"Aku berwasiat kepadamu tentang sepuluh hal : jangan membunuh perempuan, anak-anak, orang tua jompo, jangan memotong pohon berbuah, atau merobohkan rumah, jangan membunuh kambing atau unta, kecuali untuk dimakan, jangan membakar pohon kurma atau menenggelamkannya, jangan menganiaya dan jangan berbuat khianat"
(Abu Bakr ash-Shiddiq : Tarikh At-Thabari Bab Thahaqat)Konflik dan Perang selalu meninggalkan cerita horor, menakutkan dan perendahan nilai-nilai kemanusiaan. Karena itu pula, orang-orang yang berada di kawasan yang identik dengan perang serta konflik, akan dilabelkan dengan persepsi kurang elok. Saddam Hussein, Moamar Qaddafi dan Bashar al-Assad, bahkan bangsa Arab, digambarkan sebagai figur keji dan bangsa yang suka bertengkar. Figur yang tidak memiliki etika dalam berperang (walau "berperang" dengan warga mereka sendiri). Setidaknya demikian yang digambarkan oleh media massa. Gambaran ini kemudian menjadi parameter tersendiri untuk men-cap bagaimana karakter figur-figur dan bangsa tersebut. Gambaran ini dibangun oleh media massa dan opini (yang semua orang sudah tahu, siapa dan kepentingan apa dibalik media massa itu), pada akhirnya melahirkan streotype sendiri - figur-figur tak beradab dalam mensikapi konflik. Walau secara faktual, demikian adanya, namun adalah sesuatu yang tidak adil ketika men-judge sesuatu tanpa memberikan komparasi "sejenis". "Homo Homini Lupus", kata Hobbes menjadi sesuatu yang reflektif untuk menggambarkan bagaimana ketika konflik dan perang berlangsung, terdapat kekejaman disana. Namun, alangkah naifnya bila kekejaman "hanya dipelihara" pada satu dua figur dan kelompok bangsa saja. Karena ketika konflik dan perang berlangsung, maka setiap ummat manusia, dari bangsa manapun ia, memiliki "aura" kekejaman yang mengerikan. Tak ada beda antara perlakuan Tentara Vietkong-Vietnam terhadap tawanan dan mayat lawan mereka empat dasa warsa lalu dengan bagaimana pula tentara Spanyol memperlakukan penduduk asli dalam pembantaian besar-besaran dahulu di Benua Amerika. Bagaimana tentara Amerika (seperti dalam film Soldier Blue) menghabisi kaum Indian sampai ke bayi-janin. Bagaimana tentara Australia bersikap (dahulu, dan mungkin hingga kini) terhadap kaum aborigin. Bagaimana Pol Pot menghadirkan "republik teror dan horor" di Kamboja dengan menghabisi jutaan rakyatnya sendiri, atas nama ideologi. Dan bagaimana pula kelakuan Hitler terhadap bangsa Yahudi, dengan akibat yang harus ditanggung oleh orang Palestina (dengan dipaksakan oleh "Barat" sebagai bentuk rasa bersalah). Saddam Hussein menghantam etnik Kurdi maupun Iran dengan bom napalm. Saddam yang berkumis ini menggunakan bom yang teramat mengerikan itu karena ia meniru Amerika Serikat yang "mencoba" bom ini di Vietnam. Bashar al-Assad, Presiden Suriah yang sekarang berada dalam posisi diujung tanduk, diblow up sebagai (salah satu, diantara banyak) pemimpin Arab yang memiliki tangan berlumuran darah. Walau sebenarnya anak Hafeez al-Assad ini bukanlah pemimpin yang baik karena tidak mengayomi rakyatnya, tapi setidaknya ia masih lebih baik dibandingkan penjahat perang Serbia yang disamping melakukan genosida juga melakukan pemerkosaan terhadap hampir 150.000 wanita Bosnia, seperti yang pernah dilansir reuters.com.
Ketika konflik berlangsung, kewarasan manusia menjadi hilang. Karena itulah, misalnya, Abu Bakar ash-Shiddiq mengeluarkan sepuluh "pantangan" dalam perang, atau Umar bin Khattab mengatakan : "jangan sekali-sekali membunuh anak-anak dan pelayan". Ya ... pelayan !. Bahkan Umar bin Khattab memberikan sebuah reward bagi para prajurit Islam yang membunuh anak-anak dalam perang .... dihukum bunuh (pula). Khalifah "terbaik" Dinasti Umayyah, Umar bin Abdul Aziz bahkan pernah berkata : "Bertakwalah kamu kepada Allah dalam hal anak-anak dan para petani yang tidak mengangkat senjata melawan kamu (peliharalah nyawa mereka)". Dan, dalam sahibul hikayat yang mutawatir, Umar bin Abdul Aziz tidak pernah membunuh para petani dan tukang kebun, disamping tentunya anak-anak, orang tua dan perempuan, sebagaimana yang diriwayatkan Ibnul Munzhir dalam al-Qurthubi. Intinya adalah, sebetapapun bengis dan kejamnya konflik dan perang, ketika pemimpin dan penguasa menghormati kesepakatan universal yang telah ada, tentunya konflik dan perang-pun bisa dianggap sebagai "jalan keluar" sebagaimana yang dikatakan Clausewitz bahwa perang adalah jalan keluar dari konflik. Tapi ketika para pemimpin dan penguasa (termasuk yang menganggap sebagai "penguasa") tidak atau terbebani oleh catatan sejarah perang yang buruk, jangan salahkan pula bila Basheer al-Assad mengatakan : "saya punya cara mengatasi konflik di negara saya, dan anda sekalian (maksudnya : negara-negara Barat), tidak memiliki otoritas untuk mengajarkan kepada saya bagaimana cara yang terbaik karena tangan dan sejarah kalian-pun masih basah oleh kebrutalan".
"Bang, ternyata ada perang yang baik", kata istri saya beberapa hari lalu.
"Ah masa, perang selalu meninggalkan cerita kesedihan", bantah saya padanya.
"Perang harga !", katanya sambil berlalu.
(Dan, perang jenis ini meninggalkan cerita bahagia, setidaknya bagi saya dan istri. Buktinya, kaus kaki saya yang selama ini hanya tiga pasang, beberapa hari lalu, telah bertambah 6 pasang lagi. Dan itu, dibeli istri saya pada suatu sore sepulang dari sekolah. Kebetulan ia melewati sebuah jalan padat pedagang "berteriak", saling berperang menjatuhkan harga dengan menggiurkan. Dengan hanya Rp. 20.000,- ia membeli 2 pasang kaus kaki berwarna hitam, 1 pasang biru, 2 coklat dan 1 pasang berwarna pink. Dan untuk warna terakhir ini, saya protes karena pilihan warna yang tak cerdas. Rupanya, yang warna pink ini merupakan warna kesukaannya, dan ia ingin, bila suatu waktu tertentu nanti, kaus berwarna pink ini saya pakai. Karena saya belum berminat menggunakannya, kaus kaki warna norak itu masih dijadikan koleksi dan diletakkan di lemari. Dan saya pun tidak merasa pusing dengan cuaca yang belakangan ini tidak bersahabat, selalu hujan lebat ketika pulang sore dari kampus. Dengan koleksi tiga pasang yang telah ada, ditambah dengan 5 pasang lagi, maka setiap hari saya bisa menggunakan kaus kaki berlainan jenis, bahkan memiliki stock pula, kaus kaki berwarna pink)....... ternyata perang jenis ini membahagiakan !!.
Referensi : Syu'bah Asa (2000). Foto : kaskus.us
Ketika konflik berlangsung, kewarasan manusia menjadi hilang. Karena itulah, misalnya, Abu Bakar ash-Shiddiq mengeluarkan sepuluh "pantangan" dalam perang, atau Umar bin Khattab mengatakan : "jangan sekali-sekali membunuh anak-anak dan pelayan". Ya ... pelayan !. Bahkan Umar bin Khattab memberikan sebuah reward bagi para prajurit Islam yang membunuh anak-anak dalam perang .... dihukum bunuh (pula). Khalifah "terbaik" Dinasti Umayyah, Umar bin Abdul Aziz bahkan pernah berkata : "Bertakwalah kamu kepada Allah dalam hal anak-anak dan para petani yang tidak mengangkat senjata melawan kamu (peliharalah nyawa mereka)". Dan, dalam sahibul hikayat yang mutawatir, Umar bin Abdul Aziz tidak pernah membunuh para petani dan tukang kebun, disamping tentunya anak-anak, orang tua dan perempuan, sebagaimana yang diriwayatkan Ibnul Munzhir dalam al-Qurthubi. Intinya adalah, sebetapapun bengis dan kejamnya konflik dan perang, ketika pemimpin dan penguasa menghormati kesepakatan universal yang telah ada, tentunya konflik dan perang-pun bisa dianggap sebagai "jalan keluar" sebagaimana yang dikatakan Clausewitz bahwa perang adalah jalan keluar dari konflik. Tapi ketika para pemimpin dan penguasa (termasuk yang menganggap sebagai "penguasa") tidak atau terbebani oleh catatan sejarah perang yang buruk, jangan salahkan pula bila Basheer al-Assad mengatakan : "saya punya cara mengatasi konflik di negara saya, dan anda sekalian (maksudnya : negara-negara Barat), tidak memiliki otoritas untuk mengajarkan kepada saya bagaimana cara yang terbaik karena tangan dan sejarah kalian-pun masih basah oleh kebrutalan".
"Bang, ternyata ada perang yang baik", kata istri saya beberapa hari lalu.
"Ah masa, perang selalu meninggalkan cerita kesedihan", bantah saya padanya.
"Perang harga !", katanya sambil berlalu.
(Dan, perang jenis ini meninggalkan cerita bahagia, setidaknya bagi saya dan istri. Buktinya, kaus kaki saya yang selama ini hanya tiga pasang, beberapa hari lalu, telah bertambah 6 pasang lagi. Dan itu, dibeli istri saya pada suatu sore sepulang dari sekolah. Kebetulan ia melewati sebuah jalan padat pedagang "berteriak", saling berperang menjatuhkan harga dengan menggiurkan. Dengan hanya Rp. 20.000,- ia membeli 2 pasang kaus kaki berwarna hitam, 1 pasang biru, 2 coklat dan 1 pasang berwarna pink. Dan untuk warna terakhir ini, saya protes karena pilihan warna yang tak cerdas. Rupanya, yang warna pink ini merupakan warna kesukaannya, dan ia ingin, bila suatu waktu tertentu nanti, kaus berwarna pink ini saya pakai. Karena saya belum berminat menggunakannya, kaus kaki warna norak itu masih dijadikan koleksi dan diletakkan di lemari. Dan saya pun tidak merasa pusing dengan cuaca yang belakangan ini tidak bersahabat, selalu hujan lebat ketika pulang sore dari kampus. Dengan koleksi tiga pasang yang telah ada, ditambah dengan 5 pasang lagi, maka setiap hari saya bisa menggunakan kaus kaki berlainan jenis, bahkan memiliki stock pula, kaus kaki berwarna pink)....... ternyata perang jenis ini membahagiakan !!.
Referensi : Syu'bah Asa (2000). Foto : kaskus.us
Tidak ada komentar:
Posting Komentar