Sejarah dipenuhi dengan cerita membangun dan menghancurkan, tapi siapakah yang membersihkannya (Rabindranath Tagore).
Aku ingin meletakkan sekuntum sajak/di makam Nabi/supaya sejarah menjadi jinak/dan mengirim sepasang merpati/tanpa kepongahan dan jumawa diri/ (Kuntowijoyo : Makrifat Daun)
Tentang kesederhanaan dan kezuhudan, bacalah Umar bin Khattab. Kenisbian sebuah jabatan, selamilah Umar bin Khattab. Pada Umar bin Khattab, kita juga temukan tentang sebuah perspektif - "beratnya amanah". Khalifah ke 2 Khulafaur Rasyidin ini ibarat sebuah contoh tentang bagaimana seharusnya menjadi seorang pemimpin. Tak ada yang tak kenal dengan putra Khattab ini. Sejarah mencatat, tegas orang-nya, pintar otak-nya. Dikenalnya "Fiqh Umar" dalam tradisi Fiqh Islam merupakan refleksi dari kejeniusannya. Ketegasan, tidak usah ditanyakan. Sebelum masuk Islam, ia adalah "penentang" terkeras nabi Muhammad. Melebihi Abu Lahab dan Abu Jahil. Putra Abdullah ini bahkan terkesan belum berani secara terang-terangan menyiarkan Islam. Seketika, karena ketersentuhan hatinya mendengar lantunan ayat Al-Qur'an dari adiknya, Umar masuk Islam. Disamping tentunya, begitu mengagumi moralitas Muhammad. Masuknya Umar dalam barisan awal pemeluk Islam, Nabi Muhammad menjadi "lebih berani". Perkembangan Islam pada periode Mekkah pasca masuk Islamnya Umar ini, walau tidak sensasional dibandingkan periode Madinah, setidaknya Muhammad lebih lempang "bergerak". Umar memberikan raga-bathinnya untuk membela misi suci Muhammad. Ia ibarat Merah Silu yang berganti nama dengan Malikul Saleh, ketika masuk Islam. Samudera Pasai "terislam"kan. Si Merah Silu menjadi pembela eksistensi Islam periode awal di ranah Sumatera, mungkin Indonesia.
Tentang kesederhanaan dan kezuhudan, bacalah Umar bin Khattab. Kenisbian sebuah jabatan, selamilah Umar bin Khattab. Pada Umar bin Khattab, kita juga temukan tentang sebuah perspektif - "beratnya amanah". Khalifah ke 2 Khulafaur Rasyidin ini ibarat sebuah contoh tentang bagaimana seharusnya menjadi seorang pemimpin. Tak ada yang tak kenal dengan putra Khattab ini. Sejarah mencatat, tegas orang-nya, pintar otak-nya. Dikenalnya "Fiqh Umar" dalam tradisi Fiqh Islam merupakan refleksi dari kejeniusannya. Ketegasan, tidak usah ditanyakan. Sebelum masuk Islam, ia adalah "penentang" terkeras nabi Muhammad. Melebihi Abu Lahab dan Abu Jahil. Putra Abdullah ini bahkan terkesan belum berani secara terang-terangan menyiarkan Islam. Seketika, karena ketersentuhan hatinya mendengar lantunan ayat Al-Qur'an dari adiknya, Umar masuk Islam. Disamping tentunya, begitu mengagumi moralitas Muhammad. Masuknya Umar dalam barisan awal pemeluk Islam, Nabi Muhammad menjadi "lebih berani". Perkembangan Islam pada periode Mekkah pasca masuk Islamnya Umar ini, walau tidak sensasional dibandingkan periode Madinah, setidaknya Muhammad lebih lempang "bergerak". Umar memberikan raga-bathinnya untuk membela misi suci Muhammad. Ia ibarat Merah Silu yang berganti nama dengan Malikul Saleh, ketika masuk Islam. Samudera Pasai "terislam"kan. Si Merah Silu menjadi pembela eksistensi Islam periode awal di ranah Sumatera, mungkin Indonesia.
Diantara sahabat nabi yang mulia, mungkin Umar-lah yang dikenal "bagak" dan garang. Beda dengan Abu Bakar yang bijak, Utsman yang pragmatis dan arif serta Ali bin Abi Thalib nan zuhud lagi smart. Walau demikian, kegarangan Umar lebih pada tempatnya. Ia menangis tersedu sedang mendengar rengekan anak-anak "tengah malam" yang kelaparan, sehingga ia "membongkar" Baitul Mal untuk mengambil gandum, dan mengantarkannya endiri. Ia tersenyum kala wanita Yahudi buta, menyumpahinya sambil si wanita Yahudi ini dituntunnya berjalan. Ia-lah yang dihardik seorang "pengelana" ketika bertanya tentang dimana tempat tinggal "sang Presiden" Umar. Kebetulan, Umar sedang tidur-tiduran di bawah pohon korma dengan baju yang pantas untuk "direndahkan". Ia-lah, pada suatu ketika dengan jalan kaki, setelah turun dari ontanya, memasuki gerbang Yerusalem. Ya ... datang dengan jalan kaki untuk menghilangkan kesan sebagai seorang penakluk. Umar berhasil menaklukkan kota suci Yerusalem pada sekitar abad ke-7 pada masa kekhalifahannya. Ia masuk ke gerbang Yerusalem bukan bak raja-raja kala itu, penuh dengan kejumawaan dan simbol-simbol kemegahan, dan tentunya dengan tampilan sebagai pemenang. Umar tidak. Memasuki Yerusalem tanpa pembantaian dan penghancuran, sebagaimana halnya Hulagu Khan - si cicit Jengghis Khan - kala menaklukkan Baghdad. Sebagaimana juga jauh sebelumnya, kala seorang Fir'aun pernah menyerbunya, kekuasaan Babilonia melindasnya, Roma membumihanguskan dan Persia memporakporandakan kota ini. Tapi, Umar yang Amirul Mukminin dari sebuah peradaban baru yang menggetarkan, melebihi getaran Julius Caesaer dan Alexander Agung ini, memasuki Yerusalem dengan pakaian lusuh dan memandangi dengan hormat kota yang baru ditaklukkannya.
Penguasa Yerusalem kala itu, Patriarkh Sophronius dengan takut menemui Umar di Bukit Zaitun. Ketakutan Sophronius ini beralasan karena nama Umar yang didengarnya selama ini, memang pantas untuk ditakuti. Umar menyambutnya sebagai sahabat. Mereka membicarakan tentang perdamaian, terutama keamanan kaum Nasrani dan keselamatan gereja mereka. Umar yang dikenal sebagai pemimpin lurus ini, mengiyakan dan mengatakan, "pegang janji saya". Kala, gerbang Yerusalem dibuka, peristiwa bersejarah-pun terjadi, inilah kali pertama seorang Muslim menjejakkan kaki di sebuah kota yang hanya sebelumnya dikenal oleh kaum Muslimin sebagai kota yang hanya ada dalam kisah Isra' Mikraj.
Dengan penuh kesabaran, Umar mengikuti Sophronius membawanya ke tempat-tempat suci Kristen. Umar juga melihat letak Kenisah Sulaiman. Kala ia memasuki Kenisah ini, Umar terpaksa memasukinya dengan menunduk bahkan merangkak. Lorong itu dipenuhi oleh tahi-tahi manusia dan hewan yang telah mengering. Buah dari "kebencian" antar Yahudi dan Kristen. Sang Amirul Mukminin menyingkirkan kotoran-kotoran tersebut. Membersihkannya, semampu yang ia lakukan dan membuat Sophronus terpana. Letak Kenisah Sulaiman ini berada di sebuah tempat yang luas. Tempat yang dikenal suci, sehingga kemudian dalam tradisi Islam dikenal dengan sebutan Haram as-Sharif. Umar kemudian mendirikan satu bangunan yang amat sangat bersahaja : sebuah masjid dari kayu, yang kemudian dikenal dengan "Masjid Umar", walau Umar tak pernah sekalipun berwasiat untuk memberikan label masjid itu dengan namanya. Menurut Marshal G. Hodhgson dalam bukunya The Venture of Islam (telah diterjemahkan Mizan), "Masjid Umar" ini kemudian dibangun ulang dengan kemegahan oleh salah seorang khalifah dinasti Umayyah, Abdul Malik bin Marwan, pada akhir abad ke-7. Sesuatu yang pada prinsipnya ditentang oleh Umar sendiri, karena awal ia mendirikan "masjid kayu" ini, ia sama sekali bukan untuk menandingi Masjidil al-Aqsha. Sementara Abdul Malik dan Marwan memugar dengan penuh kemegahan Masjid Umar tersebut bermotif politis, ingin menandingi kota Mekkah. Abdul Malik ingin seperti Abrahah yang berusaha memindahkan Hajar Aswad ke Yaman, agar posisi strategis Mekkah berkurang. Abrahah "habis" karena Ababil Tragedy, sementara kreasi Abdul Malik, setidaknya, menjadi tinggalan sejarah yang banyak dikunjungi wisatawan terutama untuk muhibbah religius. Tapi tetap, keinginan Abdul Malik tak kesampaian.
Dalam sebuah catatan pinggirnya, Goenawan Mohammad pernah mengatakan bahwa bangunan-bangunan besar sering hanya bisa ditopang oleh kekuasaan yang mutlak dan akumulasi dana yang mencekik. Masjid dan sejenisnya memang bisa menjadi sesuatu yang berlebihan, sebagai isyarat tentang iman, sekaligus juga tentang kepongahan. Keganjilan manusia adalah ketika ia bersikap demikian juga dalam hubungannya dengan Tuhan, padahal sebenarnya tak seharusnya pongah. Dan Umar bin Khattab menaklukkan dan membangun "sesuatu", bukan dengan kepongahan. Sejarah panjang ummat manusia mencatat : "Orang membangun tempat ibadah dan ada yang menghancurkannya, tapi siapa yang membersihkannya?".
2 komentar:
saya sangat kaagum dan suka sekali dengan tulisa2 anda...
Terima kasih, bung RIZAL. Semoga bermanfaat adanya, bagi saya dan semua. Salam kenal !
Posting Komentar