Oleh : Muhammad Ilham
Seandainya bola itu manusia, niscaya ia akan memenangkan Hadiah Nobel Perdamaian, mungkin setiap empat tahun sekali (Sepp Blatter : Presiden FIFA)
Setiap event bola skala internasional, katakanlah itu Piala Champions dan Piala Dunia, rasanya saya rindu dengan suasana kampung halaman saya. Ya, daerah pantai paling barat di Sumatera Barat itu, memiliki suasana yang "menggairahkan" ketika event Bola skala dunia bergulir. Saking menggairahkan sehingga di Air Bangis dikenal adanya kedai (biasa disebut Lopo) Real Madrid, Manchester United, AC Milan, Inter Milan dan seterusnya, tapi tidak ada kedai Semen Padang, Sriwijaya FC apatah lagi PSP Padang. Masyarakat nelayan disana memiliki "cita rasa" tinggi sehingga mereka tidak tahu menahu tentang perkembangan Liga Indonesia, siapakah Beni Dolo atau nama-nama pemain yang diimpor dari luar negeri sana untuk memperkaya dinamika persepakbolaan Indonesia. Tapi jangan tanya tentang Cristiano Ronaldo, Wayne Rooney, Alex Fergusson, Mourinho, Massimo Moratti, Cannavaro, der-Kaizer, Les-Blues, Los Galacticos hingga Total Footbal dan Cattenaccio, praktis banyak para "komentator" bola dadakan di kampung saya tersebut bisa menjelaskan dengan baik, bahkan hampir mirip - untuk tidak mengatakan kalah - dari komentator sekaliber M. Kusnaeni atawa Rayana Djakasurja. Tidak berlebihan memang, tapi banyak diantara komentator kelas kampung tersebut memiliki pengetahuan umum persepakbolaan dunia yang cukup mengagumkan. Bahkan perselingkuhan Silvio Berlusconi atau John Terry bisa dengan baik dan antusias mereka ceritakan mengalahkan penceritaan perselingkuhan artis-artis Indonesia. Dan analisa itu selalu "mendapat tempatnya" atau " mengena" karena selalu dihubungkan dengan maju mundurnya sebuah klub. Kegagalan AC Milan dalam mereka kaitkan dengan kegilaan si pemilik klub, Berlusconi, terhadap wanita. Chelsea menurun karena isu perselingkuhan sang kapten, John Terry. Pokoknya, setiap yang berbau "sensasi atau bumbu-bumbu"pun mampu mereka hubungkan dengan moncernya sebuah klub. Dan ini terjadi hampir di segala level usia.
Bila sebuah perhelatan event sepakbola berlangsung, maka malam di kampung halaman saya tidak memiliki arti. Pertandingan Liga Champions, misalnya, yang selalu ditayangkan tengah malam tidak menjadi halangan. Kedai-kedai bahkan menjadi lebih hidup dengan teriakan dan sedikit (pertaruhan). Apalagi Piala Dunia sekarang, praktis kedai-kedai di Air Bangis "menggeliat-kencang" tanpa kenal lelah. Adu mulut, komentar jenius hingga analisis asbun menghiasi tayangan selama pertandingan. Asap rokok mengepul (mungkin merasa berhutang budi, karena rokok-lah yang mampu menjadi sponsor sebuah TV swasta sehingga bisa menyiarkan secara Live). Minuman bergizi seumpama Teh Telor dan Teh Susu menjadi menu paling favorit. Dan ketika pertandingan usai - sekitar jelang Shubuh - mayoritas dari mereka-pun menyebar dengan saling "menertawakan", terutama yang jadi pesakitan adalah pihak yang klub jagoannya kalah. Dan yang kalah tidak merasa gundah, bahkan sering ketawa sambil berkompensasi ria dengan analisis yang terkesan justifikatif terhadap kekalahan klub kesayangannya. "Pola permainan yang tidak pas, pelatih yang tidak jempolan ataupun belum saatnya untuk menang". Tapi yang jelas, perdebatan dan gurauan di antara mereka sangat humanis tanpa dendam dan kepentingan apapun. Ketika uang minuman dan makanan dibayar, bahkan bisa terkadang lebih karena biasa saja setiap selesai pertandingan berlangsung, satu dua buah gelas-piring akan terburai-pecah, mereka ada yang terus melaut (ke laut), sebagian lagi pulang ke rumah.
Sungguh, bola memberikan nilai tersendiri bagi sebagian (kaum laki-laki) di kampung halaman saya. Candu bola ini nampaknya sudah berlangsung lama, seusia dan seumur dengan TV dan listrik masuk ke daerah ini. Saya masih ingat, kala Piala Dunia Meksiko 1982, demam bola (Piala Dunia) sudah mulai terasa. Padahal TV dan listrik baru masuk hanya berjarak satu Pemilu. Dari Piala Dunia Meksiko ini pula, untuk kali pertama saya merasa jatuh hati dengan Maradona dan tim Tango-nya. Melihat dari TV Hitam Putih yang dibeli ayah saya di Bukittinggi, bagaimana Maradona mencatatkan sejarah "tangan Tuhan"nya. Bagaimana Karl Heinz Rummenigge memperkenalkan "tendangan pisang"nya dan seterusnya. Siaran Live TVRI (waktu itu hanya Live untuk pertandingan Semi Final dan Final saja) pukul 5.00 dinihari bukan menjadi halangan untuk "begadang". Ketika sampai di sekolah dengan mata "redup" 3 jam berikutnya, Maradona menjadi perbincangan hangat diantara anak-anak SD ingusan jelang bel tanda masuk berbunyi. Saya pribadi, mendapat berkah dari pertandingan bola ini yaitu : belajar menghapal nama-nama pemain bola. Sehingga sekarang, nama-nama seperti Jorge Valdano, Boniek, Paolo Rossi, Bettega, Buruchaga, Karl Heinz Rumenigge, Johan Cruijf, Sergio Goecheycea, Preben elkjaer, Brian dan Micahel Laudrup, "Si Burung Nasar" Emillio Butragueno, Hugo Shanchez, Ian Rush dan seterusnya masih teringat dengan baik. Jangan ditanya tentang Maradona yang Diego Armando itu, rasanya masih lekat-lengket gaya mainnya. Dan pada detik itu saya melihat, bola menawarkan : keindahan, sportifitas untuk mengatakan saya kalah serta apa yang dinamakan dengan kerja tim.
Karena itulah mungkin saya merindukan suasana kampung halaman saya kala Piala Dunia ini. Saya membayangkan Tim Sukses masing-masing calon Bupati/Wakil Bupati dan Gubernur/Wakil Gubernur kewalahan melihat apatisme masyarakat terhadap perhelatan politik tingkat lokal tersebut. Biasanya setiap perhelatan elektoral politik, pasti menggairahkan. Saling memanaskan dan menertawakan menjadi hiasan. Tapi kali ini, semuanya dikalahkan oleh momentum Piala Dunia yang bagi sebagian masyarakat jauh lebih bermakna daripada sekedar kampanye Pilkada. Seluruh baliho masing-masing calon berkibar di seluruh sudut negeri, tapi tidak bisa mengalahkan berkibarnya Piala Dunia. Dan ini cukup beralasan karena Piala Dunia ataupun Bola mengajarkan kepada masyarakat (setidaknya kepada para pecandu bola) tentang sebuah keindahan dan sportifitas dalam sebuah kompetisi. Tak ada kebohongan, tak ada janji-janji muluk. Dalam bola, kekalahan dan kemenangan biasanya sama. Dan setiap bintang, biasa tenggelam dan dikesampingkan. Dan, minggu-minggu ini, Piala Dunia jauh lebih memberikan arti bagi masyarakat dibandingkan Pilkada. Dan itu sangat terasa.
Si kulit bundar bernama "Jabulani" telah ditendang di Stadion Soccer City, Johannesburg, mengawali perhelatan akbar Piala Dunia 2010 Afrika Selatan. Semua mata dan harapan tertumpah ke sana. Bagi Benua Afrika sendiri, "Jabulani" tentu saja adalah berkah yang diharapkan bisa mengubah pandangan dunia tentang manusia-manusia penghuni Benua Hitam, yang sering dinistakan sebagai kaum terbelakang itu. Ke nako, it's Africa turn, kinilah giliran Afrika. Ke nako, it's time to celebrate humanity, inilah saatnya merayakan kemanusiaan. Begitulah semboyan yang mengiringi Piala Dunia 2010. Dan, African Renaissance, begitulah mantan Presiden Afrika Selatan Thabo Mbeki menyebut perhelatan sepak bola dunia kali ini. Samuel Eto'o, kapten kesebelasan Kamerun, juga punya harapan yang amat tinggi. Ia yakin Piala Dunia kali ini bisa menghapuskan rasisme yang menghinggapi dunia, juga dunia bola, terutama di Eropa. Karena warna kulitnya, Eto'o memang sudah kenyang cacian bernada rasis, baik ketika ia masih bermain di Barcelona maupun saat di Inter Milan.
Eto'o percaya, pandangan dunia yang melecehkan manusia berkulit hitam akan berubah karena Piala Dunia kali ini. Alasannya, perhelatan bola ini ikut digagas oleh Sang Madiba, Nelson Mandela, tokoh yang lama menderita karena politik apartheid, tetapi juga memaafkan semua lawan yang telah menindas kemanusiaannya dengan politik rasisme itu. Mandela sendiri memang berniat agar dengan adanya Piala Dunia 2010 ini manusia disadarkan untuk bersama-sama memberantas rasisme yang masih merajalela di dunia. "Kebanyakan orang memandang Afrika dari segi kemiskinan, kelaparan, dan bencana. Piala Dunia kali ini memberi kami kesempatan untuk menunjukkan Afrika yang lain. Saya kira seluruh dunia akan dikejutkan oleh Afrika. Ini dapat menjadi Piala Dunia yang terbaik dalam sejarah," kata Eto'o, yang mengaku memang sangat mengagumi dan mengidolakan Nelson Mandela.
"Jika bola hanya berkenaan dengan hasil akhir, apa gunanya kita bermain?", setidaknya demikian kata Presiden FIFA Sepp Blatter. Cukup kita melempar keping uang di lapangan untuk menentukan siapa pemenangnya. Penonton sungguh ingin melihat permainan karena mereka mencintainya. Ya, karena respek akan manusia, sepak bola harus merebut kembali cinta. Oleh karena itu, bermain bola mengajarkan untuk mengatakan "tidak". Tidak terhadap kebohongan yang terang-terangan dari para politikus. Tidak terhadap keberhasilan yang diraih dengan segala cara. Tidak terhadap perang dan kemiskinan. Tidak terhadap ketidakadilan di bidang pendidikan. Sesudah kita berkata tidak, baru kita bekerja untuk sebuah "Ya": Ya terhadap kebenaran, keadilan, dan kejujuran. Kata Menotti, jalan menuju "Ya" itu sangatlah sulit dan panjang. Kiranya Piala Dunia 2010 dapat menjadi salah satu jalan meraih impian kemanusiaan itu. Karena itu pula, jauh-jauh hari sudah dicanangkan Fair Play. Para aktor bola harus memperlihatkan bahwa mereka tidak akan bermain dengan kebohongan dan kecurangan. Mereka harus menunjukkan respek kepada sekian juta mata yang mengharapkan kejujuran dan sportivitas dari mereka. Karena itu pula, mereka jangan hanya bermain untuk asal menang. Sesuatu yang "jelas-nyata" tak didapatkan dalam dunia politik.
:: Salah seorang teman saya, mengganti Sticker salah seorang calon Gubernur dengan gambar Maradona. Ia menjadi marah bergejolak, ketika gambar itu ditutup kembali dengan sticker baru oleh tim sukses salah seorang calon gubernur. "Maradona dan Piala Dunia jauh lebih bermakna dibandingkan Pilkada", setidaknya demikian yang ingin ia sampaikan.