Kamis, 13 Desember 2012

Habibie itu Pengkhianat, (Bahkan) "The Dog of Imperialism"

Oleh : Muhammad Ilham

(c) kompasiana.com
Belakangan ini, media massa dan media elektronik mendapat berita empuk berkaitan dengan statement seorang (mantan) menteri Malaysia yang mengatakan Bacharuddin Joesoef (BJ) Habibie - mantan Presiden Indonesia ketiga - sebagai pengkhianat bangsa Indonesia. Bahkan Presiden dengan mata bak bola pingpong ini dianggap sebagai budak kaum imperialis. Koran Republika, misalnya menjadikan berita ini sebagai headline (tanggal 10/12 dan 11/12-2012). Pemerintah Malaysia, menurut Republika,  untuk kesekian kalinya melecahkan bangsa Indonesia. Setelah tidak pernah serius menyelesaikan kasus tenaga kerja Indonesia (TKI), kali ini mereka menghina presiden Republik Indonesia ketiga, BJ Habibie. Dalam tulisan opini yang dikutip Utusan Malaysia (kemudian dihapus), awal pekan ini, Menteri Penerangan Malaysia Tan Sri Zainuddin Maidin menuding, Habibie sebagai pengkhianat bangsa. Itu lantaran semasa menjabat presiden, Indonesia harus kehilangan Timor Timur (sekarang Timor Leste). Bahkan, dengan kasarnya Zainuddin menyebut, lengsernya Habibie yang merupakan pemerintahan tersingkat dan jatuh dalam kehinaan. "Habibie sebagai 'The Dog of Imperialism' serta pengkhianat bangsa Indonesia. (Habibie) adalah ibarat gunting dalam lipatan ketika pemerintahan Soeharto," demikian pernyataan Zainuddin. 

Meski dalam tulisan itu, ia menekankan hal itu merupakan pandangan pribadi, bukan pemerintah, sontak saja sepertinya kontroversi bakal memanaskan hubungan kedua negara. Kedatangan Habibie ke Selangor, Malaysia atas undangan Anwar Ibrahim. Wakil presiden di era Soeharto itu memberi pidato akademik di Dewan Pro Canselor Universiti Selangor (Unisel) Shah Alam Selangor. Pemerintah Malaysia menyoroti kedatangan Habibie ke Malaysia yang di undang Partai Keadilan Rakyat (PKR). Itu lantaran PKR dikenal sebagai partai oposisi yang dipimpin mantan deputi perdana menteri Datuk Seri Anwar Ibrahim.

Dan ketika wartawan/reporter TV One mewawancarai Zainuddin Maidin yang bergelar Tan Sri, apakah beliau ingin mengkoreksi pernyataannya di salah satu media massa, akbar istilah negara Cik puna Siti Norhaliza, Zainuddin Maidin yang biasa dipanggil ZAM ini tak bersedia minta maaf.  Bagi saya tidak masalah,  karena bagaimanapun juga, itu bukan pendapat resmi pemerintah Malaysia. Masyarakat Indonesia-pun tak perlu bereaksi berlebihan. Lebih baik opini dibalas dengan opini, itu jauh lebih elegant dan smart. Namun yang saya cengangkan adalah ketika si-ZAM ini mengungkapkan kepada si reporter TV One tersebut bahwa beliau sangat mengagumi Soekarno dan Soeharto. Soeharto tidak masalah, ia (bahkan) dianggap oleh Mahathir Mohammad sebagai sahabat sekaligus guru. Tapi Soekarno ? ......... contradictio. Nampaknya, si-ZAM harus kembali membaca buku sejarah.

Biografer Cindy Adams, pernah menukilkan beberapa paragraf tentang Soekarno - begini :

(c) historia-online

Seorang tokoh pernah berkata, kata Cindy Adams dalam bukunya tersebut, bahwa :

"Jika beliau (maksudnya : Soekarno) berteriak karena terinjak dan teraniaya harga dirinya sebagai presiden dan kepala negara, maka Sukarno adalah presiden paling berani yang pernah hidup di atas bumi ini". "Inggris kita linggis! Amerika kita setrika!", atau Go to hell with your aid. Malaysia kita ganyang. Hajar cecunguk Malaya itu! Pukul dan sikat jangan sampai tanah dan udara kita diinjak-injak oleh Malaysian keparat itu".

Kebencian Soekarno terhadap Malaysia, besar sekali. Kalau si ZAM belajar sejarah, ia akan tahu, bahwa Soekarno pada masa pemerintahannya, pernah ingin menghajar Malaysia. Dan, mengapa Tan Sri Zainuddin Maidin itu justru underestimate dengan Habibie, padahal Habibie tak pernah melontarkan kata-kata profokatif terhadap pemerintahan dan elit politik Malaysia. Mengapa harus Habibie ? Habibie bahkan terkesan soft pada Malaysia ketika beliau menjadi Presiden ? ................................ Nampaknya analisis dari Zaenal A. Budiono/detik.com (15/12/2012) ada benarnya :

detiknews.com - The dog of imperialism. Frasa inilah yang akhir-akhir ini membuat panas kuping sejumlah elit di Indonesia. Gara-garanya, kalimat itu ditujukan untuk mantan Presiden RI ke-3, Baharudin Jusuf Habibie. Penulisnya adalah Tan Sri Zainudin Maidin, mantan Menteri Penerangan Malaysia. Walaupun tulisan Maidin bukan sikap resmi Kuala Lumpur, tetap saja frasa tersebut terlalu kasar sebagai bahasa diplomasi. Apalagi ditilik dari rekam jejak hubungan kedua negara dalam beberapa tahun terakhir, riak-riak selalu menyertai, mulai dari isu TKI, Sipadan-Ligitan, Ambalat, hingga reog. Maka jangan heran jika orang Indonesia sangat sensitif jika ada komentar miring dari jirannya itu. Terkait kedatangan Habibie di Malaysia, itu atas undangan tokoh oposisi Malaysia, Anwar Ibrahim. Beliau didaulat untuk memberikan ceramah di Universiti Selangor. Namun sepertinya hal tersebut tak mendapat restu pemerintah setempat yang dikuasai UMNO. Anwar selama ini dianggap sebagai tokoh reformis Malaysia yang “menganggu” status quo. Beragam cara digunakan pihak penguasa untuk menekan Anwar. Mulai dari isu rekening miliaran ringgit hingga yang menghebohkan soal sodomi. Namun pada akhirnya pengadilan Malaysia membebaskan Anwar karena tak terbukti. Momen kebebasan Anwar makin menyiutkan nyali penguasa Malaysia. Anwar diramal akan menjadi ikon baru demokrasi Malaysia yang hingga kini berjalan bak siput—terlalu lamban. Di sisi lain, kalangan muda dan kelas menengah Malaysia mulai mendukung Anwar. Mereka tak mau dibodohi oleh rejim yang terlalu takut dengan demokrasi. Lebih-lebih, hubungan Anwar dengan sejumlah tokoh reformis Indonesia dikenal dekat. Ia bersahabat baik dengan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan bahkan menjadi komentator saat Presiden SBY masuk dalam Time 100, tahun 2006 silam. Anwar juga dekat dengan Amien Rais, Gus Dur dan tokoh-tokoh penting Indonesia lainnya. Suasana demikian tak ia temui di Malaysia, dimana antar tokoh pemerintah dan oposisi bisa berdikusi bersama, saling kritik dan tukar pendapat atas nama demokrasi.

Di Indonesia sendiri, partai-partai oposisi bebas mengundang tokoh-tokoh dari luar negeri, menggelar diskusi, kritik, bahkan demonstrasi. Semua disikapi sebagai bagian dari keniscayaan demokrasi. Pada akhirnya iklim yang demikian, akan membuat bangsa ini dewasa dan siap dengan perbedaan. Kembali ke Anwar, salah satu tokoh penting lain yang tak pernah lupa dikunjungi Anwar saat di Jakarta adalah BJ Habibie. Mengapa Anwar dan Partai Keadilan Rakyat Malaysia (PKR) dekat dengan Indonesia? Mereka sadar bahwa kekolotan politik yang anti demokrasi tak akan bisa bertahan lama. Malaysia sekarang boleh mengklaim ekonomi mereka stabil dan terus tumbuh. Namun itu bukan jaminan stabilitas. Kelas menengah dan kalangan terdidik di sana juga memiliki hak-hak politik yang harus diberi saluran. Maka dua kali demonstrasi besar berujung kerusuhan dalam tiga tahun terakhir menunjukkan tak semua klaim tersebut liear dengan realita. Di sisi lain, Indonesia yang sempat terpuruk pasca reformasi—dan berkomitmen menggelar demokrasi—kini terus menunjukkan performance positif dalam ekonomi. Indonesia kini adalah negara dengan GDP nomor 16 di dunia, yakni sebesar US $ 800 Milyar. Makanya kita sekarang masuk kelompok G-20, forum strategis yang menentukan arah pembangunan ekonomi dunia. Indonesia juga sedikit dari negara yang ekonominya terus tumbuh di tengah ketidakpastian global. Saat ini pertumbuhan kita mencapai 6,5%, jauh di atas Malaysia. Investment grade Indonesia pun—yang diberikan R&I, Moddy’s dan Fitch—terus membaik dan bahkan masuk kategori "layak investasi". Tak hanya di bidang ekonomi, Indonesia juga dipandang sebagai "cermin demokrasi" bagi negara-negara berkembang. Keberadaan Bali Democracy Forum (BDF) yang setiap tahunnya menjadi ajang sharing demokrasi negara-negara non Barat membuktikan kita menjadi kutub baru demokrasi Asia. Bahkan tahun 2012 ini, BDF dihadiri 14 pemimpin tertinggi (kepala Negara) dan 43 delegasi lainnya. 


Penasbihan Indonesia sebagai negara demokrasi sudah muncul bebeapa tahun lalu, ketika Freedom House menyamakan level demokrasi Indonesia dengan negara-negara Barat yang demokrasinya sudah maju. The point is, Indonesia yang awalnya tertatih, dimana ekonominya terpuruk di awal-awal reformasi, kini mampu bangkit dan tumbuh dengan menerapkan demokrasi. Hal ini juga sekaligus antitesa bagi sebagian kalangan yang percaya demokrasi di dunia ketiga (negara berkembang) berlawanan dengan kinerja ekonomi. Mengenai isu Timor Timur yang diangkat Maidin, ia seakan “buta” sejarah Indonesia. Sebagai mantan menteri, seharusnya ia tahu bahwa kasus Timor Timur tak sesederhana tuduhannya kepada Habibie yang ia sebut sebagai “pengkhianat”. Rakyat Indonesia menjadi saksi bagaimana Habibie berani membuka pintu bagi demokrasi di Indonesia. Sejak itu era otoritarian orde baru yang mencekam dapat diakhiri. Lepasnya Timor Timur pada 1999 lebih disebabkan tiga hal, pertama, sejarah Timor sendiri yang berbeda dengan provinsi-provinsi lainnya di Indonesia. Kedua, kegagalan pendekatan keamanan ala orde baru yang otoriter. Ketiga, kemungkinan adanya “intervensi” dalam jajak pendapat, dimana penghitungan dilakukan di New York, dan bukan di Dili ataupun Jakarta. Jadi Habibie di sini hanya ketiban tanggung jawab untuk memimpin Indonesia di tengah keterpurukan ekonomi dan keterbukaan politik sekaligus. Sebuah era yang sangat tidak mudah. Rakyat Timor Leste kini juga melihat Indonesia sebagai negara sahabat. Kedua pemimpin negara sepakat menyelesaikan problem masa lalu melalui dialog dan rekonsiliasi. 


Para pengusaha Indonesia juga banyak masuk ke Timor Leste untuk membantu derap ekonomi negara baru tersebut. Tak ada dendam, tak ada permusuhan. Bahkan Xanana Guamao dan Ramos Horta, dua pemimpin Timor berkali-kali datang ke Jakarta dan Bali untuk membangun hubungan baik. Presiden SBY saat melawat ke Dili pertengahan tahun ini disambut sebagai “tamu agung” dengan perayaan besar di sepanjang jalan. Ini menunjukkan bahwa demokrasi dan dialog bisa menjadi elemen soft power yang menentukan dalam diplomasi modern. Jika demikian keadannya, dapat disimpulkan bahwa tuduhan Maidin benar-benar lucu dan ahistoris. Atau ada agenda lain? Mungkin saja. Sebab kalau kita cermati lebih dalam, serangan Maidin sejatinya bukan ke Habibie. Mantan Presiden ketiga Indonesia itu hanya dijadikan media untuk menyerang lawan politiknya di dalam negeri yang paling tangguh: Anwar Ibrahim. Sebagaimana di atas, Anwar tak mudah ditundukkan dengan berbagai cara, bahkan sekarang popularitasnya terus menanjak. Apalagi setelah “serangan isu sodomi” tak terbukti. Anwar sendiri mengatakan bahwa artikel Maidin tersebut menunjukkan bahwa UMNO sangat panik. Kedatangan Habibie demikian dikhawatirkan akan mampu memompa semangat perlawanan para pemuda dan mahasiswa Malaysia. Ia juga menyamakan rejim UMNO dengan orde baru yang tumbang di Indonesia. Akankah ini tanda bahwa UMNO akan tumbang? Rakyat Malaysia yang bisa menjawabnya. Sementara di pusat keramaian Jakarta, sejumlah remaja dan orang tua tengah berkumpul untuk mengantri tiket. Mereka tak sabar menyaksikan film yang diprediksi akan “meledak” di pasaran di akhir tahun ini. Sebuah cerita tentang tokoh besar dalam sejarah Indonesia. Tak melulu cerita heroik, tapi justru tentang perjalanan cinta, kesetiaan dan pengorbanan anak manusia. “Habibie dan Ainun”, itulah judul film yang tengah happening di Indonesia saat ini. Film tentang betapa idealnya hubungan Habibie dan istrinya Ainun hingga ajal memisahkan keduanya. Di lantai lobi XXI Premiere, kritik Maidin tak banyak “dianggap sesuatu” oleh kaum muda Indonesia. Mereka tetap ramai mengantri. Mereka melihat Habibie sebagai sosok yang berjasa besar dalam pembangunan dan perubahan Indonesia. Bapak teknologi, Bapak demokrasi. "Ah Maidin… kemana aja selama ini hingga tak tahu reputasi BJ Habibie".

_________ Ini bukan tulisan bertendensi provokatif. Saya hanya mengkomparasi dan mengkonfirmasi fakta sejarah.

Tidak ada komentar: