Kamis, 13 Desember 2012

Seminar Nasional Fak. Adab dan Ilmu Budaya IAIN Padang "Eksistensi Historis Tuanku Imam Bonjol dan Purifikasi Islam di Minangkabau": Rasionalisasi Kegiatan

Oleh : Muhammad Ilham 

1.    RASIONALISASI KEGIATAN 

FIB-Adab Site
Sepanjang lebih kurang 67 tahun kemerdekaan Indonesia, nama Tuanku Imam Bonjol (selanjutnya : TIB) hadir di ruang publik bangsa ini—sebagai nama jalan di banyak kota, nama stadion, nama universitas, bahkan di lembaran 5000-an rupiah keluaran Bank Indonesia 6 November 2001.   TIB (1772-1864), yang diangkat sebagai pahlawan nasional berdasarkan Surat Keputusan Presiden Republik Indonesia No.087/TK/Tahun 1973, tanggal 6 November 1973, adalah salah seorang pemimpin utama Perang Paderi di Sumatra Barat (1803-1837) yang gigih melawan kolonialis Belanda. Namun, baru-baru ini muncul petisi yang menggugat gelar kepahlawanan TIB. Menurut petisi itu sosok TIB tak layak jadi Pahlawan Nasional Indonesia. Beliau dituduh melanggar hak azasi manusia (HAM) karena pasukan Paderi menginvasi Tanah Batak (1816-1833) yang menewaskan “jutaan” orang di daerah itu (lihat http://www.petitiononline.com /bonjol/petition.html). 

Kekejaman Kaum Paderi disorot lagi dengan diterbitkannya kembali buku M.O. Parlindungan, Pongkinangolngolan Sinamabela Gelar Tuanku Rao: Teror Agama Islam Mazhab Hambali di Tanah Batak, 1816-1833 (2006) (edisi pertama terbit 1964, yang telah dikritisi oleh Hamka, 1974), menyusul kemudian karya Basyral Hamidy Harahap, Greget Tuanku Rao (2007). Kedua penulisnya, yang kebetulan berasal dari Tanah Batak, menceritakan penderitaan nenek moyang mereka dan orang Batak pada umumnya selama serangan tentara Paderi antara 1816-1833 di daerah Mandailing, Bakkara, Angkola, Sipirok, Padang Lawas, dan sekitarnya (Tempo edisi 34/36/15-21 Oktober 2007). Tempo menurunkan laporan khusus mengenai kontroversi kebrutalan Kaum Paderi yang terjadi dalam perang di dataran tinggi Minangkabau (1803-1837). Laporan itu dipicu oleh dipublikasikannya kembali buku Mangaraja Onggang Parlindungan, Pongkinangolngolan Sinamabela gelar Tuanku Rao: Teror Agama Islam Mazhab Hambali di Tanah Batak, 1816-1833 (Yogyakarta: LKiS, 2006) (pertama kali diterbitkan oleh Penerbit Tandjung Pengharapan, Djakarta, [1964]) dan satu buku lain karangan Basyral Hamidy Harahap, Greget Tuanku Rao (Komunitas Bambu, 2007). Ketiganya terkenal sebagai penerbit kaum pengusung liberalisme agama.   

Dalam buku itu, dan merujuk laporan Tempo di atas, diceritakan kembali kekejaman dan kebrutalan yang telah dilakukan Kaum Paderi waktu mereka melakukan invasi ke Tanah Batak.  Dikatakan pula bahwa Kaum Paderi mengembangkan gerakan Wahabi di Sumatera setelah tiga pendirinya, Haji Miskin, Haji Sumaniak, dan Haji Piobang terpengaruh oleh gerakan itu sewaktu mereka berada di Tanah Arab dan kembali ke Minangkabau tahun 1803. Jeffrey Hadler dalam “An History of Violence and Secular State in Indonesia: Tuanku Imam Bondjol and Uses of History” (Journal of Asian Studies 67.3, 2008, cf. Suryadi Sunuri, 2011) menunjukkan, kepahlawanan TIB telah dibentuk sejak awal kemerdekaan hingga zaman Orde Baru, dan hal itu setidaknya terkait tiga kepentingan Pertama, menciptakan mitos tokoh hero yang gigih melawan Belanda sebagai bagian wacana historis pemersatu bangsa. Kedua, mengeliminasi wacana radikalisme Islam dalam upaya menciptakan negara-bangsa yang toleran terhadap keragaman agama dan budaya. Ketiga, “merangkul” kembali etnis Minang ke haribaan Indonesia yang telah mendapat stigma negatif dalam pandangan pusat akibat peristiwa PRRI (Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia).  

Kita tak yakin, sudah adakah biji zarah keindonesiaan di zaman perjuangan TIB dan tokoh lokal lain yang hidup sezaman dengannya, yang kini dikenal sebagai pahlawan nasional. Kita juga tahu bahwa pada zaman itu perbudakan adalah bagian dari sistem sosial dan beberapa kerajaan tradisional Nusantara melakukan ekspansi teritorial dengan menyerang beberapa kerajaan tetangganya. Para pemimpin lokal berperang melawan Belanda karena didorong semangat kedaerahan, bahkan mungkin dilatarbelakangi keinginan untuk mempertahankan hegemoni sebagai penguasa yang mendapat saingan akibat kedatangan bangsa Barat. Namun, mereka akhirnya menjadi pahlawan nasional karena bangsa memerlukan mitos pemersatu. Tak dapat dimungkiri bahwa Perang Paderi telah meninggalkan kenangan heroik sekaligus traumatik dalam memori kolektif bangsa Indonesia.  Seorang tokoh seperti TIB muncul, eksis, dan kemudian ‘runtuh’ oleh kombinasi antara keinginan, takdir, dan kehendak zaman. Ada yang menganggap beliau telah “berkhianat pada Kerajaan Islam Minangkabau Pagaruyung, […] memimpin invasi ke Tanah Batak yang menewaskan” banyak orang, “[…] menyerang Kerajaan Batak Bakkara dan menewaskan Sisingamangaraja X“, seperti yang dituduhkan si pembuat petisi yang telah disebutkan di atas. (Djohan, “Zaman Paderi”, Jong Sumatra, No.1, 2de Jrg., 15 Djanuari 1919: 113, cf. Suryadi Sunuri, 2011). 

Di hari-hari terakhirnya di Minangkabau, TIB diusung di atas tandu oleh rakyat dalam perjalanannya dari Bukittinggi ke Padang menuju tanah pembuangan (MTIB, hlm.176-78, cf. Suryadi Sunuri, 2011). Walau sudah dalam tawanan Belanda keyakinan agama TIB tak goyah: “Jikalau tidak boleh berhenti sembahyang apa gunanya hidup, lebih baik mati“, demikian kata beliau kepada tentara Belanda yang melarangnya berhenti untuk shalat Zuhur ketika tandu usungan sampai di Kayu Tanam (MTIB hlm.176, cf. Suryadi Sunuri, 2011). Kini terserah kepada Bangsa Indonesia—bangsa-bangsa lain jelas tak ambil pusing—apakah TIB akan tetap ditempatkan atau diturunkan dari “tandu kepahlawanan nasional” yang telah “diarak” oleh generasi-gerasi terdahulu bangsa ini dalam kolektif memori mereka.  Namun, kehadiran TIB sebagai salah satu icon kepahlawanan Indonesia, khususnya Minangkabau, dijadikan kemudian sebagai justifikasi atau akar historis radikalisme Islam yang berkembang beberapa tahun belakangan ini, khususnya di Indonesia.  Wahabisme diidentikkan dengan TIB dan Gerakan Paderi. Pada gilirannya, Diktum kultural Minangkabau, Adat Basandi Syara’, Syara’ Basandi Kitabullah, juga dianggap sebagai refleksi purifikasi kultural dan eksklusifisme kultural di Minangkabau.  Dalam konteks di atas, maka Fakultas Adab dan Ilmu Budaya IAIN Imam Bonjol Padang berkeinginan untuk melakukan Seminar Nasional tentang Eksistensi Historis Tuanku Imam Bonjol dan Purifikasi Islam di  Minangkabau.


2. BENTUK KEGIATAN 

Seminar Nasional dengan Grand-Topic : “Eksistensi Historis Tuanku Imam Bonjol dan Purifikasi Islam di  Minangkabau”.   Tema umum seminar ini dibagi kepada beberapa pokok bahasan utama, yaitu :

1.       Islam di Minangkabau : Landasan Perjuangan Tuanku Imam Bonjol dalam Diktum Hukum Adat Basandi Syarak, Syara’ Basandi Kitabullah.

2.       Purifikasi Islam Tuanku Imam Bonjol dan Masa Depan Adat Basandi Syara’ dan Syara’ Basandi Kitabullah di Minangkabau.


3.       TUJUAN KEGIATAN
1.      Seminar Nasional bertujuan untuk mengungkap fakta sejarah Tuanku Imam Bonjol dalam memberikan inspirasi dan kesadaran sejarah  kepada masyarakat lokal serta institusi IAIN Imam Bonjol sebagai pengguna branding Imam Bonjol.
2.      Seminar Nasional juga bertujuan mengkritisi literatur yang ada dimana gugatan terhadap Tuanku Imam Bonjol sebagai Pahlawan Nasional bertendensi a-historis.
3.      Seminar Nasional ini diharapkan dapat melihat secara jernih benang merah sejarah antara Gerakan Paderi sebagai sebuah entitas historis, Wahabisme sebagai entitas global-politik dan diktum ABS-SBK sebagai entitas kultural Minangkabau.
4.      Diharapkan Seminar Nasional ini menghasilkan temuan-temuan epistimologis yang  akan ditindaklanjuti oleh Fakultas Adab dan Ilmu Budaya IAIN Imam Bonjol Padang sebagai lembaga akademik dalam bentuk kerja-ilmiah.

Referensi : sebagian besar "Rasionalisasi Kegiatan" dari (c) Suryadi Sunuri


Tidak ada komentar: