"Politik itu teater, sandiwara dan fiksi", demikian kata kawan saya Nazaruddin. Nazaruddin yang kawan saya ini tak ada sangkut paut-nya dengan Nazaruddin (mantan) Bendahara Umum Partai Demokrat. Ia hanya seorang Satpam. Kebetulan ia sakit beberapa hari lalu, dan hanya berobat sama dokter umum (sebuah kemajuan, karena Nazaruddin yang satpam ini selama ini "menggandrungi" dukun). Sebagai seorang kawan yang baik, maka malam kemaren saya mengunjunginya. Beberapa buah perkedel makanan kesukaannya saya bawa. Kedatangan saya disambutnya dengan tawa khas Satpam - "nada bariton". Pembicaraan kami umumnya seputar hal ehwal dan sebab musabab sakitnya yang ia istilahkan dengan "burut", kantong penisnya yang sebelah kanan agak membengkak. Hernia istilah medisnya. "Biasanya pada bulan-bulan tertentu, terutama pada bulan purnama, burut saya ini membengkak", katanya. Entah ia entah tidak. Nampaknya pengaruh perdukunan belum hilang dari pemikirannya, walau ia telah mulai mencoba merambah dunia rasional-ilmiah, berobat ke dokter. "Seandainya-lah saya ini politisi ataupun Nazaruddin yang lagi laris manis di televisi itu, tentu saya akan berobat pula ke Singapura", katanya, tanpa saya tanya. Saya ketawa sambil berkata, "sudahlah, erami saja burut kamu itu baik-baik, nanti malam bermimpilah pergi ke Singapura, kapan perlu berharap pula ditemani oleh Malinda Dee". Ia tersenyum kecut sambil mengeluarkan kata "Politik itu teater, sandiwara dan fiksi". Nampaknya diskusi kami berdua ini tak sistematis, tapi Nazaruddin yang Satpam ini dalam sakitnya memiliki hiburan tersendiri dari media televisi - "sinetron/teater politik Indonesia". Tapi, benarkah politik itu teater, panggung sandiwara, fiksi atau sinetron?
Dalam kajian mengenai Indonesia, pernah ada analisis menarik dan cemerlang dari Bennedict R.O.G. Anderson tentang politik dan bangsa di manapun di dunia ini sebagai sebuah fiksi. Demikian pula dengan antropolog Clifford Geertz yang membicarakan negara sebagai sebuah teater dengan acuan empirik Bali pada abad ke-19. Bahkan Earving Goffman memperkenalkan istilah "panggung depan" dan "panggung belakang" (Dramaturgi) dalam melihat motivasi interaksi dalam dunia politik. Pada hakikatnya, sudah cukup lama ranah politik tersebut dikiaskan sebagai sebuah panggung teater ataupun sandiwara. Bahkan bukan hanya ranah politik saja, seluruh entitas kehidupan masyarakat juga berlaku hal yang demikian. Dalam dunia politik dan dunia teater/sandiwara terdapat tokoh-tokoh dengan hasrat yang tak terlalu dan tak selalu sama. Ada pertentangan. Ada konflik. Disana juga ada dialog, peristiwa dan perilaku. Tentunya dan pasti ada alur cerita. Tawa dan tangis, suka dan duka cita silih berganti. Ada kepalsuan, kepahlawanan, pengkhiatan dan kejujuran. Bahkan ada penaklukan dan penguasaan. Ada kepatuhan dan perlawanan, dalam beragam derajat tentunya. Tapi, sekali lagi, benarkah politik itu teater, panggung sandiwara, fiksi atau sinetron?
Politik dan teater/sandiwara pada dasarnya dua ranah yang berbeda. Dalam politik boleh jadi ada unsur-unsur sandiwara. Teater/sandiwara boleh berunsur politik, tetapi yang pasti politik itu politik, seni teater/sandiwara ya seni. Demikian asumsi dasarnya. Namun dibalik berbagai persamaan "mereka", perbedaan mendasar apa yang berlaku pada keduanya ? Politik adalah medan adu kepentingan dan kekuasaan yang sangat praktis, who get what how and when, kata Harold Laswell. Kecerdasan nalar dianggap menjadi senjata atau bahasa utama dari pertandingan ini, baik yang berlangsung secara resmi, tak resmi, sah ataupun kotor. Karena politik dianggap adu otak, maka operasi "intelijen" menjadi teramat penting. Maka logikanya, karena politik diasumsikan serba rasional, maka ilmu politik pun dianggap masuk akal dan berguna. Demi ini, hukum kemudian ditampilkan dengan janji-janji kewibawaan, kepastian dan keadilan. Sementara itu, dunia seni, atau apapun-lah namanya, dianggap sebagai dunia rekaan atau fiksi. Kekuasaan dan ketertiban bukanlah sesuatu yang dicari, tetapi nilai estetika, daya pukau penonton dan "kenikmatan" hiburan. Bukan adu kekuatan, tak ada kalah-menang (paling-paling hanya dapat award tertentu dalam festival). Kepekaan estetika, fantasi, emosi dianggap sebagai unsur utama dalam kegiatan ini. Bila dalam politik ada "inteleijen", maka dalam seni ada "kritik dan apresiasi".
Setelah Nazaruddin bercerita tentang burut-nya, kami-pun menonton salah satu acara talk show yang pesertanya mayoritas ahli hukum. Topik talk show - "Nazaruddin terbang ke Singapura". Dan ini dia yang kami tunggu ...... Ruhut Sitompul mendapat kesempatan bicara. "Si Poltak Raja Minyak dari Medan" ini seperti berada dalam pentas teater. Tembak sana, tembak sini, seperti Jenderal Nagabonar kekasih Kirana. Kami terpukau dengan suguhan hiburan Ruhut Sitompul, tentunya sambil tertawa. Dan pagi tadi, salah seorang elit Partai Demokrat , Ramadhan Pohan berkata, "Mr. A adalah orang yang selama ini menjadi aktor intelektual kegaduhan politik dalam tubuh Partai Demokrat. Mr. A ini adalah politisi senior yang dikenal santun". Kasak kusuk-pun terjadi. Partai Golkar yang memiliki dua "petinggi" berinisial "A" tersebut (Ketua Umum Golkar Aburizal Bakri dan Ketua Dewan Pembina Akbar Tanjung) menantang Ramadhan Pohan untuk membeberkan siapa Mr. A sebagaimana dimaksud politisi Partai Demokrat yang tahun lalu pernah "berkelahi" dengan penulis buku Gurita Cikeas - George Aditjondro ini. Ramadhan Pohan tetap bermain dalam dunia "teka teki", Mr. A, itu saja, katanya. Nampaknya, Ramadhan Pohan sedang meniru "gaya politik Gus Dur", mengalihkan situasi atau tema cerita atau sedang meraba-raba, bila suatu ketika Mr. A tersebut tidak ada, ia bisa mengatakan Mr. A tersebut adalah "Mr. Auk" atau "Mr. Antah Barantah", sebagaimana halnya Gus Dur dahulu pernah mengatakan bahwa pelaku kerusuhan didalangi "Jenderal S". Setelah dinamika ketegangan terjadi, Gus Dur kemudian mengatakan bahwa "Jenderal S" tersebut adalah "Jenderal Sontoloyo". Dalam konteks politik dan dunia sinetron yang memiliki episode yang begitu panjang, biasa saja sang Sutradara tidak mengetahui akhir cerita karena skenario bisa disusun sambil jalan.
Sumber Foto : webdesignbooth.com
Dalam kajian mengenai Indonesia, pernah ada analisis menarik dan cemerlang dari Bennedict R.O.G. Anderson tentang politik dan bangsa di manapun di dunia ini sebagai sebuah fiksi. Demikian pula dengan antropolog Clifford Geertz yang membicarakan negara sebagai sebuah teater dengan acuan empirik Bali pada abad ke-19. Bahkan Earving Goffman memperkenalkan istilah "panggung depan" dan "panggung belakang" (Dramaturgi) dalam melihat motivasi interaksi dalam dunia politik. Pada hakikatnya, sudah cukup lama ranah politik tersebut dikiaskan sebagai sebuah panggung teater ataupun sandiwara. Bahkan bukan hanya ranah politik saja, seluruh entitas kehidupan masyarakat juga berlaku hal yang demikian. Dalam dunia politik dan dunia teater/sandiwara terdapat tokoh-tokoh dengan hasrat yang tak terlalu dan tak selalu sama. Ada pertentangan. Ada konflik. Disana juga ada dialog, peristiwa dan perilaku. Tentunya dan pasti ada alur cerita. Tawa dan tangis, suka dan duka cita silih berganti. Ada kepalsuan, kepahlawanan, pengkhiatan dan kejujuran. Bahkan ada penaklukan dan penguasaan. Ada kepatuhan dan perlawanan, dalam beragam derajat tentunya. Tapi, sekali lagi, benarkah politik itu teater, panggung sandiwara, fiksi atau sinetron?
Politik dan teater/sandiwara pada dasarnya dua ranah yang berbeda. Dalam politik boleh jadi ada unsur-unsur sandiwara. Teater/sandiwara boleh berunsur politik, tetapi yang pasti politik itu politik, seni teater/sandiwara ya seni. Demikian asumsi dasarnya. Namun dibalik berbagai persamaan "mereka", perbedaan mendasar apa yang berlaku pada keduanya ? Politik adalah medan adu kepentingan dan kekuasaan yang sangat praktis, who get what how and when, kata Harold Laswell. Kecerdasan nalar dianggap menjadi senjata atau bahasa utama dari pertandingan ini, baik yang berlangsung secara resmi, tak resmi, sah ataupun kotor. Karena politik dianggap adu otak, maka operasi "intelijen" menjadi teramat penting. Maka logikanya, karena politik diasumsikan serba rasional, maka ilmu politik pun dianggap masuk akal dan berguna. Demi ini, hukum kemudian ditampilkan dengan janji-janji kewibawaan, kepastian dan keadilan. Sementara itu, dunia seni, atau apapun-lah namanya, dianggap sebagai dunia rekaan atau fiksi. Kekuasaan dan ketertiban bukanlah sesuatu yang dicari, tetapi nilai estetika, daya pukau penonton dan "kenikmatan" hiburan. Bukan adu kekuatan, tak ada kalah-menang (paling-paling hanya dapat award tertentu dalam festival). Kepekaan estetika, fantasi, emosi dianggap sebagai unsur utama dalam kegiatan ini. Bila dalam politik ada "inteleijen", maka dalam seni ada "kritik dan apresiasi".
Setelah Nazaruddin bercerita tentang burut-nya, kami-pun menonton salah satu acara talk show yang pesertanya mayoritas ahli hukum. Topik talk show - "Nazaruddin terbang ke Singapura". Dan ini dia yang kami tunggu ...... Ruhut Sitompul mendapat kesempatan bicara. "Si Poltak Raja Minyak dari Medan" ini seperti berada dalam pentas teater. Tembak sana, tembak sini, seperti Jenderal Nagabonar kekasih Kirana. Kami terpukau dengan suguhan hiburan Ruhut Sitompul, tentunya sambil tertawa. Dan pagi tadi, salah seorang elit Partai Demokrat , Ramadhan Pohan berkata, "Mr. A adalah orang yang selama ini menjadi aktor intelektual kegaduhan politik dalam tubuh Partai Demokrat. Mr. A ini adalah politisi senior yang dikenal santun". Kasak kusuk-pun terjadi. Partai Golkar yang memiliki dua "petinggi" berinisial "A" tersebut (Ketua Umum Golkar Aburizal Bakri dan Ketua Dewan Pembina Akbar Tanjung) menantang Ramadhan Pohan untuk membeberkan siapa Mr. A sebagaimana dimaksud politisi Partai Demokrat yang tahun lalu pernah "berkelahi" dengan penulis buku Gurita Cikeas - George Aditjondro ini. Ramadhan Pohan tetap bermain dalam dunia "teka teki", Mr. A, itu saja, katanya. Nampaknya, Ramadhan Pohan sedang meniru "gaya politik Gus Dur", mengalihkan situasi atau tema cerita atau sedang meraba-raba, bila suatu ketika Mr. A tersebut tidak ada, ia bisa mengatakan Mr. A tersebut adalah "Mr. Auk" atau "Mr. Antah Barantah", sebagaimana halnya Gus Dur dahulu pernah mengatakan bahwa pelaku kerusuhan didalangi "Jenderal S". Setelah dinamika ketegangan terjadi, Gus Dur kemudian mengatakan bahwa "Jenderal S" tersebut adalah "Jenderal Sontoloyo". Dalam konteks politik dan dunia sinetron yang memiliki episode yang begitu panjang, biasa saja sang Sutradara tidak mengetahui akhir cerita karena skenario bisa disusun sambil jalan.
Sumber Foto : webdesignbooth.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar