Judul diatas, sungguh "menggigit". Julian Benda yang buat kalimat tersebut jadi judul bukunya, "la trahision des cleres" demikian judul aslinya. Bahasa Perancis, kalau saya tak salah. Buku yang sudah dianggap klasik ini - karena ditulis jelang invansi Nazi-Hitler diawal 1930-an ini - telah diterbitkan oleh Penerbit Gramedia, awal tahun 2000. Tentu dengan edisi terjemahan. Julien Benda mengawali karirnya sebagai filsuf ketika ia menulis karya filosifis-reflektif yang mengulas skandal Dreyfus di Perancis pada 1898 dengan judul Dialogues a Byzance. Setelah itu Benda tidak lagi menulis. Ia seakan menghilang dari percaturan wacana intelektual Perancis, yang saat itu geger dilanda skandal Dreyfus.Dan, malam ini saya merasa sangat terlambat membaca buku tersebut. Kebetulan, istri saya pulang dari Gramedia, mungkin ada uang lebih sedikit, jadilah ia membeli buku ini untuk saya. Ter-lam-bat, bagi saya untuk menikmati buku yang sering diperbincangkan oleh banyak intelektual Indonesia ini. Tapi tak masalah. Bukankah better late than never. Dan sepulang sholat maghrib tadi dari musholla, Julian Benda akhirnya saya "sandingkan" dengan Ali Shariati - ideolog Revolusi Islam Iran - pengarang buku "Tugas Cendekiawan Muslim". Dan nampaknya, Julian Benda maupun Ali Shariati yang mengistilahkan cendekiawan/intelektual ini dengan "rauzan fikr" (manusia tercerahkan) memiliki kesamaan pemahaman tentang fungsi intelektual serta pengkhianatan yang dilakukan.
Julian Benda melihat pengalaman kasat mata ketika sebagian besar kaum intelektual Perancis berkolaborasi dengan Nazi : bersikap anti terhadap hak-hak asasi, anti-perikemanusiaan dan anti-moralita. Dan yang lebih penting, mereka telah berkhianat terhadap tanah airnya. Ia mengatakan bahwa orang terpelajar yang "disewa" oleh pihak yang berkuasa di dunia adalah pengkhianat kepada fungsinya. Kaum terpelajar bukan hanya telah banyak "dikalahkan", tetapi juga banyak "dipungut". Lihatlah, kata Benda, begitu banyak kaum intelektual modern yang menyerahkan diri mereka sepenuh-penuhnya kepada perjuangan politik yang meluap-luap. Dan Benda lebih banyak mengingatkan - untuk tidak mengatakan menuduh - bahwa kaum terpelajar tidak lagi memberi petunjuk dan memberi spirit kepemimpinan kepada perkembangan kemanusiaan, malahan menyerahkan diri mereka kepada golongan yang berkuasa untuk memperjuangkan kepentingan parsial-individual. Alih-alih memelihara persaudaraan segala bangsa berdasarkan kemanusiaan, kaum terpelajar justru ikut serta mempertajam pertentangan bangsa, pertentangan kelompok atas nama apapun jua yang telah menyebabkan timbulnya konflik di tengah-tengah masyarakat. Bagi Benda, itulah Pengkhiatan itu, Pengkhiatan Kaum Intelektual.
Sejatinya, kaum terpelajar adalah orang yang berpijak pada kebenaran, walau sebenarnya kebenaran itu juga sarat dengan nilai-nilai/perspektif. Tapi fungsi memberikan pencerahan, bukan memperuncing, merupakan ikhtiar bagi kaum intelektual untuk tidak menjadi pengkhianat. Nampaknya, bila kita sepakat dengan Julian Benda dan Ali Shariati diatas, sudah teramat banyak pengkhianat-pengkhianat intelektual tersebut. Mereka, para kaum cerdik-pandai, bukannya berusaha mengantarkan rakyat menuju ke gerbang kemakmuran tetapi mengajak seluruh bangsa menyelusuri meminjam istilah Steven Hawking, black hole, yang tak bakal ditemui cahaya secercah pun. Centang-perenang peraturan maupun undang-undang yang mereka buat untuk menjalankan sistem tatanan kenegaraan, mereka pula yang melanggarnya. Ditambah dengan bobroknya mentalitas para pemengang otoritas kebijakan yang cenderung korup, kolusif dan nepotism menjadi salah satu kendala utama pengungkapan pelbagai persoalan pelanggaran hukum sulit menemukan titik terang. Mereka lupa, bahwa pendidikan yang diperoleh untuk menyelesaikan pendidikan hingga mencapai gelar doktor, dan bahkan ada diantaranya menjabat sebagai gurubesar, dibiayai kuliahnya dengan keringat dan darah rakyat. Beberapa komentar dari berbagai kalangan yang dikatakan terdidik mensikapi berbagai kasus - baik politik maupun agama - justru banyak yang tidak mencerahkan. Memperuncing yang terkedepankan. Terkadang banyak juga yang tidak sadar, komentar-komentar mereka ini justru memudahkan orang untuk memberikan "adress" pada mereka - untuk kepentingan siapa mereka berpendapat dan memberikan komentar. Tanpa saya sadari juga, saya juga sering menjadi pengkhianat cendekiawan. Itu kalau memang saya dikategorikan kaum terpelajar, kalau tidak, syukur alhamdulillah, terhindar saya dari labelling pengkhianat. halah !
(tulisan ini juga mengutip beberapa bagian dari analisis Eddy JS. /IMSS sebagai pengayaan informasi). Foto : www.bukabuku.com
Julian Benda melihat pengalaman kasat mata ketika sebagian besar kaum intelektual Perancis berkolaborasi dengan Nazi : bersikap anti terhadap hak-hak asasi, anti-perikemanusiaan dan anti-moralita. Dan yang lebih penting, mereka telah berkhianat terhadap tanah airnya. Ia mengatakan bahwa orang terpelajar yang "disewa" oleh pihak yang berkuasa di dunia adalah pengkhianat kepada fungsinya. Kaum terpelajar bukan hanya telah banyak "dikalahkan", tetapi juga banyak "dipungut". Lihatlah, kata Benda, begitu banyak kaum intelektual modern yang menyerahkan diri mereka sepenuh-penuhnya kepada perjuangan politik yang meluap-luap. Dan Benda lebih banyak mengingatkan - untuk tidak mengatakan menuduh - bahwa kaum terpelajar tidak lagi memberi petunjuk dan memberi spirit kepemimpinan kepada perkembangan kemanusiaan, malahan menyerahkan diri mereka kepada golongan yang berkuasa untuk memperjuangkan kepentingan parsial-individual. Alih-alih memelihara persaudaraan segala bangsa berdasarkan kemanusiaan, kaum terpelajar justru ikut serta mempertajam pertentangan bangsa, pertentangan kelompok atas nama apapun jua yang telah menyebabkan timbulnya konflik di tengah-tengah masyarakat. Bagi Benda, itulah Pengkhiatan itu, Pengkhiatan Kaum Intelektual.
Sejatinya, kaum terpelajar adalah orang yang berpijak pada kebenaran, walau sebenarnya kebenaran itu juga sarat dengan nilai-nilai/perspektif. Tapi fungsi memberikan pencerahan, bukan memperuncing, merupakan ikhtiar bagi kaum intelektual untuk tidak menjadi pengkhianat. Nampaknya, bila kita sepakat dengan Julian Benda dan Ali Shariati diatas, sudah teramat banyak pengkhianat-pengkhianat intelektual tersebut. Mereka, para kaum cerdik-pandai, bukannya berusaha mengantarkan rakyat menuju ke gerbang kemakmuran tetapi mengajak seluruh bangsa menyelusuri meminjam istilah Steven Hawking, black hole, yang tak bakal ditemui cahaya secercah pun. Centang-perenang peraturan maupun undang-undang yang mereka buat untuk menjalankan sistem tatanan kenegaraan, mereka pula yang melanggarnya. Ditambah dengan bobroknya mentalitas para pemengang otoritas kebijakan yang cenderung korup, kolusif dan nepotism menjadi salah satu kendala utama pengungkapan pelbagai persoalan pelanggaran hukum sulit menemukan titik terang. Mereka lupa, bahwa pendidikan yang diperoleh untuk menyelesaikan pendidikan hingga mencapai gelar doktor, dan bahkan ada diantaranya menjabat sebagai gurubesar, dibiayai kuliahnya dengan keringat dan darah rakyat. Beberapa komentar dari berbagai kalangan yang dikatakan terdidik mensikapi berbagai kasus - baik politik maupun agama - justru banyak yang tidak mencerahkan. Memperuncing yang terkedepankan. Terkadang banyak juga yang tidak sadar, komentar-komentar mereka ini justru memudahkan orang untuk memberikan "adress" pada mereka - untuk kepentingan siapa mereka berpendapat dan memberikan komentar. Tanpa saya sadari juga, saya juga sering menjadi pengkhianat cendekiawan. Itu kalau memang saya dikategorikan kaum terpelajar, kalau tidak, syukur alhamdulillah, terhindar saya dari labelling pengkhianat. halah !
(tulisan ini juga mengutip beberapa bagian dari analisis Eddy JS. /IMSS sebagai pengayaan informasi). Foto : www.bukabuku.com