Sabtu, 17 Juli 2010

The Case for God – Karen Armstrong

Ditulis ulang : Muhammad Ilham

Apakah Tuhan perlu dibela? Bagi banyak orang beriman dalam agama mana pun, Tuhan mestilah dibela meski Tuhan sendiri, karena Ia adalah Zat Yang Mahakuasa, sebenarnya tidak perlu dibela siapa pun. Tuhan Mahakuasa dengan sendiriNya. Namun, Karen Armstrong lewat karya terbarunya The Case for God: What Religion Really Means (London: The Bodley Head, 2009) juga membela Tuhan dengan melihat apa sebenarnya makna agama. Judul secara bebas adalah ‘Membela Tuhan: Apa Sesungguhnya Arti Agama’. Karya-karya Karen Armstrong, mantan biarawati, senantiasa menarik.

Berbeda dengan karya-karyanya terdahulu, Armstrong dalam Case for God tampil lebih tegas membela agama, yang di masa kita sekarang mendapat serangan bertubi-tubi dari beberapa pemikir ateisme semacam Richard Dawkins, Christopher Hitchens, dan Sam Harris. Ateisme mereka ini merupakan perlawanan terhadap citra Tuhan seperti dipersepsikan dan diperjuangkan mati-matian oleh kaum fundamentalis Kristen Protestan; kerangka fundamentalisme kemudian juga diterapkan pada kelompok-kelompok fundamentalis agama lain, termasuk Islam.

Armstrong melalui karya ini membela Tuhan dan agama, terutama dari dekapan kaum fundamentalis dan skeptisisme orang-orang ateis. Hemat saya, pembelaan tersebut sangat tepat waktu ketika di berbagai penjuru dunia, banyak kalangan umat beragama mengalami antusiasme keagamaan menyala-nyala yang menimbulkan berbagai dampak politik, sosial, dan ekonomi. Pada saat yang sama,
skeptisisme dan nihilisme terhadap Tuhan dan agama juga meningkat sebagai respons terhadap perkembangan keagamaan semacam itu. Bagi Armstrong, pemahaman keagamaan di masa modern sudah sangat ‘terrasionalisasi’, sehingga apa pun doktrin dan praktik keagamaan yang tidak rasional mestilah ditolak. Tetapi ironisnya, dalam refleksi saya, sikap seperti ini justru melahirkan pandangan dan persepsi yang tidak logis tentang agama. Dan, dalam pandangan Armstrong, penafsiran keagamaan yang telah ‘dirasionalisasikan’ memunculkan dua fenomena modern yang cukup distingtif; fundamentalisme dan ateisme.

Fundamentalisme agama pada awalnya bersumber daripada kesalehan defensif, yang semula berkembang di kalangan kaum Kristen Protestan Amerika, yang pada waktu yang tidak terlalu lama juga menggejala terhadap agama-agama. Seperti diungkap Armstrong, kaum Protestan fundamentalis berkeinginan menghasilkan pemahaman keagamaan yang saintifik dan sepenuhnya rasional; karena itu mereka menghapuskan mitos keagamaan demi
logos. Hasilnya adalah pemahaman yang sangat literal terhadap kitab suci, yang pada gilirannya memunculkan ‘ideologi’ keagamaan yang dikenal sebagai creation science yang meyakini Bible akurat secara saintifik. Pada pihak lain, ateisme klasik Barat yang berkembang sepanjang abad 19 dan awal abad 20 lewat pemikiran Feuerbach, Marx, Nietzsche, dan Freud pada hakikatnya merupakan respons terhadap pandangan-pandangan teologis tertentu terhadap Tuhan. Dengan demikian, pada dasarnya mereka tidak menolak Tuhan itu sendiri; tetapi mereka memiliki persepsi sendiri yang berbeda jauh dengan kerangka teologis yang dominan. Jelas, ateisme tidaklah monolitik; bahkan dalam perkembangannya, ateisme kontemporer menampilkan diri sebagai reaksi terhadap meningkatnya persepsi teologis fundamentalis tentang Tuhan.

Apakah pemahaman dan penafsiran agama harus selalu rasional? Dalam batas tertentu boleh jadi sangat perlu, sebab jika tidak, orang-orang beriman dapat terjerembab ke dalam mitologi berlebihan. Dan, bahkan lebih parah lagi, boleh jadi pemahaman dan praktik agama lebih bersumber pada mitos dan tradisi yang kemudian dipersepsikan sebagai pemahaman dan praktik paling benar tentang agama. Pandangan Armstrong tentang agama dan rasionalitas ini menarik untuk disimak. Bagi dia, agaknya kita berbicara terlalu banyak tentang Tuhan; dan dalam masyarakat demokratis sekarang ini, banyak orang beranggapan, konsep tentang Tuhan pastilah mudah dipahami. Orang-orang beriman mengetahui bahwa Tuhan adalah Mahatinggi, tetapi kadang-kadang di antara mereka menampilkan diri sebagai orang yang paling tahu persis tentang Tuhan. Hemat saya, hal inilah yang membuat orang-orang seperti ini dengan mudah mengecam, memusuhi, dan bahkan menghalalkan darah orang-orang beriman lain yang memiliki pemahaman yang sedikit berbeda tentang Tuhan.

Karena itulah bagi Armstrong, Tuhan dan agama bukanlah sesuatu yang harus selalu dipikirkan dan dirasionalisasikan, agama semestinya merupakan sesuatu yang mesti selalu dikerjakan. Kebenaran agama tidak selalu bisa diperoleh melalui rasio, tetapi lebih-lebih lagi melalui pengalaman dan amal saleh. Dengan demikian, agama adalah disiplin praktis yang mengajak kita untuk menemukan kapasitas-kapasitas baru hati dan kalbu. Tulis Armstrong: you will discover their truth if you translate these doctrines into ritual or ethical action religion requires perseverance, hard work and discipline (Anda akan menemukan kebenaran mereka jika Anda menerjemahkan doktrin-doktrin ini ke dalam ritual atau tindakan etis agama yang memerlukan ketekunan, kerja keras dan disiplin).
Armstrong juga mengingatkan, sikap banyak orang Barat yang menganggap Islam secara inheren fundamentalis tidak cocok dengan demokrasi dan kebebasan dan secara kronis kecanduan kekerasan itu adalah keliru. Islam merupakan agama terakhir dari tiga monoteis yang terjangkit fundamentalisme, persisnya setelah kekalahan negara-negara Arab dalam perang enam hari melawan Israel pada 1967. Kebijakan negara-negara Barat yang tidak adil dengan segera mempercepat pertumbuhan fundamentalisme Islam di Timur Tengah. Konflik dan kekerasan yang berlanjut di Timur Tengah hanya membuat fundamentalisme tetap bertahan, bahkan bisa menemukan momentumnya dari waktu ke waktu.

Apa saran Armstrong menghadapi gejala fundamentalisme di kalangan kaum Muslim? Menurut dia, melakukan generalisasi dan kutukan sewenang-wenang terhadap Islam tidak akan memperbaiki keadaan. Menyalahkan Islam memang mudah dan sederhana, tetapi jelas hanya bakal kontraproduktif. Karena itu, yang perlu adalah meneliti sumber-sumber penyebab kemunculan fundamentalisme dan radikalisme. Kemudian, melakukan perubahan, misalnya dalam kebijakan luar negeri negara-negara Barat.
Dengan demikian, membela Tuhan antara lain bermakna ‘membebaskan’ Tuhan dari klaim-klaim kelompok keagamaan untuk kepentingan-kepentingan tertentu pula. Tuhan terlalu kompleks dan rumit untuk dikerangkakan dalam konsep, persepsi, dan pemahaman tertentu. Kita manusia, tulis Arsmtrong, hanya memiliki ide yang sangat terbatas mengenai Tuhan.

:: Karen Armstrong memberikan perspektif kepada kita agar melihat masalah-masalah tentang Tuhan dan agama secara lebih bijak. Bagi umat Muslim, pemahaman tentang Tuhan seyogianya berpijak pada kerangka yang telah diletakkan jumhur ulama dalam ilmu tauhid. Penafsiran spekulatif tentang Tuhan bukan hanya dapat menimbulkan perdebatan yang tidak ada ujung, seperti pernah terjadi di antara para mutakallimun, tapi itu juga membingungkan.

Sumber utama : Azyumardi Azra/www.azyumardiazra.com/

Tidak ada komentar: