Elly Kasim, penyanyi Minang yang tetap cantik di usianya yang menua itu, dahulu pernah bersenandung, "bilo takuik dilamun ombak, jan barumah di tapi pantai" (bila takut dihantam ombak, jangan mendirikan rumah di tepi pantai). Mengingat senandung ini, teringatlah saya dengan Aburizal Bakrie yang super-kaya serta Boediono yang wakil presiden SBY itu. Ketika si-Ical, demikian biasanya beliau dipanggil dengan akrab, belum menjabat sebagai ketua umum salah satu Partai Politik terbesar di republik ini (Partai Golkar), geliat bisnis dan aktifitas sosial pemilik TV One dan ANTeve ini tidak pernah diungkit-ungkit. Bahkan ia disanjung-puja sebagai pengusaha pribumi yang mampu bersaing dengan pengusaha "mata sipit". Kalau-lah pemilik Bakrie Pasaman Plantation ini bukan ketua umum Partai Golkar (dipastikan) posisi Nirwan Bakrie di organisasi PSSI tidak akan diutak-atik, dan besar kemungkinan kesalahan Nurdin Halid akan "dimaafkan". Tapi mereka memiliki kesalahan fatal, Nirwan Bakrie adalah adik kandung Ical Bakrie, sementara Nurdin Halid "tangan kanan" Nirwan dan Ical Bakrie. Saya yakin, seandainya Aburizal Bakrie bukan ketua partai Golkar (lagi), Lapindo-Gate di Sidoarjo akan "senyap". Ical salah, mengapa ia mau berdiri di puncak gunung politik. Anginnya banyak.
Demikian juga dengan Boediono. Ekonom Universitas Gadjah Mada nan kalem ini "dicap" manusia "penjaga" Neo-Liberal di republik ini. Sebuah kata yang secara massif baru muncul satu dua tahun belakangan ini. Pria kelahiran Blitar, Jawa Timur, dicap sebagai Neo-Liberal (secara massif-terstruktur) setelah SBY (Demokrat) dipastikan memilih Boediono untuk mendampinginya sebagai Cawapres dari kalangan profesional. Keputusan ini diambil SBY karena apabila Budiona menjadi Cawapresnya kemungkinan adanya resistensi sangat kecil dan dengan memilih Boediono, SBY ingin lebih menguatkan ekonomi Indonesia, jika ia terpilih lagi. Banyak partai-partai dan masyarakat yang setuju dan pro Boediono sebagai Cawapres mendampingi SBY, tetapi banyak pula yang kontra dengannya. Tak masalah bagi mereka yang pro, tapi bagi mereka yang kontra terhadap Boediono, pasti banyak alasan mengapa mereka kontra terhadapnya. Salah satunya yaitu karena Boediono seorang yang berasal dari non-partai (profesional), tidak terlalu islami, dan yang paling kritis yaitu ia seorang Neo-Liberal (antek IMF), kebanyakan yang kontra dengan Boediono kerena ia seorang Neo-Liberal adalah para aktivis dan dari kalangan LSM. Alasan kenapa Boediono dikatakan sebagai Neo-Liberal karena ia lulusan Business Economics, Wharton School, University of Pennsylvania, AS dengan gelar Doctor of Philosophy. Apakah karena ia lulusan AS yang notabene negara liberal?
Tak sampai disitu Track Record di bidang ekonomi yang juga membawanya menjadi Internal Auditor Bank Of Amerika cabang Jakarta tahun 1969-1970, itu yang membuat masyarakat yang menolak Boediono sebagai Cawapres mendampingi SBY, mereka menilai karena ia pernah bekerja d Bank asing, langsung mencapnya sebagai antek asing yang pahamnya (pasti) Neo-Liberal. Ada pula yang mengatakan karena Boediono seorang Neo-Liberal, maka ia tidak islami (hehe ... mudahnya mereka memberi ukuran terhadap urusan private manusia dengan Tuhannya). Padahal dulu Boediono pernah menjadi Gubernur pengganti Bank Pembangunan Islam untuk Indonesia sekitar tahun 1993-1998. Sebagaimana halnya Aburizal Bakrie, mengapa untuk Boediono, (orang-orang) tidak mempermasalahkan ketika ia naik sebagai Gubernur BI, padahal BI merupakan regulator bagi perekonomian kita. Neoliberal merupakan paham pembaharuan dari liberalisme dan teman-temannya (kapitalisme dan globalisme) semuanya ini menganut sistem ekonomi yang kekuatannya ada pada modal individu (swasta). Mungkin karena masyarakat Indonesia yang masih berkutat pada kemiskinan itulah yang menyebabkan paham ini sulit diterapkan di Indonesia. Mereka takut dengan naiknya Boediono sebagai Cawapres nantinya bukan memajukan ekonomi kerakyatan tetapi hanya akan memperkuat daya cengkram kaum-kaum liberal. Ekonomi pasar bebas memang belum cocok diterapkan di Indonesia, masih perlu campur tangan pemerintah untuk mengontrol jalannya perekonomian yang berusaha agar tetap berpihak pada kaum proletar. Sebenarnya paham neoliberal masih banyak cabang dan rantingnya, dan untuk Indonesia mungkin ada cabang atau ranting dari liberalisme yang cocok diterapkan apabila kita ini pintar memadukan antara ekonomi kerakyatan dengan ekonomi “ala” barat itu. Balik lagi, apakah salah Boediono seorang Neoliberal? jawabannya tidak, karena itu sebuah pilihan dan merupakan hak. Tetapi sekali lagi masyarakat punya penilaian dan bukti sendiri-sendiri untuk memberikan suatu citra dan nilai terhadap itu semua. Ah, Elly Kasim, senandung mu sangat inspiratif, "bilo takuik dilamun ombak, jan barumah di tapi pantai".
Referensi : Nurul/Kompas/Media Indonesia/Wikipedia. Photo : www.msn.com
Demikian juga dengan Boediono. Ekonom Universitas Gadjah Mada nan kalem ini "dicap" manusia "penjaga" Neo-Liberal di republik ini. Sebuah kata yang secara massif baru muncul satu dua tahun belakangan ini. Pria kelahiran Blitar, Jawa Timur, dicap sebagai Neo-Liberal (secara massif-terstruktur) setelah SBY (Demokrat) dipastikan memilih Boediono untuk mendampinginya sebagai Cawapres dari kalangan profesional. Keputusan ini diambil SBY karena apabila Budiona menjadi Cawapresnya kemungkinan adanya resistensi sangat kecil dan dengan memilih Boediono, SBY ingin lebih menguatkan ekonomi Indonesia, jika ia terpilih lagi. Banyak partai-partai dan masyarakat yang setuju dan pro Boediono sebagai Cawapres mendampingi SBY, tetapi banyak pula yang kontra dengannya. Tak masalah bagi mereka yang pro, tapi bagi mereka yang kontra terhadap Boediono, pasti banyak alasan mengapa mereka kontra terhadapnya. Salah satunya yaitu karena Boediono seorang yang berasal dari non-partai (profesional), tidak terlalu islami, dan yang paling kritis yaitu ia seorang Neo-Liberal (antek IMF), kebanyakan yang kontra dengan Boediono kerena ia seorang Neo-Liberal adalah para aktivis dan dari kalangan LSM. Alasan kenapa Boediono dikatakan sebagai Neo-Liberal karena ia lulusan Business Economics, Wharton School, University of Pennsylvania, AS dengan gelar Doctor of Philosophy. Apakah karena ia lulusan AS yang notabene negara liberal?
Tak sampai disitu Track Record di bidang ekonomi yang juga membawanya menjadi Internal Auditor Bank Of Amerika cabang Jakarta tahun 1969-1970, itu yang membuat masyarakat yang menolak Boediono sebagai Cawapres mendampingi SBY, mereka menilai karena ia pernah bekerja d Bank asing, langsung mencapnya sebagai antek asing yang pahamnya (pasti) Neo-Liberal. Ada pula yang mengatakan karena Boediono seorang Neo-Liberal, maka ia tidak islami (hehe ... mudahnya mereka memberi ukuran terhadap urusan private manusia dengan Tuhannya). Padahal dulu Boediono pernah menjadi Gubernur pengganti Bank Pembangunan Islam untuk Indonesia sekitar tahun 1993-1998. Sebagaimana halnya Aburizal Bakrie, mengapa untuk Boediono, (orang-orang) tidak mempermasalahkan ketika ia naik sebagai Gubernur BI, padahal BI merupakan regulator bagi perekonomian kita. Neoliberal merupakan paham pembaharuan dari liberalisme dan teman-temannya (kapitalisme dan globalisme) semuanya ini menganut sistem ekonomi yang kekuatannya ada pada modal individu (swasta). Mungkin karena masyarakat Indonesia yang masih berkutat pada kemiskinan itulah yang menyebabkan paham ini sulit diterapkan di Indonesia. Mereka takut dengan naiknya Boediono sebagai Cawapres nantinya bukan memajukan ekonomi kerakyatan tetapi hanya akan memperkuat daya cengkram kaum-kaum liberal. Ekonomi pasar bebas memang belum cocok diterapkan di Indonesia, masih perlu campur tangan pemerintah untuk mengontrol jalannya perekonomian yang berusaha agar tetap berpihak pada kaum proletar. Sebenarnya paham neoliberal masih banyak cabang dan rantingnya, dan untuk Indonesia mungkin ada cabang atau ranting dari liberalisme yang cocok diterapkan apabila kita ini pintar memadukan antara ekonomi kerakyatan dengan ekonomi “ala” barat itu. Balik lagi, apakah salah Boediono seorang Neoliberal? jawabannya tidak, karena itu sebuah pilihan dan merupakan hak. Tetapi sekali lagi masyarakat punya penilaian dan bukti sendiri-sendiri untuk memberikan suatu citra dan nilai terhadap itu semua. Ah, Elly Kasim, senandung mu sangat inspiratif, "bilo takuik dilamun ombak, jan barumah di tapi pantai".
Referensi : Nurul/Kompas/Media Indonesia/Wikipedia. Photo : www.msn.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar