Oleh : Muhammad Ilham
Ketika melihat sebagian (bukan seluruhnya) dari elit politik Indonesia belakangan ini, “bermanuver”, rasanya saya rindu dengan tokoh-tokoh panutan Indonesia ketika awal Indonesia sebagai negara bangsa terbentuk, seperti (misalnya) Muhammad Roem. Disaat para sebagian elit, ketika kepentingan mereka tercederai, mereka “kasak-kusuk” mendelegitimasi sebuah keputusan politik, tanpa berusaha mencari solusi-solutif yang lebih “gentle”. Awalnya mereka diam, namun setelah “kalah”, mereka justru merasa dikalahkan. Dalam konteks ini, saya merindukan tokoh Masyumi yang lahir di Parakan Jawa Tengah 16 Mei 1908 ini. Muhammad Roem (dan sahabat-sahabatnya yang lain), bukan hanya seorang tokoh sejarah, tapi lebih dari itu – ia adalah seorang yang berbudi, demikian kata George Mc Turnan Kahin. Ketika ia wafat di Jakarta, September 1983 dalam umur 75 tahun, ratusan orang melayat. Kematiannya, kata Goenawan Moehammad, meninggalkan sebuah saksi perjalanan sejarah demikian panjang dan penuh.
Orang, sejarah dan buku sejarah hanya mengenal Roem sebagai diplomat. Perunding Indonesia vis a vis Belanda, terutama dalam persetujuan yang terkenal “Roem-van Royen”, Mei 1949. Namun, bagi orang yang tahu tentang sejarah, Roem lebih dari itu. Diplomat yang berjuang untuk pengakuan kedaulatan Indonesia ini, juga dikenal sebagai “pembawa dan perekat suara damai” bagi banyak pihak. Kahin menyebut Roem sebagai orang yang sanggup jadi “jembatan pengertian” antara kalangan yang berbeda-beda. Memang tak selamanya ia berhasil. Ketika Pemberontakan PRRI tahun 1958 terjadi di Sumatera, ia gagal mendamaikan “sahabat-sahabatnya” dengan pemerintah pusat. Padang di bom, perang pun pecah. Konsekuensi politis dari Pemberontakan ini, tahun 1960, Masyumi dibubarkan. Roem merupakan salah satu bagian penting dari Masyumi kala itu. Roem bersama-sama dengan tokoh PSI (Partai Sosialis Indonesia) lainnya ditahan, sampai empat tahun lebih.
Tahun 1966, pasca keruntuhan rezim Soekarno, Roem dan kawan-kawannya dibebaskan. Bagi Roem, pengalaman ditahan tanpa bersalah itu tak menyebabkannya jadi orang yang pahit, apalagi sakit hati. Mochtar Lubis, sastrawan yang juga rekan satu tahanannya kala itu mengenang kebesaran Roem. Roem, kata sastrawan pengarang “harimau-Harimau” ini, tak pernah kehilangan proporsionalnya, walaupun dalam tahanan Soekarno. Dalam tahanan Soekarno-pun, kata Lubis, Mas Roem masih dapat membenarkan tindakan Soekarno di mana Soekarno memang benar. Kepada seorang wartawan Belanda yang mewawancarainya di tahanan, Roem tidak pernah memperlihatkan rasa bencinya kepada Soekarno. “Saya tidak punya waktu untuk membenci Soekarno”, kata Roem. Kemampuan membuat jarak dari pertentangan posisi dan pendapat itulah yang membuat Roem dihormati siapa saja. Tokoh PNI Ali Sastroamidjojo menyebutnya sebagai “kawan saya”. Tokoh militer-Kristen, Tahi Bonar (TB) Simatupang melukiskannya sebagai pejuang yang tidak “murah marah dan benci sekalipun sering banyak alasan untuk marah dan benci”. Ia dan kawan-kawannya yang lain, merupakan teladan bagi sejarah Indonesia. Kita punya teladan. Sudah sepantasnya kita tidak akan pernah (mau) meneladani sebagian tokoh-tokoh kita hari ini, karena memang mereka tidak pernah mau meneladani orang-orang seperti Roem. Saat-saat seperti sekarang ini, rasanya rindu kita memuncak padanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar