Sejarah mencatat bahwa masyarakat Minangkabau adalah etnis yang sangat responsif terhadap kebijakan pendidikan dan politik Belanda di zaman kolonial. Asal-usul Elite Minangkabau Modern memberi kupasan mendalam tentang reaksi masyarakat Minangkabau terhadap sistem pendidikan Barat yang diperkenalkan Belanda di daerah ini sejak pertengahan abad ke-19. Jauh jarak waktu yang telah ditempuh buku ini untuk sampai kepada pembaca Indonesia. Buku ini berasal dari disertasi Graves, “The Ever-victorious Buffalo: How the Minangkabau of Indonesia solved their ‘colonial question’” (University of Wisconsin, 1971) yang kemudian diterbitkan tahun 1981 yang berjudul The Minangkabau Response to Dutch Colonial Rule in The Nineteenth Century (Ithaca: Cornell Modern Indonesia Project). Baru 26 tahun kemudian edisi Indonesianya terbit. Karena itu selayaknya pujian diberikan kepada para penerjemah, editor ahli, dan penerbit yang telah berupaya menghadirkan buku ini kepada pembaca Indonesia. Judul utama versi Indonesia buku ini langsung berperan sebagai “etalase” yang menggiring pembaca untuk membayangkan isinya yang memang berbicara tentang sejarah kemunculan kaum elite Minangkabau modern sebagai efek pengenalan pendidikan sekuler yang diperkenalkan Belanda di daerah ini.
Penulis mengawali uraiannya dengan mendeskripsikan alam Minangkabau dan masyarakat tradisionalnya (Bab 1; hlm.1-34). Ada dua topik utama yang dibahas dalam bab ini, yaitu sistem nagari yang khas Minangkabau, dan sistem matrilineal yang sangat mewarnai pola kekerabatan (kinship) dalam keluarga Minangkabau serta sistem pewarisan harta di antara anggota keluarga. Bab 2 (hlm.35-60) masih membahas nagari dan dunia kehidupannya. Nagari adalah “republik-republik kecil” yang membentuk semacam federasi semu dan berada dalam entitas geografis, budaya, dan politik di bawah wibawa (bukan kuasa) raja Pagaruyung. Penulis juga membahas tradisi merantau yang menjadi saluran masuknya ide-ide pembaharuan ke Minangkabau sekaligus sebagai katup pelepas untuk mengurangi tekanan-tekanan dan letupan sosial di Minangkabau. Selanjutnya dibahas pula kemunculan lembaga-lembaga Islam dan perkembangannya, yang mula-mula memberi ciri tertentu kepada sturuktur sosial masyarakat Minangkabau di kawasan pantai (barat) tetapi akhirnya membawa pengislaman ke pedalaman yang berujung pada munculnya gerakan puritanisme yang dikenal sebagai Perang Paderi. Setelah ikut terlibat dalam Perang Paderi dan kemudian memenanginya, Belanda lalu membentuk pemerintahan sentralistis yang bersifat hirarkis di Minangkabau. Hanya pada dua lapisan bawah saja dari sususan hirarkis itu yang dialokasikan kepada bumiputera: gubernur (Belanda)?residen (tiga keresidenan) (Belanda)? asisten residen (Belanda)? controleur [kontrolir] (Belanda)?kepala laras (bumiputera)?kepala nagari (bumiputera). Untuk mempertahankan status-quo, Belanda melakukan berbagai kebijakan agar format politik baru itu bias jalan. Namun muncul berbagai reaksi dari masyarakat Minangkabau yang sudah terbiasa hidup dalam sistem politik “republik nagari” yang bersifat egaliter itu (Bab 3, hlm.61-101). Motif ekonomi dibalik tujuan Belanda melakukan reorganisasi sistem politik Minangkabau itu dibahas dalam Bab 4 (hlm.102-148). Dalam bab ini penulis menguraikan penerapan sistem perpajakan dan penanaman kopi, komoditas ekspor utama zaman itu, dengan segala konsekuensi sosial-budaya, politik, ekonomi, dan pendidikan yang diakibatkannya.
Salah satu efek dari penetrasi politik dan ekonomi Belanda itu adalah munculnya sekolah sekuler yang belakangan mulai menyaingi sistem pendidikan tradisional (surau). Dalam Bab 5 (hlm.149-209) Graves membahas kemunculan sekolah sekuler di Minangkabau dan reaksi masyarakat terhadapnya. Rupanya masyarakat Minang pada umumnya bereaksi positif terhadap kehadiran sekolah sekuler ini, terbukti dengan munculnya domestikasi terhadapnya melalui pendirian apa yang disebut sebagai sekolah nagari (nagari school) yang berkembang di nagari-nagari penting penghasil kopi di pedalaman Minangkabau. Antusiasme orang Minang terhadap sistem pendidikan sekuler itu memaksa pemerintah melakukan pembenahan sistem pendidikan untuk peningkatan mutu (Bab 6, hlm.210-47). Mulai 1870 Belanda menertibkan kurikulum sekolah-sekolah nagari dan mendirikan sekolah dasar pemerintah serta sekolah lanjutan. Tahun 1880 terdapat tidak kurang dari 27 sekolah dasar pemerintah yang tersebar sejak dari Rao di utara sampai Balai Selasa di selatan. Reorganisasi ini dibarengi pula dengan pembenahan struktur kelembagaan pemerintah, khususnya yang berkaitan dengan pendidikan. Hasil dari sistem pendidikan sekuler ini adalah lahirnya generasi muda Minangkabau yang bisa membaca “huruf Wolanda”. Merekalah tunas awal kaum elite Minangkabau modern. Dalam Bab 7 (hlm.248-70) penulis menelusuri sejarah kaum elite baru Minangkabau itu dengan melacak genealogi keluarga-keluarga yang pernah menduduki posisi cukup penting dalam birokrasi pemerintahan kolonial Belanda dan profesi-profesi yang cukup tinggi pada abad ke-20. Koto Gadang menjadi tempat studi lapangan Graves yang utama karena nagari ini memang sejak semula sudah menunjukkan respon positif terhadap sistem pendidikan sekuler yang diperkenalkan Belanda.
Bab 8 yang merupakan epilog buku ini (hlm.271-81) membahas reaksi golongan elite baru ini terhadap Pemerintahan Kolonial Belanda. Menjelang pergantian abad ke-20, peningkatan jumlah kaum elite baru ini yang bekerja dalam birokrasi dalam negeri (binnenlandsch bestuur) telah menyebabkan meluasnya desakan kepada pemerintah agar memperluas sekolah-sekolah di Minangkabau. Mereka menuntut supaya pengajaran bahasa Belanda, yang sempat dihentikan, diadakan lagi dan diperluas. Namun, pada saat yang sama efek bumerang sistem pendidikan sekuler ini mulai terasa. Belanda merasa khawatir kaum bumiputera jadi makin cerdas. Maka dilakukan lagi pengetatan administratif dan kurikulum di sana-sini. Namun, rupanya bagi elite baru Minangkabau, kesempatan mencicipi pendidikan sekuler itu tidak semata-mata digunakan untuk bekerja menjadi ambtenaar dalam jajaran birokrasi pemerintahan kolonial; dengan berbekal ilmu yang didapat dari sekolah-sekolah Belanda banyak di antara mereka yang menjadi wirausahawan tangguh. “Orang Minangkabau menangkap dengan jitu aturan main kolonial yang baru dan sekuler itu menurut pengertian mereka sendiri; mereka mengambil apa yang mereka butuhkan dan menyesuaikannya untuk tujuan-tujuan khusus mereka” (hlm.280). Studi Graves ini, yang mengombinasikan data arsip kolonial dan penelitian lapangan di Sumatera Barat, menyimpulkan bahwa intervensi kekuasaan kolonial Belanda terhadap masyarakat Minangkabau menyebabkan ambruknya kekuasaan elit tradisional kelas atas akibat rotasi berlangsung secara alami karena penerapan sistem administrasi politik baru bikinan Belanda selepas Perang Paderi. Mobilitas kelas menengah terpelajar hasil pendidikan sekuler itu ternyata mandek dalam ranah budaya-politik tradisional mereka. Untunglah mereka mendapat tempat dalam sistem birokrasi pemerintah kolonial. Mereka inilah yang menjadi cikal-bakal elite Minangkabau modern, yang sebagian kemudian mengisi sebagian besar elite politik Indonesia—sepenggal cerita tentang sejarah kegemilangan etnis Minangkabau yang kini mulai redup. []
Sumber : (c) Suryadi/ditulis ulang dari "Padang Ekspres/28-12-2008".
Foto : www.bookgallery.com & cimbuak.com
Penulis mengawali uraiannya dengan mendeskripsikan alam Minangkabau dan masyarakat tradisionalnya (Bab 1; hlm.1-34). Ada dua topik utama yang dibahas dalam bab ini, yaitu sistem nagari yang khas Minangkabau, dan sistem matrilineal yang sangat mewarnai pola kekerabatan (kinship) dalam keluarga Minangkabau serta sistem pewarisan harta di antara anggota keluarga. Bab 2 (hlm.35-60) masih membahas nagari dan dunia kehidupannya. Nagari adalah “republik-republik kecil” yang membentuk semacam federasi semu dan berada dalam entitas geografis, budaya, dan politik di bawah wibawa (bukan kuasa) raja Pagaruyung. Penulis juga membahas tradisi merantau yang menjadi saluran masuknya ide-ide pembaharuan ke Minangkabau sekaligus sebagai katup pelepas untuk mengurangi tekanan-tekanan dan letupan sosial di Minangkabau. Selanjutnya dibahas pula kemunculan lembaga-lembaga Islam dan perkembangannya, yang mula-mula memberi ciri tertentu kepada sturuktur sosial masyarakat Minangkabau di kawasan pantai (barat) tetapi akhirnya membawa pengislaman ke pedalaman yang berujung pada munculnya gerakan puritanisme yang dikenal sebagai Perang Paderi. Setelah ikut terlibat dalam Perang Paderi dan kemudian memenanginya, Belanda lalu membentuk pemerintahan sentralistis yang bersifat hirarkis di Minangkabau. Hanya pada dua lapisan bawah saja dari sususan hirarkis itu yang dialokasikan kepada bumiputera: gubernur (Belanda)?residen (tiga keresidenan) (Belanda)? asisten residen (Belanda)? controleur [kontrolir] (Belanda)?kepala laras (bumiputera)?kepala nagari (bumiputera). Untuk mempertahankan status-quo, Belanda melakukan berbagai kebijakan agar format politik baru itu bias jalan. Namun muncul berbagai reaksi dari masyarakat Minangkabau yang sudah terbiasa hidup dalam sistem politik “republik nagari” yang bersifat egaliter itu (Bab 3, hlm.61-101). Motif ekonomi dibalik tujuan Belanda melakukan reorganisasi sistem politik Minangkabau itu dibahas dalam Bab 4 (hlm.102-148). Dalam bab ini penulis menguraikan penerapan sistem perpajakan dan penanaman kopi, komoditas ekspor utama zaman itu, dengan segala konsekuensi sosial-budaya, politik, ekonomi, dan pendidikan yang diakibatkannya.
Salah satu efek dari penetrasi politik dan ekonomi Belanda itu adalah munculnya sekolah sekuler yang belakangan mulai menyaingi sistem pendidikan tradisional (surau). Dalam Bab 5 (hlm.149-209) Graves membahas kemunculan sekolah sekuler di Minangkabau dan reaksi masyarakat terhadapnya. Rupanya masyarakat Minang pada umumnya bereaksi positif terhadap kehadiran sekolah sekuler ini, terbukti dengan munculnya domestikasi terhadapnya melalui pendirian apa yang disebut sebagai sekolah nagari (nagari school) yang berkembang di nagari-nagari penting penghasil kopi di pedalaman Minangkabau. Antusiasme orang Minang terhadap sistem pendidikan sekuler itu memaksa pemerintah melakukan pembenahan sistem pendidikan untuk peningkatan mutu (Bab 6, hlm.210-47). Mulai 1870 Belanda menertibkan kurikulum sekolah-sekolah nagari dan mendirikan sekolah dasar pemerintah serta sekolah lanjutan. Tahun 1880 terdapat tidak kurang dari 27 sekolah dasar pemerintah yang tersebar sejak dari Rao di utara sampai Balai Selasa di selatan. Reorganisasi ini dibarengi pula dengan pembenahan struktur kelembagaan pemerintah, khususnya yang berkaitan dengan pendidikan. Hasil dari sistem pendidikan sekuler ini adalah lahirnya generasi muda Minangkabau yang bisa membaca “huruf Wolanda”. Merekalah tunas awal kaum elite Minangkabau modern. Dalam Bab 7 (hlm.248-70) penulis menelusuri sejarah kaum elite baru Minangkabau itu dengan melacak genealogi keluarga-keluarga yang pernah menduduki posisi cukup penting dalam birokrasi pemerintahan kolonial Belanda dan profesi-profesi yang cukup tinggi pada abad ke-20. Koto Gadang menjadi tempat studi lapangan Graves yang utama karena nagari ini memang sejak semula sudah menunjukkan respon positif terhadap sistem pendidikan sekuler yang diperkenalkan Belanda.
Bab 8 yang merupakan epilog buku ini (hlm.271-81) membahas reaksi golongan elite baru ini terhadap Pemerintahan Kolonial Belanda. Menjelang pergantian abad ke-20, peningkatan jumlah kaum elite baru ini yang bekerja dalam birokrasi dalam negeri (binnenlandsch bestuur) telah menyebabkan meluasnya desakan kepada pemerintah agar memperluas sekolah-sekolah di Minangkabau. Mereka menuntut supaya pengajaran bahasa Belanda, yang sempat dihentikan, diadakan lagi dan diperluas. Namun, pada saat yang sama efek bumerang sistem pendidikan sekuler ini mulai terasa. Belanda merasa khawatir kaum bumiputera jadi makin cerdas. Maka dilakukan lagi pengetatan administratif dan kurikulum di sana-sini. Namun, rupanya bagi elite baru Minangkabau, kesempatan mencicipi pendidikan sekuler itu tidak semata-mata digunakan untuk bekerja menjadi ambtenaar dalam jajaran birokrasi pemerintahan kolonial; dengan berbekal ilmu yang didapat dari sekolah-sekolah Belanda banyak di antara mereka yang menjadi wirausahawan tangguh. “Orang Minangkabau menangkap dengan jitu aturan main kolonial yang baru dan sekuler itu menurut pengertian mereka sendiri; mereka mengambil apa yang mereka butuhkan dan menyesuaikannya untuk tujuan-tujuan khusus mereka” (hlm.280). Studi Graves ini, yang mengombinasikan data arsip kolonial dan penelitian lapangan di Sumatera Barat, menyimpulkan bahwa intervensi kekuasaan kolonial Belanda terhadap masyarakat Minangkabau menyebabkan ambruknya kekuasaan elit tradisional kelas atas akibat rotasi berlangsung secara alami karena penerapan sistem administrasi politik baru bikinan Belanda selepas Perang Paderi. Mobilitas kelas menengah terpelajar hasil pendidikan sekuler itu ternyata mandek dalam ranah budaya-politik tradisional mereka. Untunglah mereka mendapat tempat dalam sistem birokrasi pemerintah kolonial. Mereka inilah yang menjadi cikal-bakal elite Minangkabau modern, yang sebagian kemudian mengisi sebagian besar elite politik Indonesia—sepenggal cerita tentang sejarah kegemilangan etnis Minangkabau yang kini mulai redup. []
Sumber : (c) Suryadi/ditulis ulang dari "Padang Ekspres/28-12-2008".
Foto : www.bookgallery.com & cimbuak.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar