Masih teramat segar dalam ingatan kita, bagaimana Presiden kita nan gagah dan pintar-sistematis menyusun dan mengolah kata - Susilo Bambang Yudhoyono - mendapatkan standing aplause saat berpidato di sidang ILO di Jenewa, Sabtu (18/6). Sebuah pidato yang ingin menitip pesan kepada dunia : "Tenaga Kerja harus dilindungi dan diperlakukan layaknya sebagai manusia profesional". Tapi pesan anyar dan standing applause tersebut terasa hambar ketika kita dikejutkan dengan eksekusi hukuman mati (dipancung) Tenaga Kerja Wanita asal Bekasi, Ruyati. Banyak orang yang terhenyak, tak luput pula berita itu menjadi trending topic di tanah air. Dalam rilisnya, Migrant Care menyebutkan bahwa Ruyati yang dihukum pancung itu hanya merupakan salah satu diantara TKI yang terancam hukuman mati di negara Arab Saudi, tentunya masih ada beberapa orang lagi yang menunggu "giliran". Migrant Care menuding diplomasi pemerintah sangat lemah dalam melindungi buruh migran di berbagai negara.
Saya tak ingin "melibatkan" diri dalam perdebatan kelambanan dan ketidakcermatan pemerintah melihat hal ini. Demikian juga dengan usulan "Usir Duta Besar Arab Saudi" (sebuah hal yang justru merugikan kita teramat banyak) atau lontaran-lontaran keprihatinan dari berbagai elemen bangsa beberapa hari belakangan ini terkait dengan hukuman pancuang Ruyati ini. Semuanya terasa baik. Refleksi dari nasionalisme. Tapi ..... mengingat Ruyati, teringat pula saya dengan Dasril di Malaysia. Ia TKI juga yang hampir "habis" hidupnya. Namanya Dasril, asal Pesisir Selatan. Saya lupa-lupa ingat (meminjam istilah KuburanBand), dimana kampung kecilnya di Pesisir Selatan. Tapi yang pasti, waktu pertama sekali saya mengenalnya, ia masih bujangan, dan ketika saya berinteraksi selama lebih kurang 2-3 bulan pada tahun 2005 pertengahan, ia berumur 28 tahun, kurang lebih. Berdomisili (dalam bahasa Malaysia : "bermastautin") di Hulu Langat, Selangor. Pekerjaannya di Malaysia, 3 jenis : menyadap getah, berniaga buah dan menjaga kebun orang Melayu. Ia masuk ke Malaysia sejak tahun 1999, mengikuti kakaknya yang telah memiliki IC Biru. Selama rentang 6 tahun tersebut (1999-2005), Dasril sudah dua kali masuk penjara, tertangkap karena "kosong" (istilah tidak memiliki dokumen), satu kali di sabat (dipukul dengan rotan ke arah daging pinggul bagian atas, dan biasanya setelah disabat tersebut, butuh 3 hari untuk tidur menelungkup) dan dua kali di usir. Ia pernah lari ke hutan, sendirian sambil menghuni satu kebun orang Melayu yang simpati padanya. Saya pernah dibawanya ke kebun (tepatnya : hutan belantara) tersebut, sungguh lengang dan mirip dengan suasana yang diceritakan Pramudya Ananta Toer tentang pulau Buru). Disinilah waktu dulu, Dasril hidup kayak "Rambo", makan buah-buahan dan sesekali dikirimkan beras oleh temannya orang Melayu yang simpati padanya. Temannya yang orang Melayu ini tidak begitu leluasa berkirim makanan pada Dasril karena takut ketahuan oleh Rela (semacam Tim Pol PP a-la Indonesia yang bertugas menswipping TKI Illegal). Apabila ketahuan, konsekuensinya jelas : masuk lokap @ penjara. Walaupun kondisi seperti ini, Dasril tetap bertahan dan tidak ingin pulang ke Indonesia. Ketika keluar kebijakan "pemutihan" pada awal pemerintahan PM Datuk Seri Abdullah Ahmad Badawi, Dasril keluar dari "pertapaannya", dan kemudian memanfatkan momentum ini untuk menyelesaikan administrasi-dokumen. Ia kembali ke Indonesia, untuk beberapa bulan. Setelah itu, ia masuk kembali ke Malaysia. Atas jaminan kakak dan kawan melayu-nya, ia memperoleh visa untuk berniaga buah dan menyadap karet.
Ketika saya tanyakan, mengapa tekadnya begitu kuat untuk tetap bertahan di Malaysia, bahkan mau "bertapa" di hutan belantara dan pinggulnya masih terlihat jejak bekas sabat-rotan (dan, konon katanya kawannya, "burungnya" sulit untuk hidup dan berpotensi impoten, mungkin karena "hempasan kuat" rotan waktu disabat). Saya bahkan memberikan argumentasi-logis bahwa selama 6 tahun beliau berniaga dengan "onak duri kehidupannya", toh Ringgit-pun tak diperolehnya dalam jumlah banyak, bahkan mungkin ia merugi. Lebih baik pulang ke Indonesia, berniaga di Padang atau Pesisir Selatan atau di Jakarta atau dimana saja, mungkin uang banyak yang bisa dikumpulkannya. Dasril menjawab, "disamping lambaian ringgit yang luar biasa, ketenangan berniaga dan berusaha di Malaysia jauh lebih aman dibandingkan di Indonesia ....... asal dokumen lengkap. Dalam berniaga, di Malaysia, bila dokumen lengkap, kita tak punya musuh. Di sini tak ada "orang bagak", preman yang minta uang, harus melapor ke sana ke mari jelang berniaga dan seterusnya. Berniaga di kampung orang Cina atau orang India, berdekatan dengan mereka bahkan bersaing dengan mereka tidak akan membuat kita khawatir. Tidak akan ada kata-kata : "pergi......... kamu orang Indonesia, ini wilayah peniaga India atau Cina, tidak boleh berniaga di sini. Di Indonesia, saya jamin kata Dasril, saya yang orang Pesisir Selatan akan kesulitan berniaga di daerah orang Pariaman apatah lagi kalau tidak melapor pada "orang bagak". Ringgit ............ nanti akan bisa terkumpulkan. Namun, suasana batin yang tenang-lah yang ingin dicari Dasril. Ia telah belajar, dokumen sebagai bentuk penghormatan. Orang akan memberlakukannya dengan hormat, apabila dokumennya lengkap. Ketika dokumen telah "ditaklukkannya", Dasril mulai merasakan bagaimana "nikmatnya" berniaga di Malaysia...... ia tidak mengenal pungutan liar, orang bagak, preman, kecemburuan etnik (orang pribumi-pendatang) dan pencurian. Bahkan, ia pernah menghardik orang Melayu asli di perkampungan Melayu di Sungai Lui Hulu Langat karena menghina profesi dan negaranya. Orang Melayu ini minta maaf dan tak pernah lagi mendengar : "hei kamu orang Indon, tak boleh berniaga di Malaysia". Ini yang dianggapnya tidak akan pernah didapatkannya bila berniaga di Indonesia. Sekarang, saya tidak tahu dimana Dasril berada. Tapi dua tahun yang lalu, saya dapat kabar dari kawan-kawan perantau Pesisir Selatan di Selangor bahwa Dasril berada di Pahang. Ia nomaden, mengikuti ritme musim durian. Konon ...... ia telah punya istri, orang Bangladesh (biasanya orang Malaysia menyebut dengan istilah orang Bangla dan konon, menjelang nikah ia mengobati "burungnya" sama orang India), muslimah-cantik dan telah punya Van (mobil khas untuk berniaga buah). Alhamdulillah, ia telah mapan. Mungkin ia telah melupakan Indonesia. Ia tidak mau tahu dengan nasionalisme, Ambalat apalagi cerita melankolik Manohara. Ia lebih mau tahu dengan kepastian dan kehormatan kehidupannya. Dan untuk itu, mungkin ia merasa bahwa ia lebih bisa "hidup" dan hormat ketika ia hidup di Malaysia.
Ada pertanyaan yang terus bergelayut dalam benak saya : "Mengapa para TKI (baca : pahlawan devisa Indonesia), terkadang ditangkap karena faktor dokumen yang tidak lengkap, terkadang dihina, disakiti, diusir dan disabat (dirotan), bahkan ada yang dihukum pancung ...... namun mereka tetap betah berada di negara orang untuk "berimprovisasi hidup" dan ingin kembali lagi ke "seberang" ini, bila dipulangkan ke Indonesia?". Diantara banyak faktor yang menyebababkan hal di atas terjadi, faktor EKONOMI merupakan faktor super-signifikan. Namun, ada faktor-faktor "kecil" yang justru membuat para TKI tersebut menjadi "at-home" di Malaysia dan negara-negara "sorga" lainnya. Dan saya tak tahu persis apakah sanggup pemerintah Indonesia mengadakan moratorium terhadap pemerintah Arab Saudi dengan kasus Ruyati ini. Cerita pahit TKI sudah sering mereka dengar sehingga lambaian Ringgit dan Real terlampau sayang dihindari.....! (Ibu Ruyati Almarhumah : Allahummagh Fir Laha ... !)
Foto : atmo2008/romokoko.com
Saya tak ingin "melibatkan" diri dalam perdebatan kelambanan dan ketidakcermatan pemerintah melihat hal ini. Demikian juga dengan usulan "Usir Duta Besar Arab Saudi" (sebuah hal yang justru merugikan kita teramat banyak) atau lontaran-lontaran keprihatinan dari berbagai elemen bangsa beberapa hari belakangan ini terkait dengan hukuman pancuang Ruyati ini. Semuanya terasa baik. Refleksi dari nasionalisme. Tapi ..... mengingat Ruyati, teringat pula saya dengan Dasril di Malaysia. Ia TKI juga yang hampir "habis" hidupnya. Namanya Dasril, asal Pesisir Selatan. Saya lupa-lupa ingat (meminjam istilah KuburanBand), dimana kampung kecilnya di Pesisir Selatan. Tapi yang pasti, waktu pertama sekali saya mengenalnya, ia masih bujangan, dan ketika saya berinteraksi selama lebih kurang 2-3 bulan pada tahun 2005 pertengahan, ia berumur 28 tahun, kurang lebih. Berdomisili (dalam bahasa Malaysia : "bermastautin") di Hulu Langat, Selangor. Pekerjaannya di Malaysia, 3 jenis : menyadap getah, berniaga buah dan menjaga kebun orang Melayu. Ia masuk ke Malaysia sejak tahun 1999, mengikuti kakaknya yang telah memiliki IC Biru. Selama rentang 6 tahun tersebut (1999-2005), Dasril sudah dua kali masuk penjara, tertangkap karena "kosong" (istilah tidak memiliki dokumen), satu kali di sabat (dipukul dengan rotan ke arah daging pinggul bagian atas, dan biasanya setelah disabat tersebut, butuh 3 hari untuk tidur menelungkup) dan dua kali di usir. Ia pernah lari ke hutan, sendirian sambil menghuni satu kebun orang Melayu yang simpati padanya. Saya pernah dibawanya ke kebun (tepatnya : hutan belantara) tersebut, sungguh lengang dan mirip dengan suasana yang diceritakan Pramudya Ananta Toer tentang pulau Buru). Disinilah waktu dulu, Dasril hidup kayak "Rambo", makan buah-buahan dan sesekali dikirimkan beras oleh temannya orang Melayu yang simpati padanya. Temannya yang orang Melayu ini tidak begitu leluasa berkirim makanan pada Dasril karena takut ketahuan oleh Rela (semacam Tim Pol PP a-la Indonesia yang bertugas menswipping TKI Illegal). Apabila ketahuan, konsekuensinya jelas : masuk lokap @ penjara. Walaupun kondisi seperti ini, Dasril tetap bertahan dan tidak ingin pulang ke Indonesia. Ketika keluar kebijakan "pemutihan" pada awal pemerintahan PM Datuk Seri Abdullah Ahmad Badawi, Dasril keluar dari "pertapaannya", dan kemudian memanfatkan momentum ini untuk menyelesaikan administrasi-dokumen. Ia kembali ke Indonesia, untuk beberapa bulan. Setelah itu, ia masuk kembali ke Malaysia. Atas jaminan kakak dan kawan melayu-nya, ia memperoleh visa untuk berniaga buah dan menyadap karet.
Ketika saya tanyakan, mengapa tekadnya begitu kuat untuk tetap bertahan di Malaysia, bahkan mau "bertapa" di hutan belantara dan pinggulnya masih terlihat jejak bekas sabat-rotan (dan, konon katanya kawannya, "burungnya" sulit untuk hidup dan berpotensi impoten, mungkin karena "hempasan kuat" rotan waktu disabat). Saya bahkan memberikan argumentasi-logis bahwa selama 6 tahun beliau berniaga dengan "onak duri kehidupannya", toh Ringgit-pun tak diperolehnya dalam jumlah banyak, bahkan mungkin ia merugi. Lebih baik pulang ke Indonesia, berniaga di Padang atau Pesisir Selatan atau di Jakarta atau dimana saja, mungkin uang banyak yang bisa dikumpulkannya. Dasril menjawab, "disamping lambaian ringgit yang luar biasa, ketenangan berniaga dan berusaha di Malaysia jauh lebih aman dibandingkan di Indonesia ....... asal dokumen lengkap. Dalam berniaga, di Malaysia, bila dokumen lengkap, kita tak punya musuh. Di sini tak ada "orang bagak", preman yang minta uang, harus melapor ke sana ke mari jelang berniaga dan seterusnya. Berniaga di kampung orang Cina atau orang India, berdekatan dengan mereka bahkan bersaing dengan mereka tidak akan membuat kita khawatir. Tidak akan ada kata-kata : "pergi......... kamu orang Indonesia, ini wilayah peniaga India atau Cina, tidak boleh berniaga di sini. Di Indonesia, saya jamin kata Dasril, saya yang orang Pesisir Selatan akan kesulitan berniaga di daerah orang Pariaman apatah lagi kalau tidak melapor pada "orang bagak". Ringgit ............ nanti akan bisa terkumpulkan. Namun, suasana batin yang tenang-lah yang ingin dicari Dasril. Ia telah belajar, dokumen sebagai bentuk penghormatan. Orang akan memberlakukannya dengan hormat, apabila dokumennya lengkap. Ketika dokumen telah "ditaklukkannya", Dasril mulai merasakan bagaimana "nikmatnya" berniaga di Malaysia...... ia tidak mengenal pungutan liar, orang bagak, preman, kecemburuan etnik (orang pribumi-pendatang) dan pencurian. Bahkan, ia pernah menghardik orang Melayu asli di perkampungan Melayu di Sungai Lui Hulu Langat karena menghina profesi dan negaranya. Orang Melayu ini minta maaf dan tak pernah lagi mendengar : "hei kamu orang Indon, tak boleh berniaga di Malaysia". Ini yang dianggapnya tidak akan pernah didapatkannya bila berniaga di Indonesia. Sekarang, saya tidak tahu dimana Dasril berada. Tapi dua tahun yang lalu, saya dapat kabar dari kawan-kawan perantau Pesisir Selatan di Selangor bahwa Dasril berada di Pahang. Ia nomaden, mengikuti ritme musim durian. Konon ...... ia telah punya istri, orang Bangladesh (biasanya orang Malaysia menyebut dengan istilah orang Bangla dan konon, menjelang nikah ia mengobati "burungnya" sama orang India), muslimah-cantik dan telah punya Van (mobil khas untuk berniaga buah). Alhamdulillah, ia telah mapan. Mungkin ia telah melupakan Indonesia. Ia tidak mau tahu dengan nasionalisme, Ambalat apalagi cerita melankolik Manohara. Ia lebih mau tahu dengan kepastian dan kehormatan kehidupannya. Dan untuk itu, mungkin ia merasa bahwa ia lebih bisa "hidup" dan hormat ketika ia hidup di Malaysia.
Ada pertanyaan yang terus bergelayut dalam benak saya : "Mengapa para TKI (baca : pahlawan devisa Indonesia), terkadang ditangkap karena faktor dokumen yang tidak lengkap, terkadang dihina, disakiti, diusir dan disabat (dirotan), bahkan ada yang dihukum pancung ...... namun mereka tetap betah berada di negara orang untuk "berimprovisasi hidup" dan ingin kembali lagi ke "seberang" ini, bila dipulangkan ke Indonesia?". Diantara banyak faktor yang menyebababkan hal di atas terjadi, faktor EKONOMI merupakan faktor super-signifikan. Namun, ada faktor-faktor "kecil" yang justru membuat para TKI tersebut menjadi "at-home" di Malaysia dan negara-negara "sorga" lainnya. Dan saya tak tahu persis apakah sanggup pemerintah Indonesia mengadakan moratorium terhadap pemerintah Arab Saudi dengan kasus Ruyati ini. Cerita pahit TKI sudah sering mereka dengar sehingga lambaian Ringgit dan Real terlampau sayang dihindari.....! (Ibu Ruyati Almarhumah : Allahummagh Fir Laha ... !)
Foto : atmo2008/romokoko.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar