Dua bulan terakhir ini, publik Indonesia "kehabisan" energi. Disedot oleh berita sampah seputar visum (baca : video mesum) yang menyebar lewat jejaring sosial dengan skala penyebaran yang sulit untuk dihambat. Dan, ilmu pengetahuan-teknologi mulai menjadi kambing hitam. Medium internet dengan semua tools-nya dijadikan sebagai biang kerok keruntuhan moralitas anak bangsa, khususnya kalangan muda. Visum selebritis dan visum-visum "jenis" lainnya sangat mudah diperoleh oleh semua lapisan masyarakat, lintas usia dan strata sosial. Banyak yang mengutuki bahkan menyumpahi "capaian ilmu pengetahuan teknologi", disamping tentunya para pemeran olah raga "gulat" yang tidak pernah kolosal ini. Seringkali kita juga mendengar "khutbah" para penjaga moral yang menyudutkan capaian ilmu-teknologi tersebut dan memberikan solusi untuk "menolak" atau menghambat medium itu untuk digunakan ditengah-tengah ruang publik.
Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, adalah sunnatullah yang tidak bisa dihambat. Ia mengalir dengan cepat karena potensi otak dan keingintahuan manusia "dititipkan" sang maha pencipta pada homo sapiens. Denghan itu, manusia akan terus selalu mencari invention baru untuk memberikan "kebahagiaan" pada manusia, dengan tentunya implikasi yang ditimbulkannya. Kelahiran media internet, merupakan kumulasi dari berbagai tools capaian manusia dalam sejarah ilmu pengetahuan. Seluruh pendukung konstruksi pengetahuan seperti telepon, telegraf dan tulisan serta faximile-fotocopy, menyatu dalam "makhluk" yang bernama internet. Internet, lengkap dengan komunikasi elektromagnetoopis via satelit maupun kabel dan didukung oleh jaringan telepon-telefoni yang telah ada dan juga didukung oleh ratusan satelit di "diluar sana". Ummat manusia dalam tahap revolusi ini, dapat berinteraksi oral maupun dengan teks dengan sangat interaktif, keseluruh penjuru-penghujung-sudut dunia ini, tanpa sedikitpun kehilangan interaktifitasnya maupun "sense of live"nya. Karena itu, ruang paling private bagi manusia, bisa ditransformasikan dan menyebar dalam hitungan detik. Dinikmati oleh semua lapisan tanpa ada sekat-sekat yang yang secara mekanik bisa dibatasi.
Suatu ketika, "menangislah" Albert Einstein, "Mengapa ilmu yang sangat indah ini, yang menghemat kerja dan membuat hidup lebih mudah, hanya membawa kebahagiaan yang sangat sedikit? Ilmu yang seharusnya membebaskan kita dari pekerjaan yang melelahkan spiritual malah menjadikan manusia budak-budak mesin. Jawaban yang sederhana adalah karena kita belum lagi belajar bagaimana menggunakannya secara wajar". Ya ... Einstein memberikan kata kunci - kewajaran. Menggunakan dan mensikapi dengan wajar.
Sejarah memperlihatkan, sains dan teknologi tidak serta-merta membawa kebahagiaan dan membuat hidup lebih mudah. Penyelewengan teknologi telah menjungkirbalikkan nilai manfaat itu. Karenanya teknologi secara aksiologis perlu dikendalikan oleh etika manusiawi agar penyesalan Einstein di atas menjadi bermakna. Perlu adanya suatu kearifan teknologi, yakni kearifan bagaimana menggunakan dan mensikapi teknologi secara wajar agar ia membawa berkah, bukan bencana.
Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, adalah sunnatullah yang tidak bisa dihambat. Ia mengalir dengan cepat karena potensi otak dan keingintahuan manusia "dititipkan" sang maha pencipta pada homo sapiens. Denghan itu, manusia akan terus selalu mencari invention baru untuk memberikan "kebahagiaan" pada manusia, dengan tentunya implikasi yang ditimbulkannya. Kelahiran media internet, merupakan kumulasi dari berbagai tools capaian manusia dalam sejarah ilmu pengetahuan. Seluruh pendukung konstruksi pengetahuan seperti telepon, telegraf dan tulisan serta faximile-fotocopy, menyatu dalam "makhluk" yang bernama internet. Internet, lengkap dengan komunikasi elektromagnetoopis via satelit maupun kabel dan didukung oleh jaringan telepon-telefoni yang telah ada dan juga didukung oleh ratusan satelit di "diluar sana". Ummat manusia dalam tahap revolusi ini, dapat berinteraksi oral maupun dengan teks dengan sangat interaktif, keseluruh penjuru-penghujung-sudut dunia ini, tanpa sedikitpun kehilangan interaktifitasnya maupun "sense of live"nya. Karena itu, ruang paling private bagi manusia, bisa ditransformasikan dan menyebar dalam hitungan detik. Dinikmati oleh semua lapisan tanpa ada sekat-sekat yang yang secara mekanik bisa dibatasi.
Suatu ketika, "menangislah" Albert Einstein, "Mengapa ilmu yang sangat indah ini, yang menghemat kerja dan membuat hidup lebih mudah, hanya membawa kebahagiaan yang sangat sedikit? Ilmu yang seharusnya membebaskan kita dari pekerjaan yang melelahkan spiritual malah menjadikan manusia budak-budak mesin. Jawaban yang sederhana adalah karena kita belum lagi belajar bagaimana menggunakannya secara wajar". Ya ... Einstein memberikan kata kunci - kewajaran. Menggunakan dan mensikapi dengan wajar.
Sejarah memperlihatkan, sains dan teknologi tidak serta-merta membawa kebahagiaan dan membuat hidup lebih mudah. Penyelewengan teknologi telah menjungkirbalikkan nilai manfaat itu. Karenanya teknologi secara aksiologis perlu dikendalikan oleh etika manusiawi agar penyesalan Einstein di atas menjadi bermakna. Perlu adanya suatu kearifan teknologi, yakni kearifan bagaimana menggunakan dan mensikapi teknologi secara wajar agar ia membawa berkah, bukan bencana.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar