Senin, 20 Juni 2011

Parade "Silat Lidah" Politisi

Oleh : Muhammad Ilham

Ada penggalan dialog menarik dalam Film Devil Advocaat, "jangan percaya pada politisi, mereka pembohong", kata aktor watak Al Pacino. Saya tak ingin mengomentari konteks Al Pacino mengeluarkan pernyataan yang sudah menjadi "rahasia umum" dalam ruang publik ini. Namun yang pasti, teramat sulit kita menjumpai politisi seperti Mohammad Hatta dan Mohammad Natsir. Hatta menyerahkan mandat-nya sebagai Wakil Presiden/Perdana Menteri kepada sahabat dekatnya, Soekarno, yang telah masuk ke dalam "jurang" otoritarianisme dengan eksperimen Demokrasi Terpimpin. Sementara Natsir menyerahkan Surat Pengunduran Diri sebagai Perdana Menteri pada Soekarno, karena ada ketidaksesuaian visi politik diantara mereka berdua. Hatta dan Syahrir melihat jabatan adalah hanyalah "alat" untuk menumbuhkembangkan yang namanya prinsip keluhuran politik. Politik bagi mereka berdua adalah jalan (memungkinkan) untuk menata kehidupan ketatanegaraan dengan baik. Ujung dari semua itu adalah kesejahteraan bagi warga. Karena itu, ketika mereka melihat Soekarno telah mulai "mempreteli" tujuan dan filosofi politik tersebut, mereka tak mau untuk memberikan justifikasi. Membenarkan sang "atasan". Jabatan nan prestisius mereka tinggalkan. Hatta dengan senyuman berikan surat mandat, dan kemudian ia "berkontemplasi". Natsir mendatangi Soekarno dan kemudian pulang menggunakan sepeda ontel. Jabatan bagi mereka adalah pengabdian. Dunia politik adalah "jalan" logis untuk menebar pengabdian tersebut. Pada Hatta dan Natsir serta beberapa "gelintir" tokoh langka dalam ranah politik Indonesia pasti bukan menjadi bahagian sample Al Pacino di atas.

Tapi kejadian belakangan ini membuat Al Pacino menjadi "hadir" kembali. Lihatlah kebohongan vulgar yang dipertontonkan para elit politik Indonesia dalam hitungan minggu terakhir ini. Duo Mr/Mrs. N - Nunun dan Nazaruddin - (setidaknya) membuka mata kita bahwa batas antara kebohongan dengan kebenaran atas nama politik sama sekali nihil. Atas kepentingan politik, politisi, pada umumnya, (tidak menutup kemungkinan masih ada seumpama Hatta dan Natsir), merasa wajar untuk "bersilat lidah". Tak salah memang, karena banyak yang memahami bahwa politik itu "seni". Tapi bukan "seni" bersilat lidah untuk berbohong dan menutup kebohongan yang telah ada. Bukankah orang Melayu dan Minangkabau dahulu mengenal tradisi "bersilat lidah" ? Tapi lidah mereka yang "bersilat" itu tak bertujuan untuk panduto. Beda dengan politisi yang hadir-tampak di media TV belakangan ini. "Telenovela" Nazaruddin membuat beberapa politisi partai Demokrat mempertontonkan diri mereka sebagai pesilat lidah yang pembohong. Janji elite Partai Demokrat bahwa mereka dapat menghadirkan Nazaruddin kembali ke Tanah Air jika Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memanggil Nazaruddin, kemudian menjadi "analisis antah barantah" oleh elit Demokrat. Bagi mereka, Nazaruddin bukan lagi Pengurus DPP Demokrat dan yang berhak menyuruh pulang Nazaruddin ke Indonesia adalah KPK. Lho ... lalu kemana janji yang kemaren bang Poltak ? Kasus Nazaruddin bukan hanya ujian bagi Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, apakah ia sungguh-sungguh pemimpin yang satu kata dan satu perbuatan, bahwa ia tidak pandang bulu dalam memberantas korupsi. Kasus Nazaruddin bahkan menjadi pertaruhan di level yang tidak patut menjadi pertaruhan seorang presiden, yaitu apakah betul Menko Polhukam dan jajarannya serta Partai Demokrat yang dipimpinnya bisa membawa kembali Nazaruddin ke Tanah Air, sebagaimana yang dijanjikan para politisi Demokrat terhadap kasus Nazaruddin yang beratnya turun 18 kilogram ini.

Lalu, lihatlah kegigihan Adang Daradjatun kepada istrinya, Nunun Nurbaeti, tersangka kasus suap cek pelawat pemilihan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia Miranda Goeltom. Dalam posisinya sebagai politisi (PKS), "keaslian" politisi kembali terlihat. Adang "bersilat lidah" dan berkukuh bahwa istrinya tidak bersalah sehingga dia merahasiakan keberadaan sang istri di luar negeri. Sungguh sebuah sikap yang apologetis, sikap yang membenarkan kesalahan, dari seorang Adang Daradjatun. Sebagai mantan Wakapolri, Adang semestinya paham betul Komisi Pemberantasan Korupsi tidak boleh menghentikan penyidikan orang yang sudah ditetapkan sebagai tersangka. Sebab, undang-undang tidak memberikan kemewahan kepada KPK untuk menghentikan penyidikan, sebagaimana dimiliki Polri atau kejaksaan. Itu artinya, jika KPK menetapkan seseorang sebagai tersangka korupsi, pastilah KPK memiliki saksi dan bukti yang sangat kuat. Undang-undang memang membolehkan suami, istri, atau anak untuk tidak menjawab pertanyaan penyidik yang berkaitan dengan anggota keluarganya. Tetapi apa yang diperlihatkan Adang selama ini menjurus pada tindakan menghalangi penyidikan. Andai Adang berkeyakinan istrinya tidak bersalah, dia semestinya memberitahukan keberadaan sang istri agar KPK bisa menjemputnya. Bila perlu, sebagai anggota Komisi III DPR yang dikritik tidak memberi contoh keteladanan taat hukum, Adang sendiri yang menjemput dan menghadapkan Nunun ke muka KPK. Di situlah, di forum persidangan, Adang bisa membuktikan kepada KPK bahwa istrinya sungguh-sungguh bersih. Jika Adang selama ini menyebut istrinya hanyalah teri, kesaksian sang istri justru penting untuk menjerat kakap. Melindungi teri berarti melindungi kakap juga. Adang seperti tengah mencoba menyiasati hukum dengan membela habis-habisan sang istri. Jika pejabat negara saja mencoba mengangkangi hukum, jangan salahkan bila kelak rakyat "mengencingi" hukum.

Referensi : beberapa kalimat dikutip dari www.mediaindonesia.com

Tidak ada komentar: