Secara tidak sadar sejarawan telah membangun sejarahnya sendiri. Sejarah untuk sejarawan. Kenapa? Karena sejarah ditulis bukan untuk masyarakat awam yang ingin mengetahui dan mengerti masalalunya, namun sejarah ditujukan untuk kepentingan penguasa, kepentingan politik dan para penikmat sejarah [akademik]. Sebagai contoh, dalam pembabakan historiografi Indonesia yang dipaparkan oleh Nina Lubis dalam bukunya Historiografi Indonesia dan Permasalahannya bahwa ada 4 babak dalam penulisan sejarah di Indonesia, (1) zaman Tradisional, sifat historiografi Indonesia bersifat istanacentris (2) zaman Kolonial, Historiografi Indonesia bersifat Eropacentris (3) pada zaman pergerakan-kemerdekaan, Historiografi Indonesia bersifat nasionalis (4) dan pada zaman modern yang dimulai pada tahun 1957, historiografi Indonesia berkembang akibat ditemukannya metode dan metodologi sejarah baru yang mengakibatkan focus historiografi Indonesia semakin meluas, namun tetap terpenjara oleh sejarah orang-orang besar dan politik. Dalam babakan zaman ini, tidak terlihat sejarah orang kebanyakan seperti yang disebutkan oleh Bambang Purwanto. Jarang sekali bahkan tidak ada ditemukannya buku-buku yang membahas tentang anak-anak, remaja, perempuan pada masa colonial maupun pada zaman kemerdekaan. Keberadaan mereka dianggab tidak laku dalam nilai ekonomi. Alhasil, kakulah persejarahan di Indonesia, secara tidak sadar sejarah menjadi ‘eksklusive’, sejarah hanya diminati oleh orang-orang tertentu saja.
Sejarah menjadi milik mereka yang menganggap penting sejarah tanpa menularkan pentingnya sejarah, sejarah menjadi milik mereka yang pernah menyentuh masa penjajahan dan perang kemerdekaan, sejarah menjadi milik penguasa untuk legitimasi kekuasaan, sejarah menjadi alat kepentingan politik dan sejarah tentunya milik sejarawan sebagai penulisnya. Ahirnya, seharusnya sejarah milik siapa? Bagaimana dengan mereka yang bukan jurusan sejarah?, bagaimana dengan mereka yang masih anak-anak, remaja? Patutkah kita mempersalahkan mereka dengan ‘ketidaktahuan’ mereka akan sejarahnya? Dengan tawaran metode dan metodologi yang beragam sekarang ini, saatnya sifat eksklusive sejarah menjadi inklusive. Cerita masa lalu harusnya milik semua orang baik secara isi, bahasa maupun tujuan. Artinya sejarah bukan milik penguasa, politik, akademisi, penikmat sejarah lagi, tetapi sejarah milik segenap lapisan masyarakat dengan tawaran bahasa yang mudah dimegerti dan tentu saja dengan topik-topik yang berkaitan dengan ‘orang kebanyakan’. Sehingga tidak menutup kemungkinan jika dimasa yang akan datang akan ada specialisasi sejarah anak-anak dan spesialisasi yang lain-lain.
Sejarah menjadi milik mereka yang menganggap penting sejarah tanpa menularkan pentingnya sejarah, sejarah menjadi milik mereka yang pernah menyentuh masa penjajahan dan perang kemerdekaan, sejarah menjadi milik penguasa untuk legitimasi kekuasaan, sejarah menjadi alat kepentingan politik dan sejarah tentunya milik sejarawan sebagai penulisnya. Ahirnya, seharusnya sejarah milik siapa? Bagaimana dengan mereka yang bukan jurusan sejarah?, bagaimana dengan mereka yang masih anak-anak, remaja? Patutkah kita mempersalahkan mereka dengan ‘ketidaktahuan’ mereka akan sejarahnya? Dengan tawaran metode dan metodologi yang beragam sekarang ini, saatnya sifat eksklusive sejarah menjadi inklusive. Cerita masa lalu harusnya milik semua orang baik secara isi, bahasa maupun tujuan. Artinya sejarah bukan milik penguasa, politik, akademisi, penikmat sejarah lagi, tetapi sejarah milik segenap lapisan masyarakat dengan tawaran bahasa yang mudah dimegerti dan tentu saja dengan topik-topik yang berkaitan dengan ‘orang kebanyakan’. Sehingga tidak menutup kemungkinan jika dimasa yang akan datang akan ada specialisasi sejarah anak-anak dan spesialisasi yang lain-lain.
(c) Iska Purba. Artikel ini menjadi basis dari diskusi di FB Muhammad ilham via Inbox (33 komentar di Inbox). Tidak dipublish.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar