Kamis, 30 Juni 2011

Nabi yang Sukses Jadi Manusia dan Manusia yang Sukses Jadi Nabi

Ditulis ulang : Muhammad Ilham


Muhammad SAW., Muhammad SAW., tidak habis-habisnya kami memujimu. Betapa aku makin mencintaimu. Betapa hidupmu bertaburan emas permata kemuliaan, sehingga luapan cinta ku padamu tak bisa dibendung oleh apapun. Dan seandainya cintaku ini sungguh-sungguh, betapa tak bisa dibandingkan, karena hanya satu tingkat belaka di bawah mesranya cinta kita bersama kepada Allah. Akan tetapi nampaknya cinta kami tidaklah sebesar itu padamu. Cinta kami tidaklah seindah yang bisa kami ungkapkan dengan kata, kalimat, rebana, shalawat, lagu lagu ruhani yang memuja mujimu. Dalam keseharian kehidupan kami, kami lebih tertarik kepada hal-hal yang lain. Seperti juga kalau kami bersembahyang, shalat, Mi'raj , sujud kepada Allah, kebanyakan dari kami melakukannya karena kewajiban, tidak karena kebutuhan kerinduan, atau cinta yang meluap luap. Kalau kami berdoa, doa kami berfokus pada kepentingan pribadi kami nasing-masing. Sesungguhnya kami belum mencapai mutu kepribadian yang mencukupi untuk disebut sebagai sahabatmu, Muhammad. We love you yet we dont really follow your way of life.. !

Muhammad, Muhammad. Engkau didatangkan untuk dijadikan agen rahmatan lil alamin, anugerah bagi seluruh alam. Bahwa Muhammad seorang Nabi dan Rosul, itu juga cuma urusan birokratik, ditugasi membawa amanah keselamatan, dengan juklak tertentu, misalnya “ Bilhikmati wa- lmau’idlati-lhasanah”. Muhammad bukan Nabi karbitan atau Nabi mendadak. Proses dari maqom Muhammad Manusia menuju Muhammad Nabi ia tempuh dengan cara yang sama persis seperti manusia siapa saja. Ia berjuang untuk jujur, tekun, bersih, kerja keras, sehingga dijuluki Al-Amin. Ia terlibat sosial, kontemplatif, bertanya, mempertanyakan, berjuang untuk mengembangkan wawasan wawasan tentang persoalan masyarakat di sekitarnya. Sampai usia 40 tahun, wawasan nya masih kurang, sehingga Tuhan bilang : IQRA, bacalah. Baca apa? Quran? Kan Quran belum ada, baru beberapa ayat pertama. Jadi bacalah problem disekitarmu. Muhammad pun membaca. Hasilnya bukan ini ARAB itu non ARAB, melainkan itu jahiliyah ini Islam, itu kebodohan, ini ilmu. Itu penindasan, ini perlawanan untuk keadilan. Itu Superioritas-inferioritas, ini kesamaan manusia di hadapan Allah. Itu monopoli ini distribusi. Itu kekuasaan manusia atas manusia, in pengabdian manusia kepada Allah langsung dan lewat sesama. Itu hidup untuk makan, ini makan untuk hidup. Itu akumulasi dan kerakusan, ini “ yang kupunya tinggal Allah”. Itu dominasi, ini Islam. Semua pengetahuan tentang nilai alternatif itu tidak datang “gratisan” dari Tuhan, melainkan “dibeli” olehnya dengan laku panjang dan sakit. Muhammad frustasi bertahun tahun sendirian di tengah zaman edan yang bisa menikamkan pedang kapan saja ke perutnya. Ia sendirian merenung di GUA HIRA, karena belum ada workshop, sarasehan atau seminar. Muhammad bersujud beratus kali lebih lama dari manusia lain yang hanya bersujud 17 kali, berpuasa lebih lapar, belajar tanpa buku, otodidak teladan. Itu semua tidak untuk cita-cita ke Araban, melainkan kemanusiaan dalam ke ILAHIAN. Tidak untuk obsesi “ ARAB UBER ALLES, melainkan internasionalisme dan Universalisme. Sesudah menggarap kepribadian sedemikian rupa Muhammad pun mulai mengkreatifi pokok pokok ajaran Quran, menggali dan mengembangkan metode metode perubahan sosial, perubahan masyarakat, perubahan sejarah. Diterapkannya metode sirri (tersembunyi), jahri (terang-terangan), usaha-usaha mengenali setiap entry point sosial kultural, mengorganisasi, koperasi, dan menerapkan konsep hijrah. Sesudah ia berhasil total merombak sejarah lingkungannya dalam waktu yang teramat singkat apalagi menurut takaran periode sejarah ketika itu yang tanpa komputer dan tanpa grand dan foundation manapun Muhammad tidak “ menguasai “ apa yang dihasilkannya. Muhammad tidak bertengger di singgasana Bapak Pembangunan Arab, tidak memonopoli perdagangan ke Syam, tidak punya perusahaan, dan tidak merancang sebukit pasir pun untuk makamnya.

Muhammad terus berjalan tetap melanjutkan perjuangannya untuk menjadi pribadi yang kuat dalam keimanan, kuat terhadap lapar dan haus, kuat memberikan apapun kepada keluarganya, kuat dalam berpakaian dan berharta pas-pasan, kuat dalam mempertahankan sifat mulia, jujur, bersahaja dan terpercaya. Ia seorang pejuang dan wakil rakyat yang bersedia terluka, kehidupan materilnya sama sekali tak berbeda dengan tetangga-tetangganya yang miskin, seorang pekerja keras dan pekerja kasar, sekaligus pemikir dan perenung, seorang yang tenggelam bersama orang banyak, sekaligus seorang sufi yang frekwensi ibadatnya tak alang kepalang. Hari itu, karena tak ada kurma atau roti sekeratpun, maka ia mengajak Aisyah istrinya untuk berpuasa. Muhammad lantas bersembahyang, berzikir, beristighfar, seharian. Namun menjelang sore ia kecapaian, dan tertidur di bawah pohon kurma, di atas sesobek daun yang membuat pipinya tergores-gores. Ibnu Mas’ud melintas dan terbengong bengong menyaksikan peristiwa ini. “ Ini orang menguasai seluruh jazirah Arab, tapi hidupnya seperti ini. Ibnu Mas’ud bermaksud mengambilkannya bantal, dan Muhammad pun menjawab, “ Apa yang bisa diperbuat oleh bantal? Aku ini musafir di tengah padang pasir gersang kehidupan dunia yang panas. Aku menjumpai sebuah pohon rindang, dan karena aku letih dan lelah, aku berteduh dan istirahat. Nanti kulanjutkan perjalanan untuk menemui Tuhanku.”

Jika segala nilai nilai dan makna hidup, segala konsep digali dan dikelola oleh manusia karena kualitas kepribadiannya, maka komitmen kebangsaan Muhammad bukan saja tidak dibatasi oleh ras atau geografi, bukan saja meluas ke pembelaan atas kaum tertindas sebagai sebuah “ bangsa” tersendiri, namun bahkan juga bersih dari kehendak kekuasaan dan nafsu ekonomi yang berlebihan. Muhammad tidak mendirikan Negara Arab atau Negara Islam yang memaksa setiap warganya untuk beragama Islam, melainkan menyebarkan berita keselamatan, memperjuangkan keselamatan kemanusiaan, dengan tetap memelihara hak setiap manusia dalam koridor “ laa ikraha fid-din”. Muhammad tidak pernah disebut kuno, meski kita punya Mercedes paling mutakhir, super komputer, serta segala jenis teknologi yang paling dibangga-banggakan. Setiap Masyarakat, setiap kelompok yang mengakui mencintaimu dan memasang besar besar spanduk yang mengiklankan kecintaan padamu, dan setiap orang mengagung-agungkannya. Muhammad tidak menjadi lapuk oleh panas hujan segala zaman. Muhammad dipelihara namanya di zaman orang bertani, serta di zaman ultra modern ketika kekuatan alat informasi dan komunikasi dijadikan “ Dewa”. Muhammad senantiasa hadir kembali. Muhammad senantiasa lahir dan lahir kembali. Memunculkan “dirinya” dalam setiap konteks pemikiran, manifestasi peradaban dan kebudayaan, serta dalam setiap produk dan ungkapan kemajuan.

Setiap saat disudut sudut bahkan diseantero Indonesia namamu dipanggil-panggil dan diagung-agungkan. Telah ribuan kali umatmu melakukan peringatan itu, setiap hari, minggu, setiap bulan, bahkan setiap tahun, tetapi lihatlah, umat Islam jalan di tempat. Tidak cukup ada peningkatan penghayatan. Tak terlihat output personal maupun sosial dari proses perenungan tentang kekonsistenan. Acara peringatan maulidmu pada kami mengalami involusi, bahkan mungkin degradasi dan distorsi. Zaman telah mengubah kami, dan kami telah mengubah zaman, namun kualitas percintaan kami kepadamu tidak kunjung meningkat. Kami telah lalui berbagai era, perkembangan dan kemajuan. Ilmu pengetahuan dan teknologi kami makin dasyat, namun tak diikuti dahsyatnya perwujudan cinta kami kepadamu. Kami semakin pandai, namun kami tidak semakin bersujud. Kami semakin pintar, namun kami tidak semakin berislam. Kami semakin maju namun kami semakin tidak beriman. Kami semakin berkembang namun kami tidak semakin berihsan.sel-sel memuai, dedaunan memuai, pohon-pohon memuai, namun kesadaran kami tidak. Keinsafan kami tidak, cinta dan internalisasi ketuhanan kami tidak. Padahal engkau adalah negarawan agung dibanding ketikusan politik kami. Padahal engkau adalah ilmuwan ulung dibanding kepandaian semu kami. Padahal engkau adalah seniman anggun dibanding vulgar nya kebudayaan kami. Padahal engkau adalah penyelamat dan pembebas kemanusiaan. Engkau adalah moralis kelas utama dibandingkan kemunafikan kami. Engkau adalah panglima kehidupan yang tak terbandingkan dibanding kan keprajuritan dan keserdaduan kepribadian kami. Engkau adalah mujahid pejuang yang sedemikian gagah perkasa terhadap godaan benda emas dibanding kekaguman tolol kami terhadap hal yang sama. Engkau adalah organisator dan manager yang penuh keunggulan dibanding ketidaktertataan keumatan kami. Muhammad, Muhammad, pantaskah kami mengaku umatmu?

Sumber : (c) FB Yusuf Daud (cc) Nico V. Vargas (cc) Muhammad Ilham Fadli
Foto : www.luvislam.com

Jumat, 24 Juni 2011

Jika Para Pembantu itu adalah Budak dari Tiap-Tiap Majikannya, (Maka) Pemerintah Indonesia adalah Budak dari Pemerintah Negara Majikan-Majikan itu

Oleh : Muhammad Ilham

" .... bangsa kuli dan kuli bangsa " (Douwes Dekker)


Cerita Tenaga Kerja Indonesia (baca : TKI) seumpama cerita "telenovela", ada kisah bahagia penuh tawa, tapi tak sedikit kita disuguhkan cerita miris-sedih penuh air mata. Sucses story para TKI di negeri seberang, pada dasarnya merupakan inspirasi bagi semua orang, anak bangsa ini, untuk tidak hanya bertepuk dada. Mereka sukses di negeri orang, karena negerinya tak memberikan ranah untuk membuatnya sukses. Demikian juga halnya dengan cerita duka "pahlawan devisa" (ah ... gelar usang !), ketika mereka dinistakan di negeri orang lain, telunjuk juga harus dan mutlak dihadapkan kepada bangsa ini, mereka pergi dan dinistakan di negeri orang karena mereka tak memiliki kesempatan untuk sekedar menaikkan taraf hidup di negeri yang mungkin dibangun "peluh-keringat" orang tua mereka. Berbagai kisah sedih yang dialami oleh TKI dan bagaimana bangsa ini memberikan "solusi" seakan-akan membuat kita nelangsa.

Sumiati dan Kikim Komalasari, memulai "drama usang" penyiksaan TKI di luar negeri ditahun belakangan ini. Sumiati seorang pembantu rumah tangga di Arab Saudi asal NTB, digunting bibirnya. Kikim Komalasari dibunuh dengan benda tumpul (ada yang menyebut digorok setelah diperkosa). Mereka "meregang nyawa" dan tersakiti di negeri orang lain. Kebuasan seperti itu bukan sekali ini saja terjadi. Beberapa tahun yang lalu tentu kita masih ingat kemalangan serupa yang menimpa Nirmala Bonet di Malaysia. Masalah yang selalu mengemuka adalah minimnya perlindungan terhadap TKI yang mengakibatkan begitu mudahnya hak-hak asasi mereka dilanggar. Pemerintah dan agen penyalur TKI selalu menjadi kambing hitamnya. Sejauh ini mereka memang kambing hitam yang sesungguhnya, namun ada sesuatu yang nampaknya luput dari perhatian publik. Ada sesuatu yang jauh lebih besar dan esensial melatarbelakangi rentetan kejadian-kejadian serupa ini. Kedudukan pembantu rumah tangga dalam struktur sosial selalu berada di bawah. Mereka dianggap orang dengan tingkat pendidikan dan keterampilan yang rendah. Mereka juga sering dianggap orang yang 'tidak tahu apa-apa', awam, lugu. Pada situasi seperti ini secara alamiah akan terbentuk suatu hubungan majikan-pembantu yang tak ubahnya seperti tuan-budak di abad pertengahan. Jika ditelusur lebih dalam lagi, terdapat kemungkinan adanya norma-norma lokal tertentu yang memberi 'pembenaran' terhadap perilaku ini. Puncaknya, di Arab Saudi, Ruyati (wanita sayang teramat besar pada keluarganya) harus rela menghadap Sang Pencipta via Tukang Pancung Kepala.

Seperti lazimnya hubungan tuan-budak, tidak ada sehelai pun batas perlakuan yang boleh maupun yang tidak boleh dilakukan seorang tuan kepada budaknya. Budak adalah barang di mana tuannya memiliki hak penuh atasnya. Jika premise ini ditarik dari skala individu tiap-tiap pembantu kepada skala komunitas pembantu dari Indonesia, maka akan nampak bahwa bahwa sesungguhnya gejala yang sama terjadi pada hampir semua, jika tidak dapat dikatakan semua, pembantu rumah tangga Indonesia yang bekerja di luar negeri. Pola hubungan tuan-budak tidak selalu berakhir pada kekerasan fisik. Beberapa atau mungkin banyak di antara mereka diperlakukan sangat baik oleh tuannya. Diberi uang lebih, pakaian, fasilitas kesehatan, dan lain-lain. Perlakuan semacam ini tidak berarti mereka memiliki kedudukan sama dengan tuannya, sebab secara faktualnya kehidupan para budak (pembantu) itu 100% berada di tangan majikan (tuan)nya. Tidak ada daya sedikit pun dari mereka untuk secara leluasa melakukan apa yang mereka rasa ingin atau perlu mereka lakukan. Toh, pada abad pertengahan tidak jarang kita dengar kisah tuan-tuan yang begitu baik pada budak-budaknya.

Dengan demikian, bangsa ini sesungguhnya telah mengalami pelecehan atas kehormatan dan kedaulatannya. Para pembantu itu tidak dapat dipungkiri adalah representasi bangsa yang terbesar jumlahnya di luar negeri. Maka jelaslah, bahwa peristiwa-peristiwa 'kecil' penyiksaan TKI itu sesungguhnya adalah suatu penggalan drama saja dari keseluruhan cerita bahwa bangsa ini tidak memiliki nilai kehormatan di mata bangsa lain. Situasi ini benar-benar diperparah dengan ketidakmampuan pemerintah memberi perlindungan dan pembelaan pada para pembantu itu. Tidak mengherankan jika kemudian kasus-kasus kekerasan terus saja terjadi, sebab ketidakmampuan pemerintah ini memberi pesan yang jelas bahwa keseluruhan bangsa ini sebenarnya sudah takluk pada kekuatan majikan-majikan di luar negeri. Jika para pembantu itu adalah budak dari tiap-tiap majikannya, maka pemerintah Indonesia adalah budak dari pemerintah negara majikan-majikan itu. Titik.

Referensi : beberapa data diambil dari detik.com

Kisah Algojo Pemancung Arab Saudi : "Saya Memiliki Misi".

Ditulis ulang : Muhammad Ilham

Kisah pemancungan tenaga kerja Indonesia (TKI) di Arab Saudi, Ruyati binti Satubi, menjadi isu nasional. Lalu siapa petugas pemancung Ruyati? Misterius. Yang jelas, algojo berpedang tajam itu harus tega, tak boleh iba. Bicara soal algojo, tak banyak yang melakoni profesi algojo pemancung di Saudi. Jumlahnya hanya sekitar 6 orang yang ditunjuk langsung pemerintah untuk menerapkan hukuman berdasarkan syariat Islam. Salah satunya adalah Abdallah Al Bishi. Pada sekitar 2007, salah satu TV Lebanon, LBO TV, mewawancara algojo yang disebut "paling termasyhur" ini, mengenai serba-serbi algojo pemancung. detikcom mencoba merangkumnya dari Youtube, Jumat (24/6/2011). Al Bishi mengungkapkan dirinya mewarisi profesi pemancung dari ayahnya Sa'id Al Bishi. Dia ingat saat dia kecil menemani ayahnya memancung orang di Makkah. Pemandangan itu menjadi titik balik bagi hidupnya. "Saya saat itu sedang sekolah dan serangkaian eksekusi yang ditangani ayah sedang disiapkan. Tepatnya di depan gerbang King Abdul Aziz. Kami lantas datang," tutur Al Bishi yang diwawancara ditemani 3 anaknya yang masih kecil-kecil. Hal pertama yang ada di pikirannya saat orang-orang berbicara tentang pemancungan adalah, organ sistem pencernaan. Saat itu, imbuhnya, dirinya yang duduk di bangku sekolah sedang mempelajari mengenai sistem pencernaan. "Jadi saya datang menemani ayah mengeksekusi orang. Jadi saya ingin melihat (organ) sistem pencernaannya. Namun yang saya lihat adalah kepala manusia yang melayang dan lehernya, kemudian ada pancaran seperti sumur. Dan kemudian jatuh. Cukup, dan saya tak tahan lagi," jelasnya. Malamnya, Al Bishi mengalami mimpi buruk. "Saya memiliki mimpi buruk, hanya sekali. Lantas saya jadi terbiasa (melihat pemancungan-red). Segala puji bagi Allah," katanya.

Hingga suatu saat, 10 hari setelah ayahnya meninggal sekitar tahun 1991 atau 1992, dirinya didatangi seseorang yang berkata,"Saya memiliki misi". Dan Al Bishi pun diberi tahu bahwa misi itu adalah eksekusi hukuman mati. "Saya mengatakan no problem. Saat itu saya berusia sekitar 32 atau 35 tahun," tuturnya. Al Bishi mengatakan saat itu dia tidak memiliki pedang atau senjata apa pun. Jadi dia memakai pedang milik ayahnya. Misi pertamanya adalah memancung 3 orang. Bagaimana perasaan Anda saat itu? "Setiap orang khawatir akan pekerjaan pertamanya. Dan kalau takut, dia mungkin gagal," jawabnya. Dan sejak itu, pedang milik Al Bishi sudah memancung ratusan orang lebih. Dia pun lantas memamerkan pedang-pedangnya. Salah satunya yang dinamai 'The Sultan', pedang sepanjang 50 cm itu agak melengkung bilahnya, seprti bulan sabit tua. Al Bishi mengatakan semua pedang-pedang yang dimilikinya adalah pedang Jowhar (salah satu wilayah di Somalia). Al Bishi mengatakan ada jenis-jenis pedang yang cocok untuk memancung dengan gerakan horisontal maupun vertikal. Untuk gerakan memancung horisontal, Al Bishi memeragakan menebas pedang ke arah depang-samping. Sedangkan vertikal adalah memancung dari atas ke bawah.

Ketika ditanya apa yang paling sulit saat dia menjadi algojo, atau pernahkah dia memancung orang-orang yang dikenalnya bahkan temannya sendiri, Al Bishi menjawab, "Ya, saya memancung orang dan beberapa di antaranya teman saya sendiri. Tapi siapa yang melakukan pelanggaran, akan kembali pada dirinya sendiri." Ketika ditanya lagi, apakah sulit memancung orang berjenis laki-laki atau perempuan, dan apakah ada rasa iba jika memancung terpidana mati perempuan, Al Bishi lagi-lagi dengan tegas menjawab, "Yang paling sulit saat memancung orang adalah saat dia tidak bisa mengendalikan kegugupannya. Apakah duduk, atau berdiri tegak. Kalau saya iba saat saya memancung, dia akan menderita. Kalau hati iba, tangan ini bisa gagal." Tak jarang dalam sehari, Al Bishi memancung lebih dari 3 orang. Sampai-sampai pegangan pedangnya patah. Saat Anda memancung 3-4 kali dalam sehari, apakah butuh break sejenak? Apakah Anda memerlukan jeda untuk mengeksekusi? ..... "Tiga, empat, lima, enam orang, tidak ada itu (jeda). Eksekusi adalah eksekusi, sepanjang orang itu berdiri tegak, itu akan mempermudah kerja kita," jelasnya. Selain memancung terpidana mati, Al Bishi juga melaksanakan hukuman potong tangan bagi pencuri dan bagian tubuh lainnya sesuai dengan ketentuan hukum syariat Islam. Al Bishi mengungkapkan hukuman potong bagian-bagian tubuh ini berbeda dengan hukuman mati. "Hukuman itu dilakukan dengan pembiusan lokal," katanya, lain halnya dengan hukuman mati. "Tidak, seseorang itu tidak dibius (jika dipancung)," ujarnya. Al Bishi menolak pekerjaannya disebut kejam. Berita-berita kekejaman yang berseliweran menurut dia berasal dari rumor. Al Bishi malah merasa terhormat dengan profesinya itu, dan menganggapnya sebagai pengabdian untuk Allah. Bahkan, dia melatih anak pertamanya, Badr, untuk menggantikannya kelak, sebagaimana dia menggantikan ayahnya. "Segala puji bagi Allah, Badr ditunjuk untuk melakukannya di Riyadh," jelasnya

Sumber : http://www.detiknews.com/
Foto : mediaindonesia.com

TKI, Ruyati dan Dasril : "Menepuk Air Di Dulang"

Oleh : Muhammad Ilham

Masih teramat segar dalam ingatan kita, bagaimana Presiden kita nan gagah dan pintar-sistematis menyusun dan mengolah kata - Susilo Bambang Yudhoyono - mendapatkan standing aplause saat berpidato di sidang ILO di Jenewa, Sabtu (18/6). Sebuah pidato yang ingin menitip pesan kepada dunia : "Tenaga Kerja harus dilindungi dan diperlakukan layaknya sebagai manusia profesional". Tapi pesan anyar dan standing applause tersebut terasa hambar ketika kita dikejutkan dengan eksekusi hukuman mati (dipancung) Tenaga Kerja Wanita asal Bekasi, Ruyati. Banyak orang yang terhenyak, tak luput pula berita itu menjadi trending topic di tanah air. Dalam rilisnya, Migrant Care menyebutkan bahwa Ruyati yang dihukum pancung itu hanya merupakan salah satu diantara TKI yang terancam hukuman mati di negara Arab Saudi, tentunya masih ada beberapa orang lagi yang menunggu "giliran". Migrant Care menuding diplomasi pemerintah sangat lemah dalam melindungi buruh migran di berbagai negara.

Saya tak ingin "melibatkan" diri dalam perdebatan kelambanan dan ketidakcermatan pemerintah melihat hal ini. Demikian juga dengan usulan "Usir Duta Besar Arab Saudi" (sebuah hal yang justru merugikan kita teramat banyak) atau lontaran-lontaran keprihatinan dari berbagai elemen bangsa beberapa hari belakangan ini terkait dengan hukuman pancuang Ruyati ini. Semuanya terasa baik. Refleksi dari nasionalisme. Tapi ..... mengingat Ruyati, teringat pula saya dengan Dasril di Malaysia. Ia TKI juga yang hampir "habis" hidupnya. Namanya Dasril, asal Pesisir Selatan. Saya lupa-lupa ingat (meminjam istilah KuburanBand), dimana kampung kecilnya di Pesisir Selatan. Tapi yang pasti, waktu pertama sekali saya mengenalnya, ia masih bujangan, dan ketika saya berinteraksi selama lebih kurang 2-3 bulan pada tahun 2005 pertengahan, ia berumur 28 tahun, kurang lebih. Berdomisili (dalam bahasa Malaysia : "bermastautin") di Hulu Langat, Selangor. Pekerjaannya di Malaysia, 3 jenis : menyadap getah, berniaga buah dan menjaga kebun orang Melayu. Ia masuk ke Malaysia sejak tahun 1999, mengikuti kakaknya yang telah memiliki IC Biru. Selama rentang 6 tahun tersebut (1999-2005), Dasril sudah dua kali masuk penjara, tertangkap karena "kosong" (istilah tidak memiliki dokumen), satu kali di sabat (dipukul dengan rotan ke arah daging pinggul bagian atas, dan biasanya setelah disabat tersebut, butuh 3 hari untuk tidur menelungkup) dan dua kali di usir. Ia pernah lari ke hutan, sendirian sambil menghuni satu kebun orang Melayu yang simpati padanya. Saya pernah dibawanya ke kebun (tepatnya : hutan belantara) tersebut, sungguh lengang dan mirip dengan suasana yang diceritakan Pramudya Ananta Toer tentang pulau Buru). Disinilah waktu dulu, Dasril hidup kayak "Rambo", makan buah-buahan dan sesekali dikirimkan beras oleh temannya orang Melayu yang simpati padanya. Temannya yang orang Melayu ini tidak begitu leluasa berkirim makanan pada Dasril karena takut ketahuan oleh Rela (semacam Tim Pol PP a-la Indonesia yang bertugas menswipping TKI Illegal). Apabila ketahuan, konsekuensinya jelas : masuk lokap @ penjara. Walaupun kondisi seperti ini, Dasril tetap bertahan dan tidak ingin pulang ke Indonesia. Ketika keluar kebijakan "pemutihan" pada awal pemerintahan PM Datuk Seri Abdullah Ahmad Badawi, Dasril keluar dari "pertapaannya", dan kemudian memanfatkan momentum ini untuk menyelesaikan administrasi-dokumen. Ia kembali ke Indonesia, untuk beberapa bulan. Setelah itu, ia masuk kembali ke Malaysia. Atas jaminan kakak dan kawan melayu-nya, ia memperoleh visa untuk berniaga buah dan menyadap karet.

Ketika saya tanyakan, mengapa tekadnya begitu kuat untuk tetap bertahan di Malaysia, bahkan mau "bertapa" di hutan belantara dan pinggulnya masih terlihat jejak bekas sabat-rotan (dan, konon katanya kawannya, "burungnya" sulit untuk hidup dan berpotensi impoten, mungkin karena "hempasan kuat" rotan waktu disabat). Saya bahkan memberikan argumentasi-logis bahwa selama 6 tahun beliau berniaga dengan "onak duri kehidupannya", toh Ringgit-pun tak diperolehnya dalam jumlah banyak, bahkan mungkin ia merugi. Lebih baik pulang ke Indonesia, berniaga di Padang atau Pesisir Selatan atau di Jakarta atau dimana saja, mungkin uang banyak yang bisa dikumpulkannya. Dasril menjawab, "disamping lambaian ringgit yang luar biasa, ketenangan berniaga dan berusaha di Malaysia jauh lebih aman dibandingkan di Indonesia ....... asal dokumen lengkap. Dalam berniaga, di Malaysia, bila dokumen lengkap, kita tak punya musuh. Di sini tak ada "orang bagak", preman yang minta uang, harus melapor ke sana ke mari jelang berniaga dan seterusnya. Berniaga di kampung orang Cina atau orang India, berdekatan dengan mereka bahkan bersaing dengan mereka tidak akan membuat kita khawatir. Tidak akan ada kata-kata : "pergi......... kamu orang Indonesia, ini wilayah peniaga India atau Cina, tidak boleh berniaga di sini. Di Indonesia, saya jamin kata Dasril, saya yang orang Pesisir Selatan akan kesulitan berniaga di daerah orang Pariaman apatah lagi kalau tidak melapor pada "orang bagak". Ringgit ............ nanti akan bisa terkumpulkan. Namun, suasana batin yang tenang-lah yang ingin dicari Dasril. Ia telah belajar, dokumen sebagai bentuk penghormatan. Orang akan memberlakukannya dengan hormat, apabila dokumennya lengkap. Ketika dokumen telah "ditaklukkannya", Dasril mulai merasakan bagaimana "nikmatnya" berniaga di Malaysia...... ia tidak mengenal pungutan liar, orang bagak, preman, kecemburuan etnik (orang pribumi-pendatang) dan pencurian. Bahkan, ia pernah menghardik orang Melayu asli di perkampungan Melayu di Sungai Lui Hulu Langat karena menghina profesi dan negaranya. Orang Melayu ini minta maaf dan tak pernah lagi mendengar : "hei kamu orang Indon, tak boleh berniaga di Malaysia". Ini yang dianggapnya tidak akan pernah didapatkannya bila berniaga di Indonesia. Sekarang, saya tidak tahu dimana Dasril berada. Tapi dua tahun yang lalu, saya dapat kabar dari kawan-kawan perantau Pesisir Selatan di Selangor bahwa Dasril berada di Pahang. Ia nomaden, mengikuti ritme musim durian. Konon ...... ia telah punya istri, orang Bangladesh (biasanya orang Malaysia menyebut dengan istilah orang Bangla dan konon, menjelang nikah ia mengobati "burungnya" sama orang India), muslimah-cantik dan telah punya Van (mobil khas untuk berniaga buah). Alhamdulillah, ia telah mapan. Mungkin ia telah melupakan Indonesia. Ia tidak mau tahu dengan nasionalisme, Ambalat apalagi cerita melankolik Manohara. Ia lebih mau tahu dengan kepastian dan kehormatan kehidupannya. Dan untuk itu, mungkin ia merasa bahwa ia lebih bisa "hidup" dan hormat ketika ia hidup di Malaysia.

Ada pertanyaan yang terus bergelayut dalam benak saya : "Mengapa para TKI (baca : pahlawan devisa Indonesia), terkadang ditangkap karena faktor dokumen yang tidak lengkap, terkadang dihina, disakiti, diusir dan disabat (dirotan), bahkan ada yang dihukum pancung ...... namun mereka tetap betah berada di negara orang untuk "berimprovisasi hidup" dan ingin kembali lagi ke "seberang" ini, bila dipulangkan ke Indonesia?". Diantara banyak faktor yang menyebababkan hal di atas terjadi, faktor EKONOMI merupakan faktor super-signifikan. Namun, ada faktor-faktor "kecil" yang justru membuat para TKI tersebut menjadi "at-home" di Malaysia dan negara-negara "sorga" lainnya. Dan saya tak tahu persis apakah sanggup pemerintah Indonesia mengadakan moratorium terhadap pemerintah Arab Saudi dengan kasus Ruyati ini. Cerita pahit TKI sudah sering mereka dengar sehingga lambaian Ringgit dan Real terlampau sayang dihindari.....! (Ibu Ruyati Almarhumah : Allahummagh Fir Laha ... !)

Foto : atmo2008/romokoko.com

Ketika Manusia "Melukis" Alam

Ya Allah Robbi Izzati Nan Maha Cantik lagi Maha Elok ......... bukan kami ingin "menodai" keindahan bumi engkau ..... ! Semoga dalam beberapa tahun ke depan, sungai-sungai seperti ini akan menjadi "fosil" dan jadi cerita buruk sebuah peradaban ummat manusia yang kemudian digantikan dengan sungai-sungai yang indah, bersih lagi elok. Saya tak tahu ..... apakah foto ini memenuhi kelayakan untuk memenangkan hadiah PULITZER ("Nobel"-nya dunia photography) ....... Oppps !







Sumber foto : www.google.picture.com

Senin, 20 Juni 2011

Parade "Silat Lidah" Politisi

Oleh : Muhammad Ilham

Ada penggalan dialog menarik dalam Film Devil Advocaat, "jangan percaya pada politisi, mereka pembohong", kata aktor watak Al Pacino. Saya tak ingin mengomentari konteks Al Pacino mengeluarkan pernyataan yang sudah menjadi "rahasia umum" dalam ruang publik ini. Namun yang pasti, teramat sulit kita menjumpai politisi seperti Mohammad Hatta dan Mohammad Natsir. Hatta menyerahkan mandat-nya sebagai Wakil Presiden/Perdana Menteri kepada sahabat dekatnya, Soekarno, yang telah masuk ke dalam "jurang" otoritarianisme dengan eksperimen Demokrasi Terpimpin. Sementara Natsir menyerahkan Surat Pengunduran Diri sebagai Perdana Menteri pada Soekarno, karena ada ketidaksesuaian visi politik diantara mereka berdua. Hatta dan Syahrir melihat jabatan adalah hanyalah "alat" untuk menumbuhkembangkan yang namanya prinsip keluhuran politik. Politik bagi mereka berdua adalah jalan (memungkinkan) untuk menata kehidupan ketatanegaraan dengan baik. Ujung dari semua itu adalah kesejahteraan bagi warga. Karena itu, ketika mereka melihat Soekarno telah mulai "mempreteli" tujuan dan filosofi politik tersebut, mereka tak mau untuk memberikan justifikasi. Membenarkan sang "atasan". Jabatan nan prestisius mereka tinggalkan. Hatta dengan senyuman berikan surat mandat, dan kemudian ia "berkontemplasi". Natsir mendatangi Soekarno dan kemudian pulang menggunakan sepeda ontel. Jabatan bagi mereka adalah pengabdian. Dunia politik adalah "jalan" logis untuk menebar pengabdian tersebut. Pada Hatta dan Natsir serta beberapa "gelintir" tokoh langka dalam ranah politik Indonesia pasti bukan menjadi bahagian sample Al Pacino di atas.

Tapi kejadian belakangan ini membuat Al Pacino menjadi "hadir" kembali. Lihatlah kebohongan vulgar yang dipertontonkan para elit politik Indonesia dalam hitungan minggu terakhir ini. Duo Mr/Mrs. N - Nunun dan Nazaruddin - (setidaknya) membuka mata kita bahwa batas antara kebohongan dengan kebenaran atas nama politik sama sekali nihil. Atas kepentingan politik, politisi, pada umumnya, (tidak menutup kemungkinan masih ada seumpama Hatta dan Natsir), merasa wajar untuk "bersilat lidah". Tak salah memang, karena banyak yang memahami bahwa politik itu "seni". Tapi bukan "seni" bersilat lidah untuk berbohong dan menutup kebohongan yang telah ada. Bukankah orang Melayu dan Minangkabau dahulu mengenal tradisi "bersilat lidah" ? Tapi lidah mereka yang "bersilat" itu tak bertujuan untuk panduto. Beda dengan politisi yang hadir-tampak di media TV belakangan ini. "Telenovela" Nazaruddin membuat beberapa politisi partai Demokrat mempertontonkan diri mereka sebagai pesilat lidah yang pembohong. Janji elite Partai Demokrat bahwa mereka dapat menghadirkan Nazaruddin kembali ke Tanah Air jika Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memanggil Nazaruddin, kemudian menjadi "analisis antah barantah" oleh elit Demokrat. Bagi mereka, Nazaruddin bukan lagi Pengurus DPP Demokrat dan yang berhak menyuruh pulang Nazaruddin ke Indonesia adalah KPK. Lho ... lalu kemana janji yang kemaren bang Poltak ? Kasus Nazaruddin bukan hanya ujian bagi Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, apakah ia sungguh-sungguh pemimpin yang satu kata dan satu perbuatan, bahwa ia tidak pandang bulu dalam memberantas korupsi. Kasus Nazaruddin bahkan menjadi pertaruhan di level yang tidak patut menjadi pertaruhan seorang presiden, yaitu apakah betul Menko Polhukam dan jajarannya serta Partai Demokrat yang dipimpinnya bisa membawa kembali Nazaruddin ke Tanah Air, sebagaimana yang dijanjikan para politisi Demokrat terhadap kasus Nazaruddin yang beratnya turun 18 kilogram ini.

Lalu, lihatlah kegigihan Adang Daradjatun kepada istrinya, Nunun Nurbaeti, tersangka kasus suap cek pelawat pemilihan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia Miranda Goeltom. Dalam posisinya sebagai politisi (PKS), "keaslian" politisi kembali terlihat. Adang "bersilat lidah" dan berkukuh bahwa istrinya tidak bersalah sehingga dia merahasiakan keberadaan sang istri di luar negeri. Sungguh sebuah sikap yang apologetis, sikap yang membenarkan kesalahan, dari seorang Adang Daradjatun. Sebagai mantan Wakapolri, Adang semestinya paham betul Komisi Pemberantasan Korupsi tidak boleh menghentikan penyidikan orang yang sudah ditetapkan sebagai tersangka. Sebab, undang-undang tidak memberikan kemewahan kepada KPK untuk menghentikan penyidikan, sebagaimana dimiliki Polri atau kejaksaan. Itu artinya, jika KPK menetapkan seseorang sebagai tersangka korupsi, pastilah KPK memiliki saksi dan bukti yang sangat kuat. Undang-undang memang membolehkan suami, istri, atau anak untuk tidak menjawab pertanyaan penyidik yang berkaitan dengan anggota keluarganya. Tetapi apa yang diperlihatkan Adang selama ini menjurus pada tindakan menghalangi penyidikan. Andai Adang berkeyakinan istrinya tidak bersalah, dia semestinya memberitahukan keberadaan sang istri agar KPK bisa menjemputnya. Bila perlu, sebagai anggota Komisi III DPR yang dikritik tidak memberi contoh keteladanan taat hukum, Adang sendiri yang menjemput dan menghadapkan Nunun ke muka KPK. Di situlah, di forum persidangan, Adang bisa membuktikan kepada KPK bahwa istrinya sungguh-sungguh bersih. Jika Adang selama ini menyebut istrinya hanyalah teri, kesaksian sang istri justru penting untuk menjerat kakap. Melindungi teri berarti melindungi kakap juga. Adang seperti tengah mencoba menyiasati hukum dengan membela habis-habisan sang istri. Jika pejabat negara saja mencoba mengangkangi hukum, jangan salahkan bila kelak rakyat "mengencingi" hukum.

Referensi : beberapa kalimat dikutip dari www.mediaindonesia.com

Minggu, 12 Juni 2011

Magnitude Para Tokoh (Bukan Pada Postur dan Wajah)

Oleh : Muhammad Ilham

Jabatan, pengaruh dan kewibawaan - "mantagi" kalau dalam bahasa Minangkabau - memang "ditakdirkan" tidak memiliki sangkut paut dengan wajah dan postur. Saya kebetulan menyukai membaca biografi orang-orang terkenal yang pernah di"catat" sejarah. Cobalah lihat, Ho Chi Minh yang biasa dipanggil dengan "Paman Ho", ia bermata sayu dan melihat posturnya, hanya satu yang akan terlintas dibenak kita : "Ia kurang gizi". Tapi, Paman Ho yang dikenal dengan "otak" perang fenomenal Dien Bien Phu mampu (juga) memberi malu Amerika Serikat. Untuk membayar malunya ini, Amerika Serikat "terpaksa" memproduk film sejenis Rambo (bahkan berseri). Kebetulan waktu saya kecil, saya pernah disuguhi oleh majalah Tempo yang dibeli ayah saya foto Paman Ho ini. Kesan saya kala itu hanya satu, ia mirip tukang pukat tetangga rumah saya. Paman Ho bisa jadi kepala negara. Mata sayu dan postur kurang gizi-nya itu, justru membuat ia (justru) menggetarkan rakyat Vietnam. Mantagi dan kharisma-nya luar biasa. Namanya diabadikan, Ho Chi Minh City. Di sisi lain, Soekarno yang pancaran matanya yang bisa jadi binar sehingga sulit orang mengadu pandang, bisa juga jadi Presiden. Lalu, lihat John Fritzgerald Kennedy, Presiden Amerika Serikat paling muda dalam sejarah panjang Amerika Serikat, dengan sisiran rambut yang mengingatkan orang pada pemain band, yang wajahnya membuat Marlyn Monroe selalu mengirimkan bunga - juga bisa jadi Presiden. Lalu bandingkan dengan Nikita Kruschev, musuh terdepan Kennedy ini memiliki tubuh tambun-bulat dan berkepala bundar, kelihatan seperti petani Ukraina. Ia yang pernah membuka dan memukul-mukul sepatunya dalam Sidang Umum PBB ini karena marah pada kebijakan politik luar negeri Kennedy, bisa menjadi orang masyhur. Kruschev yang menjadi pemimpin negara pertama mengucapkan belasungkawa dengan sesegukan atas meninggalnya Kennedy tersebut, dengan postur tubuh yang tak seganteng Kennedy, bisa menjadi Perdana Menteri Uni Sovyet paling cemerlang dan brillyan.

Lihatlah juga Pandit Javaharlal Nehru. Ayah Indira Gandhi dan kakek Rajiv Gandhi ini dikenal ganteng seperti Amitabh Bachan. Badan founding father Partai Kongres India ini semampai dan senantiasa menyelipkan sekuntum mawar merah di bajunya. Sementara penggantinya Lal Bahadur Shastri, berperawakan mungil mirip - bak kata seorang kolomnis - seperti kasir toko kelontong India. Toh, mereka berdua juga sama-sama pernah meraih posisi Perdana Menteri India. Pandang pula texture tubuh Gamal Abdel Nasser yang tinggi besar. Jari jemarinya besar seumpama pisang batu, toh digantikan oleh seorang keling yang bertubuh kecil dan setengah botak bernama Anwar Sadat. Gamal Abdel Nasser yang inspiratif serta Anwar Sadat ini, tercatat sebagai Presiden yang lama dan berpengaruh pada masa mereka. Atau lihatlah Norodhom Sihanouk, raja Kambodja yang memiliki istri terkenal cantik, Putri Monica namanya. Konon, Soekarno yang sahabat Sihanouk, bila berjumpa dengan Putri Monica, selalu rajin mengerlingkan matanya pada Putri ini. Maklum, Soekarno cinta keindahan. Sihanouk orangnya pendek, tingginya hanya "seleher" Soekarno, suaranya nyaring seperti penjual obat, tapi mampu menjadi raja berfikiran moderat Kambodja. Ada anekdot tentang Sihanouk yang senantiasa bersuara nyaring dan dan nyerocos bila bicara, istrinya Monica menjawab, "Kambodja itu penduduknya cuma enam juta, lengang, karena itu, Sihanouk harus bersuara nyaring, bila tidak negeri akan senyap". Ah .. ada-ada saja. Di China, ada Perdana Menteri ganteng, namanya Chou En-Lai. Alisnya tebal dan berair muka merah jambu. Kegantengannya tak bisa dikalahkan Chow Yun-Fat, Jeet Lee, Jacky Chen apatah lagi Stephen Chow. Wajah Chou En-Lai memancarkan inteligensi tinggi. Namun penggantinya, Chen Yi, kebalikannya, bermuka China kebanyakan, bahkan sepintas lalu tampak seperti buruh angkat pelabuhan, sering memakai singlet dan suka angkat kaki di kursi. Konon, ia jarang mandi dan menyisir rambut. China pernah merasakan dipimpin oleh dua orang kontradiktif ini. Dan contoh ini akan semakin banyak, bila dirunut satu per satu.

Di Indonesia, lihatlah Abdurrahman Wahid. Wajah dan posturnya tidak membuat kita "nyaman". Tubuhnya gempal, berkaca mata tebal, bisa tidur dimana saja, bisa menjadi Ketua NU paling berpengaruh dan Presiden paling kontroversial Indonesia. Memiliki kemampuan humor yang tinggi dan pribadi yang sulit ditebak. Terkesan enjoy. Lalu, Habiebie nan mungil, dengan suara mirip Sihanouk, bila bicara selalu panjang-lebar (sudah panjang, lebar lagi). Konon, karena "cerdasnya", sehingga semua yang ada dalam file otaknya ingin keluar semua. Bandingkan pula dengan SBY nan tinggi besar, postur militer tegap. Selalu menjaga penampilan, "pencitraan" istilah orang sekarang dan selalu ingin perfeksionis sehingga terkesan peragu dan banyak kalkulasi. Walau matanya sekarang memiliki kantong (konon, karena jarang tidur), SBY selalu terlihat gagah, rapi, hensem kata orang Malaysia, kalau tak percaya, tanya pada Ruhut Poltak Sitompul, si raja minyak dari Medan. "Rudy" Habibie nan mungil dan terkadang melanggar protokoler dalam berbagai acara, spontan, bicara ceplas ceplos dan terkadang ekspressif (kadang-kadang tertawa lepas, bahkan ngakak). SBY terkesan prosedural, bicaranya tertata rapi-sistematis dan serius ..... mereka bertiga - Gus Dur, Habibie, SBY - juga pernah/masih menjadi Presiden Indonesia.Napoleon Bonaparte itu pendek, Hirohito kurus dengan tatapan mata nanar, Mussolini gendut-tambun botak. Konon, Alexander Agung sang penguasa Macedonia memiliki tubuh atletis dengan dagu yang lancip, Jenderal Mc. Arthur dirindukan banyak orang pasca Perang Dunia ke-II karena kegagahannya dan Che Guevara sang petualang Marxis dari Cuba sangat macho. Mereka semua berhasil bukan karena wajah dan postur. Tapi, karena - istilah Tukul Arwana - kristalisasi keringat. Bila-lah, seandainya wajah dan postur menjadi parameter jabatan, maka akan bermunculanlah Audisi Pencari Wajah dan Postur di berbagai TV Swasta, kerjasama Supermi atau Indomie dengan KPU/KPUD. Sayang, Mbah Maridjan "telah pergi". Kalau ia masih tetap hidup, mungkin ia adalah salah satu sample dari bentuk pengaruh yang bukan bermula dari wajah dan postur, tapi dari roso.! Ah .... entah kemana perginya .... !!

Foto : indogamers.com

M. Natsir : "Yang Tinggal Berdiri Diatas Kubur Adalah DIKTATOR"

Oleh : Muhammad Ilham

Menurut Hatta, setelah penye­rahan mandat, Natsir menjadi pemimpin yang dibenci Bung Karno. ”Padahal sebelumnya dia menjadi menteri kesayangan,” kata Hatta dalam tulisannya menyambut 70 tahun Natsir. Ketika Muhammad Natsir mau menyerahkan mandatnya sebagai perdana menteri kepada Soekarno, ia mendatangi Soekarno ke istana negara secara langsung. Berdua, dengan sopirnya. Ia menyetir mobil dinas, sementara sopir pribadinya tersebut dibiarkan naik sepeda. Dalam pertemuan yang tidak begitu lama ini, sang Putra Fajar terasa berat menerima "pengunduran" diri Natsir. Putra Alahan Panjang ini datang secara personal, gentleman dan tanpa basa-basi. ”Saya sudah menduga sejak semula,” kata Soekarno. Selanjutnya, apa yang terjadi ? ...... Natsir pulang ke rumah dinas-nya di Jalan Proklamasi dengan spoirnya : "berboncengan sepeda berdua". Natsir tidak butuh waktu berlama-lama untuk beristirahat di rumah dinas Perdana Menteri tersebut. Segera ia mengajak istri dan anaknya pindah ke rumah pribadi yang sempit di Jalan Jawa, Jakarta ­Pusat. Setelah tak menjabat di eksekutif, Natsir mencurahkan waktunya di Partai Masyumi dan parlemen. Dominasi partai ini di pemerintahan merosot jauh. Bahkan pada Kabinet Ali Sastroamidjojo (30 Juli 1953—11 Agustus 1955), tak ada menteri yang berasal dari Masyumi. Haluan politik Ali, yang berasal dari Partai Nasional Indonesia, condong ke kiri dengan merangkul Partai Komunis Indonesia. Pada 20 Juli 1954, Suara Masyumi menerbitkan tulisan Natsir. Isinya seruan kepada semua patriot untuk membela demokrasi yang sedang terancam. Pria kelahiran Alahan Panjang, Sumatera Barat, ini menuduh kabinet Ali yang dibantu Partai Komunis Indonesia meninggalkan asas-asas yang terkandung dalam Undang-Undang Dasar. Misalnya dalam penempatan pegawai, pengelolaan perekonomian dan keuangan negara yang kocar-kacir, pembungkaman kelompok oposisi dan wartawan. Pemilu 1955 menempatkan Masyumi di urutan kedua di bawah Partai Nasional Indonesia, diikuti Nahdlatul Ulama dan Partai Komunis Indonesia.

Presiden Soekarno mengusulkan dibentuk Kabinet Kaki Empat. Masyumi menolak bergabung karena berseberangan secara politik dengan Partai Komunis Indonesia. Natsir mengungkapkan sejumlah dalil hukum Islam yang menyebut komunisme bertenta­ngan dengan Al-Quran dan hadis. ”Jadi, apakah mungkin minyak dan air dipersatukan meskipun digodok dan diaduk-aduk,” katanya. Dia meminta kader Masyumi waspada terhadap politik ”menyodorkan tangan” yang palsu dari komunis. Juga hati-hati terhadap ”serigala berbulu kibas yang hendak dimasukkan sekandang dengan ternak.” Natsir juga bereaksi keras terhadap pidato Presiden Soekarno pada hari Sumpah Pemuda 1956. Kepada pimpinan pemuda, Bung Karno mengajak untuk bersama-sama mengubur semua partai politik. Soekarno menyinggung keputusan pemerintah pada Oktober 1945, yang mendorong pembentukan partai. ”Itu salah satu kesalahan. Nu wreekt het zich!” ucap Soekarno. Sebagai Ketua Partai Masyumi, Natsir memberikan pernyataan di harian Abadi. Demokrasi, katanya, menjadi salah satu sila dalam Pancasila. Selama masih ada kebebasan berpartai, selama itu pula ada demokrasi. Apabila partai dikubur, demokrasi ikut masuk ke liang lahat. ”Yang tinggal berdiri di atas kubur adalah diktator,” ucapnya.

Referensi : Tempo/Agustus 2010

Jumat, 10 Juni 2011

Cermin Bagi Propinsi Pusat Industri Otak

Ditulis ulang : Muhammad Ilham

Sejarah mencatat bahwa masyarakat Minangkabau adalah etnis yang sangat responsif terhadap kebijakan pendidikan dan politik Belanda di zaman kolonial. Asal-usul Elite Minangkabau Modern memberi kupasan mendalam tentang reaksi masyarakat Minangkabau terhadap sistem pendidikan Barat yang diperkenalkan Belanda di daerah ini sejak pertengahan abad ke-19. Jauh jarak waktu yang telah ditempuh buku ini untuk sampai kepada pembaca Indonesia. Buku ini berasal dari disertasi Graves, “The Ever-victorious Buffalo: How the Minangkabau of Indonesia solved their ‘colonial question’” (University of Wisconsin, 1971) yang kemudian diterbitkan tahun 1981 yang berjudul The Minangkabau Response to Dutch Colonial Rule in The Nineteenth Century (Ithaca: Cornell Modern Indonesia Project). Baru 26 tahun kemudian edisi Indonesianya terbit. Karena itu selayaknya pujian diberikan kepada para penerjemah, editor ahli, dan penerbit yang telah berupaya menghadirkan buku ini kepada pembaca Indonesia. Judul utama versi Indonesia buku ini langsung berperan sebagai “etalase” yang menggiring pembaca untuk membayangkan isinya yang memang berbicara tentang sejarah kemunculan kaum elite Minangkabau modern sebagai efek pengenalan pendidikan sekuler yang diperkenalkan Belanda di daerah ini.

Penulis mengawali uraiannya dengan mendeskripsikan alam Minangkabau dan masyarakat tradisionalnya (Bab 1; hlm.1-34). Ada dua topik utama yang dibahas dalam bab ini, yaitu sistem nagari yang khas Minangkabau, dan sistem matrilineal yang sangat mewarnai pola kekerabatan (kinship) dalam keluarga Minangkabau serta sistem pewarisan harta di antara anggota keluarga. Bab 2 (hlm.35-60) masih membahas nagari dan dunia kehidupannya. Nagari adalah “republik-republik kecil” yang membentuk semacam federasi semu dan berada dalam entitas geografis, budaya, dan politik di bawah wibawa (bukan kuasa) raja Pagaruyung. Penulis juga membahas tradisi merantau yang menjadi saluran masuknya ide-ide pembaharuan ke Minangkabau sekaligus sebagai katup pelepas untuk mengurangi tekanan-tekanan dan letupan sosial di Minangkabau. Selanjutnya dibahas pula kemunculan lembaga-lembaga Islam dan perkembangannya, yang mula-mula memberi ciri tertentu kepada sturuktur sosial masyarakat Minangkabau di kawasan pantai (barat) tetapi akhirnya membawa pengislaman ke pedalaman yang berujung pada munculnya gerakan puritanisme yang dikenal sebagai Perang Paderi. Setelah ikut terlibat dalam Perang Paderi dan kemudian memenanginya, Belanda lalu membentuk pemerintahan sentralistis yang bersifat hirarkis di Minangkabau. Hanya pada dua lapisan bawah saja dari sususan hirarkis itu yang dialokasikan kepada bumiputera: gubernur (Belanda)?residen (tiga keresidenan) (Belanda)? asisten residen (Belanda)? controleur [kontrolir] (Belanda)?kepala laras (bumiputera)?kepala nagari (bumiputera). Untuk mempertahankan status-quo, Belanda melakukan berbagai kebijakan agar format politik baru itu bias jalan. Namun muncul berbagai reaksi dari masyarakat Minangkabau yang sudah terbiasa hidup dalam sistem politik “republik nagari” yang bersifat egaliter itu (Bab 3, hlm.61-101). Motif ekonomi dibalik tujuan Belanda melakukan reorganisasi sistem politik Minangkabau itu dibahas dalam Bab 4 (hlm.102-148). Dalam bab ini penulis menguraikan penerapan sistem perpajakan dan penanaman kopi, komoditas ekspor utama zaman itu, dengan segala konsekuensi sosial-budaya, politik, ekonomi, dan pendidikan yang diakibatkannya.

Salah satu efek dari penetrasi politik dan ekonomi Belanda itu adalah munculnya sekolah sekuler yang belakangan mulai menyaingi sistem pendidikan tradisional (surau). Dalam Bab 5 (hlm.149-209) Graves membahas kemunculan sekolah sekuler di Minangkabau dan reaksi masyarakat terhadapnya. Rupanya masyarakat Minang pada umumnya bereaksi positif terhadap kehadiran sekolah sekuler ini, terbukti dengan munculnya domestikasi terhadapnya melalui pendirian apa yang disebut sebagai sekolah nagari (nagari school) yang berkembang di nagari-nagari penting penghasil kopi di pedalaman Minangkabau. Antusiasme orang Minang terhadap sistem pendidikan sekuler itu memaksa pemerintah melakukan pembenahan sistem pendidikan untuk peningkatan mutu (Bab 6, hlm.210-47). Mulai 1870 Belanda menertibkan kurikulum sekolah-sekolah nagari dan mendirikan sekolah dasar pemerintah serta sekolah lanjutan. Tahun 1880 terdapat tidak kurang dari 27 sekolah dasar pemerintah yang tersebar sejak dari Rao di utara sampai Balai Selasa di selatan. Reorganisasi ini dibarengi pula dengan pembenahan struktur kelembagaan pemerintah, khususnya yang berkaitan dengan pendidikan. Hasil dari sistem pendidikan sekuler ini adalah lahirnya generasi muda Minangkabau yang bisa membaca “huruf Wolanda”. Merekalah tunas awal kaum elite Minangkabau modern. Dalam Bab 7 (hlm.248-70) penulis menelusuri sejarah kaum elite baru Minangkabau itu dengan melacak genealogi keluarga-keluarga yang pernah menduduki posisi cukup penting dalam birokrasi pemerintahan kolonial Belanda dan profesi-profesi yang cukup tinggi pada abad ke-20. Koto Gadang menjadi tempat studi lapangan Graves yang utama karena nagari ini memang sejak semula sudah menunjukkan respon positif terhadap sistem pendidikan sekuler yang diperkenalkan Belanda.

Bab 8 yang merupakan epilog buku ini (hlm.271-81) membahas reaksi golongan elite baru ini terhadap Pemerintahan Kolonial Belanda. Menjelang pergantian abad ke-20, peningkatan jumlah kaum elite baru ini yang bekerja dalam birokrasi dalam negeri (binnenlandsch bestuur) telah menyebabkan meluasnya desakan kepada pemerintah agar memperluas sekolah-sekolah di Minangkabau. Mereka menuntut supaya pengajaran bahasa Belanda, yang sempat dihentikan, diadakan lagi dan diperluas. Namun, pada saat yang sama efek bumerang sistem pendidikan sekuler ini mulai terasa. Belanda merasa khawatir kaum bumiputera jadi makin cerdas. Maka dilakukan lagi pengetatan administratif dan kurikulum di sana-sini. Namun, rupanya bagi elite baru Minangkabau, kesempatan mencicipi pendidikan sekuler itu tidak semata-mata digunakan untuk bekerja menjadi ambtenaar dalam jajaran birokrasi pemerintahan kolonial; dengan berbekal ilmu yang didapat dari sekolah-sekolah Belanda banyak di antara mereka yang menjadi wirausahawan tangguh. “Orang Minangkabau menangkap dengan jitu aturan main kolonial yang baru dan sekuler itu menurut pengertian mereka sendiri; mereka mengambil apa yang mereka butuhkan dan menyesuaikannya untuk tujuan-tujuan khusus mereka” (hlm.280). Studi Graves ini, yang mengombinasikan data arsip kolonial dan penelitian lapangan di Sumatera Barat, menyimpulkan bahwa intervensi kekuasaan kolonial Belanda terhadap masyarakat Minangkabau menyebabkan ambruknya kekuasaan elit tradisional kelas atas akibat rotasi berlangsung secara alami karena penerapan sistem administrasi politik baru bikinan Belanda selepas Perang Paderi. Mobilitas kelas menengah terpelajar hasil pendidikan sekuler itu ternyata mandek dalam ranah budaya-politik tradisional mereka. Untunglah mereka mendapat tempat dalam sistem birokrasi pemerintah kolonial. Mereka inilah yang menjadi cikal-bakal elite Minangkabau modern, yang sebagian kemudian mengisi sebagian besar elite politik Indonesia—sepenggal cerita tentang sejarah kegemilangan etnis Minangkabau yang kini mulai redup. []

Sumber : (c) Suryadi/ditulis ulang dari "Padang Ekspres/28-12-2008".
Foto : www.bookgallery.com & cimbuak.com

Senin, 06 Juni 2011

(Ceracau) Ketika Ber-konon

Oleh : Muhammad Ilham

Konon, istana Versailes Perancis nan megah itu, pertama sekali dibangun sekitar abad ke-18, tidak terdapat satu-pun WC di seluruh kamar dan sudut istana, kamar mandi hanya sedikit yang itu digunakan bersama-sama. Sementara, berdasarkan tinggalan arkeologis, empat ribu tahun lalu, masyarakat di Lembah Sugai Indus sudah mengenal WC. Konon, Presiden terkenal Amerika Serikat yang dianggap rasionalis-pragmatis - Benjamin Franklin - merupakan anggota Helfire Club yang memiliki kegandrungan melaksanakan pesta-pesta untuk mengundang setan. Konon, Mussolini yang dianggap pintar luar biasa oleh kaum fasis dunia ternyata pernah diusir gurunya karena menusuk pantat temannya dengan pisau. Edward Kennedy, senator Amerika Serikat dengan otak gilang gemintang, adik Presiden flamboyan JFK itu, pernah dikeluarkan dari Harvard karena ketahuan menyontek kala ujian. Konon, Presiden Amerika Serikat Lindon Baines Johnson yang pendiam-baby face tersebut bukanlah "remaja" yang baik kala berumur belasan tahun, pernah kabur selama 2 tahun dan tidak pulang-pulang ke rumah. Konon, Raja Mogut dari Siam (Thailand : sekarang), mempunyai bini 9.000 orang dan gundik, juga salah seorang Sulthan Turki Utsmany pernah "melempar" gundik-gundiknya dalam puluhan "goni" ke Selat Bhosporus. Konon, Ratu Zingua dari Angola pernah mempunyai harem lelaki dan kemudian memenggal kepala mereka setelah melakukan hubungan cinta.

Dan konon, sampul konstitusi Perancis terdiri dari kulit bangsawan yang di"kuliti" saat terjadinya revolusi. Konon, pendeta wanita pada kuil Indian purba suka melakukan hubungan seks dengan para pemuja dan kemudian memungut bayaran untuk kas kuil. Lelaki suku Tuareg di Sahara memakai cadar, sementara wanitanya justru tampak muka dan buah dadanya. Cassanova, konon, pernah hampir menikahi anak perempuannya, karena ketahuan oleh ibu si perempuan ini, maka Cassanova mengurungkan pernikahan tersebut. Konon, Raja Mataram Islam, Amangkurat I "mempergilirkan" gundiknya buat sang anak, Amangkurat II. Konon, Raja Henry VI membuka sidang parlemen Inggris ketika umurnya 3 tahun, dan si-Henry ini terus menangis meraung-raung selagi sidang berlangsung. Konon, ada satu suku di Angola yang membuat rumah mereka dari tahi sapi dengan campuran tahi manusia, dan mereka sangat menikmati "parfum" itu. Konon, pendiri Singapura Lee Kuen Yew tidak pernah absen membawa termos yang (selalu) berisi teh panas kemanapun ia pergi. Konon, Idi Amin si penguasa Uganda dikenal "canibal", memakan beberapa daging lawan-lawan politiknya. Daging-daging itu disimpannya dalam kulkas. Konon, Idi Amin ini tak tamat Sekolah Dasar.

Ternyata, banyak yang aneh-aneh bila ber-konon-konon, walaupun "berita" ini tidak dibuat-buat. Tapi bila, Gayus yang pegawai pajak itu memiliki uang "rampokan" lebih dari 100 milyar, itu bukan konon lagi. Saya tak tahu, apa hubungan tulisan diatas dengan Gayus yang "cengar-cengir" setiap sidang berlangsung dengan wajah "tanpa dosanya". Namun yang pasti, beberapa puluh tahun ke depan, akan ada kalimat, (konon), pegawai kecil di Indonesia (asal bekerja di Pajak dan institusi lain yang "dicurigai") bisa memiliki kekayaan 100 Milyar lebih, walau ia hanya golongan III A dengan masa kerja 5 tahunan. Seandainya-lah, ya .. seandainya, saya memiliki anak laki-laki, saya (takut) memberinya nama dengan Gayus Lumbuun .. eh, salah, Gayus Halomoan. Atau konon, Malinda Dee yang setelah "korupsi", punya koleksi mobil-mobil mewah luar biasa, tampilan menarik aduhai sehingga punya "simpanan" lain - brondong - selain simpanan fulus luar biasa pula. Dan konon (belakangan), Malinda Dee yang korupsi itu, payudara-nya pun turut korupsi ... eh salah, erupsi. Bila punya anak perempuan (lagi) kelak, Malinda bukan nama yang baik untuk saya berikan. Takut, bila ia dewasa nanti, ia akan terbebani dengan (konon). Hehe.

Foto : Kubisme Pablo Picasso (google.com)

Mengapa Singapura dan Israel Melarang Merokok (Sebuah Catatan Buat Suamiku)

Oleh : Imla W. Ilham

" .......... biarlah tulisan beri pesan/bahwa saya punya cara menyayangimu".

Sebuah penggalan puisi dari seorang kawan, terasa teramat pas kunukilkan buat suami tercinta. Walau bukan perokok berat, saya punya kewajiban untuk menyanyangi tubuhnya, menjaga kesehatannya, dengan cara yang bukan otoriter dan menyalahkan yang keluar dari mulut saya sendiri. Dalam setiap kesempatan, saya selalu menyuguhkan padanya tulisan tentang "hidup sehat tanpa rokok". Saya yakin dan percaya, walau belum berubah secara signifikan, ia tahu, bahwa saya teramat memperhatikannya. Saya berdo'a, semoga dari hari ke hari, ia bisa mengurangi kebiasaan merokoknya. Saya yakin, ikhtiarnya dinilai Allah SWT. sebagai ibadah yang tinggi. Saya juga menyadari, saya hanya bisa bicara karena tak pernah merasakan bagaimana merokok itu sendiri. Abang ..... mari kita baca kembali artikel yang saya kutip dibawah ini tentang kualitas bangsa yang mengharamkan rokok. Senyum dan do'aku buatmu !!


Coba kita melihat ke dua Negara yang dapat disebut memiliki tingkat kecerdasan yang tinggi, Israel misalnya? Dan tentunya Singapura yang menjadi tangan kanan Israel di Asia tenggara saat ini, bukan rahasia lagi jija Singapura merupakan Negara yang sangat dekat dengan Amerika dan Israel. Di Isarel, merokok itu tabu! Mereka memiliki hasil penelitin dari ahli peneliti tentang Genetika dan DNA yang meyakinkan bahwa nekotin akan merusak sel utama yang ada di dalam otak manusia yang dampaknya tidak hanya kepada si perokok akan tetapi juga akan mempengaruhi “gen” atau keturunannya. Pengaruh yang utama adalah dapat membuat orang dan keturunannya menjadi “bodoh” atau “dungu”. Walaupun, kalau kita perhatikan, maka penghasil rokok terbesar di Dunia saat ini adalah orang Yahudi! Tetapi yang merokok, bukan orang Yahudi. Mengapa? Inilah yang menjadi Agenda tersembunyi dari Kaum Zionis, masyarakat Non Yahudi di biarkan merokok dengan sepuas-puasnya, sedangkan mereka sebagai produsen rokok tidak memakannya, karena selain mereka tahu bahwa di dalamnya terdapat zat yang merusak sel-sel otak atau kebodohan , selain itu untuk merusak generasi non Yahudi.

Tanpa bermaksud untuk mendramatisasi tentang orang Israel dan atau orang Yahudi, saya ingin berbagi informasi yang saya peroleh dari membaca terjemahan H. Maaruf Bin Hj Abdul Kadir (guru besar berkebangsaan Malaysia) dari
Universitas Massachuset USA tentang penelitian yang dilakukan Dr, Stephen Carr Leon. Penelitian DR Leon ini adalah tentang pengembangan kualitas hidup orang Israel atau orang Yahudi dengan meningkatkan konsumsi gizi serta larangan merokok, sedangkan upaya mengkerdilkan bangsa non Yahudi, makanan-makanan perusak termasuk di dalamnya rokok sengaja diciptakan. Negara Singapura sebagai Negara dengan yang memiliki komunitas Yahudi terbesar di Asia Tenggara, di Singapura para perokok diberlakukan sebagai warga negara kelas dua, Semua yang berhubungan dengan perokok akan dipersulit oleh pemerintahnya. Harga rokok 1 pak di Singapura adalah 7 US Dollar bandingkan dengan Indonesia yang hanya berharga 70 sen US Dollar. Pemerintah Singapura menganut apa yang telah dilakukan oleh peneliti Israel, bahwa nikotin hanya akan menghasilkan generasai yang “Bodoh” dan “Dungu”. Dengan mempertahankan ‘cultur” atau “habbit” merokok, apakah memang kita memang ingin melahirkan generasi “Bodoh” dan “Dungu” kelak? Atau sadarkah kita bahwa kita sedang terperangkap dalam grand design Pembodohan dan Pedunguan dengan mendewa-dewakan rokok? Semoga kita semakin sadar bahwa generasi kita kelak dalam ancaman rusaknya moral karena kebodohan dan kedunguan yang sedang diciptakan.

Sumber (tulisan miring) : adi supriadi/2011

Kamis, 02 Juni 2011

Sandiwara Politik

Oleh : Muhammad Ilham

"Politik itu teater, sandiwara dan fiksi", demikian kata kawan saya Nazaruddin. Nazaruddin yang kawan saya ini tak ada sangkut paut-nya dengan Nazaruddin (mantan) Bendahara Umum Partai Demokrat. Ia hanya seorang Satpam. Kebetulan ia sakit beberapa hari lalu, dan hanya berobat sama dokter umum (sebuah kemajuan, karena Nazaruddin yang satpam ini selama ini "menggandrungi" dukun). Sebagai seorang kawan yang baik, maka malam kemaren saya mengunjunginya. Beberapa buah perkedel makanan kesukaannya saya bawa. Kedatangan saya disambutnya dengan tawa khas Satpam - "nada bariton". Pembicaraan kami umumnya seputar hal ehwal dan sebab musabab sakitnya yang ia istilahkan dengan "burut", kantong penisnya yang sebelah kanan agak membengkak. Hernia istilah medisnya. "Biasanya pada bulan-bulan tertentu, terutama pada bulan purnama, burut saya ini membengkak", katanya. Entah ia entah tidak. Nampaknya pengaruh perdukunan belum hilang dari pemikirannya, walau ia telah mulai mencoba merambah dunia rasional-ilmiah, berobat ke dokter. "Seandainya-lah saya ini politisi ataupun Nazaruddin yang lagi laris manis di televisi itu, tentu saya akan berobat pula ke Singapura", katanya, tanpa saya tanya. Saya ketawa sambil berkata, "sudahlah, erami saja burut kamu itu baik-baik, nanti malam bermimpilah pergi ke Singapura, kapan perlu berharap pula ditemani oleh Malinda Dee". Ia tersenyum kecut sambil mengeluarkan kata "Politik itu teater, sandiwara dan fiksi". Nampaknya diskusi kami berdua ini tak sistematis, tapi Nazaruddin yang Satpam ini dalam sakitnya memiliki hiburan tersendiri dari media televisi - "sinetron/teater politik Indonesia". Tapi, benarkah politik itu teater, panggung sandiwara, fiksi atau sinetron?

Dalam kajian mengenai Indonesia, pernah ada analisis menarik dan cemerlang dari Bennedict R.O.G. Anderson tentang politik dan bangsa di manapun di dunia ini sebagai sebuah fiksi. Demikian pula dengan antropolog Clifford Geertz yang membicarakan negara sebagai sebuah teater dengan acuan empirik Bali pada abad ke-19. Bahkan Earving Goffman memperkenalkan istilah "panggung depan" dan "panggung belakang" (Dramaturgi) dalam melihat motivasi interaksi dalam dunia politik. Pada hakikatnya, sudah cukup lama ranah politik tersebut dikiaskan sebagai sebuah panggung teater ataupun sandiwara. Bahkan bukan hanya ranah politik saja, seluruh entitas kehidupan masyarakat juga berlaku hal yang demikian. Dalam dunia politik dan dunia teater/sandiwara terdapat tokoh-tokoh dengan hasrat yang tak terlalu dan tak selalu sama. Ada pertentangan. Ada konflik. Disana juga ada dialog, peristiwa dan perilaku. Tentunya dan pasti ada alur cerita. Tawa dan tangis, suka dan duka cita silih berganti. Ada kepalsuan, kepahlawanan, pengkhiatan dan kejujuran. Bahkan ada penaklukan dan penguasaan. Ada kepatuhan dan perlawanan, dalam beragam derajat tentunya. Tapi, sekali lagi, benarkah politik itu teater, panggung sandiwara, fiksi atau sinetron?

Politik dan teater/sandiwara pada dasarnya dua ranah yang berbeda. Dalam politik boleh jadi ada unsur-unsur sandiwara. Teater/sandiwara boleh berunsur politik, tetapi yang pasti politik itu politik, seni teater/sandiwara ya seni. Demikian asumsi dasarnya. Namun dibalik berbagai persamaan "mereka", perbedaan mendasar apa yang berlaku pada keduanya ? Politik adalah medan adu kepentingan dan kekuasaan yang sangat praktis, who get what how and when, kata Harold Laswell. Kecerdasan nalar dianggap menjadi senjata atau bahasa utama dari pertandingan ini, baik yang berlangsung secara resmi, tak resmi, sah ataupun kotor. Karena politik dianggap adu otak, maka operasi "intelijen" menjadi teramat penting. Maka logikanya, karena politik diasumsikan serba rasional, maka ilmu politik pun dianggap masuk akal dan berguna. Demi ini, hukum kemudian ditampilkan dengan janji-janji kewibawaan, kepastian dan keadilan. Sementara itu, dunia seni, atau apapun-lah namanya, dianggap sebagai dunia rekaan atau fiksi. Kekuasaan dan ketertiban bukanlah sesuatu yang dicari, tetapi nilai estetika, daya pukau penonton dan "kenikmatan" hiburan. Bukan adu kekuatan, tak ada kalah-menang (paling-paling hanya dapat award tertentu dalam festival). Kepekaan estetika, fantasi, emosi dianggap sebagai unsur utama dalam kegiatan ini. Bila dalam politik ada "inteleijen", maka dalam seni ada "kritik dan apresiasi".

Setelah Nazaruddin bercerita tentang burut-nya, kami-pun menonton salah satu acara talk show yang pesertanya mayoritas ahli hukum. Topik talk show - "Nazaruddin terbang ke Singapura". Dan ini dia yang kami tunggu ...... Ruhut Sitompul mendapat kesempatan bicara. "Si Poltak Raja Minyak dari Medan" ini seperti berada dalam pentas teater. Tembak sana, tembak sini, seperti Jenderal Nagabonar kekasih Kirana. Kami terpukau dengan suguhan hiburan Ruhut Sitompul, tentunya sambil tertawa. Dan pagi tadi, salah seorang elit Partai Demokrat , Ramadhan Pohan berkata, "Mr. A adalah orang yang selama ini menjadi aktor intelektual kegaduhan politik dalam tubuh Partai Demokrat. Mr. A ini adalah politisi senior yang dikenal santun". Kasak kusuk-pun terjadi. Partai Golkar yang memiliki dua "petinggi" berinisial "A" tersebut (Ketua Umum Golkar Aburizal Bakri dan Ketua Dewan Pembina Akbar Tanjung) menantang Ramadhan Pohan untuk membeberkan siapa Mr. A sebagaimana dimaksud politisi Partai Demokrat yang tahun lalu pernah "berkelahi" dengan penulis buku Gurita Cikeas - George Aditjondro ini. Ramadhan Pohan tetap bermain dalam dunia "teka teki", Mr. A, itu saja, katanya. Nampaknya, Ramadhan Pohan sedang meniru "gaya politik Gus Dur", mengalihkan situasi atau tema cerita atau sedang meraba-raba, bila suatu ketika Mr. A tersebut tidak ada, ia bisa mengatakan Mr. A tersebut adalah "Mr. Auk" atau "Mr. Antah Barantah", sebagaimana halnya Gus Dur dahulu pernah mengatakan bahwa pelaku kerusuhan didalangi "Jenderal S". Setelah dinamika ketegangan terjadi, Gus Dur kemudian mengatakan bahwa "Jenderal S" tersebut adalah "Jenderal Sontoloyo". Dalam konteks politik dan dunia sinetron yang memiliki episode yang begitu panjang, biasa saja sang Sutradara tidak mengetahui akhir cerita karena skenario bisa disusun sambil jalan.

Sumber Foto : webdesignbooth.com

Rabu, 01 Juni 2011

Justifikasi Historis Islam Politik Indonesia : "Siapa Melupakan Siapa ?" (Refleksi Kelahiran Pancasila)

Oleh : Muhammad Ilham

Mensikapi berbagai kasus terorisme yang (mulai) marak kembali di tanah air, bertanyalah salah seorang presenter TV Swasta dalam acara bertajuk "Generasi Baru Terorisme" kepada Ja'far Umar Thalib, mantan Panglima Laskar Jihad tentang bagaimana meminimalisir, untuk tidak mengatakan menghilangkan sama sekali praktek-praktek radikalisme Islam di Indonesia. Ja'far Umar Thalib mengatakan, "pemerintah harus menegaskan kembali bahwa negara Indonesia adalah negara Islam". Beliau menegaskan bahwa proses pembentukan Indonesia sebagai negara-bangsa telah jelas-jelas menetapkan Islam sebagai dasar negara (dengan klausula 7 kata dalam Piagam Jakarta). Tapi sayang, presenter TV swasta ini tidak tidak mencecar jawaban Ja'far Umar Thalib ini secara elaboratif. Mungkin si presenter ini berpandangan bahwa jawaban mantan Panglima Laskar Jihad tersebut sudah "selesai", atau ia beranggapan bahwa ujung-ujung dari jawaban tersebut hanyalah akan membawa kita kepada hal-hal yang bersifat utopis dan a-historis. Tapi yang jelas, dalih klausula 7 kata dalam Piagam Jakarta ("dengan kewajiban menjalankan syari'at Islam bagi pemeluk-pemeluknya") selalu menjadi justifikasi historis-politis beberapa gerakan radikal untuk merasa berkewajiban menerapkan praktek negara Islam di Indonesia. "Masyarakat Indonesia, khususnya pemerintah, melupakan diri bahwa negara Indonesia sedari awal berdirinya sudah menjadi negara Islam", kata Ja'far Umar Thalib. Mantan Panglima Laskar Jihad dan "suara-suara lainnya" beranggapan bahwa pemerintah, bahkan rakyat Indonesia, melupakan sejarah. Tapi benarkah demikian ? Bila-lah sejarah ini bisa "diputar-balek" ke tahun 1945, tentu kita akan menikmati bagaimana para "Bapak Bangsa" ini berdebat dalam merumuskan dasar negara ini. Kita juga akan melihat events of history pencoretan klausula 7 kata dalam Piagam Jakarta dan bagaimana merka dengan hati lapang-terbuka berusaha untuk saling mendengarkan, saling empati dan berbicara "ke depan". Tapi sayang, sejarah tidak bisa diulang. Ia einmalig, kata Leopold van Ranke, hanya terjadi satu kali. Kita hanya bisa "mendekati" dan merekonstruksi pengkisahannya. Hanya tertinggal kesaksian, catatan, fakta, interpretasi dan (bahkan) opini.

Pencoretan klausula Islami yang dianggap sebagai kekalahan ummat Islam dalam menerapkan (sebagai legitimasi historis-yuridis) negara Islam, terjadi pada tanggal 18 Agustus 1945. Satu hari setelah Soekarno-Hatta memproklamirkan kemerdekaan republik ini. Dan, Bung Hatta (dianggap) adalah orang paling bertanggung jawab dalam penghapusan 7 kata ini. Dalam bukunya Sekitar Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, Bung Hatta menulis bahwa inspirasi penghilangan 7 kata tersebut dari seorang opsir Angkatan Laut Jepang. Ia lupa siapa nama opsir tersebut. Itu terjadi pada sore hari, 17 Agustus 1945. Prinsipnya opsir AL Jepang ini menyampaikan informasi keberatan dari kelompok-kelompok Protestan dan Katholik di wilayah Indonesia Bagian Timur tentang pencantuman 7 kata "keramat" ini. Bila dipaksakan jua, ada keinginan dari kelompok-kelompok tersebut untuk "sayonara" pada Indonesia yang baru lahir itu. Bung Hatta tentunya berfikir dan merasa khawatir. Dalam Sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan Republik Indonesia (PPKI) tanggal 18 Agustus 1945, putra Batuhampar Minangkabau ini kemudian mengutarakan hal ini. Sebelumnya, Bung Hatta juga mendiskusikan hal ini kepada KH. Wahid Hasyim, Mr. Kasman Singodimedjo, Ki Bagus Hadikusumo dan Mr. Teuku Hasan. Dan, singat cerita, akhirnya diperoleh kesepakatan dalam forum PPKI ini untuk menghilangkan 7 kata yang berpotensi "menyakiti" saudara non-muslim dan menggantikannya dengan "Ketuhanan Yang Maha Esa". Sejarah kemudian mencatat, "Ketuhanan Yang Maha Esa"-lah yang tercantum dalam Pembukaan UUD 1945 yang didalamnya terdapat pula rumusan Pancasila. Menurut Bung Hatta, proses ini dianggapnya sebagai "perubahan maha penting yang menyatukan bangsa".

Konteks historis diatas-lah yang seringkali digugat. Bung Hatta-pun yang muslim dianggap sebagai orang yang tak berpihak pada Islam dan teramat mudah mendengar "keluhan" kaum non-muslim. Benarkah demikian ? Bung Hatta berpijak pada semangat keislaman inklusif dan komitmennya yang tinggi terhadap pluralisme positif. Suatu sikap muslim yang terbuka terhadap informasi dan perubahan. Bung Hatta mengenyampingkan sifat absolutik, ia lebih mengutamakan substansi daripada simbol. Ketika Bung Hatta menyadari bahwa 7 kata tersebut berpotensi mengancam persatuan bangsa karena mengandung eksklusifisme keagamaan, maka tokoh republik yang teramat lambat nikah ini, melakukan refleksi dan penilaian ulang. Bagaimana bentuk refleksi dan penilaian ulang yang dilakukannya pada sore 17 Agustus 1945 tersebut, hanya ia seorang yang tahu. Tapi yang pasti, pada tanggal 18 Agustus 1945, Bung Hatta bisa menerima alasan keberatan pencantuman 7 kata tersebut. Tapi Bung Hatta tak ingin menganggap ini hanyalah sebagai refleksi seorang personal an-sich semata, karena itu ia merasa perlu untuk mendiskusikannya dengan empat tokoh Islam diatas (empat tokoh yang secara personal tidak dikeragui lagi moralitas dan dedikasinya serta merupakan representasi dari kelompok-kelompok besar Islam masa itu).

Jikalau ke-empat tokoh Islam diatas yang diajak berunding oleh Bung Hatta akhirnya menyetujui penghapusan 7 kata dan menggantikannya dengan "Ketuhanan Yang Maha Esa", nampaknya hal tersebut sudah menjadi "kehendak Allah". Ini bukan fatalism. Tokoh-tokoh ini bukanlah tokoh-tokoh yang "baru jadi". Mereka telah menyejarah dan merasakan bagaimana kebutuhan masyarakat Indonesia secara keseluruhan. Ketika ada yang menggugat para tokoh ini sebagai orang-orang yang mudah dipengaruhi oleh kaum non-Islam, benarkah demikian ? Bisakah kita meragui ketokohan, kapabilitas, dan moralitas Bung Hatta, KH. Wahid Hasyim, Mr. Kasman Singodimedjo dan Teuku Hasan ?. Akhirnya, historia vitae magistra, kata Bennedicto Croce. Sejarah mengajarkan kita kearifan. Sejarah tak bisa diulang. Ia terjadi hanya satu kali. Seterusnya, ia hanyalah interpretasi dan memori untuk dikenang. Tapi terlepas dari semua itu, adalah kewajiban kita semua untuk mengucapkan terima kasih kepada para "Bapak Bangsa" yang telah mampu mencari jalan terbaik bagi bangsa ini ke depan. Terlepas suka atau tidak suka, Pancasila memang layak disebut sebagai puncak prestasi intelektual dan kultural yang pada dasarnya mempertemukan ragam ummat beragama, sebagai entitas sosial-historis riil bangsa ini, dalam kehidupan berbangsa dan bernegara ini. Benarkah kita melupakan penghilangan 7 kata tersebut ? Jawabannya adalah justru kita melupakan jawaban mengapa para "Bapak Bangsa" justru mencari format terbaik bagi keutuhan bangsa ini. Wallahu a'lam.

Referensi : Bung Hatta (1969). Foto : republika.co.id

Nilai Demokrasi dan Islam (Politik) Bagi Mohammad Natsir

Oleh : Muhammad Ilham

Sulit untuk dibantah, Muhammad Natsir menjadi salah satu "legenda" demokratisasi dan Islam politik Indonesia. Natsir yang dikatakan George Kahin sebagai demokrat-religius nan bersahaja (karena hanya memiliki sehelai kemeja ketika ditunjuk menjadi Menteri Penerangan tahun 1946 ini) sampai hari ini dianggap sebagai "Bapak" intelektual Islam Indonesia sekaligus figur utama dalam mengakomodasi partai a-la "barat" dengan keteguhan untuk menjadikan Indonesia sebagai negara berdasarkan teologis (Islam). Ia bukan seperti Ba'asyir yang "mencita-citakan" negara ini seperti Taliban - sebagaimana yang pernah diungkapkan Ahmad Syafii Maarif. Natsir adalah pribadi teguh dalam menyerukan nilai-nilai demokratisasi di Indonesia, dan ini secara intens diserukannya setelah beberapa saat Soekarno mengumumkan eksperimen Demokrasi Terpimpin-nya. Ketika Masyumi berada dibawah kendali putra Alahan Panjang Minangkabau ini, partai ini mampu mengharubirukan pentas politik Indonesia, di era 1950-an. Di saat posisi Islam politik Indonesia "terdesak" pada masa Orde Baru, Muhammad Natsir kembali menjelaskan posisinya, "Indonesia sudah menjauh dari demokrasi". Bukan itu saja, Ruth Mc Vey bahkan pernah mencatat ungkapan "pedih" dari Natsir tentang sikap rezim Orde Baru terhadap keinginan Islam politik mempraktekkan demokrasi, "Mereka telah memperlakukan kami layaknya kucing-kucing kurap". Dalam konteks ini, Natsir tetap memperjuangkan demokrasi yang konon merupakan "produk" historis dan kultural "barat" sono.

Begitu banyak intelektual-intelektual avant garde Islam Indonesia yang mengalami pencerahan di dunia "barat", sebutlah misalnya Deliar Noer, M. Dawam Rahardjo, Nurcholish Madjid, M. Amien Rais dan Ahmad Syafii Maarif, merasa perlu untuk menegaskan bahwa "guru" mereka adalah Muhammad Natsir. Bahkan Dato' Seri Anwar Ibrahim - mantan Timbalan Perdana Menteri Malaysia - juga memproklamirkan diri sebagai murid ideologis Natsir. Lalu dimana "kekuatan" Natsir sehingga dianggap sebagai "guru ideologi" oleh intelektual-intelektual produk Barat namun dikenal sebagai pengusung ide Islam Politik (untuk kasus Cak Nur, mungkin sedikit beda) diatas ? Jika dilihat dalam konteks ini, Natsir merupakan representasi dari figur besar yang merangkum sekaligus dua peradaban ke dalam dirinya (Islam dan Barat). Pada Islam, ia menjadikannya sebagai basis fundamental hidupnya dengan memakai khazanah Barat sebagai metodologi untuk menyimak dan menafsirkan realitas. Ini secara terang teraktualisasi di dalam partai Masyumi. Masyumi tampil sebagai sebuah partai "Barat" modern, yang amat kaku memegang prinsip-prinsip demokratis, dan ini terlihat pada reaksi Natsir terhadap Soekarno dan Soeharto. Namun, Masyumi dengan teramat jelas menegaskan posisi mereka : memperjuangkan sebuah sistem politik, bahkan menjadikan Islam menjadi dasar negara. Maka belajar dari hal ini ada satu yang mungkin bisa kita petik bahwa demokrasi dengan seluruh "perangkat keras dan lunaknya" bukan-lah untuk diperdebatkan lagi di "rumah sakit" mana ia dilahirkan. Demokrasi dan perangkat-perangkatnya tersebut adalah "tool" yang melalui ini, siapapun boleh memperjuangkan ide-ide mereka. Barat dan Timur bukanlah untuk didikotomikan, apalagi dipolitisasi-kan. Natsir telah memberikan kepada kita sebuah pelajaran bahwa ketika "barat" dan "timur" diakomodasi, akan melahirkan praktek-praktek politik yang mencerahkan.

Referensi : Ruth Mc. Vey (1989), Fachry Ali (1997). Foto :www.ircf.wordpress.com

Ketika Para Ibu Negara "Bergaya"

Sore kemarin, saya ternganga. Metro TV berkabar berita tentang harga topi yang mahal selangit. Topi flamboyan yang digunakan oleh Putri Beatrice, cucu Ratu Elizabeth II dari Inggris, dalam Royal Wedding William dan Kate Middleton, dihargai 131.652 dolar Amerika Serikat (AS) atau hampir Rp1,2 miliar dalam lelang di laman eBay. Saya tak tahu, berapa buah topi pandan buatan Mak Bareh tetangga saya bisa terbeli dengan uang sebanyak itu. Tapi demikianlah, bak kata eksistensialis Michael Foucault, manusia kehilangan rujukan otoritatif yang rasional, sehingga tak salah kemudian, manusia terjebak kepada pola peniruan dan idol karena "pengaruh instan" dibelakang yang ditiru tersebut, bukan pada substansi dan kualitasnya. Akhirnya, mulai gaya bicara dan baju Michelle Obama menjadi trensetter "mendadak" selepas suaminya, Barrack Obama, menjadi Presiden Amerika Serikat. Padahal sebelumnya, gaya busana Michelle, bukan apa-apa dan siapa-siapa. Bahkan salah seorang kawan saya (ia berjenis kelamin wanita), sampai-sampai browsing di "om google" hanya untuk sekedar melihat pola kerudung yang dipakai Michelle kala berkunjung ke masjid Istiqlal beberapa waktu lalu.


Istri Presiden Suriah Bassar al-Assad, Asma Al-Assad nan jelita. Langsing, dan nampaknya sedang menikmati keindahan Louvre Museum seraya mengenakan chain necklace dan berkaca mata hitam. Kamek ..... bro !

Azam Al Sadat Farahi, istri Presiden Iran Mahmoud Ahmadinedjad bersama dengan Ibu Ani Yudhoyono, istri Presiden Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono. Keduanya tampil sama - tak banyak warna dan bersahaja.

Ini dia ..... Michelle Obama. Istri Barrack Hussein Obama ini dikenal sebagai fashionista menyamai yang menyamai Jackie Kennedy Onassis. Langsing dan gemulai dengan balutan kulit nan hitam mulus (halah, sok teu !)

Bekas model, Bruni-Sarzokzy, istri Presiden Perancis Nicholas Sarkozy. Karena berasal dari negara mode, tak salah kemudian ia dikenal sebagai sebagai ikon fashion.

Walau pengaruh Kemal Attarturk nan sekuler di Turki tidak hilang, tapi istri pemimpin negara (sekuler) Turki, Emine Erdogan, berani tampil dengan gaya kavakci couture. Feminim dan elegan bahkan Cik Puan Obama-pun ..... kalah !

Isteri Emir Sheikh Hamad Bin Khalifa al-Thani, Sheikha Moza Binti Nasser al-Misnad tampil seumpama "belalang daun", seperti sesak nafas padahal negaranya kaya dengan uang dari minyak yang berlimpah. Sementara isteri Sekjen PBB Ban Ki-Moon, Yoo Soon-Taek sedar diri sudah tua, muncul sederhana bagai wanita Korea aristoktrat. Istri (mantan) Presiden Mesir, Suzanne Mubarak, menyarung Prada dengan skirt warna cerah berserta blazer. Tidak ketinggalan rantai berurat besar, camisole gelap, skaf nipis membalut tengkuk dan tentu dark sunglasses untuk melindungi riak matanya ........... tapi sekarang, mata Suzanne bertambah "bengkak", maklum nelangsa pasca sang suami diturunkan.

Pecinta Sari .... demikian, Gursharan Kaur, isteri Perdana Menteri India yang tidak ragu mengenakan pakaian kultural India, sari !


Para istri pemimpin negara-negara G-20. Dari kiri Ban Soon Taek, Chikako Aso, isteri Perdana Menteri Jepun, Laureen Harper, isteri Perdana Menteri Kanada, Gursharan Kaur, Michelle Obama, Istri Presiden Korea Selatan Kim Yoon-ok, Sarah Brown, isteri (mantan) Perdana Menteri Inggris, Margarita Zavala, Wanita Pertama Mexico, Svetlana Medvedeva, Istri Presiden Rusia, Emine Erdogan, Margarida Barroso, isteri Presiden EU, Therese Rein, isteri (mantan) Perdana Menteri Australia Kevin Rudd, dan Dr. Pimpen Vejjajiva, isteri Perdana Menteri Thailand Abhisit Vejjajiva, berfoto di Royal Opera House, Covent Garden.

Sumber photo's : article.wn.com