Militerisme ? Sebuah pemahaman yang selama ini - setidaknya yang dipahami publik mayoritas - adalah sesuatu yang menakutkan. Lihatlah misalnya penggalan "cerita" berikut yang terinspirasi dari sebuah artikel koran - Djalaluddin Rahmat (?) - diawal tahun 2000 : Di sebuah tempat di pedalaman Aceh, ketika DOM (Daerah Operasi Militer) masih diberlakukan. Ada sebuah gubuk terpencil yang dihuni satu keluarga. Mereka adalah sebuah keluarga yang mengungsi ke tengah hutan karena tidak sanggup menghadapi konflik bersenjata GAM-TNI. Kedamaian seakan-akan menjadi barang luks. Ketakutan selalu menghantui mereka. Malam itu mereka berkumpul, makan malam bersama, sambil berbincang-bercanda. Suasana terasa hangat-lepas penuh kekeluargaan. Tiba-tiba terdengar suara ketukan. Suasana riang berubah menjadi muram. Dari raut mukanya, terlihat sang ayah sangat takut. Disuruhnya salah satu diantara anaknya untuk melihat dan membukakan pintu. Si anak kemudian pergi ke arah pintu, sebagaimana yang diminta oleh ayahnya, dengan raut muka yang juga takut. Sementara sang ayah dan anggota keluarga lainnya menanti dengan harap-harap cemas. Beberapa saat kemudian, si anak yang disuruh membukakan pintu tadi mendatangi ayahnya, masih dengan raut muka takut. Sang ayah bertanya, “siapa yang mengetuk pintu tadi?”. Si anak menjawab, “Malaikat maut, yah. Ia ingin bertemu dengan ayah !”. Spontan si ayah ini menjawab, “Alhamdulillah, saya kira tadi yang datang tentara”. Sebuah ketakutan dengan simbol-simbol riil militerisme - "tentara".
Tapi janganlah terlebih dahulu kita berburuk sangka. Militerisme bukanlah (mutlak) suatu keadaan dimana pemerintahan dipimpin oleh para perwira militer seperti junta militer di Myanmar dan negara-negara "sejenis". Tentara jadi representasi kekuasaan politik dihampir semua lini vertikal masyarakat. Bukan itu. Militerisme lebih kepada kondisi sosial dan kejiwaan masyarakat. Ini bisa dijumpai dalam masyarakat yang dipimpin oleh sipil sekalipun. Refleksi militerisme, kata Noam Chomsky (1997) bisa dijumpai dalam berbagai bentuk kehidupan masyarakat sehari-hari, dalam benak dan pemikiran kita yang terkadang kita anggap sebagai sesuatu yang lumrah. Pakar Sosiologi Politik, Michael Mann (1999) mengatakan bahwa kehadiran militer/tentara bukanlah sesuatu yang otomatis menjadi perwujudan dari militerisme. Pada sisi lain, misalnya, negara yang dikuasai oleh pemimpin sipil secara formal, tidak terdapat jaminan pasti akan steril dari militerisme. Secara teoritis, kata Michael Mann lebih lanjut, militerisme adalah seperangkat sikap dan praktek sosial yang didasarkan kepada anggapan bahwa "peperangan" dengan segala persiapannya merupakan sesuatu yang normal dan "menggairahkan". Bagaimanapun jua, adalah sebuah kewajaran bila sikap militerisme melihat segala sesuatunya sebagai sebuah "medan peperangan". Menyerang atau diserang, kanai atau manganai - kata seorang kolega saya (alm.) adalah suatu prinsip hidup utama militerisme.
Huntington (1989) mengatakan bahwa ada dua prinsip utama dari budaya militerisme : (a). rasa takut yang memasyarakat, dan (b). simbol kekerasan dan kejantanan (kebuasan) ditonjolkan. Bila dihubungkan (a) dan (b), maka berlaku asumsi dasar : masyarakat yang mengidap militerisme tersebut secara formal mungkin menyanjung simbol-simbol kekerasan dan kegagahan, tapi ini merupakan kompensasi psikologis karena mereka menderita teror dan trauma. Kekerasan tidak hanya dominan dalam masyarakat "bar-bar"ataupun monopoli dari negara-negara Dunia Ketiga (yang baru "mau" berkembang). Modernitas yang membawa simbol-simbol dan spirit kebebasan, kemerdekaan politik bagi segala bangsa, HAM, rasionalitas serta kapitalisme dengan perangkat "pasar bebas"nya, ternyata tak kurang buasnya. Untuk ini, dalam bukunya Modernisme dan Post-modernisme, Ben Anderson menyimpulkan bahwa dua abad modern terakhir ini merupakan masa-masapenuh kekerasan yang tak ada bandingannya dalam durasi waktu panjang ummat manusia. Tak ada negara yang lebih banyak berperang selama abad ke-19 daripada Inggris - negara pemuka industri (dengan revolusi industri-nya) dan pasar bebas. Demikian juga, tak ada negara di paro abad ke-20, bahkan hingga sekarang yang lebih banyak berperang ketimbang Amerika Serikat, negara yang jumawa berkiblat pada pasar bebas. Dan sejarah masih "segar"mencatat, perang Dunia I dan II, disponsori oleh negara-negara kapitalis.
Kembali ke militerisme yang bercirikan pada kejantanan dan mempertentangkan sikap hidup kaku menjadi dua realitas belaka : kawan/lawan, kalah/menang, atau kanai/menganai. Sebagai sebuah sikap, militerisme bukan hanya milik anggota militer. Tak sedikit warga sipil, kelompok primordial, lembaga-lembaga kemasyarakatan, organisasi-organisasi kepemudaan bahkan kemahasiswaan yang mengidap "virus" militerisme ini. Intinya, terkadang si penjaga demokrasi itu yang menghancurkan demokrasi, yang merasa berhak menjaga perdamaian yang merusak perdamaian, dan orang-orang yang bukan berasal dari militer, justru lebih militer dalam pendekatan sikapnya.
Referensi : Ben Anderson (1999), Michael Mann (1999) & Noam Chomsky (1997). Foto : www.google.picture.com
Huntington (1989) mengatakan bahwa ada dua prinsip utama dari budaya militerisme : (a). rasa takut yang memasyarakat, dan (b). simbol kekerasan dan kejantanan (kebuasan) ditonjolkan. Bila dihubungkan (a) dan (b), maka berlaku asumsi dasar : masyarakat yang mengidap militerisme tersebut secara formal mungkin menyanjung simbol-simbol kekerasan dan kegagahan, tapi ini merupakan kompensasi psikologis karena mereka menderita teror dan trauma. Kekerasan tidak hanya dominan dalam masyarakat "bar-bar"ataupun monopoli dari negara-negara Dunia Ketiga (yang baru "mau" berkembang). Modernitas yang membawa simbol-simbol dan spirit kebebasan, kemerdekaan politik bagi segala bangsa, HAM, rasionalitas serta kapitalisme dengan perangkat "pasar bebas"nya, ternyata tak kurang buasnya. Untuk ini, dalam bukunya Modernisme dan Post-modernisme, Ben Anderson menyimpulkan bahwa dua abad modern terakhir ini merupakan masa-masapenuh kekerasan yang tak ada bandingannya dalam durasi waktu panjang ummat manusia. Tak ada negara yang lebih banyak berperang selama abad ke-19 daripada Inggris - negara pemuka industri (dengan revolusi industri-nya) dan pasar bebas. Demikian juga, tak ada negara di paro abad ke-20, bahkan hingga sekarang yang lebih banyak berperang ketimbang Amerika Serikat, negara yang jumawa berkiblat pada pasar bebas. Dan sejarah masih "segar"mencatat, perang Dunia I dan II, disponsori oleh negara-negara kapitalis.
Kembali ke militerisme yang bercirikan pada kejantanan dan mempertentangkan sikap hidup kaku menjadi dua realitas belaka : kawan/lawan, kalah/menang, atau kanai/menganai. Sebagai sebuah sikap, militerisme bukan hanya milik anggota militer. Tak sedikit warga sipil, kelompok primordial, lembaga-lembaga kemasyarakatan, organisasi-organisasi kepemudaan bahkan kemahasiswaan yang mengidap "virus" militerisme ini. Intinya, terkadang si penjaga demokrasi itu yang menghancurkan demokrasi, yang merasa berhak menjaga perdamaian yang merusak perdamaian, dan orang-orang yang bukan berasal dari militer, justru lebih militer dalam pendekatan sikapnya.
Referensi : Ben Anderson (1999), Michael Mann (1999) & Noam Chomsky (1997). Foto : www.google.picture.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar