Oleh : Muhammad Ilham
Saya masih menyimpan sebuah kliping majalah Forum Keadilan tahun 1999, dengan judul "Gus Dur : Demokrasi yang baik adalah ketika kita menghargai hak-hak minoritas". Kalimat dalam tanda kutip itulah pada prinsipnya menjadi "substansi" dari pemikiran Gus Dur.
Saya masih menyimpan sebuah kliping majalah Forum Keadilan tahun 1999, dengan judul "Gus Dur : Demokrasi yang baik adalah ketika kita menghargai hak-hak minoritas". Kalimat dalam tanda kutip itulah pada prinsipnya menjadi "substansi" dari pemikiran Gus Dur.
Gus Dur
atawa Abdurrahman Wahid telah ”menutup” catatan hidup yang
ditorehkannya secara empiris-personal dua tahun yang lalu, lebih kurang.
Namun, catatan hidupnya tetap memberikan pengaruh bagi pencerahan
bangsa, entah sampai kapan. Sebagai figur bangsa, bagi saya pribadi,
Gus Dur bukanlah sosok ideal bagi saya untuk dikagumi secara utuh. Tapi
pada bagian-bagian tertentu, Gus Dur bagi saya sangat inspiratif, luar
biasa dan pantas untuk saya ceritakan pada anak cucu saya kelak.
Sebagai tokoh yang sangat kontroversial (bagi ”ranah” Indonesia),
kehadiran seorang Gus Dur justru memberikan pencerahan bagi peradaban
Indonesia dan mungkin kaum muslimin di seluruh dunia. Mungkin banyak
pemikirannya yang hingga hari ini belum bisa diterima oleh semua pihak,
tapi bukan berarti pemikirannya itu ”tidak akan pernah” diterima.
Terkadang, lontaran pemikiran seseorang bisa mendahului zaman.
Nurcholish Madjid @ Cak Nur adalah contoh terbaik. Pemikiran Cak Nur
tersebut justru terasa ”hidup” bagi kita setelah ia meninggal. Sosok
seorang Gus Dur nampaknya membekas begitu mendalam di benak orang-orang
yang pernah mengenalnya. Gus Dur sebagai seorang cendekiawan dan
pejuang demokrasi yang berperan besar dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara di Indonesia. Sejarah mengenal, se-kontroversial apapun
seorang putra KH. Wahid Hasyim ini, tapi semua orang bersepakat bahwa
ia adalah pejuang demokrasi yang pandai dalam membina hubungan beragama
di Indonesia. "Beliau tokoh besar dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara. Hubungannya dengan negara dan agama, khususnya agama Islam
sangat luar biasa," kata Adnan Buyung Nasution suatu waktu, dulu. Dengan
kemampuannya, suami Sinta Nuriyah ini mampu membangun hubungan yang
sangat demokratis antara negara dan agama. Padahal, dua hal tersebut
merupakan salah satu hal yang paling sulit untuk disinergikan.
Pada masa Orde Baru, ketika militer sangat ditakuti, Gus Dur pasang
badan melawan dwi fungsi. Sikap itu diperlihatkan ketika menjadi
Presiden dia tanpa ragu mengembalikan tentara ke barak dan memisahkan
polisi dari tentara. Dwifungsi tamat. Gus Dur adalah pejuang paling
depan melawan radikalisme agama. Ketika radikalisme agama sedang
kencang-kencangnya Gus Dur menantangnya dengan berani. Dia bahkan
mempersiapkan pasukan sendiri bila harus berhadapan melawan kekerasan
yang dipicu agama. Fenomena paling hebat adalah ketika Gus Dur yang
buta dan berkursi roda mengalahkan lawan-lawannya yang sehat dalam
perebutan kursi Presiden Indonesia keempat. Banyak yang menganggap
terpilihnya Gus Dur waktu itu sebagaii ironi besar bangsa Indonesia
berpenduduk lebih dari 200 juta. Tetapi ironi sesungguhnya, dan itu
sangat fenomenal, adalah kehebatan seorang buta dan lumpuh yang mampu
melumpuhkan keperkasaan orang-orang sehat dan cerdas. Di kalangan
pengagum fanatiknya Gus Dur adalah dewa. Dia juga pejuang yang tidak
mengenal hambatan. Dengan selentingan kesukaannya 'begitu aja kok
repot' Gus Dur tidak menggampangkan persoalan. Justru itu
memperlihatkan kejeniusan seorang Gus Dur menyelesaikan banyak hal
pelik dengan mudah.
Soekarno tak pernah, Soeharto apalagi, Habibie belum. Baru Gus Dur
membuat sesuatu yang bersejarah ini: di depan sebuah pertemuan
internasional di Bali, dialah presiden Indonesia pertama yang bisa
membuat hadirin tertawa. Para kepala negara terdahulu berpidato dengan
gagah, serius, atau mendayu-dayu. Tanpa humor. Tapi Gus Dur tidak.
Presiden yang hampir buta itu berbicara tentang dirinya dan juga
tentang wakil presidennya, Megawati, yang enggan berkomentar. “Kami
berdua akan jadi sebuah tim yang sempurna,” katanya dalam bahasa
Inggris yang bagus, tanpa teks. “Saya tak bisa melihat, dia tak bisa
omong.” Para hadirin tergelak mendengar olok-olok itu. Harian Financial
Time beredar ke seluruh dunia dan menulis tentang Gus Dur yang
“memikat” (to charm) dunia. Selama bertahun-tahun retorika
Indonesia adalah retorika kekuasaan. Di mimbar, Bung Karno bergemuruh
seperti gelombang samudra magis yang berseling petir. Pidato Soeharto
datar-lurus seperti barisan tentara yang maju dengan disiplin. Habibie
memberi sambutan dengan nada naik-turun seperti sebuah kapal udara
ringan yang melintasi perbukitan. Samudra, tentara, pesawat
terbang—semua itu kiasan untuk bermacam daya yang menaklukkan.
Sebaliknya, retorika Gus Dur adalah retorika pertemuan. Ah .....
sudahlah, membicarakan Gus Dur memang memikat. Kelemahannya juga
memikat, apalagi tentang kelebihannya.
Indonesia beruntung memiliki orang-orang besar, mengapa kita harus
pula memperhinakan mereka ? Bukankah kelebihan dan kelemahan orang-orang
besar yang pernah "dihadirkan" Tuhan dalam negri Sumpah Palapa ini
menjadi pertanda dan pesan dari Tuhan .... "belajarlah kalian dari
kelebihan dan kelemahan tokoh-tokoh kalian tersebut", (mungkin itu, yang
mungkin dikatakan Tuhan. Wallahu a'lam).
Saya teringat dengan
sebuah cerita yang saya kutip dari : http://imlawifrailham.blogspot.com/2009/12/tak-semua-hal-harus-dilayani.html,
begini :
Karena letih menjadi rakyat biasa, maka suatu hari, seekor babi hutan membuat sebuah keputusan "fenomenal" ..... ia memproklamirkan diri menjadi raja hutan. Tanpa pikir panjang, ia kemudian bangkit dari kubangan tempat ia beristirahat, menuju singa, raja binatang buas dan menantangnya untuk bertempur. Tentu saja singa hanya memandang sekilas kepada makhluk bau ini, mengabaikannya tanpa ekspresi emosi, walaupun sang babi menggugat "otoritas" dan "kedaulatan politik"nya. Singa kemudian berlalu tanpa perlu membalas tantangannya. Cerita ini, walaupun sederhana dan pendek, justru memberikan pelajaran bagi kita bahwa orang yang bijaksana itu tidak menghabiskan waktu mereka hanya untuk melayani gangguan orang-orang bermental rendah.
______ Seandainya Gus Dur hidup hari ini, ia tidak akan menganggap apa yang diucapkan Soetan Bathoegana itu sebagai penghinaan. Bathoegana itu kecil. Karena defenisi orang BESAR menurut cerpenis Leon Tolstoy adalah : "selalu memikirkan hal yang besar, dan tidak menganggap hal kecil itu sebagai sebuah hal yang substansial".
Karena letih menjadi rakyat biasa, maka suatu hari, seekor babi hutan membuat sebuah keputusan "fenomenal" ..... ia memproklamirkan diri menjadi raja hutan. Tanpa pikir panjang, ia kemudian bangkit dari kubangan tempat ia beristirahat, menuju singa, raja binatang buas dan menantangnya untuk bertempur. Tentu saja singa hanya memandang sekilas kepada makhluk bau ini, mengabaikannya tanpa ekspresi emosi, walaupun sang babi menggugat "otoritas" dan "kedaulatan politik"nya. Singa kemudian berlalu tanpa perlu membalas tantangannya. Cerita ini, walaupun sederhana dan pendek, justru memberikan pelajaran bagi kita bahwa orang yang bijaksana itu tidak menghabiskan waktu mereka hanya untuk melayani gangguan orang-orang bermental rendah.
______ Seandainya Gus Dur hidup hari ini, ia tidak akan menganggap apa yang diucapkan Soetan Bathoegana itu sebagai penghinaan. Bathoegana itu kecil. Karena defenisi orang BESAR menurut cerpenis Leon Tolstoy adalah : "selalu memikirkan hal yang besar, dan tidak menganggap hal kecil itu sebagai sebuah hal yang substansial".
Referensi : Forum Keadilan (1999 : persis edisinya, saya lupa), MS. Hikam (2003)
Foto : nu.org.id
Tidak ada komentar:
Posting Komentar