpuluh tahun kemudian, dalam pameran “Dari Penjara ke Pigura” Agus Suwage menjadikan satu potret Tan Malaka sebagai lukisannya. Ia memberikan anasir-anasir merah berapi di pepinggir rambut Tan Malaka. Beberapa kalimat Tan Malaka dibiarkan menyatu dengan lukisan sehingga mencipta suatu dialektika antara kata dan rupa. Erik Wirawan, mahasiswa IKJ, pun membuat satu film fiksi pendek berjudul “Tan Malaka” yang diputar di berbagai festival. Keinginan untuk membuat Tan Malaka dalam versi layar lebar pun mulai menjadi wacana di kalangan filmmaker kelas atas tanah air—entah siapa yang akan lebih dulu merealisasikannya. Bahkan kelak akan ada sebentuk randai akan dipentaskan tentang Tan Malaka. Tak hanya GM yang mengapresiasi Tan Malaka—apapun bentuknya. Maka di sinilah aku ingin mengambil posisi. Aku mengapresiasi Tan Malaka dengan caraku.
Jika Althusser menyarankan untuk sedikit serius dalam memperhatikan sesuatu yang tak-hadir (absence) dalam teks bukan karena ia tak muncul di dalam teks, melainkan ada satu proses penyembunyian di dalam teks tersebut. Ia sengaja disembunyikan—oleh seseorang, oleh sesuatu, untuk suatu tujuan. Jika Tan Malaka yang tak hadir di dalam Opera Tan Malaka dianggap sebagai alegori dari ketidakhadirannya dalam konstelasi sejarah bangsa ini, semacam ada dan tiada, hadir untuk hilang, hidup untuk mati, maka dapat dilihat bahwa GM pun punya maksud tertentu kenapa ia menghilangkan Tan Malaka di dalam opera tersebut—sama seperti penguasa bangsa ini yang meniadakan Tan Malaka dalam buku sejarah resmi. GM tak menjawab, pun seperti diamnya penguasa. Tugas kitalah untuk mencari jawabannya—dengan berbagai cara. Bagiku, Tan Malaka adalah simbol dari absensivitas itu sendiri. Kediriannya menjadi petanda semangat jaman, penanda bagi takutnya para penguasa. Ia tiada maka ia ada. Ia ada dalam ketiadaannya. Ia tiada dalam keadaannya. Ia adalah narasi. Ia hadir dalam diskursus. Ia dimunculkan dan dihilangkan sekaligus. Ia dirayakan justru ketika ia selesai. Idealismenya malah dijadikan pijakan kapitalistis. Ia ditunggu. Ia dicaci. Ia dibunuh. Ia dikubur. Ia digali. Ia dicintai. Ia dibenci. Gagasan-gagasan besarnya dilupakan. Tan Malaka menjadi kompleksitas itu sendiri. Ambigu. Realitas dan fiksi campur aduk. Ketika sejarah cenderung menghilangkan potensi seseorang yang dianggap lawan penguasa maka kemudian seni yang memunculkannya kembali. Ini yang aku percaya, Tan Malaka adalah wajah kita sendiri—baik sebagai individu atau sebuah bangsa. Entah dengan Anda.
(c) Devy K. Alamsyah (Note diskusi Facebook)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar