"Anakku seperti dirampas oleh modernisasi", demikian penggalan sebuah puisi Muhammad Iqbal. Dan ini terasa pada hari kemaren. Seorang ibu, teman istri saya, dengan nelangsa mencurahkan isi hatinya (curhat : istilah anak sekarang) tentang rasa hatinya yang "terampas". Ia ingin sekali dekat dengan anak-anaknya yang sudah menginjak usia 10 dan13 tahun. Satu kelas 4 Sekolah Dasar, satu lagi kelas 1 Sekolah Menengah Pertama. Bukan berarti, si ibu yang teman istri saya ini, wanita karir yang berangkat kala anak-anaknya belum bangun pagi dan pulang ketika mereka telah tidur. Si ibu ini bukan juga pedagang yang berangkat subuh dan pulang siang hari, kemudian berangkat lagi cari stock barang dagangan. Bukan sama sekali. Si ibu ini, ibu rumah tangga biasa - "Suri Rumah" istilah Siti Nurhaliza. Mencurahkan seluruh waktunya untuk mengurusi keperluan suaminya yang bekerja di sebuah BUMN dan keperluan anak-anaknya. Praktis, ia banyak "mendapatkan" waktu untuk dekat dengan anak-anaknya dibandingkan, misalnya, wanita yang bekerja di luar rumah. Tapi yang terjadi adalah, si ibu yang teman istri saya ini, merasa potensi untuk dekat dengan anak-anaknya dicabut dan dicerabut oleh yang namanya - sistem pendidikan modern dan capaian teknologi. Si ibu ini ingin bercengkerama dalam waktu yang cukup lapang dengan kedua anaknya, tapi apa daya, sang anak tak memiliki waktu banyak. Pagi berangkat, sambil diantar oleh ibunda tercinta sampai di depan rumah, pulang mendekati ashar. "Kegiatan sekolah sangat padat", demikian kata si anak kala ditanya sang ibu. Pertanyaan dan jawaban yang terus berulang terjadi. "Ingin rasanya saya bermain dengan anak saya itu, walau hanya satu dua jam setelah ia pulang sekolah, tapi saya tahu ia letih, saya biarkan ia tidur atau sekedar untuk istirahat barang sejenak", kata si ibu pada saya. "Tapi justru yang terjadi adalah, anak saya pergi les atau kegiatan ekstra kurikuler di sekolah mereka masing-masing, hingga senja menjelang". Dan pada malam hari, anak-anak ini, berjibaku mengisi tugas dan entah apalagi namanya yang dibebankan pada mereka oleh sekolah. Praktis, tak ada "waktu" bagi si ibu untuk bercengkerama dengan buah hatinya. Bahkan untuk hari minggu sekalipun. Sang anak larut dengan tontonan Televisi, bermalas-malasan di rumah, tanpa mau diganggu oleh siapapun, termasuk ibunya sendiri. Keletihan beberapa hari, ingin mereka bayar pada hari minggu itu. Nampaknya si ibu ini merasa "dijauhkan" oleh sistem. Ia tak menyalahkan anak-anaknya. Baginya, anak-anaknya ini hanyalah "budak" dari sebuah sistem yang harus mereka lalui, mau tidak mau. Si ibu merasa "dipisahkan" dari "miliknya yang sah" oleh sebuah aturan yang aturan itu tidak bisa dihindari oleh anak-anaknya.
Sejarawan spesialis Asia Tenggara, Anthony Reid pernah membahas tentang perbudakan di nusantara. Dan itu ia nukilkan dalam buku-nya yang terkenal Slavery, Bondage and Dependency in Southeast Asia (sudah diterjemahkan oleh penerbit Graffiti). Ia mendeskripsikan kepiluan seorang Ibu Buleleng Bali pada tahun 1800-an, kala 2 anak-nya dijual oleh Raja Buleleng pada orang Perancis. Kira-kira, begini Reid mendeskripsikannya : "Sore itu, di Pantai Buleleng, berlabuhlah sebuah kapal bertiang ganda yang dipimpin oleh seorang Kapten dengan puluhan awaknya. Kapal itu dilengkapi meriam, pistol serta pedang. Tak ada kemewahan dalam kapal itu, yang ada hanyalah mata uang Spanyol dengan satu tujuan - membeli budak. Salah seorang penjual budak itu adalah - konon - Raja Buleleng Bali. Hari itu, sang Raja menjual 1 orang wanita berusia 40 tahunan dan 2 orang anaknya yang masih belia, 9 dan 6 tahun. Karena si ibu sudah tua, Kapten Perancis ini tak mau membelinya, ia hanya ingin kedua anak itu. Ketika sampai di pantai untuk dinaikkan ke atas perahu menuju kapal yang berlabuh dibibir pantai, Kapten menyuruh agar kedua bocah ini dibawa, sementara ibunya ditinggalkan. Kedua anak ini tak mau. Mereka meronta, demikian juga ibunya, yang memeluk erat dua buah hatinya. Kalau ingin ambil anak saya, bawa sekalian dengan saya, demikian hardikan ibu ini dalam bahasa Bali yang tidak dimengerti Kapten kapal dari negara Napoleon Bonaparte ini. Mereka bertiga menangis kuat-kuat. Si Kapten marah. Ia meyuruh dua kelasinya untuk memisahkan dua anak ini dari ibunya yang masih memeluk anak-anaknya dengan beruraian air mata. Apalah daya, tangan dan kuasa sang ibu yang lemah. Kedua anak itu kemudian diangkat paksa ke perahu, terus berkayuh hingga ke kapal di bibir pantai. Dan, selanjutnya kapal berlayar dengan meninggalkan kesedihan dan raungan tiada tara, si ibu yang berusia 40 tahunan ini. Ia yang tertinggal di pantai ini, kemudian roboh tergolek. Cukup lama ia tergolek sesegukan. Ia menangis, menyeru memanggil anak-anaknya. Sampai beberapa hari, si ibu tetap termangu di tepian pantai. Tapi sia-sia.
:: Mungkin dua narasi diatas, seakan-akan tak memiliki keterkaitan-kronologis. Namun, peristiwa si ibu teman istri saya serta si ibu di pantai Buleleng Bali mungkin bukan terletak pada dua anaknya yang menghabiskan waktu karena kesibukan pendidikan semata serta bukan pula karena dua anak wanita Buleleng ini dijadikan budak, melainkan karena seorang ibu harus direnggutkan. Direnggutkan oleh sistem pendidikan yang harus dijalani anak-anak mereka dan direnggutkan anak-anak mereka oleh perbudakan primitif. Dan kedua-duanya hampir sama ..... si ibu yang direnggutkan.
:: Mungkin dua narasi diatas, seakan-akan tak memiliki keterkaitan-kronologis. Namun, peristiwa si ibu teman istri saya serta si ibu di pantai Buleleng Bali mungkin bukan terletak pada dua anaknya yang menghabiskan waktu karena kesibukan pendidikan semata serta bukan pula karena dua anak wanita Buleleng ini dijadikan budak, melainkan karena seorang ibu harus direnggutkan. Direnggutkan oleh sistem pendidikan yang harus dijalani anak-anak mereka dan direnggutkan anak-anak mereka oleh perbudakan primitif. Dan kedua-duanya hampir sama ..... si ibu yang direnggutkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar