Kamis, 13 Desember 2012

Seminar Nasional Fak. Adab dan Ilmu Budaya IAIN Padang "Eksistensi Historis Tuanku Imam Bonjol dan Purifikasi Islam di Minangkabau": Makalah (1)

Ditulis ulang : Muhammad Ilham

FIB-Adab Site
Seminar Nasional Fakultas Adab dan Ilmu Budaya IAIN Padang yang bertemakan "Eksistensi Historis Tuanku Imam Bonjol dan Purifikasi Islam di Minangkabau", dilaksanakan pada tanggal 13 Desember 2012, dengan rasionalisasi kegiatan untuk mencari benang merah Tuanku Imam Bonjol (yang kepahlawanannya digugat oleh beberapa kelompok masyarakat) sebagai tokoh hitoris dan adagium kultural Minangkabau, "Adat Basandi Syara' Syara' Basandi Kitabullah". Lebih lanjut, tentang rasionalisasi kegiatan Seminar Nasional ini diadakan, lihat tulisan diatas !. Ada beberapa makalah utama yang dipresentasikan dalam acara tersebut. Bersama ini, saya publish 2 makalah :   


Makalah (1) :  

Aplikasi Hukum Adat Basandi Syarak di Minangkabau  
(Kajian Naskah Tuanku Imam  Bonjol) 

Oleh :  
Syafnir Aboe Nain Datuk Kando Marajo  

Pergolakan suatu aspek sensitif dalam kehidupan kutural dapat menyebabkan proses pemeriksaan kembali terhadap nilai-nilai yang dimiliki.  Sebab itulah kita mengayunkan langkah ke arah  pembangunan dan perubahan sosial, - yang memang bukanlah hal yang mudah- sangat penting dipelajari dan kemudian menerapkan aplikasinya dalam pendidikan sosial secara menyeluruh.  Bertitik tolak dari pra anggapan yang telah menjadi keyakinan bahwa kultural harus bersinergi dengan Islam, maka orang berusaha menemukan kembali cita-cita (modern)nya di dalam Islam. Tetapi, sekarang timbul pertanyaan, apakah Islam ada unsur-unsur yang bertaut kepada cita-cita persamaan, kebangsaan, hasrat untuk maju dan rasionalisme? Memang unsur itu ada, meskipun kerapkali karena perkembangan sejarah atau diingkari atau terdesak ke belakang. (Schrieke, Leknas LIPI; 1973;45). 

Meskipun usaha untuk menggali kembali  seorang yang telah menjadi “pahlawan” itu mempunyai resiko, tetapi sejarah tidaklah  sekadar memberikan landasan bagi peneguhan  nilai integratif. Dari sejarah kita dimungkinkan  untuk mendapatkan kearifan dan hikmah dari pengalaman. Bukankah biografi, sebagai bagian  dari sejarah-  sebenarnya bisa dilihat  sebagai suatu panorama dinamis dari penghadapan manusia, dengan nasibnya?  Bagaimana seseorang mengadakan dialog dengan sejarah dan masyarakatnya? Dan memang tak  ada yang lebih intim  dari pada biografi dalam usaha untuk mengungkapkan sejarah sebagai panorama pergumulan manusia dengan nasib ini. Karena itulah usaha  meneliti kembali riwayat Tuanku Imam Bonjol perlu kita sambut. Memorie van Toeankoe Imam Bonjol, sesungguhnya telah diterjemahkan dalam Indische Gids No. 37 jilid ke-2 tahun 1915, yang berjudul Saksi-Saksi Pihak Pribumi mengenai Perang Padri”. suatu sumber yang selama ini kurang diperhatikan. 

Orang baru terkejut ketika: 

Pertama, tahun 1982 Yusuf Abdullah Puar menyangkal yang ditangkap Belanda dan dibuang pada akhir perang Padri, bukanlah Tuanku Imam Bonjol, tetapi Tuanku Syahbuddin, seorang Imam Perang dan sahabat karib Tuanku Imam Bonjol. Sanggahan ini ditulisnya dalam surat kabar Waspada (Medan), Singgalang (Padang) dan Jawa Post (Surabaya) yang masing-masing ditembuskan kepada Gubernur Sulawesi Utara di Manado. Pada tanggal 4 September ‘data domestik” dan  berjudul, Meluruskan Sejarah Imam Bonjol, Tidak benar wafat dan Dimakamkan di Lotak Pineleleng, Manado’. Polemik Zaidin Bakri alm. dengan Yusuf Abdulah Puar dapat diakhiri,  ketika Zaidin menulis, “kuda mancareteh melarikan Tuanku ke Kuala.................................................”, yang merupakan cuplikan “Memoire Naskah TIB” yang naskah aslinya sedang berada di tangan saya. 

Kedua, Muncul petisi seorang pemuda Samosir, Mudi Situmorang, yang akan mengumpulkan 500 tanda tangan agar gelar Pahlawan Nasional dicabut, Gerakan Padri disamakan dengan al Qaeda (?) karena  menewaskan jutaan (?) orang di tanah Batak. Majalah Tempo edisi 34-XXXVI 21 Oktober 2007 menurunkan laporan khusus kebrutalan Kaum Padri (1803-1837). Laporan ini dipicu atas terbitnya kembali buku Onggang Parlindungan, Pongkinangol-ngolan Sinambela gelar Tuanku Rao: Teror Agama Islam Mazhab Hanbali di Tanah Batak (1816-1833). Tulisan Mudi Sitomorang diakhiri dengan Seminar pada ANRI (Arsip Nasional Republik Indonesia) yang diselenggarakan Gebu Minang di Jakarta, dengan judul Perspektif Sosil  Budaya, Sosial Psikologis, Agama, Dan  Manajemen Konflik, Jakarta 22 Januari 2008. Pada hari kedua tampil pemateri Prof. Dr. Taufik Abdulah, Prof. Dr. Azyumardi, Prof. Dr. Amir Sjarifuddin, dan saya Sjafnir Abu Nain dengan judul “Perang Minangkabau”. Saudara Mudi Situmorang menyatakan “menarik” inisiatifnya mengenai TIB, setelah saya memperlihatkan tentang Tuanku Rao dan Tuanku Tambusai dari Kopi Memoire dalam tulisan Arab Melayu (Kopi ini diserahkan  pada Kepala Andri, Jakarta). Seminar ini menimbulkan polemik di dunia maya (Rantau Net)  tentang alih tulis  Naskah TIB oleh Sjafnir, perlu disempurnakan.  Dari Seminar di ANRI lahir dua kesimpulan, yaitu Kebijakan Pemerintah Provinsi Sumatera Barat Tentang Penjabaran dan Operasional serta Kompilasi Hukum Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabulah dalam Provinsi Sumatera Barat (Keputusan No. 141-171-2008) dan pembentukan Lembaga Kajian Gerakan Padri 1803-1837 oleh Gebu Minang (Gerakan Ekonomi dan Budaya Minang). Seminar berlanjut dengan bedah buku Christinne Dobbin, Gejolak Ekonomi Kebangkitan Isam dan Gerakan Padri Minangkabau 1784 – 1847) oleh Prof Dr. Gusti Asnan, dan Sjafnir Aboe Nain, Tuanku Imam Bonjol, Sejarah Intelektual Islam di Minangkabau 1784 – 1832 edisi revisi,  oleh Drs. Zuqayim, M.Hum. Dari kupasan Zulqayyim, “Monumen kata untuk Tuanku Imam Bonjol: meramu dari sumber lokal,  seperti Naskah Tuanku Imam Bonjol dan Naskah Faqih Saghir” 

Ketiga, “Hilangnya” Naskah Asli TIB dari Kantor Gubernur Sumatera Barat, yang diserahkan Naali Sutan Caniago, cucu Sutan Caniago, anak TIB pada tahun 1983, waktu Gubernur Azwar Anas. Bahkan Suryadi, dosen di Leiden, dalam tulisannya berjudul, Siapakah Kini yang Menyimpan Naskah Asli Tuanku Imam Bonjol? Suryadi menyatakan, “Yang kurang diketahui selama ini mengenai Perang Padri yang ditulis orang Minang sendiri,  sumber pribumi tersebut nilai historisnya jelas sangat tinggi.” (Singgalang 3 & 6 Desember 2006. Suryadi menyatakan orang yang mengetahui mengirapnya naskah tentu Sjafnir Aboe Nain. 

Keempat, tahun 2004 Pusat Pengkajian Islam dan Minangkabau (PPIM) di Padang menerbitkan transliterasi naskah TIB yang dikerjakan oleh Sjafnir Aboe Nain. Judulnya: Naskah Tuanku Imam Bonjol. Penerbitan buku itu patut disambut gembira, tetapi sekaligus juga memunculkan kembali pertanyaan tentang “hilangnya” naskah asli TIB (Suryadi, Singgalang, 3 & 6 Desember 2006 dan Ranah Minang.Net, 4 Oktober 2006;). 

Naskah asli itu dipinjamkan oleh Pemerintah Daerah  Sumatra Barat kepada Rusydi Ramli, dosen IAIN Imam Bonjol Padang, selaku Ketua Panitia Daerah Festival Istiqlal Provinsi Sumatra Barat untuk dipamerkan dalam acara Festival Istiqlal I, Jakarta, 15 Oktober-15 November 1991, Rusydi Ramli sempat memfotokopi naskah TIB atas izin Panitia Festival Istiqlal I (Rusydi Ramli, sms, 23-7-2006). Dalam kesempatan ceramah di IAIN Imam Bonjol tgl. 10 Juli 2006, Jeffrey Hadler memfotokopi lagi fotokopi naskah TIB milik Rusydi Ramli itu sebanyak 4 rangkap: untuk Jeffrey Hadler, untuk Perpustakaan Berkeley, untuk Datuak Buruak di Bonjol (yang sudah kehilangan naskah asli TIB), dan untuk Yasrul Huda, dosen IAIN Imam Bonjol (Jeffrey Hadler, email, 22-7-2006). Jeffri Haedler, mendapat durian runtuh, dari kopi naskah yang diberikan  Rusli Ramli, karena disertasinya dengan sumber asli dapat dicocokkan dengan alih tulis Naskah TIB yang diterbitkan PPIM, 2004. Sebaliknya kita mengenal “diri kita” sendiri (maksud nilai Minangkabau) dari disertasinya. 

Di samping memakai memoire dari salah seorang putra Imam Bonjol, Tambo Naali- sekarang kita mencoba menempatkan TIB dan perjuangannya dalam perkembangan konsep “nilai”, yang  kini menjadi  jati diri orang Minangkabau, yang lahir dari kesadaran sejarah masyarakatnya melalui pergulatan yang panjang.  Memoire atau Naskah TIB sebagai historiografi tradisional ternyata dapat diperoleh fakta-fakta yang dapat dicek kebenaran sejarahnya dengan sumber kontemporer, terutama yang berasal dari orang Belanda.  Bahkan dapat diperoleh  fakta-fakta  dalam sumber lain. Publikasi terbaru mengenai Perang Padri oleh sejarawan militer G. Teitler: Het Einde van de Padrie-oorlog Het beleg en de vermeestering van Bonjol, 1834-1837; Een Bronnenpublicatie [Akhir Perang Padri. Pengepungan dan Perampasan Bonjol 1834-1837; sebuah publikasi sumber] (Amsterdam: De Bataafsche Leeuw, 2004) yang mengungkapkan 4 sumber primer. Dapat dibandingkan dengan taktik dan strategi yang dilakukan Tuanku Imam Bonjol di Benteng Bonjol dan Benteng Bukit Tajadi. (Naskah hal. 90-120.) 

Cita-cita dan gagasan pembaruan yang berlangsung di kawasan Agam diketahui Imam Bonjol dari gurunya, Tuanku Bandaro. Tuanku Imam dan Tuanku Bandaro mendalami seluk beluk pembaruan masyarakat langsung  dari pencetus idenya, Tuanku Haji Miskin dan Tuanku Nan Renceh.  Selama tiga bulan mereka berada di surau Bansa, Kamang. Kesempatan terbuka baginya untuk menerapkan gagasan itu setelah  Datuk Bandaro, pemimpin surau Padang Kayu Kalek, meninggal dunia. Kepemimpinan Peto Syarif berkembang setelah diangkat sebagai pelindung desa Bonjol. Dalam satu tahun, penduduk Bonjol makin ramai. Peto Syarif berangkat ke Kamang untuk kedua kalinya bermufakat dengan Tuanku Nan Renceh. Hasilnya, rombongan Tuanku Nan Renceh datang ke Bonjol menghadiri “jamuan” peresmian Tuanku Mudo menjadi Tuanku Imam. Sekali gus sebagai pengakuan Tuanku Imam sebagai pemimpin gerakan Padri (1808). Niak Angku kemudian meresmikannya  menjadi Tuanku Imam. Sementara itu Niak Angku memancang gelanggang untuk balai-balai penaikan Datuk Bandaro yang baru, sebagai raja Alahan Panjang. 

Tuanku Imam Bonjol telah menoreh sikap kejuangan yang dapat kita tauladani. Delik persoalan ini dari dapat kita telaah dari sebuah “catatan harian” yang ditulisnya dengan huruf Arab Melayu. Tulisan ini dibawa kembali ke Minangkabau dari Lotak Pineleng, Manado, oleh anaknya Sutan Saidi. Sultan Caniago melanjutkan tulisan ini sampai 318 halaman yang ditulis oleh Sekretarisnya Malin Muhammad sehingga naskah itu dikenal juga dengan Tambo Naali. Naskah asli  awalnya ditemukan ketika kami ditugaskan meneliti kemungkinan pendirian Museum Imam Bonjol oleh Kantor Wilayah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. tahun 1972. Memasuki abad ke-19, di Sumatra Barat mulai timbul suatu aliran baru yang kemudian dikenal dengan nama Gerakan Padri. (Rusli Amran 1985; 385).  Dobbin (1992) menulis, gerakan tersebut tumbuh tidak terlepas dari kemakmuran baru yang diperoleh dari perdagangan yang dialami oleh mayoritas masyarakat Minangkabau. Oleh sebab itu telah memungkinkan lebih banyak masyarakatnya untuk naik haji. Keadaan kota Mekah tempat naik haji tahun 1803 mengalami masa yang menggoncangkan; kota suci tersebut diserbu oleh pejuang-pejuang padang pasir yang tidak saja menyuarakan  “kembali ke syariat” tetapi juga menyerukan  tuntutan kembali ke ajaran sang Nabi Muhammad s.a.w. dan sahabat-sahabatnya yang paling fundamental. Mereka ini adalah kaum Wahabi dari Arab Timur. Ajaran mereka sangat terkesan bagi para peziarah asal Minangkabau, sehingga mereka juga bertekad untuk melaksanakan pembaruan total apabila mereka tiba kembali di kampung halamannya. 

Di antara peziarah tersebut yang paling terkenal adalah Haji Miskin, Haji Sumanik dan Haji Piobang (Sjafnir Aboe Nain,1988:41). Ketiga haji tersebut menerangkan pengalaman mereka masing-masing selama di Mekah kepada tuanku-tuanku dan alim ulama di Luhak Agam, Tanah Datar dan Lima Puluh Koto. Pada setiap kesempatan berkhotbah, mereka menjelaskan bahwa aliran Wahabi di Mekah melaksanakan pembaruan. Mereka menganjurkan kembali ke syariat yang berdasarkan al Quran dan Hadis nabi. Daerah yang paling intensif menyebarkan ajaran tersebut adalah Rao dan Alahan Panjang (dikenal dengan nama Bonjol). Bonjol makin berkembang sebagai pusat pengajian (surau). Para tuanku disini mengajarkan murid-muridnya yang datang dari segala pelosok Minangkabau dan Tapanuli. Setelah menamatkan pengajian, mereka diantar dan diangkat menjadi imam besar di negerinya masing-masing dengan persetujuan  raja dan penghulu. Di antara mereka yang terkenal ialah Tuanku Imam Bonjol, seorang ulama keluaran Surau Tuanku Datuk Bandaro di Padang Laweh, Ganggo Mudik, di lembah Alahan Panjang. 

Tuanku Imam Bonjol adalah generasi kedua Gerakan Padri yang menerapkan pola pembaruan Islam yang dipelopori Tuanku Nan Renceh dan Haji Miskin dengan gagasan penanaman Imam Khatib dan Kadhi di setiap nagari. Ia berhasil melebarkan pengaruhnya ke wilayah sekitarnya sampai ke Rao-Mandahiling, hingga Tambusai, Tanah Tumbuh, sampai ke Kuok Bangkinang. Seorang di antara tokoh pembaru lainnya adalah, Fakih Muhammad yang berasal dari Padang Mattinggi.  Fakih Muhammad disetujui oleh Yang Dipertuan Padang Nunang dan Penghulu Nan Limo Baleh untuk menjadi Imam Besar di Rao. Semenjak itu, Fakih Muhammad dikenal sebagai Tuanku Rao dibantu oleh kemenakannya yakni Bagindo Usman sebagai kepala hulubalang. Sebagai sebuah ajaran maka aktivitas mendakwahkan ajaran Islam kepada orang lain menjadi tanggung jawab murid-murid tersebut. Bukan saja kepada orang yang sudah melaksanakan ajaran tersebut, namun juga kepada orang yang belum mengenal sekali pun. Dalam rangka mendakwahkan ajaran Islam tersebut, bersama dengan sahabatnya seperti Tuanku Tambusai serta kemenakannya sendiri Bagindo Usman melakukan penyebaran ajaran tersebut ke Mandahiling. Pada waktu itu tidak tertutup kemungkinan ikut juga Raja Gadumbang yang belajar bersama di Bonjol. Bahkan Parlindungan (1964)  dalam proses pengislaman yang terjadi  tahun 1816, hulubalang Padri menguasai daerah daerah Mandahiling, Angkola dan Sipirok yang berada di daerah Tapanuli Selatan Di Sipirok, berkuasa dari tahun 1816-1818. Pengusaan daerah tersebut tidak terlepas dari usaha memuluskan proses pengislaman ketiga daerah tersebut (Parlindungan, 1964;  188) 

Islam masuk ke Minangkabau mendapati kawasan yang tertata rapi dengan apa yang dikatakan “adat” yang mengatur kehidupan manusia dan menuntut masyarakat untuk terikat dan tunduk kepada tatanan adat tersebut. Landasan pembentukan adat ialah budi yang diikuti dengan akal, ilmu dan patut. Islam membawa tatanan apa yang harus diyakini oleh umat yang disebut aqidah dan tatanan apa yang harus diamalkan yang disebut syariah atau syarak. Syariat Islam lahir dari keyakinan “tauhid” mengamalkan Islam secara hakikat dan ma’rifat. Dengan kemampuan dan kearifan orang Minangkabau membaca setiap gerak perubahan, akhirnya Adat dan Islam saling topang menopang seperti aur dengan tebing, membentuk  sebuah konfigurasi kebudayaan  Minangkabau. Nilai budaya merupakan  produk budaya zaman lampau itu masih menjadi warisan  budaya yang tetap dipakai hingga hari ini meskipun telah terjadi pergeseran. Sekali air bah, sekali tepian berubah. 

Adat Bersendikan Syarak, adalah nilai budaya, kerangka pandangan hidup orang Minangkabau yang memberi warna hubungan antara Manusia, Allah Maha Pencipta dan Alam Semesta.  Sebagai suatu konsep nilai, yang kini menjadi jati diri orang Minangkabau, lahir dari kesadaran sejarah masyarakatnya melalui pergulatan yang panjang. Semenjak masuknya Islam ke dalam kehidupan masyarakat Minangkabau terjadi titik temu dan perpaduan antara ajaran adat dengan Islam sebagai sebuah sistem dalam  kebudayaan Minangkabau yang melahirkan filsafah Adat Basandi Syarak. Adat Bersendikan Syarak, bertujuan memperjelas jati diri etnis Minangkabau sebagai sumber harapan dan kekuatan yang menggerakkan ruang lingkup kehidupan dan tolok ukur untuk melihat  dari ranah berbangsa dan bernegara, dan dalam pergaulan dunia

Kecintaan Tuanku Imam Bonjol atas keluhuran ajaran Islam tercermin dari kesadarannya atas tindakan sesama orang Minangkabau dan Mandahiling yang keluar dari ajaran Islam. Pada  awal  gerakan pembaruan, perlakuan perang yang dilakukan hulubalang Tuanku Nan Barampek terhadap nagari yang diperangi, antara lain terjadi tindakan-tindakan yang dilarang agama. Sikap musyawarah yang hidup subur daam  masyarakat Minangkabau melahirkan  rasa kebersamaan, saling tolong menolong dan dengan buah pikirmenggandakan teman (Q 49; 10). 

Tuanku Kadhi di Bonjol, Tuanku Imam mengemukakan pemikirannya, ”Hatta dengan takdir Allah, tumbuhlah pikiran oleh Tuanku Imam. Adapun kitabullah banyaklah nan terlampaui oleh kita. Bagaimana pikiran kita”, (Naskah; 41   ) 

Sadar akan kekeliruan itu lalu dikirim anak kemenakan Tuanku Imam Bonjol, dan Tuanku Tambusai ke Mekah untuk mempelajari hukum ”kitabullah nan adil, yang haq. Berita yang dibawa oleh kemenakan dan Tuanku Tambusai disampaikan oleh Tuanku Imam Bonjol kepada hakim dan penghulu : 

“sebelum shalat Jum’at dan sekalian sudah tiba dalam masjid, antara belum lagi     sembahyang, maka beliau Tuanku Imam (dan) memulangkan anyolai masa itu beliau dan sekalian basa dan  penghulu dan segala raja-raja dalam negeri ini. Dan jikalau ada lagi datang musuh dari kiri dan kanan melainkan lawan oleh basa dan penghulu. Dan saya hendak tinggal dituahnya anyolai dan tidak lagi saya amuah (mau) masuk dalam pekerjaan basa dan penghulu di dalan nagari Alahan Panjang ini. Semenjak itu masyhurlah di tiap-tiap nagari  berlaku ”HUKUM ADAT BERSENDI SYARAK” di Minangkabau (NTIB;55). Tuanku Imam berkata agar harta rampasan dikembalikan kepada yang empunya dan para tawanan dikembalikan kepada kerabatnya. 

Dalam menciptakan kedamaian, Tuanku (Imam) menyatakan tidak lagi akan mencampuri wewenang  basa dan penghulu yang memungkinkan dapat menyelesaikan masalah-masalah sosial kemasyarakatan. Tuanku Imam kembali dalam kewenangan agama untuk hal-hal yang berhubungan dengan syariah. Dia ingin tinggal “dituahnya”, sebagai panutan kharisma Tuanku Imam Bonjol sebagai pemimpin tetap tetap diakui.     Selanjutnya Jeffry Hadler pun menjelaskan hal yang sama. 

“In his wish for peace the Tuanku uses the term ”dituahnya” This is  a form of royal blessing usually delivered by thet sorts of nobles that the Padri had hoped to eliminate. The Tuanku Imam restores the status quo ante bellum, confining religious authority to matters of shariah and allowing costomary leaders to adjudicate social issues. He proclaims that “hukum adat basandi syarak”- shariah will fundamental even questions of social costum (Hadler;1, 16-170). 

Prinsip kebenaran dan keadilan, merupakan nilai dasar dalam (Hukum Adat Basandi Syarak) pergaulan umat manusia, pancaran tauhid dan modal dasar dalam jiwa manusia. Hakikat dari kebenaran dan keadian penting bagi terciptanya Kebangkitan  Minangkabau, khususnya Gerakan Pembaruan Padri. Pada tahun 1832, benteng Bonjol jatuh ke tangan kompeni. Intervensi kompeni menduduki Padang dan sejak  abad ke-19 telah bercokol di Pariaman, masuk kedalam  konflik internal Minangkabau. Sebelas tahun kemudian seakan-akan telah berakhir dengan kekalahan kaum Padri. Prilaku serdadu Kompeni menunjukkan  keyakinan mereka, bahwa perang yang melelahkan  itu telah berakhir dengan kemenangan mereka. Tidak ubahnya dengan gaya orang menang perang, para seradadu itu berbuat sekehendak hatinya. Mesjid dijadikan asrama dan ternak, bahan makanan lain dirampas begitu saja. Tetapi perasaan menang perang itu hanyalah  sebuah ilusi saja 

...........dan hari-hari dpukulnya penghulu dan orang Alahan Pajang tidak dengan salahnya dan meminta-minta sekali makanan dengan kuasanya ................................ (NTIB 71) .........syarak sudah lemah, tidak boleh lagi sembahyang karena mesjid sudah kotor oleh anjing-anjing banyak di dalam mesjid.Maka tersebutlah dari pada perasaian nasib orang-orang di negeri Bonjol selama komandan duduk di dalam nagari Alahan Panjang dan sekalian orang-orang Alahan Panjang terlalu susah sebab perintahnya sangat keras dan zalim tidak bertahan adanya (NTIB; 72) . 

Tiba-tiba suatu malam, seruan kaum gerakan pembaruan, “Allahu Akbar”  berkumandang. Mereka menyerbu serdadu yang sedang pulas dalam mabuk kemenangan itu. Hanya beberapa orang serdadu kompeni yang lolos untuk menceritakan  kisah tragis yang telah mereka alami. Genderang perlawanan baru bermula, dipalu  oleh Bagndo Tan Labih, seorang “dubalang”  yang mengungsi dari Kuraitaji, Pariaman ke Bonjol melalui Tujuh Koto dan Mudik Padang, Tandikek. Persatuan Minangkabau terjain kembali, dengan perang serentak di Minangkabau serangan ditetapkan Hari Jum”at, 3 Rajab 1429 H bertepatan dengan 11 Januari 1833, atas kesepakatan pemimpin: Tuanku Imam, Tuanku Rao, Tuanku Tambusai dan Tuanku PamansianganBertolak dari pandangan falsafah Adat Basandi Syarak, yang merupakan rujukan dalam merumuskan  berbagai kebijakan terhadap keangsungan hidup Minangkabau yang beriman, beradat akal, berbudaya dan bermartabat. Watak dan sikap  berakal bermakna tidak ada kehidupan yang dilalui tanpa pertimbangan akal. Raso jo areso, melakukan ketajaman pikiran, keseimbangan hakiki yang dicapai  daam mengembalikan harkat dan martabat melalui akal dan budi. Inilah doa seorang Muslim (Q 2;2o1) Segala kearifan dan nilai dasar Adat Bersendi Syarak,sebagai aplikasi melangkah ke masa depan. 

Watak dan sikap inilah yang dihadapi Tuanku Imam Bonjol dapat bertahan dari serangan Belanda semenjak 1935 dan baru berakhir 1836 setelah semuanya telah dihancurkan dengan serangan  Panglima Balatetara Belanda di Hindia Belanda, Jendral Cochius, yang turun langsung ke lapangan dan mengatur strategi. Tilikan akademis Jeffrey Hadler tentang masyarakat Minangkabau benar-benar dapat diketahui publik 15 tahun kemudian ketika pada tahun 2000, ia berhasil mempertahankan disertasinya ”Places Like Home: Islam, Matriliny and the History of Family in Minangkabau” di Cornell University. Disertasi tersebut, setelah direvisi, akhirnya diterbitkan dalam bentuk buku, Muslims and Matriarchs: Cultural Resilience in Indonesia Through Jihad and Colonialism” ( Penerbit: Cornell University Press, Ithaca, London, 2008). Jeffrey membongkar fakta di balik kolonialisme dan nasionalisme dengan memfokuskan pada tema kultural: perubahan konseptualisasi rumah (house) dan keluarga (family); gagasan modernitas yang berhubungan dengan budaya Minangkabau sendiri, agama Islam, dan kebudayaan Eropa; serta persaingan antara kekuasaan dan pendidikan. Dia menggunakan banyak sumber lokal, antara lain  Naskah Tuanku Imam Bonjol. 

Jeffrey menyatakan bahwa kini satu-satunya kelompok masyarakat matriarkal beragama Islam terbesar di dunia yang masih tersisa adalah etnis Minangkabau. Di tempat lain di dunia, sistem matriarkat punah karena serbuan berbagai ideologi dari luar dan pernah diramalkan akan terjadi juga di Minangkabau. Ternyata, sebaliknyalah yang terjadi: sistem matriarkat Minangkabau mampu bertahan. Jeffrey bertanya, Why does matriarchy persists?—has been dodged by scores of researchers who have been lured to Minangkabau by the seeming paradox of a matrilineal Muslim society (Jeffrey Hadler; 2008;hal 8). Jeffrey menganalisis bagaimana sistem matriarkat Minangkabau mampu melakukan resistensi terhadap serangan dua ideologi asing pada abad ke-19 dan ke-20: Islam dan kolonialisme (Belanda). Ia membahas sejarah ringkas Perang Paderi (1803-1837), yaitu usaha panglima Paderi yang kontroversial Tuanku Imam Bonjol (TIB) menggantikan sistem matriarkat di Minangkabau dengan model masyarakat Islam yang ketat merujuk pada Al Quran dan hadis. Tuanku Imam Bonjol berusaha mencari kompromi antara  Minangkabau dan hukum Islam yang kemudian dikenal sebagai “doktrin adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah.” Keputusannya itu membentuk debat berterusan di Minangkabau sepanjang abad ke-19 dan ke-20. 

Pengalaman sejarah telah menempa hidup orang Minangkabau dalam dialektika kritis antara nilai, ide Islam reformis, dan gagasan pembaruan Barat. Berkaca pada konflik berdarah selama Perang Paderi dalam menghadapi ketiga ideologi yang bertentangan itu, masyarakat Minangkabau lebih sering menempuh jalur kompromi ketimbang memilih konflik berdarah lagi. Dalam paragraf terakhir, Jeffrey menulis: ”The history of West Sumatran politics is of recurring defeat. But the story of Minangkabau culture is one of survival” (hal 180). Agaknya kata-kata Jeffrey itu tidaklah berlebihan. (Suryadi; 19 April 2009 ). 

Naskah Tuanku Imam Bonjol, sebuah sumber yang penting mengenai Gerakan Padri, selama ini cendrung diabaikan. Ternyata apa yang disebut Kaum Adat dan Kaum Agama bersatu melawan serdadu Belanda sesudah awal Januari 1833. Apa yang telah dirumuskan dalam ”adat basandi syarak” yang tertanam sebagai pondasi pandangan hidup masyarakat Minangkabau. Rumusan tersebut sebagai awal makin memperkokohnya otonomi nagari di bawah pimpinan penghulu dan imam khatib dalam mempertahankan nagarinya. Keyakinan dan kecintaan terhadap agama tercermin juga dalam sikap hulubalang, sebagaimana diutarakan Boelhouwer dalam perjalanan menuju Pariaman. 

“Waktu tengah hari dan senja ia (kuli- orang Padri)  hanya mencari kesempatan baik agar berada dekat sungai. Meletakkan dengan tenang bebannya dekatnya, dan setelah bersuci, ia sembahyang. Terhadap ini kita tidak dapat berbuat apa-apa, dianjurkan dengan sangat  jangan mencegah ini. Orang menjauh. Sesudah sembahyang orang Padri mengangkat bebannya kembali.”   (Boelhouwer; 1841;81). 

Selama  enam bulan siang malam, benteng Bonjol dikepung oleh ribuan serdadu Belanda, pasukan bantuan dan pasukan ”pribumi, baru Bonjol jatuh. Pada saat itu Tuanku Imam Bonjol beserta beberapa orang keluarga dan delapan orang Jawa mengungsi ke dalam rimba selama 6 bulan penuh dengan penderitaan. Sementara di kalangan sesama penduduk terjadi dua paham menghadapi Belanda. 

Episode akhir perang Padri adalah kisah penuh haru. Hari terakhirnya, Tuanku Imam Bonjol ditandu ke tanah pembuangan dari Bukittinggi menuju tanah pembuangan. Walaupun sudah menjadi tawanan Belanda, keyakinannya terhadap agama Islam tidak tergoyahkan “Jikalau tidak boleh berhenti sembahyang, apa gunanya hidup lebih baik mati” ujarnya ketika dalam usungan menuju Kayu Tanam. (Naskah; 156). Artikel Suryadi, ”Tuanku Imam Bonjol Dikenang sekaligus Digugat, mencatat pandangan Djohan (Prof. DR.Bahder Djohan)  

“Tiada hajat kita akan mengembang kitab tambo yang ditulis dengan darah itoe (Perang Padri), tiada bermaksoed kita akan menuruti jejaknya senjata api yang bertahun-tahun bergemoeroeh dilembah dan didaratan (Minangkabau), hanya disini kita mengenang mereka-mereka yang bercahaya sebentar didalam zaman Padri, yang seperti sinar dilangit meroepakan dimata kita yang sedang memandangi koeblat yang hijaoe itoe soepaya dapat poela kita mengetahoei. Masya Allah yang terjadi diabad yang lepas yang selama-lamanya menjadi “ibarat kesesatan kemanoesiaan” (Djohan,  1919;113.”).  

Sisi kehidupan Tuanku Imam Bonjol penuh dengan nuansa kesejarahan yang mutlak dan perlu kita ketahui, pahami dan hayati. Bahkan kita ambil saripati yang bernilai untuk kehidupan kita. Begitulah pondasi dari hakekat mempelajari masa lalu itu sendiri Dengan dua landasan dasar itu, nilai budaya Minangkabau kemudian tumbuh dan berkembang, dan dengan adanya pola pikir dengan filsafah budaya, yang merefleksikan feonomena  alam  sebagai sumber inspirasi kehidupan yang dikenal dengan ungkapan “alam takambang menjadi guru” Penerapan nilai budaya yang bersendikan agama, adat dan belajar kepada alam pada masa lampau telah diaplikasikan masyarakat  dengan tatanan budaya  pengejawantahan syarak dan adat (Abdul Rahman; 211; hal.1). Dari panorama  kehidupan Tuanku Imam Bonjol, latar belakang keluarganya hingga ia ditawan, ada tiga strategi dasar pembaruan yang  lahir dari prinsip musyawarah yang menimbulkan sikap persamaan (uchuwah islamiyah). Prinsip ini melahirkan paham egaliter bahwa manusia ditakdirkan sama derajarnya. 

Pertama, Tuanku Imam bermusyawarah dengan Tuanku Rao dan Tuanku Tambusai untuk mengirim anak kemenakan mempelajari hukum Islam yang dapat menyelesaikan masalah sosial kemasyarakatan. (NTIB;41). Kedua, menyebarluaskan kewenangan kepemimpinan Tuanku Nan Barampek, dengan penobatan Pakih Sutan menjadi Tuanku Mudik Padang dan Bagindo Marah Husen dari Natal menjadi Tuanku Mudo. (Naskah halaman 37).  Ketiga, musyawarah Bukit Tandikek dan kesepakatan nagari-nagari Minangkabau, Tanah Datar, Lawang, Rao, Lubuk Sikaping, Palembayan, Danau Maninjau dan Sipisang,  untuk menggalang persatuan “Perang Perlawanan Minangkabau”. Ketiga strategi inilah yang memperkuat  masyarakat matrilineal kuat memegang teguh agama Islam sebagai pandangan hidup masyarakat Minangkabau. Menjawab pertanyaan adakah perangkat rasionalisme dalam Islam, khusus dalam gerakan pembaruan agama di Minangkabau, seperti yang dipelopori TIB. Kehadiran perangkat intelektualisme dalam  mobilisasi gerakan diberikan organisasi, peralatan, senjata, benteng dan sikap demokratis memberikan keterikatan  antara pemimpin dan pengikut gerakan. 

Dialektika berbagai kekuatan dan ragaman kehidupan mengantarkan dunia Minangkabau pada tatanan yang harmonis dan berada dalam keseimbangan. Dialektika bagi orang Minangkabau sebuah konsep  yang menempatkan orang berpikir dalam suatu totalitas. Dalam suatu struktur sosial, terdapat hal yang berbeda namun kemudian membentuk struktur baru. “Manusia   dijadikanNya berkaum, bersuku dan berbangsa untuk saling mengenal satu sama lain.” TIB, seorang tokoh pembaru agama (Islam) dengan semangat toleransi dan persatuan.  Bagindo Tan Labih yang masih muda berusia 42 tahun, dikawinkannya dengan seorang gadis Kokas bernama Watok Pantow, dalam lingkungan masyarakat Kristiani Bagindo Tan Labih (dubalangnya) dengan Watok Pantow. Demikian sekelumit warisan landasan dari ranah perjuangan gerakan pembaruan Tuanku Imam Bonjol, yang sampai saat ini masih tetap dipakai meskipun terjadi  terjadi pergeseran cara.

:: Artikel tidak dipublish lengkap, khususnya Daftar Kepustakaan dan beberapa catatan komplementer. 

Tidak ada komentar: