Ketika Mahkamah Konstitusi memutuskan formula calon terpilih dengan suara terbanyak untuk Pemilu 2009, akhir Desember 2008, dalam kolom ini saya menyambutnya dengan judul: Selamat Datang Bandit dan Artis. Dengan judul itu, saya hendak menegaskan, sistem pemilu baru hanya akan menghasilkan DPR yang diisi oleh para bandit dan artis. Bandit adalah orang-orang yang merasa terhormat, namun sesungguhnya memiliki karakter jahat. Mereka kaya harta dan atau punya kuasa, sehingga ditakuti. Sangat mungkin mereka sering melakukan tindakan kriminal, tapi tidak ketahuan. Mereka tokoh, yang dengan harta dan kuasa, mudah meraup suara dalam pemilu. Sedang artis adalah orang-orang terkenal karena aktif di panggung hiburan. Meskipun kemampuan seninya kadang terbatas, mereka cukup dikenal oleh masyarakat. Popularitasnya lebih banyak ditopang oleh televisi. Sama dengan bandit, di antara para artis memang ada yang punya minat politik, namun sebagian besar hanya memanfaatkan peluang pemilu saja.
Perkiraan saya tidak terlalu salah. Tidak semua anggota DPR terpilih hasil Pemilu 1999 berkarakter bandit dan artis. Namun kita menyaksikan, dari 70-an persen muka baru, kita menemui nama-nama asing; tak dikenal secara nasional, tapi sangat berpengaruh di lokal. Atau sebaliknya, namanya populer di seantero Nusantara, tetapi kita tidak tahu apa aktivitas sosial politiknya selama ini. Dengan karakter anggota Dewan seperti itu, maka sebetulnya kita tidak perlu heran apabila pada tahun pertama keanggotaannya sudah kelihatan betapa buruk kinerjanya. Bayangkan saja, untuk rapat paripurna yang dilakukan pada awal dan akhir masa persidangan (rata-rata tiga bulan sekali) saja, mereka banyak membolos, apalagi untuk rapat-rapat lain yang jarang terpublikasi.
Beberapa pembolos berkoar, meskipun dirinya sering membolos dalam rapat peripurna, tapi mereka mengaku aktif dalam rapat komisi, rapat pansus, rapat panja atau rapat-rapat Dewan yang lain. Tetapi percayalah, jika data-data kehadiran rapat-rapat khusus itu dibuka, mereka akan kecele. Pada rapat-rapat khusus tersebut, pembolosnya justru lebih banyak. Karena aktivitas pokok anggota Dewan adalah rapat, maka ketika banyak anggota yang membolos dalam rapat, dengan sendirinya fungsi-fungsi dewan tidak berjalan. Lihatlah, fungsi legislasi sangat rendah. Nyaris tidak ada undang-undang penting yang disahkan. Jika pun ada, itu lebih merupakan melanjutkan pekerjaan DPR sebelumnya.
Fungsi anggaran DPR periode ini melihatkan dua fenomena menggelikan: pertama, menyetujui apa saja yang dikehendaki pemerintah, dan; kedua, sebagai imbal baliknya, mereka meningkatkan anggaran internal, mulai dari membangun gedung megah, meningkatkan studi banding ke luar negeri, hingga menambah tetek bengek kebutuhan lain. Fungsi pengawasan tampak hebat, ketika mereka mengusut skandal Bank Century. Namun dalam prosesnya kemudian, rapat-rapat Pansus Bank Century tampak sebagai sandiwara belaka. Sikap kritis dan daya dobrak anggota Dewan tidak berbuah apa-apa, karena tujuan mereka bukan mengungkap skandal, melainkan menaikkan daya tawar untuk menambah harta dan kuasa. Adakah jalan atau cara agar anggota Dewan lebih bertanggung jawab atas fungsinya sebagai wakil rakyat? Beberapa usulan disampaikan, mulai dari menerapkan presensi dengan mesin pemindai, mengurangi gaji atau honor, hingga melaporkan ke Badan Kehormatan.
Tetapi percayalah, usulan-usulan tersebut jika diterapkan tidak akan berarti apa-apa bagi kinerja Dewan. Sebab ini bukan soal teknis administratif, bukan juga soal keuangan, tetapi soal mental. Lihatlah, sudah jelas MA memvonis bersalah, tetap saja anggota Dewan itu merasa tidak bersalah, sehingga lebih suka lari ke sana ke mari menjadi buron. Lihat juga, sudah tahu pekerjaan Dewan itu seabrek-abrek, tapi masih ada anggota Dewan yang sibuk show ke sana ke mari. :: (Sumber : www.detik.com/didik supriyanto).
Perkiraan saya tidak terlalu salah. Tidak semua anggota DPR terpilih hasil Pemilu 1999 berkarakter bandit dan artis. Namun kita menyaksikan, dari 70-an persen muka baru, kita menemui nama-nama asing; tak dikenal secara nasional, tapi sangat berpengaruh di lokal. Atau sebaliknya, namanya populer di seantero Nusantara, tetapi kita tidak tahu apa aktivitas sosial politiknya selama ini. Dengan karakter anggota Dewan seperti itu, maka sebetulnya kita tidak perlu heran apabila pada tahun pertama keanggotaannya sudah kelihatan betapa buruk kinerjanya. Bayangkan saja, untuk rapat paripurna yang dilakukan pada awal dan akhir masa persidangan (rata-rata tiga bulan sekali) saja, mereka banyak membolos, apalagi untuk rapat-rapat lain yang jarang terpublikasi.
Beberapa pembolos berkoar, meskipun dirinya sering membolos dalam rapat peripurna, tapi mereka mengaku aktif dalam rapat komisi, rapat pansus, rapat panja atau rapat-rapat Dewan yang lain. Tetapi percayalah, jika data-data kehadiran rapat-rapat khusus itu dibuka, mereka akan kecele. Pada rapat-rapat khusus tersebut, pembolosnya justru lebih banyak. Karena aktivitas pokok anggota Dewan adalah rapat, maka ketika banyak anggota yang membolos dalam rapat, dengan sendirinya fungsi-fungsi dewan tidak berjalan. Lihatlah, fungsi legislasi sangat rendah. Nyaris tidak ada undang-undang penting yang disahkan. Jika pun ada, itu lebih merupakan melanjutkan pekerjaan DPR sebelumnya.
Fungsi anggaran DPR periode ini melihatkan dua fenomena menggelikan: pertama, menyetujui apa saja yang dikehendaki pemerintah, dan; kedua, sebagai imbal baliknya, mereka meningkatkan anggaran internal, mulai dari membangun gedung megah, meningkatkan studi banding ke luar negeri, hingga menambah tetek bengek kebutuhan lain. Fungsi pengawasan tampak hebat, ketika mereka mengusut skandal Bank Century. Namun dalam prosesnya kemudian, rapat-rapat Pansus Bank Century tampak sebagai sandiwara belaka. Sikap kritis dan daya dobrak anggota Dewan tidak berbuah apa-apa, karena tujuan mereka bukan mengungkap skandal, melainkan menaikkan daya tawar untuk menambah harta dan kuasa. Adakah jalan atau cara agar anggota Dewan lebih bertanggung jawab atas fungsinya sebagai wakil rakyat? Beberapa usulan disampaikan, mulai dari menerapkan presensi dengan mesin pemindai, mengurangi gaji atau honor, hingga melaporkan ke Badan Kehormatan.
Tetapi percayalah, usulan-usulan tersebut jika diterapkan tidak akan berarti apa-apa bagi kinerja Dewan. Sebab ini bukan soal teknis administratif, bukan juga soal keuangan, tetapi soal mental. Lihatlah, sudah jelas MA memvonis bersalah, tetap saja anggota Dewan itu merasa tidak bersalah, sehingga lebih suka lari ke sana ke mari menjadi buron. Lihat juga, sudah tahu pekerjaan Dewan itu seabrek-abrek, tapi masih ada anggota Dewan yang sibuk show ke sana ke mari. :: (Sumber : www.detik.com/didik supriyanto).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar