Saya sengaja membuka tulisan ini dengan memunculkan sebuah pertanyaan, bagaimana Indonesia dikenal oleh masyarakat Korea? Ini sebuah pertanyaan tentang identitas. Tentu saja jawabannya akan cukup beragam, mengingat Indonesia sebagai negara besar dengan penduduk lebih dari 200 juta orang. Juga dengan luas wilayah yang terdiri dari ribuan pulau, kemajemukan etnis dan keragaman budaya. Bisa jadi kelompok masyarakat pencinta olah raga mengenal Indonesia lewat dunia bulutangkis, karena seringnya atlet Indonesia beradu tanding dengan atlet Korea. Bisa juga Indonesia dikenal sebagai negara teroris karena kasus-kasus bom yang sepanjang tahun 2000an ini begitu sering mengguncang Indonesia. Atau bisa juga Indonesia dikenal sebagai negara rawan bencana, negara miskin, negara agraris dan sebagainya. Tetapi tentu saja jawaban itu belum bisa mewakili sebuah negara seperti Indonesia. Seperti juga tidak selalu pedas identik dengan masakan Padang, karena ternyata orang Jawa menyukai masakan pedas dan orang Padang ternyata sekarang juga sangat menggemari ayam kecap yang berasa manis. Bahkan kimchi Korea pedasnya juga luar biasa. Atau wayang yang dulu diidentikan dengan masyarakat Jawa sekarang tidak berlaku lagi. Karena ternyata orang Belanda atau orang Jepang pun sudah mahir bermain wayang.
Ini adalah efek dari perubahan masyarakat, dari masyarakat dengan budaya homogen ke masyarakat heterogen. Dari masyarakat monokultural ke masyarakat yang multikultural. Efek dari perkawinan antar etnis maupun lintas negara, migrasi dan sebagainya yang melahirkan masyarakat dan kebudayaan yang terbuka. Penanda budaya seperti makanan (kuliner), bahasa, kesenian atau pakaian menjadi tidak konsisten lagi karena yang muncul menjadi ciri-ciri utama masyarakat seperti ini adalah keterbukaan serta deferensiasi.
Menjadi sedikit rumit memang menemukan penanda dan petanda dalam proses penentuan identitas ini. Tetapi kalau kita merujuk pada pemikiran Derrida (Of Gramatology,1984), seperti yang diulas oleh Ninuk Kleden (Etnografi Gandrung: Pertarungan Identitas 2008), maka kita akan menemukan penanda dan petanda tersebut melalui kehadiran Tenaga Kerja Indonesia (selanjutnya disebut TKI) di Korea. Jumlah pengiriman TKI yang terus bertambah serta prilaku keseharian mereka dalam bekerja, memberikan sebuah pemaknaan terhadap Indonesia di kalangan masyarakat Korea. Mereka, terutama masyarakat umum Korea yang hidup dalam lingkaran industri rumah tangga (kecil/ menengah) dan mempekerjakan para TKI, mengenal Indonesia secara lebih dekat melalui para TKI tersebut. Dengan begitu TKI muncul sebagai representasi identitas Indonesia.
Pemaknaan seperti di atas --menurut Kleden-- diperoleh dengan menghadirkan differance yang bagi Derrida tidak hanya berarti berbeda tetapi juga menunda. Differance mengacu pada pemakaian tanda yang berbeda akan menghasilkan makna berbeda, tergantung perbedaan ruang dan waktu. Karena itu, tanda dapat mempunyai makna yang berbeda pula. Sedangkan penunda yang dikategorikan oleh Kleden sebagai bentuk kedua dari differance, oleh Derrida disebutnya dekonstruksi, karena penundaan yang dilakukan secara sadar dapat mendorong orang untuk berpikir kritis tentang lahirnya hubungan baru antara penanda dan petanda. Hal ini menyebabkan makna petanda sebenarnya sangar tergantung pada the act of sign-i- fying. Bagi Derrida tanda harus dimaknai melalui suatu proses.
Salah satu kategori realitas yang memunculkan differance adalah identitas. Dalam hal ini, TKI menunjukkan differance. Pertama mereka adalah kelompok pekerja rendahan, orang yang mau bekerja di sektor yang sama sekali tidak digemari masyarakat Korea sendiri atau yang diistilahkan dengan pekerjaan 3D (dangerous, dirty, difficult). Kedua, mereka berasal dari negara yang kondisi ekonominya berada di bawah negara mereka. Selanjutnya para TKI juga digambarkan sebagai orang-orang dengan keterampilan terbatas (unskilled labour), patuh, rajin (atau sebenarnya ‘harus’ patuh dan rajin?) dan sangat membutuhkan pekerjaan. Differance yang muncul dari keberadaan TKI ini mencakup citra, pengetahuan, wacana dan politik kebudayaan. Dengan demikian, keberadaan TKI bukan lagi sebatas identitas masyarakat Indonesia, tetapi TKI muncul menjadi representari identitas.
Menurut Stuart Hall (Representation: Cultural Representations and Signifying Practies,1997) representasi bukan sebagai objek saja tetapi juga berhubungan dengan politik. Misalnya, pada selembar kartu pos bergambar gedung Petronas di Kuala Lumpur atau Tugu Monas di Jakarta, bukankah politik (istilah Kleden; Politik kebudayaan) yang membuat kartu pos tersebut dianggap merepresentasikan Kuala lumpur maupun Jakarta? TKI sebagai representasi identitas Indonesia dengan meminjam sudut pandang Hall (yang dianggap mewakili pemikir poststrukturalis) bisa dimaknai secara berubah disebabkan oleh politik. Karena dia menganggap representasi merupakan produk penguasa. Kalau Derrida menganggap makna representasi berubah berdasarkan interpretasi orang terhadap objek maka Hall menganggapnya bisa berubah tergantung penguasa dan kekuasaan yang sedang berlangsung. Ada faktor kekuasaan yang memberi makna terhadap TKI sehingga dia muncul sebagai objek atau petanda. Dalam kasus kartu pos bergambar gedung Petronas atau Tugu Monas, petanda memunculkan penanda. Kemegahan gedung Petronas bisa dijadikan penanda kemodrenan kota Kuala Lumpur atau emas di puncak tugu Monas sebagai lambang kekayaan alam Indonesia. Lalu apa yang bisa diterjemahkan dari kehadiran TKI sebagai representasi identitas Indonesia di Korea?
Pada awal tahun 1980-an, terjadi peningkatan perekonomian masyarakat Korea yang kemudian juga diiringi dengan peningkatan kesejahteraan serta kualitas hidup masyarakatnya. Kebutuhan tenaga kerja, terutama untuk sektor industri kecil dan menengah yang tumbuh dengan pesat tidak terpenuhi secara maksimal. Ini terutama disebabkan karena standar gaji pekerja lokal yang tinggi juga meningkatnya gengsi generasi muda Korea untuk bekerja disektor yang dianggap rendah (Karena lebih mengandalkan otot dibanding otak). Latarbelakang inilah yang kemudian membuka peluang masuknya pekerja asing (migran worker) ke Korea, termasuk dari Indonesia. Menurut data dari Badan nasional Penempatan dan Perlindungan TKI (BNP2TKI) sampai tahun 2009 lalu jumlah TKI Indonesia yang ada di Korea mencapai 12.304 orang. Jumlah ini belum termasuk TKI Ilegal yang diperkirakan mencapai 6000 orang lebih. Jumlah ini, menurut data Buletin Depnaker Korea (Employment Permit System/EPS Newsletter, Januari 2009) menempatkan Indonesia di peringkat kedua urutan populasi pekerja migran setelah Vietnam (19,707) yang kemudian diikuti Thailand (9,287), Srilanka (7,163), Philipina (6,289), Mongolia (4,775), Uzbekistan (4,492), Kamboja (2,793), Nepal (2793), Pakistan (2,720), China (1,833), Bangladesh (1,494) Kyrgyzstan (451) serta Myanmar (67) ( Sumber : bnp2tki).
Pada awal tahun 1980-an, terjadi peningkatan perekonomian masyarakat Korea yang kemudian juga diiringi dengan peningkatan kesejahteraan serta kualitas hidup masyarakatnya. Kebutuhan tenaga kerja, terutama untuk sektor industri kecil dan menengah yang tumbuh dengan pesat tidak terpenuhi secara maksimal. Ini terutama disebabkan karena standar gaji pekerja lokal yang tinggi juga meningkatnya gengsi generasi muda Korea untuk bekerja disektor yang dianggap rendah (Karena lebih mengandalkan otot dibanding otak). Latarbelakang inilah yang kemudian membuka peluang masuknya pekerja asing (migran worker) ke Korea, termasuk dari Indonesia.
Menurut catatan Kedubes RI Seoul, sudah tercatat 26.000 orang TKI yang telah dan sedang bekerja di Korea sampai tahun 2007 (lihat: http://www.aksesdeplu.com/berebut%20hoki.htm). Bahkan baru-baru ini pemerintah meminta jumlah penerimaan TKI di Korea ditingkatkan mengingat banyaknya permintaan dan peminat orang Indonesia, sementara peluang di Korea mulai terbatas. Pemerintah Indonesia juga membuat kesepakatan dengan Pemerintah Korea untuk menambah masa perpanjangan Visa kerja TKI yang sebelumnya hanya 3 tahun menjadi 5 tahun. Sebagai petanda, kondisi ini menandakan bahwa Indonesia adalah negara berpenduduk banyak namun tidak mampu memberdayakan sumberdaya manusia yang ada. Atau dalam arti yang lain, tenaga kerja produktif yang ada tidak terpakai karena terbatasnya lowongan pekerjaan yang tersedia. Secara sadar --maupun tidak-- dengan mengirim TKI ke luar negeri, khususnya ke Korea, pemerintah Indonesia seolah memunculkan penanda yang melahirkan interpretasi bahwa sesungguhnya Indonesia adalah negara miskin, kekurangan lapangan kerja dan tidakmampuan (teidak becus) memanfaatkan tenaga manusianya untuk membangun negara sendiri (bekerja di negara sendiri). Indonesia bisa jadi ditandai (mendapat interpretasi) sebagai negara penghasil tenaga kerja murah bukan tenaga kreatif dan inovatif. Orang-orang Indonesia ternyata mau bekerja (bukan hanya mau tetapi juga berebutan/antri) untuk bekerja di sektor usaha yang bagi orang Korea sendiri dianggap rendah. Petanda ini bisa saja mengalami perubahan makna berdasarkan interpretasi orang terhadap tanda yang muncul. Misalnya pemerintah bukannya memohon untuk ditambah lowongan kerja bagi para TKI tetapi meningkatkan kemampuan TKI dan mengirim tenaga-tenaga profesional buat bekerja di sektor industri Korea yang lebih bergengsi misalnya di perusahaan besar seperti Samsung, Hyundai dan sebagainya yang bagi orang Korea sendiri bekerja di tempat tersebut termasuk sebuah prestasi dan prestise.
Hal menarik lainnya dari persoalan TKI adalah berkaitan dengan komoditas. Keberangkatan para TKI ke luar negeri, khususnya ke Korea jelas bernuansa ekonomi. Proses pertama keberangkatan orang-orang muda Indonesia sebagai TKI ke Korea dimulai dengan cara mengajukan lamaran dan penerimaan lamaran serta data calon TKI oleh BNP2TKI. Data tersebut termasuk formulir pendaftaran bekerja ke Korea yang dapat di download di website BNP2TKI (www.bnp2tki.go.id) dan sertifikat Korean Language Proficiency Test (KLPT). Kumpulan data para calon TKI yang sudah lengkap dikirimkan ke Kementerian Tenaga Kerja Korea Selatan (HRD Korea). Data TKI yang memenuhi syarat kemudian disebarkan ke perusahaan-perusahaan yang membutuhkan pekerja asing. Bagi calon TKI yang namanya dipilih oleh pengguna di Korea, akan mendapatkan kontrak kerja (Standard Labour Contract/SLC).
Hal menarik lainnya dari persoalan TKI adalah berkaitan dengan komoditas. Keberangkatan para TKI ke luar negeri, khususnya ke Korea jelas bernuansa ekonomi. Proses pertama keberangkatan orang-orang muda Indonesia sebagai TKI ke Korea dimulai dengan cara mengajukan lamaran dan penerimaan lamaran serta data calon TKI oleh BNP2TKI. Data tersebut termasuk formulir pendaftaran bekerja ke Korea yang dapat di download di website BNP2TKI (www.bnp2tki.go.id) dan sertifikat Korean Language Proficiency Test (KLPT). Kumpulan data para calon TKI yang sudah lengkap dikirimkan ke Kementerian Tenaga Kerja Korea Selatan (HRD Korea). Data TKI yang memenuhi syarat kemudian disebarkan ke perusahaan-perusahaan yang membutuhkan pekerja asing. Bagi calon TKI yang namanya dipilih oleh pengguna di Korea, akan mendapatkan kontrak kerja (Standard Labour Contract/SLC).
Apabila calon TKI telah menandatangani SLC maka proses selanjutnya adalah penerbitan visa yang diurus oleh pengguna di Korea Selatan dan diterbitkan oleh Kedutaan Besar Republik Korea di Jakarta. Sebelum berangkat ke Korea Selatan, calon TKI akan mendapat pelatihan yang diadakan oleh BNP2TKI. Kontrak kerja hanya untuk setahun dan dapat diperpanjang sebanyak tiga sampai lima kali.
Semua proses itu-- menurut beberapa orang TKI yang sempat saya wawancarai-- menghabiskan dana sampai belasan juta rupiah. Di sini jelas bahwa untuk menjadi TKI dibutuhkan modal ekonomi yang lumayan besar. Komoditifiksasi berlangsung di semua tahapan pengiriman TKI ini. Misalnya dari pendaftaran di agen tenaga kerja, lembaga pengujian bahasa, in house training di beberapa tempat di Indonesia, penyalur tenaga kerja, pengurusan visa oleh agen, pembelian tiket pesawat, bahkan nantinya ketika pulang ke Indonesia mereka harus melewati pintu khusus bagi TKI dengan membayar biaya tersendiri.
*(Makalah diposting hanya sebagian atas izin dari penulis. Makalah lengkap akan dipresentasikan oleh Penulis dalam "Temu Ilmiah" di Seoul). Penulis adalah mantan wartawan di Padang dan Kontributor Jurnal Perempuan Multikulturan Srintil Jakarta. Menulis Novel: Padusi (Kisah Kuli Semenanjung, Guci Publisher, Padang, 2010) juga menulis artikel untuk Jurnal Perempaun Jakarta tentang Buruh Perempuan dari Minang.
7 komentar:
saya mau berbagi cerita tentang seseorang yg telah bantu saya mendapatkan dana gaib 1 miliar dan uang sudah saya pakai bikin usaha dan buat sekolahkan anak,juga saya bantu modal usaha untuk saudara,itu semua berkat sya lihat di internet www.uanggaibpasti.gq
KISAH SUKSES SAYA JADI TKI – Ke Jepang, berkat bantuan Bpk DRS. AGUSDIN SUBIANTORO,beliau yang bekerja di BNP2TKI jakarta beliau selaku kepala deputi bidang penempatan BNP2TKI pusat no hp pribadi beliau 0823-5240-6469
kisah cerita saya awal jadi TKI
Perkenalkan Nama saya ridwan kisah Sukses saya menjadi TKI – Ke Jepang, berkat bantuan Bpk DRS.AGUSDIN SUBIANTORO yang bekerja di BNP2TKI jakarta beliau selaku kepala deputi bidang penempatan BNP2TKI pusat no hp pribadi beliau 0823-5240-6469
KISAH SUKSES SAYA JADI TKI – Ke Jepang, berkat bantuan Bpk DRS. AGUSDIN SUBIANTORO,beliau yang bekerja di BNP2TKI jakarta beliau selaku kepala deputi bidang penempatan BNP2TKI pusat no hp pribadi beliau 0823-5240-6469
kisah cerita saya awal jadi TKI
Perkenalkan Nama saya ridwan kisah Sukses saya menjadi TKI – Ke Jepang, berkat bantuan Bpk DRS.AGUSDIN SUBIANTORO yang bekerja di BNP2TKI jakarta beliau selaku kepala deputi bidang penempatan BNP2TKI pusat no hp pribadi beliau 0823-5240-6469
Ass. Perkenankan saya untuk memohon maaf sebesar - besarnya jika apa yang saya ceritakan nantinya akan membuat anda tersinggung, sebelumnya perkenalkan nama saya Herlina Parawati, saya berasal dari Deli Serdang, saya seorang istri dari ibu 4 orang anak. Awalnya kehidupan keluarga saya sangatlah bahagia. Walaupun penghasilan suami saya hanya mampu mencukupi kebutuhan sehari - hari keluarga kami, saya sangatlah bersyukur dan tak lama kemudian alhamdulillah suami saya diberikan kenaikan jabatan oleh atasannya, kehidupan kami mulai menanjak naik dan kami berpikir untuk membuka usaha. Singkat cerita sekali lagi saya sangat bersyukur sebab usaha ayam bakar yang kami buat sangat laris sehingga mendatangkan keuntungan besar bagi kami sekeluarga. Untuk memperbesar usaha kami, saya dan suami akhirnya memberanikan diri untuk meminjam uang di bank,setelah itu saya mendirikan cabang warung ayam bakar saya di berbagai daerah di Indonesia. Dengan jumlah karyawan kurang lebih 150 orang. Semula perkembangan usaha kami cukup baik, namun setelah setahun kemudian usaha kami mulai meredup dan cabang cabang warung ayam bakar kami mulai tutup satu per satu. Akhirnya usaha kami bangkrut dan menyisakan utang bank yang sangat besar bagi kami sekeluarga. Habis Jatuh Tertimpa Tangga pula suami saya dipecat dan dipenjarakan akibat dituduh menggelapkan uang perusahaan. Akhirnya semua hutang bank dan biaya hidup saya tanggung sendiri membesarkan empat orang anak tanpa suami saya merupakan cobaan yang sangat berat bagi kehidupan saya. saya stres dan hampir memutuskan kejalan yag salah dengan mengakhiri hidup saya sendiri, dalam keterpurukan hidup saya, secara tidak sengaja saya membuka salah satu blog kesaksian dan membaca kolom komentar seseorang yg punya nasib yang sama dengan saya. Dalam komentarnya dia mengarahkan saya untuk menghubungi seorang guru yakni Kyai H. Achmad Mubarak yang membantunya keluar dari masalahnya. Saya mencoba menghubungi pak kyai dan alhamdulillah beliau bersedia membantu saya. Masyaallah berkat bantuan beliau akhirnya semua utang saya lunas dan saya mampu mendirikan usaha kembali , walhasil sekarang saya sudah memiliki aset dimana mana dan memiliki perusahaan yang mengeskpor hasil laut keluar negeri, Semua ini terjadi berkat Allah SWT lewat uluran tangan pak Kyai H. Achmad Mubarak yang begitu tulus dan baik dalam mengarahkan saya keluar dari masalah utang saya. Sebagai wujud Ungkapan rasa syukur dan terima kasih saya, saya akan memberikan nomor beliau kepada anda yang membaca cerita saya ini, jika saudara saudari memiliki masalah seperti saya silahkan hubungi beliau di nomor 0821 2545 0758. Semoga bermanfaat dan semoga kita selalu dalam lindungan Allah SWT. Amin yaa rabbal alamin. Allahu Akbar.
Nama saya Aditya Aulia saya mengalami trauma keuangan karena saya ditipu dan ditipu oleh banyak perusahaan pinjaman online dan saya pikir tidak ada yang baik bisa keluar dari transaksi online tapi semua keraguan saya segera dibawa untuk beristirahat saat teman saya mengenalkan saya. untuk Ibu pada awalnya saya pikir itu masih akan menjadi permainan bore yang sama saya harus memaksa diri untuk mengikuti semua proses karena mereka sampai pada kejutan terbesar saya setelah memenuhi semua persyaratan karena permintaan oleh proses saya bisa mendapatkan pinjaman sebesar 350jt di rekening Bank Central Asia (BCA) saya saat saya waspada di telepon saya, saya tidak pernah mempercayainya, agaknya saya bergegas ke Bank untuk memastikan bahwa memang benar ibu kontak sekarang mengalami terobosan pemanasan jantung dalam kehidupan finansial Anda melalui apakah itu BBM INVITE-nya: {D8980E0B} atau apakah kamu ingin mengkonfirmasi dari saya? Anda bisa menghubungi saya melalui surat saya: {aditya.aulia139@gmail.com} dan juga Anda bisa menghubungi perusahaan ISKANDAR LESTARI LOAN COMPANY (ISKANDAR LENDERS) via: {mail:iskandalestari.kreditpersatuan@gmail.com}
e_mail:::[aditya.aulia139@gmail.com]
[iskandalestari.kreditpersatuan@gmail.com]
WhatsApp:::[+44] 7480 729811[Chats Only]
Telephone Number☎[+44] 7480 729811[Calls Only]
BBM INVITE:::[D8980E0B]
Posting Komentar