Selasa, 01 Maret 2011

Indie Verloren, Rampsoed Geboren

Oleh : Muhammad Ilham

Ada satu kutipan menarik yang ditulis sastrawan Pramoedya Ananta Toer dalam novel-sejarahnya, Panggil Aku Kartini. Kutipan dalam bahasa Belanda - Indie verloren, rampsoed geboren. Ungkapan yang berkembang pada tahuan 1910-an ini bila diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia - "kehilangan Hindia Belanda (Indonesia sekarang), berarti bencana". Ungkapan yang bukan datang dari penduduk pribumi. Tak bisa disamakan dengan begitu berarti-nya tentara Amerika Serikat bagi Presiden Afghanistan dan Irak sekarang. Bila tentara Paman Sam ini "hengkang" dari negara penuh konflik tersebut, berarti bencana. Untuk konteks historis Hindia Belanda, ungkapan bencana ini dipahami bukan bencana bagi pribumi (Indonesia), tapi bagi negara Belanda itu sendiri. Bukan ber-apologi, tapi tak akan diperdebatkan lagi bahwa Belanda begitu amat beruntung memiliki Indonesia sebagai koloninya. Ketika masih hidup, Indonesianist terkenal asal Australia, Herbert Feith, pernah saya bawa mengisi studium general di Fakultas Ilmu Budaya-Adab IAIN Padang tahun 1997. Kala saya masih mahasiswa, ketika Herbert Feith melakukan penelitian di Sumatera Barat. Ada statement-nya bagi saya yang sangat menarik. Negara Belanda, kata pengarang buku klasik The Decline of Constitutional Democracy in Indonesia ini, adalah negara "bawah air" yang tanpa menjajah Indonesia hanya akan menjadi negeri cilik yang dingin dan terpencil di Laut Utara. Belanda hanyalah negara lemh dalam abad kapal api (the age of steam). Negara ini muncul begitu saja tanpa memiliki angkatan perang yang mampu bersaing dengan rival-rival Eropa mereka. Tapi penguasaan mereka atas wilayah nusantara yang sesungguhnya merupakan buah dari strategi geo-politik Inggris Raya yang melihat kehadiran Belanda di Asia Tenggara untuk menahan ekspansi Perancis - rival utama Inggris di lautan. "Pembiaran" yang dilakukan oleh Inggris telah serta merta membuat Belanda menjadi negara koloni nomor empat terbesar di dunia pada masanya. Sesuatu prestasi yang dimulai dari "ketidaksengajaan" untuk sebuah negara cilik.

Hal ini pernah disinggung oleh Cristinne Dobbin dalam bukunya Kebangkitan Islam Dalam Ekonomi Petani yang Sedang Berubah, Sumatra Tengah 1784-1847, bahwa Belanda memang dibiarkan oleh Inggris untuk menguasai wilayah nusantara (Indonesia), walau sebenarnya Inggris memiliki kekuatan dan kemampuan untuk mengambil alih semua itu. Dalam Perjanjian Inggris-Belanda pada tahun 1824, keberuntungan Belanda tersebut memang jelas. "Dalam berbagai hal tampaknya sangatlah menguntungkan jika Belanda memiliki kawasan nusantara itu. Jika tidak di tangan Belanda, ia akan jatuh ke dalam kekuasaan maritim lainnya, yang mungkin saja Perancis, kecuali kita kata pihak Inggris dalam perjanjianj itu, merebutnya untuk diri kita sendiri", tulis Dobbin. Perancis mungkin akan benar-benar berbahaya bagi India dan Australia yang merupakan koloni Inggris jika memiliki imperium di sebelah timur itu (maksudnya : nusantara). Tapi Belanda bagi Inggris masih terlalu lemah untuk menimbulkan bahaya pada mereka.

Inilah mungkin salah satu makna dari "bencana" yang bisa dapat kita tafsirkan dalam konteks historis. Namun pada sisi lain, terutama bila kita percaya pada "pameo" bahwa Belanda hadir di nusantara dengan lebih menekankan maksud-maksud dagangnya daripada penyebaran agama - dibandingkan dengan Portugis atau Spanyol - maka jawaban bencana tersebut haruslah dicari dalam bidang ekonomi. Sejak awal abad ke-17, kala VOC mendirikan basis teritorialnya di Batavia, sumber daya Indonesia ini telah ditransformasikan ke dalam aset-aset ekonomi Belanda. Dalam sebuah penelitian yang pernah dilakukan oleh Angus Madison (cf. KITLV), berapa besdar pendapatan (income) Belanda di-dari Indonesia pada zaman baheula sangat-lah mencengangkan. Sejak tahun 1700 hingga 1921, rata-rata 90 % dari seluruh pendapatan yang berasal dari sumber daya alam Indonesia dikirim ke Belanda ... ya, 90 %. Angka ini kemudian mulai turun setelah diterapkannya kebijakan liberal di Belanda dimana sektor swasta memainkan perannya sejak tahun akhir abad ke 19, sekitar 60-65 % setiap tahunnya. Secara keseluruhan, "sumbangan" Indonesia pada masa-masa penjajahan yang panjang tersebut bagi ekonomi Belanda, rata-rata 89,4 %. Hanya 10,6 % saja orang Belanda yang ada di negara Belanda mampu "memberikan" kontribusi bagi pendapatan ekonomi negara mereka ini. Jadi taklah mengherankan apabila kehilangan Indonesia bagi Belanda pada masa dahulu, merupakan bencana, bahkan bencana luar biasa. Sekali lagi, bukan apologik, seandainyalah Inggris tidak membiarkan Belanda mengambil Indonesia, tentu Belanda tetap menjadi negara cilik yang tidak "sekaya" sekarang, dan mungkin Indonesia tidak "tersedot" potensi ekonomi-nya secara luar biasa. Buktinya, menurut Madison, selama India menjadi koloni Inggris, pendapatan ekonomi yang berasal dari India hanya memberikan sumbangan tidak sampai 20 % bagi ekonomi Inggris. Maklum, koloni Inggris banyak sekali, sedangkan Belanda, mungkin hanya Indonesia, kemudian belakangan Suriname yang tak kaya amat dari aspek potensi alam. Bak kata almarhum ayah saya .... "seadainyalah boleh memilih, lebih baik kita dijajah Inggris !". Halah !

Referensi : Dobbin (1988), Fachry Ali (1995), Pramoedya Ananta Toer (1999), Foto (holland.com)

Tidak ada komentar: