Dalam bukunya yang bertitelkan The Reconstruction of Religious Thought in Islam, pemikir Islam asal Pakistan, Muhammad Iqbal mengatakan bahwa masyarakat yang dibangun atas dasar pandangan tentang realitas harus dapat memadukan segala sesuatu yang abadi dengan yang berubah dalam kehidupannya. Kata kunci yang ingin disampaikan Iqbal dalam buku yang telah diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia ini adalah "yang abadi" dan "yang berubah" - teologis dan historis. Masyarakat, menurut Iqbal, harus memiliki dua karakteristik - yang abadi seperti kepercayaan pada suatu keMutlakan (agama) dan segi-segi yang berubah (kesadaran historis pada dinamika zaman yang harus disikapi dengan cara yang berbeda pula). Kesadaran teologis dan historis ini merupakan sesuatu yang penting dalam membangun sebuah peradaban. Karena itu pulalah, dibutuhkan sebuah kesadaran para elit sosial politik maupun tokoh agama untuk tidak memposisikan rakyat sebagai "objek" belaka. Sedangkan pada sisi lain, negara harus memposisikan (diposisikan) sebagai "sesuatu yang biasa", bukan sakral tapi lebih kepada "pelayan" apa yang dibutuhkan masyarakat. Ia tidak bertindak sebagai "pembenar" satu-satunya. Apabila dua hal ini tercipta dengan baik, hubungan "saling" curiga antar masyarakat dan negara maupun antar elemen masyarakat akan bisa dihilangkan.
Dalam perspektif sejarah peradaban Islam, "kehadiran" komunitas yang beradab ini telah tumbuh dengan baik pasca hijrahnya Nabi Muhammad saw. ke Madinah. Nabi yang mulia ini, tentunya bersama-sama dengan elemen penduduk Madinah, meletakkan dasar-dasar peradaban tentang berbagai hal yang menyangkut kehidupan beragama, ekonomi, politik maupun sosial. Dari "pilot project" nabi Muhammad saw. ini - kalau boleh saya mengistilahkan demikian - masyarakat dibangun oleh semangat universalisme Ketuhanan untuk menegakkan sistem hukum yang adil dan menjunjung kemanusiaan. Sayang, semangat dari "pilot project" nabi Muhammad saw. ini "hilang" selepas wafatnya Ibnu Abdullah ini. Selain karena "dikangkangi" oleh para petualang-petualang politik, kejumudan ini juga diakibatkan oleh - dalam bahasa sosiolog Robert N. Bellah - karena masyarakat Arab pasca nabi Muhammad saw. tidak siap menerima ide-ide "besar" yang sangat maju pada zamannya.
Nabi Muhamad saw. tidak membentuk sebuah negara yang "disakralkan" atas nama agama, atas nama Tuhan. Nabi yang ummi ini membentuk negara yang berkeadaban, sebuah masyarakat sipil yang religius. Bukan membentuk masyarakat yang dibungkus oleh negara politik dengan embel-embel religius. Sehingga kita begitu "trenyuh" melihat ketokohan Nabi yang mulia ini, menghargai keberagaman tanpa memaksa orang untuk "memasuki" dengan keterpaksaan agama Islam itu sendiri. Nabi Muhammad saw. bukan raja-raja masa dahulu yang "menaklukkan" jiwa raga masyarakat taklukkan tanpa menghormati nilai-nilai historis masyarakatnya.
(Semoga saya salah) ... tapi lihatlah sekarang, dan juga gejala ini sudah menyejarah, Nama Tuhan Robbi Izzati dibawa kemana-mana untuk memenuhi target politik mereka. Nama Tuhan disimbolisasikan dalam struktur politik, sehingga harus disakralkan, sesuatu yang ditentang oleh Iqbal di atas. Hampir semua kalangan mengklaim perilaku politiknya berlandaskan Tuhan. Begitu banyak partai-partai dan kelompok-kelompok masyarakat pasca Orde Baru ini lahir dengan menbawa merk kecap "atas nama Tuhan". Nabi Muhammad saw. yang nyata-nyata telah mendapat mandat dari Allah swt. tidak pernah "memaksakan" kehendaknya atas nama Tuhan pada orang yang "berbeda" dengannya. Ia ingin mengatakan bahwa Islam itu rahmatan lil'alamin. Rahmat bagi sekalian alam, walau mereka tidak sama dengan kita. Pertanyaannya, apakah klaim beberapa kelompok yang mengatasnamakan Tuhan itu, telah mendapat mandat dari Tuhan untuk membawa-bawa nama-NYA atau tidak ?.
:: suatu ketika, jelang proses pilkada, seorang teman saya dikunjungi oleh salah satu tim sukses dan mengatakan, "bapak harus memilih calon dari partai politik ini, calon ini adalah calon yang membela Islam, apalagi dari partai Islam, dan bapak sudah seharusnya bahkan wajib memilih calon berkenaan. Bagi orang-orang yang tidak memilih calon ini, pantas kita curigai, pak !". Besoknya, teman saya Golput sambil berkata, "yang saya butuhkan adalah saling menghargai, mereka bukan tiket saya untuk masuk sorga". Bak kata "ajo" Suryadi Sunuri, ini kaba orang yang saya kaba(r)kan, dusta orang saya tak serta. Wallahu 'alam bish shawab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar