Sabtu, 01 Desember 2012

Gus Dur dan Soetan Bathoegana

Oleh : Muhammad Ilham

Saya masih menyimpan sebuah kliping majalah Forum Keadilan tahun 1999, dengan judul "Gus Dur : Demokrasi yang baik adalah ketika kita menghargai hak-hak minoritas". Kalimat dalam tanda kutip itulah pada prinsipnya menjadi "substansi" dari pemikiran Gus Dur.  

Gus Dur atawa Abdurrahman Wahid telah ”menutup” catatan hidup yang ditorehkannya secara empiris-personal dua tahun yang lalu, lebih kurang. Namun, catatan hidupnya tetap memberikan pengaruh bagi pencerahan bangsa, entah sampai kapan. Sebagai figur bangsa, bagi saya pribadi, Gus Dur bukanlah sosok ideal bagi saya untuk dikagumi secara utuh. Tapi pada bagian-bagian tertentu, Gus Dur bagi saya sangat inspiratif, luar biasa dan pantas untuk saya ceritakan pada anak cucu saya kelak. Sebagai tokoh yang sangat kontroversial (bagi ”ranah” Indonesia), kehadiran seorang Gus Dur justru memberikan pencerahan bagi peradaban Indonesia dan mungkin kaum muslimin di seluruh dunia. Mungkin banyak pemikirannya yang hingga hari ini belum bisa diterima oleh semua pihak, tapi bukan berarti pemikirannya itu ”tidak akan pernah” diterima. Terkadang, lontaran pemikiran seseorang bisa mendahului zaman. Nurcholish Madjid @ Cak Nur adalah contoh terbaik. Pemikiran Cak Nur tersebut justru terasa ”hidup” bagi kita setelah ia meninggal. Sosok seorang Gus Dur nampaknya membekas begitu mendalam di benak orang-orang yang pernah mengenalnya. Gus Dur sebagai seorang cendekiawan dan pejuang demokrasi yang berperan besar dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia. Sejarah mengenal, se-kontroversial apapun seorang putra KH. Wahid Hasyim ini, tapi semua orang bersepakat bahwa ia adalah pejuang demokrasi yang pandai dalam membina hubungan beragama di Indonesia. "Beliau tokoh besar dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Hubungannya dengan negara dan agama, khususnya agama Islam sangat luar biasa," kata Adnan Buyung Nasution suatu waktu, dulu. Dengan kemampuannya, suami Sinta Nuriyah ini mampu membangun hubungan yang sangat demokratis antara negara dan agama. Padahal, dua hal tersebut merupakan salah satu hal yang paling sulit untuk disinergikan.

Pada masa Orde Baru, ketika militer sangat ditakuti, Gus Dur pasang badan melawan dwi fungsi. Sikap itu diperlihatkan ketika menjadi Presiden dia tanpa ragu mengembalikan tentara ke barak dan memisahkan polisi dari tentara. Dwifungsi tamat. Gus Dur adalah pejuang paling depan melawan radikalisme agama. Ketika radikalisme agama sedang kencang-kencangnya Gus Dur menantangnya dengan berani. Dia bahkan mempersiapkan pasukan sendiri bila harus berhadapan melawan kekerasan yang dipicu agama. Fenomena paling hebat adalah ketika Gus Dur yang buta dan berkursi roda mengalahkan lawan-lawannya yang sehat dalam perebutan kursi Presiden Indonesia keempat. Banyak yang menganggap terpilihnya Gus Dur waktu itu sebagaii ironi besar bangsa Indonesia berpenduduk lebih dari 200 juta. Tetapi ironi sesungguhnya, dan itu sangat fenomenal, adalah kehebatan seorang buta dan lumpuh yang mampu melumpuhkan keperkasaan orang-orang sehat dan cerdas. Di kalangan pengagum fanatiknya Gus Dur adalah dewa. Dia juga pejuang yang tidak mengenal hambatan. Dengan selentingan kesukaannya 'begitu aja kok repot' Gus Dur tidak menggampangkan persoalan. Justru itu memperlihatkan kejeniusan seorang Gus Dur menyelesaikan banyak hal pelik dengan mudah.

Soekarno tak pernah, Soeharto apalagi, Habibie belum. Baru Gus Dur membuat sesuatu yang bersejarah ini: di depan sebuah pertemuan internasional di Bali, dialah presiden Indonesia pertama yang bisa membuat hadirin tertawa. Para kepala negara terdahulu berpidato dengan gagah, serius, atau mendayu-dayu. Tanpa humor. Tapi Gus Dur tidak. Presiden yang hampir buta itu berbicara tentang dirinya dan juga tentang wakil presidennya, Megawati, yang enggan berkomentar. “Kami berdua akan jadi sebuah tim yang sempurna,” katanya dalam bahasa Inggris yang bagus, tanpa teks. “Saya tak bisa melihat, dia tak bisa omong.” Para hadirin tergelak mendengar olok-olok itu. Harian Financial Time beredar ke seluruh dunia dan menulis tentang Gus Dur yang “memikat” (to charm) dunia. Selama bertahun-tahun retorika Indonesia adalah retorika kekuasaan. Di mimbar, Bung Karno bergemuruh seperti gelombang samudra magis yang berseling petir. Pidato Soeharto datar-lurus seperti barisan tentara yang maju dengan disiplin. Habibie memberi sambutan dengan nada naik-turun seperti sebuah kapal udara ringan yang melintasi perbukitan. Samudra, tentara, pesawat terbang—semua itu kiasan untuk bermacam daya yang menaklukkan. Sebaliknya, retorika Gus Dur adalah retorika pertemuan. Ah ..... sudahlah, membicarakan Gus Dur memang memikat. Kelemahannya juga memikat, apalagi tentang kelebihannya.

Indonesia beruntung memiliki orang-orang besar, mengapa kita harus pula memperhinakan mereka ? Bukankah kelebihan dan kelemahan orang-orang besar yang pernah "dihadirkan" Tuhan dalam negri Sumpah Palapa ini menjadi pertanda dan pesan dari Tuhan .... "belajarlah kalian dari kelebihan dan kelemahan tokoh-tokoh kalian tersebut", (mungkin itu, yang mungkin dikatakan Tuhan. Wallahu a'lam).

Saya teringat dengan sebuah cerita yang  saya kutip dari :  http://imlawifrailham.blogspot.com/2009/12/tak-semua-hal-harus-dilayani.html, begini :

Karena letih menjadi rakyat biasa, maka suatu hari, seekor babi hutan membuat sebuah keputusan "fenomenal" ..... ia memproklamirkan diri menjadi raja hutan. Tanpa pikir panjang, ia kemudian bangkit dari kubangan tempat ia beristirahat, menuju singa, raja binatang buas dan menantangnya untuk bertempur. Tentu saja singa hanya memandang sekilas kepada makhluk bau ini, mengabaikannya tanpa ekspresi emosi, walaupun sang babi menggugat "otoritas" dan "kedaulatan politik"nya. Singa kemudian berlalu tanpa perlu membalas tantangannya. Cerita ini, walaupun sederhana dan pendek, justru memberikan pelajaran bagi kita bahwa orang yang bijaksana itu tidak menghabiskan waktu mereka hanya untuk melayani gangguan orang-orang bermental rendah. 

______ Seandainya Gus Dur hidup hari ini, ia tidak akan menganggap apa yang diucapkan Soetan Bathoegana itu sebagai penghinaan. Bathoegana itu kecil. Karena defenisi orang BESAR menurut cerpenis Leon Tolstoy adalah : "selalu memikirkan hal yang besar, dan tidak menganggap hal kecil itu sebagai sebuah hal yang substansial". 

Referensi : Forum Keadilan (1999 : persis edisinya, saya lupa), MS. Hikam (2003)
Foto : nu.org.id

Tidak ada komentar: