Oleh : Muhammad Ilham
hbr.org |
Betapapun hebatnya seorang pemimpin, pasti ada
celah-celah tertentu yang enak untuk dikecam. Bila ia sukses di satu
bidang, dibidang lain ia akan "ditembak". Dan biasanya, kesuksesan besar
dan kelebihan utama seseorang itu akan
abih tandeh oleh secuil kesalahannya. Jangankan Habibie, Mega,
Abdurrahman Wahid ataupun SBY, tokoh besar se"gadang" Soekarno dan Gamal
Abdel Nasser juga tak luput dari hal sedemikian. Soekarno, misalnya.
Siapa yang meragukan kebesaran dan ketokohannya. Pemersatu bangsa,
proklamator, tokoh bangsa, pejuang kemerdekaan tanah air sejak muda,
penggali Pancasila ...... tapi (masih ) teramat sering kita mendengar
tentang "kegenitannya". Bahkan - meminjam istilah tokoh posmo Jean
Bauddrillard - Soekarno dianggap "megalomania", orang yang gemar serba
besar dan serba cemerlang. Bahkan Cindy Adams, penulis biografi
Soekarno, pernah mempertanyakan (sekaligus menjawab sendiri), mengapa
Soekarno begitu suka menggunakan berbagai lambang dan logo kebesaran di
dadanya. "Pasti terlihat gagah dan jumawa", kata Cindy Adams.
Soekarno-pun meng-iyakannya. Ditengah "megalomania"nya ini, sejarah
mencatat rakyat masih susah. Tapi kenyataannya, ketika "Putra Fajar" ini
meninggal dunia, ia tidak meninggalkan kekayaan buat keluarganya. Walau
gosip tentang kekayaannya yang "tertanam" di negeri antah berantah
(hingga) kini masih terus dijaga oleh sebagain orang. Soekarno yang
"besar" itu (tetap) terus disalahpahami.
Jokowi sekarang menjadi "media darling", bahkan mengalahkan "pemilik sah ideologis yang dianutnya" - Megawati. Ketika anarkisme atas nama agama sedang berkembang di negeri ini, orang merindukan Gus Dur. Ketika Ahmadiyah, Syi'ah dan aliran keagamaan lainnya disudutkan, kerinduan terhadap ayah Yenny Wahid ini membuncah di setiap nafas publik. Ketika berbicara masalah NKRI, orang akan mengingat Megawati dan ayahnya Soekarno. Pada suatu ketika, orang merindukan kemajuan teknologi, masyarakat akan mengingat Habibie. Setiap BBM mau naik, pak Harto akan disebut dalam "zikir" publik. begitulah ........ kita dan termasuk saya, kadang-kadang mudah melihat sisi-sisi jelek seorang pemimpin. Nilai baik dan inspiratif yang mereka tawarkan, justru dianggap pencitraan. Saya yakin, beberapa tahun ke depan, tak kecil kemungkinan, Gus Dur, Megawati dan SBY dibaca dengan penuh gairah pada masa cucu-cicit kita kelak. Sedangkan Presiden pada masa mereka, akan dihantam teruk. Semoga tidak dan semoga saya salah.
>>> merupakan penggalan artikel saya di Kompasiana dengan judul, "SBY, Jokowi & Objektifitas". Dalam bentuk makalah lengkap, diterbitkan oleh Jurnal Fakultas Adab IAIN STS Jambi, Desember 2013 dengan judul, "Aktor Sejarah dan Politisi : Dimensi Subjektifitas Historis dan Subjektifitas Politik".
Jokowi sekarang menjadi "media darling", bahkan mengalahkan "pemilik sah ideologis yang dianutnya" - Megawati. Ketika anarkisme atas nama agama sedang berkembang di negeri ini, orang merindukan Gus Dur. Ketika Ahmadiyah, Syi'ah dan aliran keagamaan lainnya disudutkan, kerinduan terhadap ayah Yenny Wahid ini membuncah di setiap nafas publik. Ketika berbicara masalah NKRI, orang akan mengingat Megawati dan ayahnya Soekarno. Pada suatu ketika, orang merindukan kemajuan teknologi, masyarakat akan mengingat Habibie. Setiap BBM mau naik, pak Harto akan disebut dalam "zikir" publik. begitulah ........ kita dan termasuk saya, kadang-kadang mudah melihat sisi-sisi jelek seorang pemimpin. Nilai baik dan inspiratif yang mereka tawarkan, justru dianggap pencitraan. Saya yakin, beberapa tahun ke depan, tak kecil kemungkinan, Gus Dur, Megawati dan SBY dibaca dengan penuh gairah pada masa cucu-cicit kita kelak. Sedangkan Presiden pada masa mereka, akan dihantam teruk. Semoga tidak dan semoga saya salah.
>>> merupakan penggalan artikel saya di Kompasiana dengan judul, "SBY, Jokowi & Objektifitas". Dalam bentuk makalah lengkap, diterbitkan oleh Jurnal Fakultas Adab IAIN STS Jambi, Desember 2013 dengan judul, "Aktor Sejarah dan Politisi : Dimensi Subjektifitas Historis dan Subjektifitas Politik".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar