Sejak bergulirnya reformasi yang dimulai tahun 1998, kata ”regionalisme” dan ”reformasi” mengalami peluberan makna serta membanjiri wacana sosial-politik Indonesia. Saking populernya, di sebuah warung tenda di Jakarta saya pernah menikmati sajian ”Nasi Goreng Reformasi”. Ini sangat kontras dengan zaman Orde Baru (1967-1998) di mana kata ”otonomi daerah”, ”desentralisasi”, dan ”reformasi” sangat langka terdengar dan tabu diucapkan. Mereka yang coba-coba menyosialisasikannya dalam wacana publik bisa mendapat bahaya. Kata-kata itu mungkin termasuk lema-lema yang ditulis dengan tinta merah dalam kamus politik Indonesia pada waktu itu. Eforia reformasi dan regionalisme itu tampaknya juga melanda dunia akademik kita. Banyak kajian mengenai efek regionalisasi politik Indonesia yang sudah dihasilkan, baik oleh peneliti dalam negeri maupun asing. Fokusnya sering mengenai signifikansi sosio-politik dan ekonomi desentralisasi politik Indonesia pasca-Orde Baru atau penyebab kegagalan reformasi Indonesia. Sayangnya, publikasi kontemporer yang membahas regionalisme dan desentralisasi di Indonesia dari perspektif historis agak jarang ditemukan. Ini dapat dipahami karena kekuasaan rezim Soekarno dan rezim Soeharto yang merentang selama 40 tahun lebih telah membuat masyarakat Indonesia, termasuk komunitas kampus, cuai pada wacana dan kata desentralisasi beserta seluruh cognate-nya. Karya Gusti Asnan ini mengisi kelangkaan studi historis mengenai regionalisme dan desentralisasi politik Indonesia. Lingkup buku ini adalah dinamika politik Sumatera Barat pada dasawarsa 1950-an. Menurut Gusti Asnan, selama ini belum ada kajian historis yang komprehensif menyangkut Sumatera Barat pada periode 1950-an, padahal dekade ini ”dapat dikatakan sebagai salah satu episode yang paling dinamis dalam perjalanan sejarah Sumatera Barat” (hal xx).
Kajian-kajian sebelumnya lebih sering memberikan penekanan pada peristiwa PRRI yang telah menimbulkan stigma berkepanjangan dalam diri masyarakat Minangkabau. Didahului gambaran umum mengenai geopolitik Sumatera Barat sebelum tahun 1950, buku ini menyorot dinamika sosio-politik Sumatera Tengah—yang kemudian merucut menjadi Sumatera Barat—sepanjang dekade 1950-an dan dampaknya pada tahun 1960-an. Secara umum pembahasan Gusti Asnan—dosen Jurusan Sejarah Universitas Andalas dan doktor lulusan Universität Bremen, Jerman—dapat dibagi menjadi tiga bagian. Bagian pertama membicarakan Sumatera Barat antara 1950-1956, yang membahas berbagai respons politis masyarakat Minangkabau menyusul terbentuknya Republik Indonesia Serikat tahun 1949. Bagian kedua membicarakan dua aspek penting sebagai hubungan sebab-akibat yang terjadi sepanjang periode 1956-1958 di Sumatera Tengah, yaitu munculnya ide desentralisasi dan demokrasi akibat praktik politik rezim Soekarno yang semakin sentralistis yang akhirnya bermuara pada meletusnya ”Pemberontakan” PRRI tahun 1958. Bagian ketiga membicarakan perubahan sosial-politik Sumatera Tengah pasca-”Pemberontakan” PRRI: pembentukan Provinsi Sumatera Barat akibat pemekaran Provinsi Sumatera Tengah sebagai cerminan konsolidasi politik pemerintah pusat serta menguatnya peran militer di segala lini dalam administrasi pemerintahan di daerah ini. Provinsi ”pembangkang” Nama Sumatera Barat adalah terjemahan dari istilah yang diberikan VOC, Sumatra’s Westkust.
Selama kekuasaan kolonialis Belanda, wilayah administratif Sumatra’s Westkust berubah-ubah, sebagai respons terhadap dinamika sosial politik daerah ini. Mayoritas etnis Minangkabau yang mendiami wilayah ini sangat sulit diatur dan sering memberontak kepada Belanda, seperti Perang Paderi (1803-1837), Pemberontakan Pajak (1908), dan Pemberontakan Komunis Silungkang (1927). Ini mungkin terkait dengan karakter budaya etnis Minangkabau yang menganut Islam dan sistem matrilineal serta mempraktikkan sistem geopolitik tradisional yang demokratis yang disebut nagari. Setelah Indonesia merdeka tahun 1945, Sumatera Barat berstatus sebagai salah satu dari 10 karesidenan dalam Provinsi Sumatera (hal 17). Tahun 1948 Provinsi Sumatera dimekarkan menjadi tiga provinsi: Sumatera Utara, Sumatera Tengah, dan Sumatera Selatan. Karesidenan Sumatera Barat, bersama Riau dan Jambi, menjadi bagian dari Provinsi Sumatera Tengah dengan gubernur pertamanya M Nasrun. Pengakuan Belanda terhadap kedaulatan Republik Indonesia tahun 1949 disambut di Sumatera Barat dengan berbagai respons, yang merefleksikan kegelisahan primordial etnik Minangkabau. Partai-partai bermunculan, mengikut perkembangan di pusat (Jakarta). Dewan Banteng, misalnya, merepresentasikan kaum militer. Sementara di kalangan sipil muncul pula kelompok-kelompok politik, seperti kaum penghulu, kaum ulama, kaum perempuan, dan pemuda dan mahasiswa. Pada awalnya, partai-partai dan organisasi sipil yang beragam itu mendukung konsep Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang dipimpin dwitunggal Soekarno-Hatta. Namun, memasuki paruh kedua 1950-an muncul sentimen kedaerahan di Sumatera Barat, yang langsung atau tidak dipengaruhi oleh perkembangan politik di tingkat pusat. Yang paling fenomenal adalah Partai Adat Rakyat yang mengusung semangat provinsialis Minangkabau. Belakangan partai yang didukung Kaum Penghulu ini menjadi semakin daerahsentris dan menyokong haluan politik Dewan Banteng yang mulai ”melawan” Soekarno. Klimaks ketidakpatuhan kepada pemerintah pusat adalah meletusnya ”Pemberontakan” PRRI yang dipimpin Ahmad Husein. Soekarno mengirim pasukan ke Sumatera Tengah—yang di kalangan orang Minang terkenal dengan nama ”tantara pusek” (tentara pusat)—untuk memadamkan aksi separatis itu. Gerakan PRRI berhasil dipadamkan secara represif. Banyak korban berjatuhan di kalangan orang Minang dan ”tantara pusek” sendiri.
Inilah lembaran hitam kedua dalam sejarah Minangkabau setelah Perang Paderi (1803-1837). Gusti Asnan berpendapat bahwa Gerakan PRRI memang sebuah aksi makar yang direncanakan dengan matang, yang tujuannya memang ingin membentuk negara dalam negara (hal 192). Ini berbeda dengan pendapat kebanyakan sejarawan Sumatera Barat dan masyarakat Minang pada umumnya, bahwa PRRI adalah gerakan koreksi terhadap pemerintah pusat yang tidak demokratis dan menerapkan kebijakan pembangunan yang terpusat di Jawa (bandingkan misalnya dengan Mestika Zed & Hasril Chaniago. Ahmad Husein: Perlawanan Seorang Pejuang. Jakarta: Sinar Harapan, 2001). Walau bagaimanapun, anomali sejarah Sumatera Barat itu terasa belum mendapat penjelasan tuntas dalam buku ini. Apa sebabnya intelektual Minang yang sejak zaman prakemerdekaan setia mendukung konsep NKRI tiba-tiba berbalik arah pada tahun 1950-an? Apakah misalnya konflik Dwitunggal yang mengakibatkan mundurnya Bung Hatta sebagai wakil presiden tahun 1956 ikut meningkatkan kritisisme warga Sumatera Barat terhadap pemerintah pusat? Hal ini perlu diperhitungkan mengingat Mohammad Hatta adalah ikon Minangkabau di pentas nasional pada masa itu adalah tokoh intelektual yang sangat dihormati masyarakat Minangkabau. Usai ”Pemberontakan” PRRI, Sumatera Barat menjadi salah satu daerah yang mendapat perhatian ekstra pemerintah pusat. Struktur pemerintahan Sumatera Barat—setelah dimekarkan dari Provinsi Sumatera Tengah—sangat kuat dipengaruhi militer. Namun figur-figur politisi sipil tetap berasal dari kalangan orang Minang sendiri, mengingat reputasi etnis ini dalam bidang intelektual dan pendidikan ”modern” warisan Belanda (Elizabeth E Graves, 1971).
Belakangan, Orde Baru berhasil ”menjinakkan” Sumatera Barat. Selama masa Orde Baru, Partai Golkar sering menang telak di provinsi yang diberi label ”pembangkang” oleh pemerintahan Presiden Soekarno ini (hal 244). Historiografi Indonesia Buku ini adalah salah satu karya sejarah yang cukup lengkap yang mencoba melihat sejarah Indonesia sebagaimana dilihat orang daerah. Dengan memberikan gambaran menyeluruh mengenai dinamika sosial-politik Sumatera Barat sepanjang dasawarsa 1950-an, buku ini berhasil mengungkapkan berbagai pemikiran warga Sumatera Barat yang melihat diri dan posisi mereka dalam NKRI yang masih berusia muda. Pendekatan yang dipakai penulis berangkat dari sudut pandang daerah, bukan dari sudut pandang pusat (Jakarta) sebagaimana kecenderungan umum penulisan historiografi Indonesia sampai pertengahan 1980-an. Dengan pendekatan itu, buku ini tidak saja berhasil menggambarkan dinamika hubungan pusat-daerah dalam pengertian Jawa (Jakarta)-Sumatera Tengah (Bukittinggi), tetapi juga dinamika hubungan pusat-daerah dalam konteks regional, yaitu antara Sumatera Barat yang identik dengan etnis Minang dan daerah-daerah lain dalam wilayah Provinsi Sumatera Tengah (Riau, Jambi, dan Kerinci). Pemekaran Provinsi Sumatera Tengah, langsung atau tidak, didorong oleh ketidakpuasan daerah-daerah terhadap kebijakan politik yang disetel dari Padang dan Bukittinggi, selain juga sebagai politik divide et impera pemerintah pusat untuk membonsai dominasi politik etnis Minangkabau yang suka ”memberontak” itu di tingkat regional (hal 219-240). Tanpa berpraduga bahwa penulisnya antidemokrasi, buku ini menyimpulkan bahwa gerakan otonomi daerah yang dilakukan Sumatera Barat pada dekade 1950-an secara umum lebih banyak negatifnya. Gerakan itu dijawab oleh pemerintah pusat dengan menghadirkan lebih banyak unsur militer dalam pemerintahan di daerah ini. Satu-satunya makna positif dari gerakan tersebut adalah penyegeraan realisasi pembentukan Provinsi Riau dan Jambi, serta pembentukan Kabupaten Kerinci (hal 241). Judul buku ini seolah memperingatkan bahwa desentralisasi politik Indonesia yang kini telah dikeluarkan dari kotak pandora menyusul reformasi politik negeri ini harus dijalankan dengan ekstra hati-hati, yang menuntut kedewasaan pemerintah daerah maupun pusat. Jika tidak, anarkisme sosial-politiklah yang akan terjadi, seperti kisah tragis gerakan desentralisasi di Sumatera Barat tahun 1950-an.
Kajian-kajian sebelumnya lebih sering memberikan penekanan pada peristiwa PRRI yang telah menimbulkan stigma berkepanjangan dalam diri masyarakat Minangkabau. Didahului gambaran umum mengenai geopolitik Sumatera Barat sebelum tahun 1950, buku ini menyorot dinamika sosio-politik Sumatera Tengah—yang kemudian merucut menjadi Sumatera Barat—sepanjang dekade 1950-an dan dampaknya pada tahun 1960-an. Secara umum pembahasan Gusti Asnan—dosen Jurusan Sejarah Universitas Andalas dan doktor lulusan Universität Bremen, Jerman—dapat dibagi menjadi tiga bagian. Bagian pertama membicarakan Sumatera Barat antara 1950-1956, yang membahas berbagai respons politis masyarakat Minangkabau menyusul terbentuknya Republik Indonesia Serikat tahun 1949. Bagian kedua membicarakan dua aspek penting sebagai hubungan sebab-akibat yang terjadi sepanjang periode 1956-1958 di Sumatera Tengah, yaitu munculnya ide desentralisasi dan demokrasi akibat praktik politik rezim Soekarno yang semakin sentralistis yang akhirnya bermuara pada meletusnya ”Pemberontakan” PRRI tahun 1958. Bagian ketiga membicarakan perubahan sosial-politik Sumatera Tengah pasca-”Pemberontakan” PRRI: pembentukan Provinsi Sumatera Barat akibat pemekaran Provinsi Sumatera Tengah sebagai cerminan konsolidasi politik pemerintah pusat serta menguatnya peran militer di segala lini dalam administrasi pemerintahan di daerah ini. Provinsi ”pembangkang” Nama Sumatera Barat adalah terjemahan dari istilah yang diberikan VOC, Sumatra’s Westkust.
Selama kekuasaan kolonialis Belanda, wilayah administratif Sumatra’s Westkust berubah-ubah, sebagai respons terhadap dinamika sosial politik daerah ini. Mayoritas etnis Minangkabau yang mendiami wilayah ini sangat sulit diatur dan sering memberontak kepada Belanda, seperti Perang Paderi (1803-1837), Pemberontakan Pajak (1908), dan Pemberontakan Komunis Silungkang (1927). Ini mungkin terkait dengan karakter budaya etnis Minangkabau yang menganut Islam dan sistem matrilineal serta mempraktikkan sistem geopolitik tradisional yang demokratis yang disebut nagari. Setelah Indonesia merdeka tahun 1945, Sumatera Barat berstatus sebagai salah satu dari 10 karesidenan dalam Provinsi Sumatera (hal 17). Tahun 1948 Provinsi Sumatera dimekarkan menjadi tiga provinsi: Sumatera Utara, Sumatera Tengah, dan Sumatera Selatan. Karesidenan Sumatera Barat, bersama Riau dan Jambi, menjadi bagian dari Provinsi Sumatera Tengah dengan gubernur pertamanya M Nasrun. Pengakuan Belanda terhadap kedaulatan Republik Indonesia tahun 1949 disambut di Sumatera Barat dengan berbagai respons, yang merefleksikan kegelisahan primordial etnik Minangkabau. Partai-partai bermunculan, mengikut perkembangan di pusat (Jakarta). Dewan Banteng, misalnya, merepresentasikan kaum militer. Sementara di kalangan sipil muncul pula kelompok-kelompok politik, seperti kaum penghulu, kaum ulama, kaum perempuan, dan pemuda dan mahasiswa. Pada awalnya, partai-partai dan organisasi sipil yang beragam itu mendukung konsep Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang dipimpin dwitunggal Soekarno-Hatta. Namun, memasuki paruh kedua 1950-an muncul sentimen kedaerahan di Sumatera Barat, yang langsung atau tidak dipengaruhi oleh perkembangan politik di tingkat pusat. Yang paling fenomenal adalah Partai Adat Rakyat yang mengusung semangat provinsialis Minangkabau. Belakangan partai yang didukung Kaum Penghulu ini menjadi semakin daerahsentris dan menyokong haluan politik Dewan Banteng yang mulai ”melawan” Soekarno. Klimaks ketidakpatuhan kepada pemerintah pusat adalah meletusnya ”Pemberontakan” PRRI yang dipimpin Ahmad Husein. Soekarno mengirim pasukan ke Sumatera Tengah—yang di kalangan orang Minang terkenal dengan nama ”tantara pusek” (tentara pusat)—untuk memadamkan aksi separatis itu. Gerakan PRRI berhasil dipadamkan secara represif. Banyak korban berjatuhan di kalangan orang Minang dan ”tantara pusek” sendiri.
Inilah lembaran hitam kedua dalam sejarah Minangkabau setelah Perang Paderi (1803-1837). Gusti Asnan berpendapat bahwa Gerakan PRRI memang sebuah aksi makar yang direncanakan dengan matang, yang tujuannya memang ingin membentuk negara dalam negara (hal 192). Ini berbeda dengan pendapat kebanyakan sejarawan Sumatera Barat dan masyarakat Minang pada umumnya, bahwa PRRI adalah gerakan koreksi terhadap pemerintah pusat yang tidak demokratis dan menerapkan kebijakan pembangunan yang terpusat di Jawa (bandingkan misalnya dengan Mestika Zed & Hasril Chaniago. Ahmad Husein: Perlawanan Seorang Pejuang. Jakarta: Sinar Harapan, 2001). Walau bagaimanapun, anomali sejarah Sumatera Barat itu terasa belum mendapat penjelasan tuntas dalam buku ini. Apa sebabnya intelektual Minang yang sejak zaman prakemerdekaan setia mendukung konsep NKRI tiba-tiba berbalik arah pada tahun 1950-an? Apakah misalnya konflik Dwitunggal yang mengakibatkan mundurnya Bung Hatta sebagai wakil presiden tahun 1956 ikut meningkatkan kritisisme warga Sumatera Barat terhadap pemerintah pusat? Hal ini perlu diperhitungkan mengingat Mohammad Hatta adalah ikon Minangkabau di pentas nasional pada masa itu adalah tokoh intelektual yang sangat dihormati masyarakat Minangkabau. Usai ”Pemberontakan” PRRI, Sumatera Barat menjadi salah satu daerah yang mendapat perhatian ekstra pemerintah pusat. Struktur pemerintahan Sumatera Barat—setelah dimekarkan dari Provinsi Sumatera Tengah—sangat kuat dipengaruhi militer. Namun figur-figur politisi sipil tetap berasal dari kalangan orang Minang sendiri, mengingat reputasi etnis ini dalam bidang intelektual dan pendidikan ”modern” warisan Belanda (Elizabeth E Graves, 1971).
Belakangan, Orde Baru berhasil ”menjinakkan” Sumatera Barat. Selama masa Orde Baru, Partai Golkar sering menang telak di provinsi yang diberi label ”pembangkang” oleh pemerintahan Presiden Soekarno ini (hal 244). Historiografi Indonesia Buku ini adalah salah satu karya sejarah yang cukup lengkap yang mencoba melihat sejarah Indonesia sebagaimana dilihat orang daerah. Dengan memberikan gambaran menyeluruh mengenai dinamika sosial-politik Sumatera Barat sepanjang dasawarsa 1950-an, buku ini berhasil mengungkapkan berbagai pemikiran warga Sumatera Barat yang melihat diri dan posisi mereka dalam NKRI yang masih berusia muda. Pendekatan yang dipakai penulis berangkat dari sudut pandang daerah, bukan dari sudut pandang pusat (Jakarta) sebagaimana kecenderungan umum penulisan historiografi Indonesia sampai pertengahan 1980-an. Dengan pendekatan itu, buku ini tidak saja berhasil menggambarkan dinamika hubungan pusat-daerah dalam pengertian Jawa (Jakarta)-Sumatera Tengah (Bukittinggi), tetapi juga dinamika hubungan pusat-daerah dalam konteks regional, yaitu antara Sumatera Barat yang identik dengan etnis Minang dan daerah-daerah lain dalam wilayah Provinsi Sumatera Tengah (Riau, Jambi, dan Kerinci). Pemekaran Provinsi Sumatera Tengah, langsung atau tidak, didorong oleh ketidakpuasan daerah-daerah terhadap kebijakan politik yang disetel dari Padang dan Bukittinggi, selain juga sebagai politik divide et impera pemerintah pusat untuk membonsai dominasi politik etnis Minangkabau yang suka ”memberontak” itu di tingkat regional (hal 219-240). Tanpa berpraduga bahwa penulisnya antidemokrasi, buku ini menyimpulkan bahwa gerakan otonomi daerah yang dilakukan Sumatera Barat pada dekade 1950-an secara umum lebih banyak negatifnya. Gerakan itu dijawab oleh pemerintah pusat dengan menghadirkan lebih banyak unsur militer dalam pemerintahan di daerah ini. Satu-satunya makna positif dari gerakan tersebut adalah penyegeraan realisasi pembentukan Provinsi Riau dan Jambi, serta pembentukan Kabupaten Kerinci (hal 241). Judul buku ini seolah memperingatkan bahwa desentralisasi politik Indonesia yang kini telah dikeluarkan dari kotak pandora menyusul reformasi politik negeri ini harus dijalankan dengan ekstra hati-hati, yang menuntut kedewasaan pemerintah daerah maupun pusat. Jika tidak, anarkisme sosial-politiklah yang akan terjadi, seperti kisah tragis gerakan desentralisasi di Sumatera Barat tahun 1950-an.
ISBN | : | 978-979-461-640-6 |
Dimensi | : | 16 x 24 |
Jenis Cover | : | soft cover |
Berat Buku | : | 400 |
Jenis Kertas | : | HVS |
Sumber : Kompas, Minggu, 2 Maret 2008. (c)Suryadi Dosen dan Peneliti pada Opleiding Talen en Culturen van Zuidoost-Azië en Oceanië, Universiteit Leiden, Belanda
Tidak ada komentar:
Posting Komentar