Natsir adalah "icon" multikultural. "Dia tak punya handicap berhubung-an dengan golongan nonmuslim," ujar Amien Rais. Setelah menyelesaikan studi doktoral di Universitas Chicago pada 1984, Amien yang bekas Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat ini sering menjadi teman ngobrol Natsir. "Saya kira Pak Natsir banyak menyerap kearifan H.O.S. Tjokroaminoto," ujar Amien. Natsir pun tidak cuma bertentangan dengan Aidit. Di seberang dia juga ada tokoh Katolik seperti I.J. Kasimo dan F.S. Hariyadi, tokoh Partai Katolik, serta J. Leimena dan A.M. Tambunan dari Partai Kristen Indonesia. Sementara Natsir membela ideologi Islam, Kasimo dan teman-teman berkeras mempertahankan Pancasila. Toh, seperti pada Natsir dan Aidit, mereka tetap berkawan di luar ruang sidang. Ketika Natsir mengajukan Mosi Integral dalam sidang Parlemen Republik Indonesia Serikat pada 3 April 1950, justru tokoh-tokoh nonmuslim inilah yang tegak di belakangnya. Dalam pidato yang berapi-api, Natsir menegaskan pentingnya melebur kembali wilayah-wilayah Republik Indonesia Serikat ke dalam Negara Republik Indonesia.
Keteladanan Natsir akhirnya dijadikan rujukan bawahannya, terutama pemimpin-pemimpin Masyumi lainnya. Contohnya Isa Ansari. Kiai ini sering mengajak Aidit dan Nyoto makan sate setelah berdebat. "Kalau Aidit ke Sukabumi, dia menginap di rumah Kiai Ansari," demikian advokat senior Adnan Buyung Nasution berkisah. Pergaulan multikultural juga tampak pada Prawoto Mangkusaswito. Tokoh yang pernah menjadi Ketua Masyumi ini akrab dengan Kasimo. Bahkan Kasimo membelikan rumah untuk Prawoto di Yogyakarta. Seperti kata Bachtiar Effendi, meski Natsir ulama zuhud, pendiri partai Islam terbesar pada 1950, Chris tak pernah mendengar Natsir mendesakkan pandangannya tentang Islam. Sekali Natsir berkata kepada Chris yang Katolik, "Bagi saya nilai-nilai Islam itu inspirasi. Akan saya perjuangkan nilai-nilai itu secara demokratis." Satu warisan Natsir yang terkenal, yang lahir manakala diskusi Petisi 50 berlangsung panas dan runcing, "kita sepakat untuk tidak sepakat".
Itulah Natsir, solidaritas dan semangat setia kawannya tinggi. Dalam sebuah wawancara khusus pada 1988 dengan sebuah media massa, dia menjelaskan sikapnya yang mengherankan kawan tapi membuat segan lawan. "Untuk kepentingan bangsa," ujarnya, "para politikus tidak bicara kami dan kamu, tetapi kita. Sikap itu dia buktikan manakala Ki Sarmidi Mangunsarkoro, salah seorang pimpinan Partai Nasional Indonesia (PNI), meninggal. Natsir melayat dan menangis. Tentu saja ini mengagetkan semua orang. Soalnya, PNI pernah berseberangan dengan Masyumi. Akibat mosi yang diajukan Ketua PNI ketika itu, Hadikusumo, Natsir -membubarkan kabinetnya yang baru berumur setahun pada 12 Maret 1951. Peristiwa penting ini diabadikan Abadi, majalah Masyumi. Majalah itu menulis berita utama dengan judul "Air Mata Natsir Mengalir di Rumah Mangunsarkoro".
Natsir juga "perwakilan" dari kesufian politisi. Indonesianist George McTurnan Kahin pernah mengutarakan bagaimana sufi-nya Natsir ditengah gemerlapnya posisi yang didudukinya. Selama menjadi menteri, Natsir jarang bertemu dengan keluarga karena lebih banyak berdinas di Yogyakarta. "Pakaiannya sungguh tidak menunjukkan ia seorang menteri dalam pemerintahan," tulis Kahin yang guru besar dari Universitas Cornell ini dalam buku memperingati 70 tahun Mohammad Natsir. Dia melihat sendiri Natsir mengenakan jas bertambal. Kemejanya hanya dua setel dan sudah butut. Kahin, yang mendapat info dari Haji Agus Salim me-ngenai sosok Natsir, belakangan tahu bahwa staf Kementerian Penerangan mengumpulkan uang membelikan pakaian supaya bos mereka terlihat pantas sebagai seorang menteri. Penampilan Natsir tidak berubah saat menjadi Perdana Menteri Negara Kesatuan Republik Indonesia pada Agustus 1950. Keluarga Natsir menempati rumah Soekarno di Jalan Pegangsaan Timur (sekarang Tugu Proklamasi), Jakarta Pusat. Rumah di Jalan Jawa yang sempit dan kusam di-nilai tidak layak buat pemimpin pemerintah. Rumah di Jalan Proklamasi itu lengkap dengan perabotan sehingga Natsir dan keluarganya hanya membawa koper berisi pakaian dari Jalan Jawa.
:: Natsir telah mewariskan pemikiran yang terus akan dibicarakan. Meskipun gagasan yang ditinggalkannya begitu beragam, meliputi persoalan kebangsaan, pendidikan, dakwah, keagamaan, dan sebagainya, masyarakat akan lebih menekankan perhatiannya pada politik. Pemikiran dan aktivismenya di wilayah ini mematrikan dirinya sebagai salah seorang pengemuka politik Islam tingkat dunia. Paduan antara intelektualitas dengan keluhuran. Ke depan, banyak orang yang akan teringat kepada Natsir ketika berbicara mengenai hubungan antara agama yang dianut mayoritas penduduk negeri ini dan kehidupan politik sehari-hari.
(c) dari berbagai sumber
1 komentar:
Telah hadir Pustaka Digital Buya M Natsir beralamat di http://pustakadigital-buyanatsir.blogspot.com/ sebagai media untuk memuat pandangan, gagasan, percik pemikiran serta tapak pergerakan Buya Mohammad Natsir dalam memandu umat dan bangsa menuju masyarakat yang dinamis dan agamis. Media ini juga didedikasikan bagi perjuangan islam ideologis demi kemaslahatan bersama umat, bangsa dan negara...salam semangat !
Posting Komentar