Jumat, 11 Maret 2011

Sosok Historis Al-Ghazali

Oleh : Muhammad Ilham

Siapakah yang tak kenal dengan Al-Ghazali. Manusia jenial dengan jambang dan jenggot panjang, muka tirus dan mata sayu. Manusia besar yang seringkali dimasukkan orang sebagai manusia unggul yang lahir per-1000 tahun dalam siklus peradaban Islam. Pendapat dan hujjah-nya menjadi referensi paling diminati dan dianggap otoritatif oleh sebagian besar muslim dunia, hingga sekarang. Dari seorang penuntut filsafat rasional yang fanatik, menjadi tokoh mistikus yang (juga) fanatik. Tapi sayang, terkadang, kita tidak menempatkan Al-Ghazali sebagai sosok historis yang terikat waktu dan tempat. Al-Ghazali bukan Muhammad yang "terjamin" oleh Tuhan, sehingga pendapat Al-Ghazali membutuhkan analisis konteks, dan alangkah "kejamnya" kita, bila pendapat Al-Ghazali harus dianggap benar bila dibawakan pada masa sekarang. Tidak jelas benar, bila ia masih hidup sekarang, apakah pemikiran mistik dan sufistiknya tetap tegar bertahan. Mungkin tidak. Tapi lihatlah, Al-Ghazali tetap selalu hadir pada masa kini. Dalam berbagai kesempatan, baik perbincangan akademik hingga diskusi tingkat mushola-masjid, Al-Ghazali senantiasa dihadirkan.

Walau dia selalu hadir, tapi Al-Ghazali bukanlah sebuah mitos. Dan memang ia tidaklah harus dimitoskan, karena itu tadi, ia manusia biasa yang pemikirannya merupakan refleksi zaman dimana ia hidup, lahir dan hidup di "zaman laki-laki". Karena itulah, tidak mengherankan apabila Al-Ghazali dalam ajarannya sufistik dan mistikus-illahiyyah-nya tidak memperhitungkan dan membincangkan wanita. "Upayakanlah dalam setiap kali berwudhu', air mengenai seluruh wajah dan empat tempat tumbuh rambut alis, kumis ...." ujarnya. Instruksi ini oleh Al-Ghazali berulang dalam tata cara mandi bersama ..... "basahilah rambut, kepala dan jenggot-mu .. !". Satu hal, wanita tak berkumis dan berjenggot. Sebegitukah Al-Ghazali mengenyampingkan wanita ? Manusia jenial yang dibanggakan kaum muslimin seluruh dunia ini, hanya memandang yang berjenggot dan berkumis saja ?. Jawabannya tentu tidak. Al-Ghazali hidup pada masa patriarkhat yang sangat dominan. Mungkin saking dominannya, konsep matriarkhat sebagaimana yang dikatakan Hodgson (1998) tidak dikenal sama sekali pada masa ini. Dan karena Al-Ghazali itu manusia, maka pendapatnya yang "laki-laki sentris" tersebut tidaklah salah. Sebagaimana halnya Karl Marx yang terinspirasi terhadap struktur agama (Kristen) yang sengaja dibentuk oleh kaum "berduit" untuk mengeksploitasi kalangan mustadhaffin, dan karena itu ia yang juga punya jenggot dan jambang lebat ini "menghujat" Agama sebagai Candu. Seandainyalah, Marx hidup di Aceh - katakanlah demikian - pada masa perjuangan menentang kolonial Belanda, niscaya ia akan "menghujat" pula pendapatnya tentang Agama sebagai candu. Tapi Marx hidup pada masanya, sebagaimana halnya, Al-Ghazali juga berkembang pada zamannya. Dan sebagai orang yang belakangan menikmati buah pemikiran Al-Ghazali, kita terkadang tak mau memahami zaman dimana Al-Ghazali hidup. Niat kita mengagungkan Al-Ghazali, tapi terkadang justru membuat kita mengkerdilkannya. Dan, hal ini juga sering kita lakukan pada manusia-manusia besar lainnya dalam memahami pemikiran-pemikiran bernas mereka. Sayang Al-Ghazali tidak bisa melakukan pembelaan.

:::: (terinspirasi dari diskusi dengan seorang kawan yang mengatakan : "Al-Ghazali itu anti kesetaraan gender)

Tidak ada komentar: