Selasa, 15 Maret 2011

Belajar dan Bersahabat dengan Gempa

Oleh : Muhammad Ilham

"Belajar dari Gempa Jepang", setidaknya demikian hot topic Metro TV beberapa hari ini pasca Gempa dan Tsunamy yang meluluhlantakkan Jepang. Dan biasanya event melankolik-dramatik-tragik, selalu dilatarbelakangi oleh musik yang melankolik pula. Gempa Padang 30 September beberapa tahun lalu, musik-musik Kitaro menjadi background-musicnya. Tapi, saya tak tahu, mengapa Gempa dan Tsunamy Jepang ini, Metro TV tak menggunakan instrumentalia Kitaro sebagai background music, padahal Kitaro DNA-nya asli 100 % dari negeri Ameterasu Omikami ini. Tapi sudahlah, bukan itu substansinya. Setiap peristiwa memiliki hikmah, kata Cicero (historia vitae magistra). Itu intinya. Gempa dan tsunamy yang datang, adalah bagian dari "memiliki hikmah" tersebut. Dibawah ini, saya posting kembali, bagian terpisah dari artikel saya yang pernah diterbitkan sebuah harian lokal pasca gempa 30 September 2009 Sumatera Barat.

Ada cerita menarik : "disebuah perkampungan padat penduduk terdapat dua buah bangunan kontradiktif, masjid dan bangunan hotel yang sarat dengan aura prostitusi. Kedua bangunan kontradiktif ini, dibangun berdekatan, hampir sama tinggi. Tapi masjid lebih kokoh, sedangkan hotel mesum tersebut terkesan muram (maklum, pengunjungnya suka yang muram-muram). Sepintas lalu, bangunan masjid akan tahan dengan "ujian alam" - dari perspektif apapun, baik teologis maupun kepatutan alam fisik. Allah pasti akan menjaga rumahnya (baca: masjid), apalagi masjid dibangun dengan struktur bangunan yang cukup kuat, dibandingkan dengan hotel mesum yang nyata-nyata "musuh Allah". Tapi apa nyana, ketika petir-kilat datang menyambar, justru masjid yang hancur, sedangkan hotel mesum tetap berdiri kokoh dalam kemesumannya. Salahkah Allah ? ....................... tidak. Rupanya pengurus masjid ini terlampau over confidence, Allah pasti menjaga rumahnya, sehingga pengurus lupa membaca Sunnatullah. Pengurus lupa atau merasa tidak perlu menyuruh kontraktornya membuat kawat anti gempa di atas bangunan masjid nan kokoh ini, sementara hotel mesum membaca Sunnatullah .......... mereka pasang anti gempa di atas bangunan mereka. Masjid disambar kilat, hotel mesum tetap berdiri ................... dan ini berarti Bukan Allah yang salah atau marah kepada masjid, tapi Allah akan menjaga orang-orang yang tetap memperhatikan Sunnatullah (Muhammad Ilham, 1999: 20-21)

Saya bukan ahli gempa (bahkan istilah Richter tersebut sampai hari ini sayapun tak tahu sejarahnya) dan sangat bodoh tentang seluk beluk gempa. Bagi saya gempa ibarat "hujan", dari dulu hujan tersebut pasti ada dan selalu turun terus menerus, tergantung kondisi geografis-nya. Ada daerah yang intensitas turun hujannya cukup tinggi, ada daerah yang menganggap hujan sebagai fenomena langka, tapi tetap hujan itu turun. Ini memperlihatkan hujan adalah sunnatullah. Demikian dengan gempa. Persoalannya sekarang adalah gempa merupakan salah satu fenomena alam yang "sulit" bahkan hampir tidak bisa diprediksi, kapan ia datang sebagaimana halnya hujan, begitu mudah diprediksi dan memiliki tingkat validitas prediksi cukup tinggi. Gempa tidak. Tapi ia tetap fenomena (baca: sunnatullah) yang sejak nabi Adam hingga sekarang (dipastikan) telah ada. Oleh karena itu, prediksi-prediksi scientifik tentang gempa yang banyak bermunculan belakangan ini justru terkadang "melawan arus" metodologis keilmuan "pergempaan". Sejak gempa sering "berkunjung" ke Indonesia, hampir semua pakar Gempa mengatakan bahwa gempa adalah fenomena alam yang tidak bisa diketahui kapan dan dimana datangnya. Akan tetapi, tetap saja ada pernyataan-pernyataan (baik dari para ahli gempa, ahli nujum, dukun selebrities dan seterusnya) yang mengeluarkan komentar seakan-akan gempa seperti hujan yang bisa diprediksi. Kita masih ingat, bagaimana prediksi seorang ahli "nujum/paranormal" Brazil yang mengatakan bahwa pantai barat Sumatera Barat akan dihantam tsunami pasca tsunami Aceh ...... dan itu tidak akan lama. Lucunya, ia (konon) memprediksi akan terjadi pada hitungan bulan. Nyatanya, tak terjadi. Dan, kita banyak juga mendengar analisis "supranatural" lainnya yang tetap menganggap bahwa tsunami akan singgah di Sumatera Barat.

Tanpa menafikan dalil epistimologik sebuah disiplin ilmu, tapi yang jelas, pernyataan para ahli yang meng-klaim akan terjadi potensi gempa luar biasa (berikut tsunamy) di Kota Padang dan sekitarnya, jelas "berlawanan" dengan dasar epistimologik-metodologik yang baku dan menjadi mainstream dasar epistimologik dalam ilmu "pergempaan" ........... yaitu gempa adalah fenomena alam yang tidak bisa diprediksi. Tapi, simpulan para ahli tersebut tetap menjadi sebuah ikhtiar dari anak manusia dalam mengingat anak manusia yang lain, agar hati-hati dengan fenomena alam. Mungkin alam sudah mulai bosan (meminjam ungkapan Ebiet G. Ade). Oleh karena itu, bersahabatlah dengan alam. Bangunlah bangunan yang bersahabat dengan perhitungan yang mengikuti hukum alam. Jangan membohongi hukum alam. Kita masih ingat, tsunamy Aceh memberikan pelajaran paling berharga bagi peradaban ummat manusia. Bila konstruksi infrastruktur bangunan mengikuti hukum alam dan tidak mudah memberikan izin dalam membangun infrastruktur yang dimana mobilitas masyarakat pada infrastruktur tersebut cuukup mobile dan besar, kemungkinan korban tsunamy di Aceh bisa diminimalisir. Seandainya bangunan di Kota Padang (baca Pemerintah Daerah) "lebih memperhatikan" tata dan sistem bangunan-infrastruktur dengan baik, rigid, sistematik dan patuh pada sistem yang telah ditetapkan berdasarkan kepatutan alam, niscaya bangunan-bangunan kota Padang dan sekitarnya, pada waktu 30 September 2009 yang lalu, tidak menjadi penyumbang terbesar kematian anak bangsa. Ketika tsunamy Aceh terjadi, negara Malaysia (khususnya daerah Pulau Pinang) termasuk daerah yang dilandasi imbas tsunamy cukup besar, tapi mengapa korban tidak banyak yang berjatuhan ?. Sistem telah terbangun dengan baik, bangunan-bangunan kokoh dan sterusnya. Mengapa Jepang yang "marasai" kena gempa - bahkan tsunamy-pun menjadi hak paten Jepang - bisa "bersahabat" dengan gempa ? Mengapa orang Belanda bisa menjadi negara yang rata-rata berada 1 meter dibawah permukaan laut, sehingga masyarakat mereka memiliki kebiasaan memegang batang hidung ketika bicara (entah ada hubungannya entah tidak, saya tak tahu)?. Lalu mengapa, banyak rumah-rumah di komplek perumahan - setidaknya itu yang saya saksikan - di Kota Padang, banyak ambruk ? Mengapa banyak gedung-gedung yang rontok ? Adakah yang salah dalam proses membangunnya ? atau, pemerintah yang berhak mengurus kepentingan hajat hidup warganya, setidaknya mengayomi, tidak memperhatikan ketentuan/sistem yang harus ditetapkan secara tegas kepada warganya, terutama yang berkaitan dengan "prosedur pembangunan-infrastruktur" ?. Saya hanya membayangkan, tahun-tahun ke depan, bangunan menjulang tetap ada di Kota Padang, tapi kokoh dan telah teruji dengan sistem yang telah ditetapkan. Saya juga membayangkan, tidak ada lagi perumahan murah yang dibangun dengan "acak-acak" dan bisa bolong ketika anak kita menendang dindingnya. Ke depan, perumahan yang saya bayangkan di Kota Padang, adalah perumahan murah nan mungil lagi kuat serta bersahabat dengan alam ............ dan suatu hari saya membayangkan pula akan membaca headline sebuah media massa Kota Padang : "Sebuah Komplek Perumahan Murah Untuk Rakyat Miskin Dirobohkan atas Suruhan Pemerintah Daerah Karena Belum Lulus Standarisasi Gempa". Besoknya, saya juga membaca headline pada media lain : "Seorang Developer dicabut izin usahanya karena Perumahan yang dibangunnya banyak yang retak" ........... Selanjutnya, mau tidak mau, gempa selalu akan datang, tapi entah kapan dan dimana, hanya Allah yang tahu. Karena itu, bersahabat dengan gempa sudah harus mulai difikirkan oleh ummat manusia. Karena memang, sebagaimana halnya hujan-angin-puting beliung dan gempa itu ada di bumi. Saya tidak tahu, apakah ada "bumi" lain yang tidak pernah dikunjungi oleh gempa. Kalau memang ada, rasanya ingin kita membelinya ............ tapi tidak tahu di toko mana dijual. Wallahu a'lam bisshawab.

(Simpati dan empati buat saudara-saudara kita di Jepang)

::: catatan dari seorang kawan yang kuliah di Jepang ......... "Pemerintah Jepang mulai memperketat regulasi bangunan publik. Padahal, regulasi ketat sudah diberlakukan selama ini.






Foto "kreasi" Gempa dan Tsunamy di Miyagi, Jepang, 11 Maret 2011. Sumber foto : kyodonews.com

Tidak ada komentar: