Ketika para bapak dan ibu tidak mengetahui kemana perginya anak-anak mereka, tahu-tahu mereka telah hilang ditelan dan terlantar di perut masyarakat dengan segala isinya.
(Ariel Haryanto, 1999)
Apa boleh buat, tiap hari kita disuguhi acara infotainment di beberapa TV swasta. Atas nama kebebasan pers dan logika "permintaan pasar" (tentunya dengan ukuran : rating), kehidupan "pesohor" tanah air, dibuka dan dipreteli satu demi satu. Cek & Ricek, Investigasi Selebritis (Insert), Hot Dog .. eh Hot Spot, Silet yang (setajam) "silet" dan entah apa lagi nama acaranya, suguhan perselingkuhan, perceraian, perkawinan, bahkan perseteruan picisan antar "pesohor" tanah air ini, tersuguh dengan tampilan dan narasi menarik. Ada artis yang menikah satu bulan tapi sudah hamil empat purnama. Seorang penyanyi pria dengan lancar dan fasih mengucapkan Insya Allah dan Alhamdulillah sambil mencium pasangan duetnya di depan kamera. Bahkan ada pula yang "berteka-teki" dengan amat bahagia : "Ayah anak saya, siapa ... ayooo !" (Maneketehe). Ustadz panutan ummat yang menjadi "icon" keluarga sakinah, justru tak kuasa bertahan, ia bercerai. Artis-artis yang janda begitu bahagia memperkenalkan "simpanan" brondong-nya dengan sesekali mengucapkan, "ia teman paling dekat saya lho !" .... dan seterusnya. Lalu ketika, "aib" mereka diungkap kepada publik, ada yang merasa senang karena menaikkan "rating" mereka. Tapi tak sedikit yang merasa marah, "mengapa media selalu mengungkit-ungkit kehidupan pribadi kami, kami kan menjadi malu !". Lantas media infotainment akan membalasnya, "enak saja, kalian manfaatkan kami untuk memblowup kebaikan-kebaiakan demi ketenaran kalian, tapi kalian melarang kami memberitakan kepada dunia tentang kejelekan, tajam sabalah namonyo tu ... bro !". Ibarat politisi, ketika musim kampanye, mereka "menunggangi" media, tapi pas media memberitakan kebobrokan mereka, kemarahan para politisi ini keluar dengan garangnya. Tapi sudahlah. Semua itu menjadi hukum sejarah yang tak bisa ditolak. "Kalau takuik dilamun galombang, jan barumah di tapi pantai", kata penyanyi Minangkabau saisuak, Elly Kasim.
Saya bukan menafikan tidak adanya kebaikan-kebaikan dari acara-acara infotainment yang teramat digandrungi publik tanah air. Ada yang baik, inspiring dan edukatif. Tapi secara umum, kehidupan glamour dan selalu memblow-up perselingkuhan, perceraian, hamil diluar nikah dan sejenisnya justru menjadi "point penting" yang diingat oleh publik. Materi tontonan yang berkelanjutan seperti ini dari para pesohor publik, dalam bahasa Gunnar Myrdal, justru akan melahirkan referensi kolektif bagi masyarakat. Dan lihatlah, terjadi perenggangan defenisi keluarga dalam konstruksi sosial, terutama pada masyarakat perkotaan. Dahulunya, orang dewasa yang dianggap normal, menjalani empat hal dalam satu paket utuh : pernikahan, hubungan seksual (sehat), punya keturunan dan keluarga. Urutannya tetap. Tapi, sebagaimana halnya yang terjadi pada pesohor tanah air, kini orang bisa memilih salah satu atau dua tanpa yang lain. Misalnya, menikah dan berhubungan seksual, tanpa mau memiliki keturunan. Menikah dan punya anak, tanpa mau berhubungan seksual. Atau berhubungan seksual dan punya anak, tapi tidak menikah. Atau bisa juga, menikah setelah "menabung" sekian bulan terlebih dahulu "embrio" anaknya. Urutannya pun boleh dibolak balik.
Di sejumlah negara-negara maju, yang "aromanya sudah kental di tanah air", perceraian tidak lagi memalukan atau menyedihkan. Di negara-negara maju, perceraian - sebagaimana halnya perkawinan dan ulang tahun - telah menjadi industri atau bussines. Cerai dan embel-embelnya telah tumbuh berkembang menjadi industri bagi para lawyer, travel agent, percetakan kartu undangan, wartawan infotainment (khusus bagi untuk selebritis). Cerai yang dahulu dianggap sebagai sesuatu yang tabu dan menjadi parameter status sosial seseorang, kini telah menjadi biasa. Bagi kalangan selebritis, perceraian berkorelasi dengan tingkat popularitas. Bahkan, perceraian yang baru "isu" bisa menjadi berita populer dan selebritis yang diisukan itu menjadi kerap tampil di media massa. "Cerita ranjang" yang seharusnya tidak dipublikasikan, justru dengan bangga dan bahagia diceritakan dan menjadi santapan publik. Bagaimanapun jua, hal-hal diatas, menjadi perbandingan "menarik" bagi publik yang bukan pesohor negeri. Janganlah heran kemudian, bila dilingkungan kita, akan kita dapati fenomena sebagaimana diatas : membina keluarga (sementara), bangga "memproklamirkan" perceraian, dan merasa tak bersalah ketika hamil tanpa diketahui siapa "penabungnya". "Zaman edan !", kata pujangga Jawa, Ranggowarsito. Wallahu a'lam.
Foto : www.dunianak.com
Saya bukan menafikan tidak adanya kebaikan-kebaikan dari acara-acara infotainment yang teramat digandrungi publik tanah air. Ada yang baik, inspiring dan edukatif. Tapi secara umum, kehidupan glamour dan selalu memblow-up perselingkuhan, perceraian, hamil diluar nikah dan sejenisnya justru menjadi "point penting" yang diingat oleh publik. Materi tontonan yang berkelanjutan seperti ini dari para pesohor publik, dalam bahasa Gunnar Myrdal, justru akan melahirkan referensi kolektif bagi masyarakat. Dan lihatlah, terjadi perenggangan defenisi keluarga dalam konstruksi sosial, terutama pada masyarakat perkotaan. Dahulunya, orang dewasa yang dianggap normal, menjalani empat hal dalam satu paket utuh : pernikahan, hubungan seksual (sehat), punya keturunan dan keluarga. Urutannya tetap. Tapi, sebagaimana halnya yang terjadi pada pesohor tanah air, kini orang bisa memilih salah satu atau dua tanpa yang lain. Misalnya, menikah dan berhubungan seksual, tanpa mau memiliki keturunan. Menikah dan punya anak, tanpa mau berhubungan seksual. Atau berhubungan seksual dan punya anak, tapi tidak menikah. Atau bisa juga, menikah setelah "menabung" sekian bulan terlebih dahulu "embrio" anaknya. Urutannya pun boleh dibolak balik.
Di sejumlah negara-negara maju, yang "aromanya sudah kental di tanah air", perceraian tidak lagi memalukan atau menyedihkan. Di negara-negara maju, perceraian - sebagaimana halnya perkawinan dan ulang tahun - telah menjadi industri atau bussines. Cerai dan embel-embelnya telah tumbuh berkembang menjadi industri bagi para lawyer, travel agent, percetakan kartu undangan, wartawan infotainment (khusus bagi untuk selebritis). Cerai yang dahulu dianggap sebagai sesuatu yang tabu dan menjadi parameter status sosial seseorang, kini telah menjadi biasa. Bagi kalangan selebritis, perceraian berkorelasi dengan tingkat popularitas. Bahkan, perceraian yang baru "isu" bisa menjadi berita populer dan selebritis yang diisukan itu menjadi kerap tampil di media massa. "Cerita ranjang" yang seharusnya tidak dipublikasikan, justru dengan bangga dan bahagia diceritakan dan menjadi santapan publik. Bagaimanapun jua, hal-hal diatas, menjadi perbandingan "menarik" bagi publik yang bukan pesohor negeri. Janganlah heran kemudian, bila dilingkungan kita, akan kita dapati fenomena sebagaimana diatas : membina keluarga (sementara), bangga "memproklamirkan" perceraian, dan merasa tak bersalah ketika hamil tanpa diketahui siapa "penabungnya". "Zaman edan !", kata pujangga Jawa, Ranggowarsito. Wallahu a'lam.
Foto : www.dunianak.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar