Dalam tahun 1970 saya juga masih berpendapat bahwa Dewan Jenderal itu benar ADA. Begitu juga pendapat PKI, misalnya dalam otokritik mereka. Tetapi lama kelamaan saya mulai sangsikan apakah dewan itu benar ada dan aktip dalam tahun 1965. Sudah tentu, kalu peristiwa 65 memang suatu provokasi, bagaimana mungkin apa yang dimanakan Dewan Jenderal itu menjadi dalangnya: terlalu aneh kalau orang mengorbankan diri sendiri dengan tujuan politik! Apalagi telah ada cukup tanda bahwa Jenderal Yani agak taat kepada Soekarno. Pikiran saya berubah sewaktu saya baca sekali lagi keterangan bekas Mayor Rudhito dalam proses Untung. Ia memberi suatu keterangan tentang suatu pita yang ia dengar, dan catatan tentang isinya yang ia terima pada tanggal 26 September 1965 dimuka gedung Front Nasional tentang Dewan Jenderal. Ia terima bukti itu dari empat orang, yaitu: Muchlis Bratanata, dan Nawawi Nasution, dua-dua dari N.U. dan Sumantri Singamenggala dan Agus Herman Simatoepang, dua-dua dari IPKI. Mereka itu mengajak Rudhito akan membantu pelaksanaan rencana Dewan Jenderal. Di tape itu dapat didengar pembicaraan dalam suatu pertemuan yang diadakan pada tanggal 21 September di gedung Akademi Hukum Militer di Jakarta. Rudhito ingat bahwa ia dengar suara dari Jenderal Mayor S. Parman, satu dari 6 jenderal yang lantas dibunuh pada tanggal 1 Oktober pagi . Parman menyebut, menurut pita dan catatan yang Rudhito dengar dan baca, suatu daftar orang yang harus diangkat sebagai menteri: di antara mereka juga sejumlah jenderal yang lantas diserang dan diculik pada 1 Oktober. Nasution disebut sebagai calon perdana menteri; Suprapto akan menjadi menteri dalam negeri, Yani diusulkan sebagai menteri HANKAM, Harjono menteri luar negeri, Sutojo menteri kehakiman dan Parman sendiri akan menjadi jaksa agung. Ada juga nama lain yang disebut, diantaranya Jenderal Sukendro. Rupanya tape itu tidak ditunjukkan sebagai bahan bukti pada sidang Obrus Untung; juga di sidang lain tidak muncul. Menurut Rudhito dan terdakwa Untung tape itu juga diserahkan kepada Jenderal Supardjo, yang pada tanggal 29 September baru tiba di Jakarta dari Kalimantan. Supardjo rupanya terus memberikan dokumen itu pada Presiden Soekarno; dan menurut Rudhito dukumen itu juga ada di tangan kejaksaan Agung dan KOTRAR. Kesimpulan saya: kemungkinan besar bawha tape (yang tidak pernah muncul!) dan teks itu yang diberikan pada Rudhito, suatu pelancungan, pemalsuan. Maksudnya dan akibatnya: ialah sehingga grup Untung, pimpinan PKI dan Presiden Soekarno DIYAKINKAN DAN PERCAYA, bahwa komplotan Dewan Jenderal yang telah seringkali disebut sebagai kabar angin, sebenarnya ADA dengan rencana untuk merebut kekuasaan dari Soekarno dan kabinetnya.
Dengan tipu muslihat ini, yang sebenarnya suatu provokasi, baik Soekarno maupun pimpinan PKI, termasuk Aidit, didorong supaya meneruskan usahanya agar aksi Dewan Jenderal itu pada tanggal 5 Oktober 1965 dapat dihalangi! Jadi sekarang timbul pertanyaan, golongan mana yang sebagai dalang merencanakan seluruh provokasi itu, dengan mengorbankan jiwa enam atau tujuh jenderal. Untuk saya, pada saat ini, sulit memberi jawaban. Saya sudah lanjut usia. Saya harap dalam ruangan ini barangkali orang Indonesia dapat meneruskan penyelidikan itu untuk mencari jawaban atas pertanyaan yang masih ada. Tentu gampang menyangka bahwa rencana itu tercipta dikalangan militer dan bahwa Kamaruzzaman- Sjam telah memainkan suatu peranan yang berarti dalam hal ini. Sangat mungkin juga, bahwa beberapa perwira agak tinggi dari angkatan udara, seperti BARANGKALI Obrus Heru Atmodjo, dan sudah tentu Mayor Sujono - yang sebagai saksi dan sebagai terdakwa seringkali memberi keterangan yang tidak masuk akal dan saling bertentangan - pastilah sangat aktip dalam merencanakan seluruh aksi. Sujonolah yang memperkenalkan Untung dan Latief dengan Sjam dan dua pembantuanya, Pono dan Bono. Juga ada kesaksian bahwa yang sebenarnya memberi perintah pada Gathut Sukrisno untuk membunuh jenderal-jenderal dan kapten Tendean yang masih hidup di Lubang Buaya, bukan Sjam melainkan Sujono. Begitu juga pendapat Dr. Holtzappel yang telah menulis suatu nalisa penting tentang peristiwa 1965 dalam "Journal of Contemporary Asia" pada tahun 1979.
Pembunuhan yang sengaja itu juga tentu merupakan bagian dari seluruh provokasi terhadap PKI. Menurut Holtzappel, sebagai DALANG dalam Angkatan Bersenjata barangkali harus dianggap Jenderal Sukendro, pernah kepala military intelligence, dan kolonel Supardjo, Sekretaris KOTRAR yang pernah menjadi pembantu dari Sukendro. Presiden Soekarno agaknya sangat benar dalam analisa pendeknya, waktu ia membela diri dimuka MPRS dengan keterangan tertulis 'Nawaksara' pada tanggal 10 Januari 1967 terhadap tuduhan-tuduhan. Kesimpulannya ialah: "1) keblingernya pimpinan PKI, 2) kelihaian subversi Nekolim, dan 3) memang adanya oknum-oknum yang tidak benar". Arti istilah Nekolim pada masa itu ialah: Neokolonialisme, kolonialisme dan imperialisme. Tentu maksudnya Soekarno bahwa ada dalang sebenarnya yang dari luar negeri. Bagaimana dengan Amerika Serikat, dan CIA? Sudah dari awal tahun 50an A.S. campur tangan dengan politik Indonesia. Telah mulai dengan Mutual Security Act dari tahun 1952, yang dahulu ditandatangani oleh menteri luar negeri Subardjo dari kabinet-Sukiman, dan yang lantas dibatalkan. Juga ada campurtangan AS sewaktu pemberontakan Dewan Banteng dan Permesta, dan sesudahnya waktu didirikan PRRI, dalam tahun 57-58. Peter Dale Scott, yang dulu menjadi diplomat dan sekarang guru besar di Universitas California, menulis beberapa karangan penting tentang campurtangan A.S. dalam tahun 60an: dahulu karangannya diumumkan dalam tahun 1975, dan lantas di "Pacific Affairs" tahun 1985: "The U.S. and the Overthrow of Soekarno". (Ada terjemahan dalam bahasa Bel anda yang diterbitkan oleh Indonesia Media).
Dalam tahun 1990 ini seorang ahli sejarah yang saya tidak kenal namanya Brands, menulis seolah-olah sejak permulaan tahun 65 U.S.A. sama sekali tidak campur tangan lagi dalam politik Indonesia; beliau dengar ini dari tokoh CIA - masa dapat dipercaya? Sekarang kita sudah tahu dengan pasti bahwa dari awal Oktober 65 baik kedutaan A.S. maupun CIA sangat campur tangan, misalnya dengan memberi daftar berisi nama 5000 tokoh PKI dan organisasi kiri lain pada KOSTRAD - supaya mereka ditangkap; diplomat dan staf CIA tidak perduli kalau korbannya juga akan dibunuh! Tetapi bagaimana SEBELUM 1 Oktober? Ada suatu keterangan dari ahli sejarah Amerika yang termasyur: Gabriel Kolko. Ia menulis dalam buku yang diumumkan dalam tahun 1988 (yang judulnya "Confronting the Third: U.S. Foreign Policy 1945-1980"), bahwa semua bahan dari ked utaan A.S. di Jakarta dan dari State Department (yaitu kementerian Luar Negeri) untuk tiga bulan SEBELUM 1 Oktober tahun 1965 sama sekali ditutup, dan tidak boleh diselidiki oleh siapapun juga. Dalam suatu keterangan yang ia tambah dari tanggal 13 Agustus 1990 ia mengatakan bahwa ia tidak kenal suatu masa manapun juga di kurun 1945 sampai 1968 yang ditutup dengan rahasia yang demikian untuk menyembunyikan informasi yang sungguh penting. Hal itu sangat aneh, dan menimbulkan persangkaan bahwa ada kejadian yang sangat rahasia yang harus ditutupi. Moga-moga penyelidikan yang sekarang akan dijalankan oleh Congress di Washington tentang daftar yang dibuat sesudah 1 Oktober 1965 oleh suatu tokoh dari kedutaan A.S. di Jakarta, tuan Martens, akan memberi kesempatan untuk anggota Congress supaya menuntut informasi tentang periode tiga bulan itu, dan supaya arsip itu akan 'de-classified' , jadi akan dibuka untuk diselidiki oleh ahli sejarah dan dunia keilmuan umumnya. Kolko juga memberitahu bahwa Jenderal Sukendro pada tanggal 5 November 1965 minta pertolongan yang tersembunyi dari A.S. untuk menerima pesenjataan kecil dan alat komunikasi yang akan dipakai oleh pemuda Islam (ANSOR) dan nasionalis bagi menghantem PKI. Kedutaan A.S. setuju akan mengirim barang-barang itu yang disembunyikan sebagai obat-obatan (Kolko, hal. 181), dan teks kawat-kawat dari Kedutaan A.S . ke Washington dari 5/11, 7/11, ... dan 11/11-65.
Tetapi kita harus insyaf bahwa selain dari CIA badan A.S. masih ada badan intelijens negara lain yang 25 tahun yang silam mungkin berkepentingan dalam menjatuhkan rezim Soekarno: misalnya Pemerintah Inggris, yang pada masa itu masih terlibat dalam pertentangan antara Indonesia dan negeri baru yang didirikan oleh Inggris: Malaysia. Dan lagi negara Jepang mungkin juga harus diperhatikan sebagai calon dalang kejadian itu. Heran bahwa pada tanggal 2 Oktober 1965 hanya ada SATU surat kabar diluar negeri yang tahu siapa Jenderal Soeharto dan dapat mengumumkan biografinya: Asahi Shimbun. Jepang lagi banyak mendapat manfaat dalam kerjasama dengan Orde Baru. Mengapa masih penting untuk menyelidiki sejarah peristiwa tahun 1965? Saya akan baca pendapat saya yang baru ini saya umumkan dalam pendahuluan saya untuk buku kecil yang berisi sajak dari Magusig O. Bungai. Judul kumpulan sajak itu ialah "Sansana Anak Naga dan Tahun-Tahun Pembunuhan". Dalam sajaknya Hutan pun bukan lagi di mana rahasia bisa berlindung, Magusig O. Bungai menulis tentang pembunuhan massal antas perintah Stalin: 50 tahun berlalu 50 tahun hutan Katyn menutup rahasia 15.000 prajurit polan dimasakre di tengah rimba 50 tahun kemudian waktu memaksa kekuasaan terkuat membuka suara menutur kebenaran. Menurut saya penting sekali bahwa Magusig mendorong anak-anak negerinya agar mencari kebenaran. Ahli sejarah Abdurahcman Suriomihardjo dalam "Editor" 2 Juni 1990 menulis, bahwa "pembukaan dokumen yang semula rahasia itu sangat membantu rekonstruksi sejarah". Akan tetapi duduknya perkara masakre di Indonesia 25 tahun yang lalu agak berlainan dari pembunuhan Katyn yang menimpa 15.000 orang perwira Polandia. Kelainannya ialah oleh karena masakre di Indonesia itu pada hakikatnya tidak ada rahasianya sama sekali. Pembunuhan massal di Indonesia atas tanggung jawab Jenderal Soeharto bukanlah suatu rahasia. Si penanggungjawab ini justru terus-menerus bangga akan perbuatannya. Terhadap masakre benar-besaran dalam tahun-tahun pembunuhan sesudah 1965, Soeharto tidak pernah memperlihatkan penyesalannya atas pelanggaran hak azasi manusia yang luar biasa itu. Sebaliknya, ia selalu memamerkan dengan bangga tindakannya yang durjana itu. Tentang ini telah terbukti sekali lagi baru-baru ini.
Dengan adanya pengakuan pers Amerika Serikat, bahwa staf kedubes Amerika Serikat di Jakarta menyerahkan daftar nama-nama kader PKI dan ormas yang dekat dengannya kepada Angkatan Darat Indonesia agar mereka itu ditangkap dan dibunuh, tidak seorangpun juru bicara pemerintah Orde Baru yang memungkiri telah terjadinya pembantaian massal, ataupun mengucapkan penyesalan mereka terhadap peristiwa yang terjadi 25 tahun yang lalu itu. Mereka ini cukup berpuas diri dengan penegasan pengakuan: bahwa militer Indonesia sama sekali tidak perlu menerima daftar tersebut dari pihak asing, oleh karena mereka sendiri cukup mengetahui siapa-siapa kader-kader PKI! Juga di dalam otobiografinya, Soeharto sama sekali tidak menunjukkan tanda, bahwa ia menyesali terhadap jatuhnya korban rakyat sebanyak setengah atau satu juta. Justru sebaliknyalah, terhadap prajurit-prajurit pembunuh pun ia tidak mencela perbuatan mereka. Misalnya dalam hal kolonel Jasir Hadibroto, dalam "Kompas Minggu", 5 Oktober 1980 ia menceritakan pengakuannya kepada Soeharto, yaitu bahwa ia telah membunuh ketua PKI DN Aidit tanpa keputusan pengadilan. Dengan jalan demikian Aidit tidak bisa membela diri di depan sidang pengadilan, dan karenanya pula penguasa dengan leluasa dapat menyiar- kan 'pengakuan' Aidit yang palsu. Kolonel ini justru dihadiahi Soeharto dengan kedudukan sebagai gubernur Lampung. Dalam hal ini tentu saja Soeharto sendirilah yang bertanggung- jawab. Karena pembunuhan itu hanya terjadi sesudah Jasir Hadibroto menerima perintah dari Soeharto yang, menurut Jasir, mengatakan: "Bereskan itu semua!".
Masih cukup banyak hal yang harus dibukakan di depan mata seluruh rakyat Indonesia. Sejarah peristiwa 1965 dan lanjutannya, seperti yang tertera didalam tulisan resmi para pendukung Orde Baru, seluruhnya harus ditinjau kembali dan dikoreksi. Misalnya tentang pembunuhan terhadap para anggota PKI atau BTI (Barisan Tani Indonesia) yang selalu dibenarkan dengan dalih, seakan- akan mereka dibunuh karena "terlibat dalam Gestapu/PKI 1965". Barangkali benar, ada beberapa kader PKI yang telah ikut memainkan peranan dalam peristiwa 1 Oktober 1965 itu. Tetapi bisakah ratusan ribu kaum tani di Jawa dituduh terlibat dalam peristiwa penyerangan terhadap 7 orang jenderal pada pagi-pagi buta 1 Oktober 1965 saat itu di Jakarta? Dari berita "The Washington Post" 21 Mei 1990 menjadi jelas, bahwa sejak semula Soeharto telah berketetapan hati untuk menghancur-leburkan PKI. Dalih umum yang dikemukakan oleh Mahmilub atau pengadilan semacamnya adalah bahwa semua anggota atau simpatisan PKI ' terlibat dalam peristiwa G30S-PKI '. Dalih demikian pulalah yang dipakai pemerintah untuk membenarkan pembuangan tanpa pemeriksaan pengadilan lebih dari 10.000 orang yang dipandang sebagai simpatisan gerakan kiri ke Pulau Buru, yang pada umumnya selama 10 tahun lebih. Mereka itu dianggap sebagai 'terlibat secara tidak langsung dalam Gestapu/PKI' . Lalu, siapakah yang terlibat langsung? Yang betul-betul terlibat LANGSUNG adalah seorang yang paling memperoleh untung dari kejadian itu, tak lain tak bukan ialah Jenderal Soeharto sendiri. Semua bahan-bahan itu tentu sangat penting untuk meninjau kembali sejarah peristiwa 1 Oktober 1965. Ada beberapa hal lagi yang perlu diterangkan.
Di tengah-tengah terjadinya pembantaian massal terhadap orang-orang yang dianggap PKI di Jawa Tengah dan Jawa Timur, sejumlah kader PKI yang berhasil terluput dari malapetaka berhasil mendapatkan tempat berlindung di daerah pegunungan di Kabupaten Blitar Selatan. Di sini mereka hidup bersatu dengan kaum tani miskin setempat, sehingga untuk sementara mereka berhasil membangun lubang perlindungan untuk menyelamatkan jiwa mereka. Akan tetapi pada 1968 tentara dengan operasi Trisula menghancurkan tempat perlindungan ini, dan menangkap serta membunuh sebagian besar mereka itu. Dalam tahun 70an 'tokoh-tokoh Blitar Selatan' ini dihadapkan ke muka pengadilan. Di pengadilan umumnya mereka tidak dituduh ' terlibat persitiwa G30S/PKI '. Jelas, bahwa pengadilan tidak bisa membuktikan 'keterlibatan' demikian. Maka merekapun lalu dituduh sebagai 'subversi', yang sejak 1963 juga bisa mengakibatkan jatuhnya hukuman mati bagi siterdakwa. Ini berarti, bahwa pada hakikatnya mereka dituduh subversi untuk kebanyakan dijatuhi hukuman mati, semata-mata karena mereka berusaha menyelamatkan diri dari pembunuhan massal yang sama sekali haram itu. Rencana pembunuhan massal ini ternyata akhirnya terbukti jelas oleh siaran pengakuan-pengakuan di dalam pers Amerika Serikat tersebut di atas.
Tokoh-tokoh seperti Munir, Gatot Lestaryo, Rustomo dan Djoko Untung tewas dieksekusi dalam tahun 1985. Tapi pada saat inipun masih ada empat tokoh lagi, yang semuanya berasal dari peristiwa Blitar Selatan itu, yang diancam oleh pelaksanaan eksekusi. Penting sekali bagi dunia luar agar berusaha dengan segala daya untuk menyelamatkan jiwa Ruslan Wijayasastra, Asep Suryaman, Iskandar Subekti dan Sukatno - dan lebih dari itu untuk menyelamatkan jalannya kebenaran sejarah. Untuk ini penelitian kembali sejarah tahun-tahun 1965 dan seterusnya merupakan sarana dan wahana pertolongan satu-satunya. Ada sebuah kewajiban lagi yang penting, yaitu meneliti kembali duduk perkara Gerwani di dalam peristiwa 1 Oktober 1965. Dari semula penguasa menuduh gadis-gadis Gerwani di Lubang Buaya berbuat paling keji dan tak tahu malu. Melalui media pers bertahun-tahun disiarkan, seolah-olah mereka dihadirkan di sana oleh PKI untuk melakukan upacara 'harum bunga' sambil menari-nari lenso untuk mengantar jiwa jenderal- jenderal itu, melakukan perbuatan-perbuatan tak senonoh, dibagi-bagikan pisau silet, dan lantas ikut ambil bagian dalam perbuat jahat serta menyiksa jenderal- jenderal itu sebelum mereka tewas. Sebagai akibat dari cerita-cerita demikian terbentuklah bayangan, seakan-akan Gerwani adalah perkumpulan perempuan lacur, jahat dan bengis yang harus dihinakan dan bahkan dibinasakan. Cerita-cerita demikian sebenarnya tidak terbukti. Tidak pernah ada suatu proses, di mana dakwaan demikian bisa dibenarkan. Seorang saksi dalam sidang yang, menurut Sudisman 'terbuka tapi tertutup' dan 'serba umum tapi tidak umum', bernama Jamilah dan yang mereka gunakan sebagai dasar bangunan dongengan itu, adalah soerang perempuan bayaran belaka. Beberapa tahun yang lalu Profesor Benedict Anderson, di dalam majalan ilmiah "Indonesia", memuat keterangan resmi dari lima dokter yang memeriksa mayat-mayat para jenderal itu sesudah diangkat dari Lubang Buaya. Jauh sebelum itu, keterangan resmi para dokter ini pun telah diumumkan oleh Soekarno di depan sidang kabinet, sengaja untuk membantah dongengan yang beredar saat itu, yang antara lain mengatakan bahwa mata para jenderal itu telah dicungkil dan bahwa kemaluan mereka dipotong-potong sebelum ditembak mati. Keterangan dokter-dokter resmi itu ringkasnya mengatakan, bahwa tiddak ada tanda penyiksaan pada korban, dan tidak sebiji matapun dicungkil sebelum mereka dibunuh. Penting sekali membersihkan Gerwani dari tuduhan yang tidak adil itu.
Terutama sangat perlu, oleh karena sebelum 1965 Gerwani sangat aktif dalam membela dan memperjuangkan hak-hak perempuan. Seperti diketahui, sejak Orde Baru berkuasa semua perjuangan untuk kepentingan perempuan melalui pergerakan yang bebas dan mandiri, dianggap oleh penguasa sebagai kegiatan yang harus diharamkan dengan mengingat kepada 'perbuatan Gerwani' dalam akhir taun 1965 itu. Ada satu tuduhan lagi yang harus dibantah. Dari sejak awal telah disiarkan cerita, bahwa seolah-olah di rumah-rumah orang PKI terdapat (kecuali cungkil mata dan kursi listrik) daftar nama-nama orang yang memusuhi komunisme, dan yang harus dibinasakan sesudah PKI beroleh kemenangan dengan gerakannya di akhir 1965 itu. Tidak selembar daftar seperti itu bisa dipertunjukkan di pengadilan manapun. Sekaranglah, sesudah adanya pengakuan pers Amerika Serikat itu, kita ketahui bahwa sesungguhnya daftar orang-orang yuang harus dibinasakan itu memang ada. Tetapi, inilah bedanya, daftar yang ada justru bukan daftar bikinan komunis, melainkan daftar yang diberikan oleh Kedubes Amerika Serikat kepada Soeharto yang memuat ribuan nama komunis Indonesia yang harus dibunuh! Dongeng ini seperti dongeng tentang maling yang teriak "Tangkap Maling!" Penting sekali kesadaran dibangun kembali: Bahwa sebelum 1965 PKI merupakan kekuatan yang patut dibanggakan, oleh karena banyak hal yang telah berhasil dicapai oleh partai dan gerakannya itu. Di dunia Barat sekarang timbul kecenderungan anggapan, bahwa komunisme, dan bahkan sosialisme, telah gagal sebagai ideologi.
Kesimpulan seperti ini salah sama sekali! Yang gagal adalah SEJUMLAH PEMERINTAH yang dikuasai oleh berbagai partai komunis. Yang terbukti gagal adalah, bahwa sistem diktatorial tanpa cukup peranan dari rakyat bawah tidak bisa bertahan dalam jangka panjang. Jadi, untuk Indonesia, kegagalan seperti itu hanya bisa berlaku bagi rezim Soeharto. Rezim Soeharto pada hakikatnya juga merupakan suatu sistem diktatorial, dengan berbedak demokrasi yang semu belaka. Tetapi sebaliknya, baik ideologi maupun praktek, komunis di Indonesia sama sekali tidak mengalami kegagalan. Ia hanya ditimpa oleh malapetaka dan penindasan secara perkosa, yang ditolong oleh kekuatan anti komunis luar negeri. Tentu saja ada sementara tokoh komunis yang, dalam menghadapi keadaan baru dan sangat sulit pada tahun-tahun 60an, melakukan kesalahan penting. Dalam hal ini tentu saja sangat perlu adanya otokritik yang mendalam. Tetapi cukup alasan bagi setiap penganut ideologi kiri untuk mencamkan kata-kata penulis kumpulan puisi itu, yaitu agar 'mulai menghargai harkat diri' dan memulihkan perasaan bangga diri.
Tulisan ini merupakan Makalah Prof. WF. Wertheim yang diterbitkan sebagai suplemen pada majalah ARAH, No. 1 tahun 1990. Makalah Prof. Wertheim ini pernah disampaikan dalam sebuah ceramah pada tanggal 23 September 1990 di Amsterdam.
Sumber Foto-Foto : www.historia-online.com
Dengan tipu muslihat ini, yang sebenarnya suatu provokasi, baik Soekarno maupun pimpinan PKI, termasuk Aidit, didorong supaya meneruskan usahanya agar aksi Dewan Jenderal itu pada tanggal 5 Oktober 1965 dapat dihalangi! Jadi sekarang timbul pertanyaan, golongan mana yang sebagai dalang merencanakan seluruh provokasi itu, dengan mengorbankan jiwa enam atau tujuh jenderal. Untuk saya, pada saat ini, sulit memberi jawaban. Saya sudah lanjut usia. Saya harap dalam ruangan ini barangkali orang Indonesia dapat meneruskan penyelidikan itu untuk mencari jawaban atas pertanyaan yang masih ada. Tentu gampang menyangka bahwa rencana itu tercipta dikalangan militer dan bahwa Kamaruzzaman- Sjam telah memainkan suatu peranan yang berarti dalam hal ini. Sangat mungkin juga, bahwa beberapa perwira agak tinggi dari angkatan udara, seperti BARANGKALI Obrus Heru Atmodjo, dan sudah tentu Mayor Sujono - yang sebagai saksi dan sebagai terdakwa seringkali memberi keterangan yang tidak masuk akal dan saling bertentangan - pastilah sangat aktip dalam merencanakan seluruh aksi. Sujonolah yang memperkenalkan Untung dan Latief dengan Sjam dan dua pembantuanya, Pono dan Bono. Juga ada kesaksian bahwa yang sebenarnya memberi perintah pada Gathut Sukrisno untuk membunuh jenderal-jenderal dan kapten Tendean yang masih hidup di Lubang Buaya, bukan Sjam melainkan Sujono. Begitu juga pendapat Dr. Holtzappel yang telah menulis suatu nalisa penting tentang peristiwa 1965 dalam "Journal of Contemporary Asia" pada tahun 1979.
Pembunuhan yang sengaja itu juga tentu merupakan bagian dari seluruh provokasi terhadap PKI. Menurut Holtzappel, sebagai DALANG dalam Angkatan Bersenjata barangkali harus dianggap Jenderal Sukendro, pernah kepala military intelligence, dan kolonel Supardjo, Sekretaris KOTRAR yang pernah menjadi pembantu dari Sukendro. Presiden Soekarno agaknya sangat benar dalam analisa pendeknya, waktu ia membela diri dimuka MPRS dengan keterangan tertulis 'Nawaksara' pada tanggal 10 Januari 1967 terhadap tuduhan-tuduhan. Kesimpulannya ialah: "1) keblingernya pimpinan PKI, 2) kelihaian subversi Nekolim, dan 3) memang adanya oknum-oknum yang tidak benar". Arti istilah Nekolim pada masa itu ialah: Neokolonialisme, kolonialisme dan imperialisme. Tentu maksudnya Soekarno bahwa ada dalang sebenarnya yang dari luar negeri. Bagaimana dengan Amerika Serikat, dan CIA? Sudah dari awal tahun 50an A.S. campur tangan dengan politik Indonesia. Telah mulai dengan Mutual Security Act dari tahun 1952, yang dahulu ditandatangani oleh menteri luar negeri Subardjo dari kabinet-Sukiman, dan yang lantas dibatalkan. Juga ada campurtangan AS sewaktu pemberontakan Dewan Banteng dan Permesta, dan sesudahnya waktu didirikan PRRI, dalam tahun 57-58. Peter Dale Scott, yang dulu menjadi diplomat dan sekarang guru besar di Universitas California, menulis beberapa karangan penting tentang campurtangan A.S. dalam tahun 60an: dahulu karangannya diumumkan dalam tahun 1975, dan lantas di "Pacific Affairs" tahun 1985: "The U.S. and the Overthrow of Soekarno". (Ada terjemahan dalam bahasa Bel anda yang diterbitkan oleh Indonesia Media).
Dalam tahun 1990 ini seorang ahli sejarah yang saya tidak kenal namanya Brands, menulis seolah-olah sejak permulaan tahun 65 U.S.A. sama sekali tidak campur tangan lagi dalam politik Indonesia; beliau dengar ini dari tokoh CIA - masa dapat dipercaya? Sekarang kita sudah tahu dengan pasti bahwa dari awal Oktober 65 baik kedutaan A.S. maupun CIA sangat campur tangan, misalnya dengan memberi daftar berisi nama 5000 tokoh PKI dan organisasi kiri lain pada KOSTRAD - supaya mereka ditangkap; diplomat dan staf CIA tidak perduli kalau korbannya juga akan dibunuh! Tetapi bagaimana SEBELUM 1 Oktober? Ada suatu keterangan dari ahli sejarah Amerika yang termasyur: Gabriel Kolko. Ia menulis dalam buku yang diumumkan dalam tahun 1988 (yang judulnya "Confronting the Third: U.S. Foreign Policy 1945-1980"), bahwa semua bahan dari ked utaan A.S. di Jakarta dan dari State Department (yaitu kementerian Luar Negeri) untuk tiga bulan SEBELUM 1 Oktober tahun 1965 sama sekali ditutup, dan tidak boleh diselidiki oleh siapapun juga. Dalam suatu keterangan yang ia tambah dari tanggal 13 Agustus 1990 ia mengatakan bahwa ia tidak kenal suatu masa manapun juga di kurun 1945 sampai 1968 yang ditutup dengan rahasia yang demikian untuk menyembunyikan informasi yang sungguh penting. Hal itu sangat aneh, dan menimbulkan persangkaan bahwa ada kejadian yang sangat rahasia yang harus ditutupi. Moga-moga penyelidikan yang sekarang akan dijalankan oleh Congress di Washington tentang daftar yang dibuat sesudah 1 Oktober 1965 oleh suatu tokoh dari kedutaan A.S. di Jakarta, tuan Martens, akan memberi kesempatan untuk anggota Congress supaya menuntut informasi tentang periode tiga bulan itu, dan supaya arsip itu akan 'de-classified' , jadi akan dibuka untuk diselidiki oleh ahli sejarah dan dunia keilmuan umumnya. Kolko juga memberitahu bahwa Jenderal Sukendro pada tanggal 5 November 1965 minta pertolongan yang tersembunyi dari A.S. untuk menerima pesenjataan kecil dan alat komunikasi yang akan dipakai oleh pemuda Islam (ANSOR) dan nasionalis bagi menghantem PKI. Kedutaan A.S. setuju akan mengirim barang-barang itu yang disembunyikan sebagai obat-obatan (Kolko, hal. 181), dan teks kawat-kawat dari Kedutaan A.S . ke Washington dari 5/11, 7/11, ... dan 11/11-65.
Tetapi kita harus insyaf bahwa selain dari CIA badan A.S. masih ada badan intelijens negara lain yang 25 tahun yang silam mungkin berkepentingan dalam menjatuhkan rezim Soekarno: misalnya Pemerintah Inggris, yang pada masa itu masih terlibat dalam pertentangan antara Indonesia dan negeri baru yang didirikan oleh Inggris: Malaysia. Dan lagi negara Jepang mungkin juga harus diperhatikan sebagai calon dalang kejadian itu. Heran bahwa pada tanggal 2 Oktober 1965 hanya ada SATU surat kabar diluar negeri yang tahu siapa Jenderal Soeharto dan dapat mengumumkan biografinya: Asahi Shimbun. Jepang lagi banyak mendapat manfaat dalam kerjasama dengan Orde Baru. Mengapa masih penting untuk menyelidiki sejarah peristiwa tahun 1965? Saya akan baca pendapat saya yang baru ini saya umumkan dalam pendahuluan saya untuk buku kecil yang berisi sajak dari Magusig O. Bungai. Judul kumpulan sajak itu ialah "Sansana Anak Naga dan Tahun-Tahun Pembunuhan". Dalam sajaknya Hutan pun bukan lagi di mana rahasia bisa berlindung, Magusig O. Bungai menulis tentang pembunuhan massal antas perintah Stalin: 50 tahun berlalu 50 tahun hutan Katyn menutup rahasia 15.000 prajurit polan dimasakre di tengah rimba 50 tahun kemudian waktu memaksa kekuasaan terkuat membuka suara menutur kebenaran. Menurut saya penting sekali bahwa Magusig mendorong anak-anak negerinya agar mencari kebenaran. Ahli sejarah Abdurahcman Suriomihardjo dalam "Editor" 2 Juni 1990 menulis, bahwa "pembukaan dokumen yang semula rahasia itu sangat membantu rekonstruksi sejarah". Akan tetapi duduknya perkara masakre di Indonesia 25 tahun yang lalu agak berlainan dari pembunuhan Katyn yang menimpa 15.000 orang perwira Polandia. Kelainannya ialah oleh karena masakre di Indonesia itu pada hakikatnya tidak ada rahasianya sama sekali. Pembunuhan massal di Indonesia atas tanggung jawab Jenderal Soeharto bukanlah suatu rahasia. Si penanggungjawab ini justru terus-menerus bangga akan perbuatannya. Terhadap masakre benar-besaran dalam tahun-tahun pembunuhan sesudah 1965, Soeharto tidak pernah memperlihatkan penyesalannya atas pelanggaran hak azasi manusia yang luar biasa itu. Sebaliknya, ia selalu memamerkan dengan bangga tindakannya yang durjana itu. Tentang ini telah terbukti sekali lagi baru-baru ini.
Dengan adanya pengakuan pers Amerika Serikat, bahwa staf kedubes Amerika Serikat di Jakarta menyerahkan daftar nama-nama kader PKI dan ormas yang dekat dengannya kepada Angkatan Darat Indonesia agar mereka itu ditangkap dan dibunuh, tidak seorangpun juru bicara pemerintah Orde Baru yang memungkiri telah terjadinya pembantaian massal, ataupun mengucapkan penyesalan mereka terhadap peristiwa yang terjadi 25 tahun yang lalu itu. Mereka ini cukup berpuas diri dengan penegasan pengakuan: bahwa militer Indonesia sama sekali tidak perlu menerima daftar tersebut dari pihak asing, oleh karena mereka sendiri cukup mengetahui siapa-siapa kader-kader PKI! Juga di dalam otobiografinya, Soeharto sama sekali tidak menunjukkan tanda, bahwa ia menyesali terhadap jatuhnya korban rakyat sebanyak setengah atau satu juta. Justru sebaliknyalah, terhadap prajurit-prajurit pembunuh pun ia tidak mencela perbuatan mereka. Misalnya dalam hal kolonel Jasir Hadibroto, dalam "Kompas Minggu", 5 Oktober 1980 ia menceritakan pengakuannya kepada Soeharto, yaitu bahwa ia telah membunuh ketua PKI DN Aidit tanpa keputusan pengadilan. Dengan jalan demikian Aidit tidak bisa membela diri di depan sidang pengadilan, dan karenanya pula penguasa dengan leluasa dapat menyiar- kan 'pengakuan' Aidit yang palsu. Kolonel ini justru dihadiahi Soeharto dengan kedudukan sebagai gubernur Lampung. Dalam hal ini tentu saja Soeharto sendirilah yang bertanggung- jawab. Karena pembunuhan itu hanya terjadi sesudah Jasir Hadibroto menerima perintah dari Soeharto yang, menurut Jasir, mengatakan: "Bereskan itu semua!".
Masih cukup banyak hal yang harus dibukakan di depan mata seluruh rakyat Indonesia. Sejarah peristiwa 1965 dan lanjutannya, seperti yang tertera didalam tulisan resmi para pendukung Orde Baru, seluruhnya harus ditinjau kembali dan dikoreksi. Misalnya tentang pembunuhan terhadap para anggota PKI atau BTI (Barisan Tani Indonesia) yang selalu dibenarkan dengan dalih, seakan- akan mereka dibunuh karena "terlibat dalam Gestapu/PKI 1965". Barangkali benar, ada beberapa kader PKI yang telah ikut memainkan peranan dalam peristiwa 1 Oktober 1965 itu. Tetapi bisakah ratusan ribu kaum tani di Jawa dituduh terlibat dalam peristiwa penyerangan terhadap 7 orang jenderal pada pagi-pagi buta 1 Oktober 1965 saat itu di Jakarta? Dari berita "The Washington Post" 21 Mei 1990 menjadi jelas, bahwa sejak semula Soeharto telah berketetapan hati untuk menghancur-leburkan PKI. Dalih umum yang dikemukakan oleh Mahmilub atau pengadilan semacamnya adalah bahwa semua anggota atau simpatisan PKI ' terlibat dalam peristiwa G30S-PKI '. Dalih demikian pulalah yang dipakai pemerintah untuk membenarkan pembuangan tanpa pemeriksaan pengadilan lebih dari 10.000 orang yang dipandang sebagai simpatisan gerakan kiri ke Pulau Buru, yang pada umumnya selama 10 tahun lebih. Mereka itu dianggap sebagai 'terlibat secara tidak langsung dalam Gestapu/PKI' . Lalu, siapakah yang terlibat langsung? Yang betul-betul terlibat LANGSUNG adalah seorang yang paling memperoleh untung dari kejadian itu, tak lain tak bukan ialah Jenderal Soeharto sendiri. Semua bahan-bahan itu tentu sangat penting untuk meninjau kembali sejarah peristiwa 1 Oktober 1965. Ada beberapa hal lagi yang perlu diterangkan.
Di tengah-tengah terjadinya pembantaian massal terhadap orang-orang yang dianggap PKI di Jawa Tengah dan Jawa Timur, sejumlah kader PKI yang berhasil terluput dari malapetaka berhasil mendapatkan tempat berlindung di daerah pegunungan di Kabupaten Blitar Selatan. Di sini mereka hidup bersatu dengan kaum tani miskin setempat, sehingga untuk sementara mereka berhasil membangun lubang perlindungan untuk menyelamatkan jiwa mereka. Akan tetapi pada 1968 tentara dengan operasi Trisula menghancurkan tempat perlindungan ini, dan menangkap serta membunuh sebagian besar mereka itu. Dalam tahun 70an 'tokoh-tokoh Blitar Selatan' ini dihadapkan ke muka pengadilan. Di pengadilan umumnya mereka tidak dituduh ' terlibat persitiwa G30S/PKI '. Jelas, bahwa pengadilan tidak bisa membuktikan 'keterlibatan' demikian. Maka merekapun lalu dituduh sebagai 'subversi', yang sejak 1963 juga bisa mengakibatkan jatuhnya hukuman mati bagi siterdakwa. Ini berarti, bahwa pada hakikatnya mereka dituduh subversi untuk kebanyakan dijatuhi hukuman mati, semata-mata karena mereka berusaha menyelamatkan diri dari pembunuhan massal yang sama sekali haram itu. Rencana pembunuhan massal ini ternyata akhirnya terbukti jelas oleh siaran pengakuan-pengakuan di dalam pers Amerika Serikat tersebut di atas.
Tokoh-tokoh seperti Munir, Gatot Lestaryo, Rustomo dan Djoko Untung tewas dieksekusi dalam tahun 1985. Tapi pada saat inipun masih ada empat tokoh lagi, yang semuanya berasal dari peristiwa Blitar Selatan itu, yang diancam oleh pelaksanaan eksekusi. Penting sekali bagi dunia luar agar berusaha dengan segala daya untuk menyelamatkan jiwa Ruslan Wijayasastra, Asep Suryaman, Iskandar Subekti dan Sukatno - dan lebih dari itu untuk menyelamatkan jalannya kebenaran sejarah. Untuk ini penelitian kembali sejarah tahun-tahun 1965 dan seterusnya merupakan sarana dan wahana pertolongan satu-satunya. Ada sebuah kewajiban lagi yang penting, yaitu meneliti kembali duduk perkara Gerwani di dalam peristiwa 1 Oktober 1965. Dari semula penguasa menuduh gadis-gadis Gerwani di Lubang Buaya berbuat paling keji dan tak tahu malu. Melalui media pers bertahun-tahun disiarkan, seolah-olah mereka dihadirkan di sana oleh PKI untuk melakukan upacara 'harum bunga' sambil menari-nari lenso untuk mengantar jiwa jenderal- jenderal itu, melakukan perbuatan-perbuatan tak senonoh, dibagi-bagikan pisau silet, dan lantas ikut ambil bagian dalam perbuat jahat serta menyiksa jenderal- jenderal itu sebelum mereka tewas. Sebagai akibat dari cerita-cerita demikian terbentuklah bayangan, seakan-akan Gerwani adalah perkumpulan perempuan lacur, jahat dan bengis yang harus dihinakan dan bahkan dibinasakan. Cerita-cerita demikian sebenarnya tidak terbukti. Tidak pernah ada suatu proses, di mana dakwaan demikian bisa dibenarkan. Seorang saksi dalam sidang yang, menurut Sudisman 'terbuka tapi tertutup' dan 'serba umum tapi tidak umum', bernama Jamilah dan yang mereka gunakan sebagai dasar bangunan dongengan itu, adalah soerang perempuan bayaran belaka. Beberapa tahun yang lalu Profesor Benedict Anderson, di dalam majalan ilmiah "Indonesia", memuat keterangan resmi dari lima dokter yang memeriksa mayat-mayat para jenderal itu sesudah diangkat dari Lubang Buaya. Jauh sebelum itu, keterangan resmi para dokter ini pun telah diumumkan oleh Soekarno di depan sidang kabinet, sengaja untuk membantah dongengan yang beredar saat itu, yang antara lain mengatakan bahwa mata para jenderal itu telah dicungkil dan bahwa kemaluan mereka dipotong-potong sebelum ditembak mati. Keterangan dokter-dokter resmi itu ringkasnya mengatakan, bahwa tiddak ada tanda penyiksaan pada korban, dan tidak sebiji matapun dicungkil sebelum mereka dibunuh. Penting sekali membersihkan Gerwani dari tuduhan yang tidak adil itu.
Terutama sangat perlu, oleh karena sebelum 1965 Gerwani sangat aktif dalam membela dan memperjuangkan hak-hak perempuan. Seperti diketahui, sejak Orde Baru berkuasa semua perjuangan untuk kepentingan perempuan melalui pergerakan yang bebas dan mandiri, dianggap oleh penguasa sebagai kegiatan yang harus diharamkan dengan mengingat kepada 'perbuatan Gerwani' dalam akhir taun 1965 itu. Ada satu tuduhan lagi yang harus dibantah. Dari sejak awal telah disiarkan cerita, bahwa seolah-olah di rumah-rumah orang PKI terdapat (kecuali cungkil mata dan kursi listrik) daftar nama-nama orang yang memusuhi komunisme, dan yang harus dibinasakan sesudah PKI beroleh kemenangan dengan gerakannya di akhir 1965 itu. Tidak selembar daftar seperti itu bisa dipertunjukkan di pengadilan manapun. Sekaranglah, sesudah adanya pengakuan pers Amerika Serikat itu, kita ketahui bahwa sesungguhnya daftar orang-orang yuang harus dibinasakan itu memang ada. Tetapi, inilah bedanya, daftar yang ada justru bukan daftar bikinan komunis, melainkan daftar yang diberikan oleh Kedubes Amerika Serikat kepada Soeharto yang memuat ribuan nama komunis Indonesia yang harus dibunuh! Dongeng ini seperti dongeng tentang maling yang teriak "Tangkap Maling!" Penting sekali kesadaran dibangun kembali: Bahwa sebelum 1965 PKI merupakan kekuatan yang patut dibanggakan, oleh karena banyak hal yang telah berhasil dicapai oleh partai dan gerakannya itu. Di dunia Barat sekarang timbul kecenderungan anggapan, bahwa komunisme, dan bahkan sosialisme, telah gagal sebagai ideologi.
Kesimpulan seperti ini salah sama sekali! Yang gagal adalah SEJUMLAH PEMERINTAH yang dikuasai oleh berbagai partai komunis. Yang terbukti gagal adalah, bahwa sistem diktatorial tanpa cukup peranan dari rakyat bawah tidak bisa bertahan dalam jangka panjang. Jadi, untuk Indonesia, kegagalan seperti itu hanya bisa berlaku bagi rezim Soeharto. Rezim Soeharto pada hakikatnya juga merupakan suatu sistem diktatorial, dengan berbedak demokrasi yang semu belaka. Tetapi sebaliknya, baik ideologi maupun praktek, komunis di Indonesia sama sekali tidak mengalami kegagalan. Ia hanya ditimpa oleh malapetaka dan penindasan secara perkosa, yang ditolong oleh kekuatan anti komunis luar negeri. Tentu saja ada sementara tokoh komunis yang, dalam menghadapi keadaan baru dan sangat sulit pada tahun-tahun 60an, melakukan kesalahan penting. Dalam hal ini tentu saja sangat perlu adanya otokritik yang mendalam. Tetapi cukup alasan bagi setiap penganut ideologi kiri untuk mencamkan kata-kata penulis kumpulan puisi itu, yaitu agar 'mulai menghargai harkat diri' dan memulihkan perasaan bangga diri.
Tulisan ini merupakan Makalah Prof. WF. Wertheim yang diterbitkan sebagai suplemen pada majalah ARAH, No. 1 tahun 1990. Makalah Prof. Wertheim ini pernah disampaikan dalam sebuah ceramah pada tanggal 23 September 1990 di Amsterdam.
Sumber Foto-Foto : www.historia-online.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar