Jumat, 02 Juli 2010

Kebajikan dan Keluhuran Politik Mohammad Natsir

Oleh : Muhammad Ilham

Mohammad Natsir seakan berasal dari negeri yang jauh. Sebuah negeri tempat politikus berjuang sungguh-sungguh demi rakyat yang diwakilinya. Mereka memegang teguh ideologi partai masing-masing. Beradu argumen dengan ganas, tapi tetap dengan tutur kata sopan, dan sesudahnya mereka bercakap hangat dengan lawan politiknya sambil meneguk secangkir kopi di saat rihat. Mereka berperang kata, tapi seketika saling berpegangan tangan saat menghadapi penjajah Belanda. Ia selalu memberikan formulasi yang tepat, apa sebenarnya hakikat politisi itu ... para politikus tidak bicara kami dan kamu, tetapi kita ! (Daniel S. Lev)

"Membaca Natsir" seumpama membaca hakikat politisi, intelektual dan ulama yang sebenarnya, " demikian kata Anwar Ibrahim, murid ideologis Natsir yang pernah jadi deputi Perdana Menteri Malaysia ini. Bagi Anwar, Natsir adalah tipikal intelektual dan ulama serta politisi yang memahami hakikat untuk berada dalam peran tersebut dengan baik. Natsir memiliki kemampuan untuk membedakan kapan harus "berseberangan", dan pada posisi apa, justru nilai-nilai luhur kemanusiaan dikedepankan. Natsir mengajarkan bagaimana memberlakukan lawan politik dengan baik dan bermartabat. Kasus perseteruannya dengan dedengkot PKI, Dipa Nusantara Aidit, menjadi contoh terbaik. Aidit yang merupakan Ketua Comite Central Partai Komunis Indonesia, adalah musuh ideologis nomor satu Mohammad Natsir. Sejarah tidak memungkiri hal ini. Mereka berada pada dua sisi yang berseberangan. Memiliki wilayah dan jarak yang tegas. Aidit memperjuangkan tegaknya komunisme di Indonesia. Natsir sebaliknya. Tokoh Masyumi itu menginginkan negara dijalankan di atas nilai-nilai Islami. Pertentangan ini membuat keduanya sering berdebat keras di ruang sidang Dewan Perwakilan Rakyat dan Konstituante. Kegeramannya terhadap Aidit, sulit terkendalikan. Natsir sering tak bisa mengendalikan emosi ketika berdebat dengan Aidit di parlemen. Bahkan Natsir sering mengatakan bahwa dia ingin menghajar kepala Aidit dengan kursi. Tapi, lihatlah, di luar sidang, keduanya bersahabat. Sama-sama minum kopi setelah sebelumnya berdebat luar biasa di parlemen. Bahkan seringkali Aidit membawakannya segelas kopi. Keduanya lalu ngerumpi tentang keluarga masing-masing. Itu terjadi berkali-kali. Bahkan bila rapat di konstituante selesai, sering kali Natsir pulang dengan membonceng sepeda Aidit. Keakraban penuh warna, bersahabat tapi berseberangan secara ideologis, terjadi sejak 1945 hingga zaman demokrasi liberal, 1950-1958. Pada masa itu parlemen menjadi tempat pertarungan ideologi yang tak habis-habisnya, hingga Soekarno mem"boeldozer"nya dengan Dekrit yang fenomenal itu.

Natsir adalah "icon" multikultural. "Dia tak punya handicap berhubung-an dengan golongan nonmuslim," ujar Amien Rais. Setelah menyelesaikan studi doktoral di Universitas Chicago pada 1984, Amien yang bekas Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat ini sering menjadi teman ngobrol Natsir. "Saya kira Pak Natsir banyak menyerap kearifan H.O.S. Tjokroaminoto," ujar Amien. Natsir pun tidak cuma bertentangan dengan Aidit. Di seberang dia juga ada tokoh Katolik seperti I.J. Kasimo dan F.S. Hariyadi, tokoh Partai Katolik, serta J. Leimena dan A.M. Tambunan dari Partai Kristen Indonesia. Sementara Natsir membela ideologi Islam, Kasimo dan teman-teman berkeras mempertahankan Pancasila. Toh, seperti pada Natsir dan Aidit, mereka tetap berkawan di luar ruang sidang. Ketika Natsir mengajukan Mosi Integral dalam sidang Parlemen Republik Indonesia Serikat pada 3 April 1950, justru tokoh-tokoh nonmuslim inilah yang tegak di belakangnya. Dalam pidato yang berapi-api, Natsir menegaskan pentingnya melebur kembali wilayah-wilayah Republik Indonesia Serikat ke dalam Negara Republik Indonesia.

Keteladanan Natsir akhirnya dijadikan rujukan bawahannya, terutama pemimpin-pemimpin Masyumi lainnya. Contohnya Isa Ansari. Kiai ini sering mengajak Aidit dan Nyoto makan sate setelah berdebat. "Kalau Aidit ke Sukabumi, dia menginap di rumah Kiai Ansari," demikian advokat senior Adnan Buyung Nasution berkisah. Pergaulan multikultural juga tampak pada Prawoto Mangkusaswito. Tokoh yang pernah menjadi Ketua Masyumi ini akrab dengan Kasimo. Bahkan Kasimo membelikan rumah untuk Prawoto di Yogyakarta. Seperti kata Bachtiar Effendi, meski Natsir ulama zuhud, pendiri partai Islam terbesar pada 1950, Chris tak pernah mendengar Natsir mendesakkan pandangannya tentang Islam. Sekali Natsir berkata kepada Chris yang Katolik, "Bagi saya nilai-nilai Islam itu inspirasi. Akan saya perjuangkan nilai-nilai itu secara demokratis." Satu warisan Natsir yang terkenal, yang lahir manakala diskusi Petisi 50 berlangsung panas dan runcing, "kita sepakat untuk tidak sepakat".

Itulah Natsir, solidaritas dan semangat setia kawannya tinggi. Dalam sebuah wawancara khusus pada 1988 dengan sebuah media massa, dia menjelaskan sikapnya yang mengherankan kawan tapi membuat segan lawan. "Untuk kepentingan bangsa," ujarnya, "para politikus tidak bicara kami dan kamu, tetapi kita. Sikap itu dia buktikan manakala Ki Sarmidi Mangunsarkoro, salah seorang pimpinan Partai Nasional Indonesia (PNI), meninggal. Natsir melayat dan menangis. Tentu saja ini mengagetkan semua orang. Soalnya, PNI pernah berseberangan dengan Masyumi. Akibat mosi yang diajukan Ketua PNI ketika itu, Hadikusumo, Natsir -membubarkan kabinetnya yang baru berumur setahun pada 12 Maret 1951. Peristiwa penting ini diabadikan Abadi, majalah Masyumi. Majalah itu menulis berita utama dengan judul "Air Mata Natsir Mengalir di Rumah Mangunsarkoro".

Natsir juga "perwakilan" dari kesufian politisi. Indonesianist George McTurnan Kahin pernah mengutarakan bagaimana sufi-nya Natsir ditengah gemerlapnya posisi yang didudukinya. Selama menjadi menteri, Natsir jarang bertemu dengan keluarga karena lebih banyak berdinas di Yogyakarta. "Pakaiannya sungguh tidak menunjukkan ia seorang menteri dalam pemerintahan," tulis Kahin yang guru besar dari Universitas Cornell ini dalam buku memperingati 70 tahun Mohammad Natsir. Dia melihat sendiri Natsir mengenakan jas bertambal. Kemejanya hanya dua setel dan sudah butut. Kahin, yang mendapat info dari Haji Agus Salim me-ngenai sosok Natsir, belakangan tahu bahwa staf Kementerian Penerangan mengumpulkan uang membelikan pakaian supaya bos mereka terlihat pantas sebagai seorang menteri. Penampilan Natsir tidak berubah saat menjadi Perdana Menteri Negara Kesatuan Republik Indonesia pada Agustus 1950. Keluarga Natsir menempati rumah Soekarno di Jalan Pegangsaan Timur (sekarang Tugu Proklamasi), Jakarta Pusat. Rumah di Jalan Jawa yang sempit dan kusam di-nilai tidak layak buat pemimpin pemerintah. Rumah di Jalan Proklamasi itu lengkap dengan perabotan sehingga Natsir dan keluarganya hanya membawa koper berisi pakaian dari Jalan Jawa.

:: Natsir telah mewariskan pemikiran yang terus akan dibicarakan. Meskipun gagasan yang ditinggalkannya begitu beragam, meliputi persoalan kebangsaan, pendidikan, dakwah, keagamaan, dan sebagainya, masyarakat akan lebih menekankan perhatiannya pada politik. Pemikiran dan aktivismenya di wilayah ini mematrikan dirinya sebagai salah seorang pengemuka politik Islam tingkat dunia. Paduan antara intelektualitas dengan keluhuran. Ke depan, banyak orang yang akan teringat kepada Natsir ketika berbicara mengenai hubungan antara agama yang dianut mayoritas penduduk negeri ini dan kehidupan politik sehari-hari.

:: Karena faktor PRRI dan Masyumi, Natsir yang mencerahkan itu, memasuki hari tuanya dengan kecurigaan rezim Soeharto. Anwar Ibrahim, mengenang perjumpaan terakhirnya dengan Natsir di rumah sakit. "Saya sedih melihat keadaan rumah sakit yang tidak layak untuk seorang pemikir besar Islam. Beliau layak mendapatkan layanan yang lebih baik," kata Anwar. Rezim Orde Baru yang banyak dibantu Natsir melupa-kan sang tokoh di akhir hayatnya. Sebagaimana halnya Roem dalam tulisan terdahulu, memperhatikan realitas politik belakangan ini, rasanya rindu kita pada Natsir semakin memuncak. "Orang besar seperti Natsir pada prinsipnya telah mencatat sejarah, beda dengan "mereka" yang lebih suka menulis biografi".

(c) dari berbagai sumber

1 komentar:

Pustaka Digital Buya Mohammad Natsir mengatakan...

Telah hadir Pustaka Digital Buya M Natsir beralamat di http://pustakadigital-buyanatsir.blogspot.com/ sebagai media untuk memuat pandangan, gagasan, percik pemikiran serta tapak pergerakan Buya Mohammad Natsir dalam memandu umat dan bangsa menuju masyarakat yang dinamis dan agamis. Media ini juga didedikasikan bagi perjuangan islam ideologis demi kemaslahatan bersama umat, bangsa dan negara...salam semangat !