Rabu, 07 Desember 2011

Asyura dan Kesyahidan Husein dalam Sastra Melayu (3)

Ditulis ulang : Muhammad Ilham
(c) Abdul Hadi WM.

Pada tahun 680 M Muawiyah meninggal dunia. Putra Muawiyah, Yazid yang bertangan besi, diangkat sebagai penggantinya. Husein putra Ali menolak mengakui Yazid. Karena itu dia selalu diintai untuk dihabisi nyawanya. Oleh karena merasa tidak aman berada di Mekkah, Husein hijrah ke Madinah. Tetapi kemudian dia memilih pindah ke Kufa, tempat di mana dia merasa lebih aman dan dapat berkumpul dengan sanak saudara serta para pengikutnya. Keinginannya bertambah kuat setelah terdengar kabar bahwa saudara-saudara sepupunya dan para pengikutnya akan membaiat beliau sebagai khalifah. Ketika Husein mulai melakukan perjalanan dari Madinah ke Kufa, Yazid mengganti gubernur Kufa dengan tokoh yang lebih setia kepadanya Ubaidillah bin al-Ziyad. Ketika Husein sedang dalam perjalanan menuju Kufa, Ubaidillah berhasil mengintimidasi penduduk Kufa untuk menyerang Husein. Setibanya di Kerbela Husein diserang oleh pasukan Yazid dan orang-orang yang telah dihasut untuk menyingkirkannya. Sebelum gugur, bersama dengan para pengikutnya, Husein dibiarkan lemas karena haus. Pasokan air dari sungai Eufrat sengaja dipotong oleh Ubaidillah sehingga Husein dan pasukannya lemas disebabkanHussei kehausan. Kematian Husein segera didengar oleh adiknya, Muhammad Ali Hanafiyah. Dia adalah putra Ali yang ketiga dari hasil perkawinan beliau dengan seorang perempuan Hanif bernama bernama Muhmmad bin Ali. Oleh karena ibunya seorang hanif ketika dinikahi Ali, maka gelarnya kemudian ditambah dengan Hanafiyah. Dalam hikayat diceritakan ketika itu dia adalah seorang amir di Buniara.

Pada malam hari setelah wafatnya Husein, Muhammad Hanafiyah bermimpi bertemu Nabi Muhammad s.a.w yang menyuruhnya menuntut bela atas kematian saudaranya Hasan dan Husein. Keesokan harinya Muhammad mengumpulkan semua pengikutnya untuk melancarkan perang melawan Yazid bin Muawiyah. Dalam sebuah pertempuran yang menentukan Yazid tewas dalam keadaan mengerikan. Dia jatuh ke dalam sebuah sumur tua yang penuh kobaran api. Setelah itu Muhammad Hanafiyah menobatkan putra Zainal Abidin, putra Husein sebagai pengganti ayahnya selaku pemimpin kaum Aliyun. Pada saat itulah dia mendengar kabar bahwa tentara musuh sedang berhimpun dalam sebuah gua. Muhammad segera bergegas pergi ke tempat itu untuk menghancurkan sisa pasukan Yazid. Ketika memasuki gua terdengar suara gaib yang memerintahkan agar dia jangan masuk. Serua itu tidak dihiraukan. Malahan Muhammad Ali Hanafiyah terus saja membunuh musuh-musuhnya yang bersembunyi dalam gua. Tiba-tiba pintu gua tertutup dan dia tidak bisa keluar lagi dari dalamnya.”

Episode yang mengisahkan situasi ketika Husein tiba di Kerbela sangat menarik. Inilah petikannya: “... Maka Amir Husein berjalan daripada suatu pangkalan kepada suatu pangkalan, maka sampailah Amir Husein kepada suatu tempat. Maka unta dan kuda Amir Husein merebahkan dirinya, tiada mau lagi berjalan, Maka Amir Husein menyuruh mendirikan kemah barung-barung. Adapun segala kayu pun yang ditetak akan barung-barung itu sekaliannya berdarah. Maka bertanya Amir Husein, “Hai taulanku! Apa nama padang ini?” Maka kata segala hulubalang, “Hai junjungan kami! Inilah padang Kerbela namanya!”. Maka kata Amir Husaain, “Wah inilah tempat kita mati, karena sabda Rasulullah, “Kematian cucuku Husein pada tanah padang Kerbela!” Maka kata Amir Husein, “Qalu inna lilLahi wa inna ilayHi raji`una!” Apabila didengar Umar Sa`d Maisum warta Amir Husein sudahlah ada di padang Kerbela berbarung-barung, maka Umar Sa`d Maisum menghampiri sungai Furat, ditebatnya sungai itu, supaya Husein jangan beroleh air. Setelah sudah ditebatnya sungai ini, maka dikirimkannya surat kepada Yazid, dalam surat itu demikian bunyinya, “Segeralah Yazid memberi bantu akan hamba, karena Amir Husein sudah adalah di tengah padang Kerbela berbarung-barung!” Maka datangnya surat itu kepada Yazid, dengan seketika itu jua disuruhkan Yazid lima puluh ribu hulubalang serta Ubaidillah bin Ziyad dan orang berjalan tujuh puluh ribu, Maka Yazid berkata, “Pergilah kamu ke tebing Sungai Furat, khawani oleh kamu supaya Husein jangan beroleh air minum, maka kepala Husein pun segera kamu bawa kepadaku! Maka tatkala Amir Husein berhenti pada padang tanah Kerbela, sehari bulan Muharam, maka Ubaidillah bin Ziyad pun menghampiri tebing sungai Furat, dikhawaninya.

Maka segala hulubalang Amir Husein dahagalah tersiur-siur mencari air sekalah, tiada beroleh air. Demikianlah datanglah kepada delapan hari bulan Muharam, dalam kedahagaan jua kaum Amir Husein. Pada kesembilan harinya hari bulan Muharam, segala anak Amir Husein pun datang kepada Amir Husein, katanya, “Hai bapaku! Maha sangat dahagaku, air liur kami pun keringlah daripada kerungkungan kami, bermula rasa dada kami pun jerihlah. Berilah akan kami air seteguk!” Maka pada bilik Amir Husein ada suatu kendi kulit belulang berisi air, maka kendi itu pun pesuklah dikorek tikus, air pun habislah terbuang...” (Brakel 1975). Hikayat ini sebenarnya didasarkan atas peperangan yang dilakukan al-Mukhtar, pemimpin sekte Kaisaniyah, melawan Yazid dengan tujuan menuntut bela atas kematian Amir Husein. Dengan dibantu oleh panglima perangnya Ibrahim al-Asytur dia mengangkat Muhammad Ali Hanafiyah sebagai imam pengganti Husein. Pada mulanya kisah ini bersifat legenda, namun kemudian dikembangkan menjadi sebuah roman sejarah (Ali Ahmad 1996).

Melalui paparan yang telah dikemukakan, dapatlah diketahui motif dan latar belakang penulisan hikayat ini. Motif ini bersifat ideologis dan kultural. Namun untuk memahaminya kita harus melihat aspek-aspek menonjol yang membedakan antara versi Melayu dan versi Persia yang merupakan sumbernya. Setidaknya ada enam butir perkara yang penting dicatat bertalian dengan hal tersebut. Pertama, bentuk asli hikayat tentang kesyahidan Husein termasuk ke dalam genre maqtal, yaitu jenis sastra yang khusus memaparkan kesyahidan Imam Ali, Hasan dan Husein. Di dalamnya terpadu unsur elegi dan tragedi. Hikayat seperti ini di Persia biasa dibacakan dengan didramatisasikan pada perayaan 10 Muharam. Versi Melayu mengurangi unsur tragedinya dan merubahnya menjadi roman sejarah dengan unsur epik yang kuat. Versi Jawa, Sunda, dan Madura digubah dalam bentuk tembang macapat (puisi), yang dibacakan dengan lagu khas di majelis-majelis pada malam di hari Asura. Sekalipun unsur tragedi dikurangi, namun unsur elegi masih kuat. Bahkan dalam versi Melayu banyak episode menyangkut gugurnya Husein dan kesedihan yang menyelimuti hati karib kerabatnya digarap lebih rinci. Kesedihan karib kerabat dan keluarga setelah mendengar gugurnya Husein dilukiskan seperti berikut: “Adapun Amir Husein syahid pada sepuluh hari bulan Muharam, harinya pun hari Jumat, maka Amir Husein pada ketika itu jua jadi akan penghuni syurga seperti kaul ‘Inna’s-saffa mahallu ‘dunubi!’ ... Maka kemudian segala isi rumah Rasulullah berkabung serta menampar-nampar dadanya dan merenggut-renggut rambutnya dengan tangisnya dan heriknya, demikian bunyi tangisnya, ‘Wah kasihan kami!Wah kesakitan kami! Wah sesal kami! Wah Muhammad kami! Wah Ali kami! Wah Fatimah kami! Wah Hasan kami! Wah Husein kami! Wah Kasim kami. Wah Ali Akbar kami!’ Maka isi rumah Rasulullah tiadalah sadar diri. Pada ketika Amir Husein syahid seakan Arasy Allah da Kursi gemetaran, bulan dan matahari pun redup, tujuh hari tujuh malam lamanya segala alam pun seolah kelam kabut, karena Amir Husein terbunuh, peninggalan Nabi Allah dan lihat-lihatan daripada Rasulullah, seorang cucunya, Amir Hasan dibunuhnya dengan racun, seorang lagi cucunya dibunuh segala munafik dengan senjata, kepalanya diperceraikan orang. Demikianlah halnya disembelih orang zalim, supaya kita ketahui, hidup dalam dunia tiadalah kekal...”

Kedua, versi Jawa yang di antaranya diberi judul Ali Ngapiyah mateni Yajid (Ali Hanafiyah membunuh Yazid) memiliki keunikan. Penuturannya secara estetik disesuaikan dengan pola penuturan epik dan roman sejarah yang telah ada dalam kesusastraan Jawa. Cerita diulang-ulang, misalnya kisah pertemuan dan perpisahan pelaku, mengikuti pola pengisahan siklus Cerita Panji. Di dalam hikayat ini juga dimasukkan tokoh punakawan, pelayan tokoh utama, seperti dalam Cerita Panji, Mahabharata Jawa, dan Serat Menak (Hikayat Amir Hamzah versi Jawa). Pelaku dipisahkan secara tegas ke dalam dua kelompok yang tidak mudah didamaikan, seperti pemisahan antara Pandawa dan Kurawa dalam Mahabharata (Braginsky 2004). Yazid yang celaka berserta pasukannya disamakan dengan Kurawa, sedangkan Muhammad Ali Hanafiyah dengan Pandawa. Seperti dalam Mahabharata di mana medan perang Kurusetra secara simbolik digambarkan sebagai dunia atau jiwa manusia, tempat pertarungan abadi antara kebenaran dan kebatilan. Dalam Hikayat Muhammad Ali Hanafiyah, peranan padang Kuru diganti dengan padang Kerbela.

Ketiga, seperti Mahabharata hikayat ini mengandung unsur eskatologis yang kuat. Tragedi Kerbela dan tewasnya Yazid di tangan pasukan Muhammad Ali Hanafiyah, secara simbolik digambarkan sebagai peperangan akhir zaman antara pasukan Imam Mahdi dan Dajjal. Situasi menjelang tragedi Kerbela juga dilukiskan seperti situasi akhir zaman di mana kaum Muslimin dikeroyok oleh fitnah dan intrik-intrik jahat yang memicu terjadinya banyak konflik dan tindakan kekerasan. Tewasnya Yazid dan tertelannya Muhammad Ali Hanafiyah dalam gua menandakan datangnya era baru dan zaman penuh pencerahan. Dapat dicatat di sini bahwa dalam pertujunjukan wayang topeng pernah populer lakon Sayidina Husen lan Ratu Jajid. Hikayat ini juga mengilhami kisah apokaliptik Serat Akhiring Jaman. Dikisahkan dalam serat ini munculnya raja Jin dari persembunyiannya untuk menumpas segala raja kafir dan membawa orang kafir berbondong-bondong memeluk agama yang benar (Pigeaud 1969). Dilihat dalam konteks sejarah penulisan hikayat ini di Persia, hal ini juga beralasan. Pada pertengahan abad ke-14 M penganut Syiah menyongsong era baru setelah lebih satu abad mengalami masa gelap sebagai akibat penguasaan tentara Mongol. Pada akhir abad ke-13 M bangsa Mongol beramai-ramai memeluk agama Islam bersama pemimpin mereka. Mereka berubah menjadi pelindung kebudayaan Islam. Kebebasan menganut madzab apa pun diperbolehkan, suatu kebijakan yang berbeda dengan kebijakan penguasa sebelumnya.

Keempat, teks Melayu memperlihatkan redupnya ideologi Kaisaniyah. Jika sebelumnya mereka berpendapat mata rantai imamah berakhir dengan wafatnya Muhammad Ali Hanafiyah, kini pandangan seperti itu tidak bisa dipertahankan lagi di lingkungan masyarakat Melayu yang menganut paham Sunni. Muhammad Ali Hanafiyah terpaksa membaiat putra Husein, Zainal Abidin untuk menjadi khalifah. Kelima, versi Melayu merupakan kompilasi sejumlah hikayat yang berbeda jenisnya seperti Hikayat Kejadian Nur Muhammad, Hikayat Hasan dan Husein, dan Hikayat Muhammad Ali Hanafiyah sendiri. Legenda dilebur dengan peristiwa-peristiwa sejarah yang terjadi sejak masa awal kenabian Rasulullah sampai peperangan yang dicetuskan Muhammad Ali Hanafiyah menentang Yazid bin Muawiyah. Keenam, teks Melayu tidak sepenuhnya pula mengikuti teks Persia dalam memaparkan kejadian-kejadian penting berkenaan dengan keluarga Nabi. Banyak dijumpai tambahan dalam teks Melayu. Juga ditemui penyimpangan atau perubahan konteks serta makna berkenaan dengan peristiwa-peristiwa yang dituturkan.

Dari enam hal ini, dua hal terakhir yang perlu diberi catatan dan penjelasan, sebab hanya dengan cara demikian kita dapat memahami kreativitas penulis Melayu menjadikan teks Persia menjadi wacana yang sesuai dengan konteks perkembangan Islam di kepulauan Nusantara. Kekhasan teks Melayu hanya bisa diketahui melalui cara membandingkannya dengan teks Persia. Salinan teks Persia yang dijadikan sumber teks Melayu ditemukan naskah salinannya di British Museum (Ms Add 8149). Menurut Rieu (Brakel 1975) naskah itu ditulis dalam huruf Nastaliq di Murshidabad, Bengal, India pada tahun 1721 M. Jadi masih pada zaman pemerintahan Dinasti Mughal, yang hingga awal abad ke-19 M menjadikan bahasa Persia sebagai bahasa utama kaum terpelajar di Indo-Pakistan. Naskah Bengal terdiri dari bagian. Bagian pertama memaparkan riwayat hidup Amirul Mukminin Hasan dan Husein sejak masa kelahiran hingga wafat mereka. Bagian kedua memapakarkan hikayat Muhammad Ali Hanafiyah sejak kematian Husein saudaranya sampai pembebasan putra Husein yaitu Zainal Abidin dan ditemukannya mayat Yazid dalam sebuah perigi.

Versi Melayu terdiri dari tiga bagian: Bagian pertama berupa pengantar, memaparkan riwayat Nabi Muhammad s.a.w. sampai masa awal kerasulan beliau. Sebagian dari bagian ini didasarkan atas Hikayat Kejadian Nur Muhammad yang populer di Nusantara. Bagian kedua terdiri dari tiga episode, yaitu kisah Hasan dan Husein ketika masih kanak-kanak, riwayat hidup tiga khalifah al-rasyidin yaitu Abu Bakar Siddiq, Umar bin Khattab dan Usman bin Affan beserta karib kerabatnya, kemudian paparan riwayat hidup Ali bin Abi Thalib, dan terakhir kematian Hasan dan gugurnya Husein di padang Kerbela. Bagian ketiga, peperangan yang dicetuskan Muhammad Ali Hanafiyah sampai tewasnya Yazid dan raibnya Muhammad Ali Hanafiyah yang terperangkap dalam sebuah gua. Versi Melayu juga menambahkan beberapa episode penting seperti Masa awal kerasulan Nabi Muhammad s.a.w., wafatnya Siti Khadijah, pembuangan Marwan, wafatnya Rasulullah, wafatnya Fatimah dan upacara pemakamannya yang bersahaja dan dilakukan secara diam-diam oleh Ali bin Abi Thalib. Versi Persia menceritakan legenda yang berkaitan dengan masa kecil Hasan dan Husein secara panjang lebar, serta ramalan mengenai kematian mereka. Yang sulung akan mati diracun, dan adiknya wafat berlumuran darah di Kerbela. Versi Melayu memaparkan secara ringkas legenda-legenda ini. Tetapi ke dalamnya ditambahkan kisah-kisah yang berkaitan dengan kehidupan ahli bait dan apa yang mereka alami selama mendapatkan intimidasi dari Muawiyah.

Jika kedua versi dibaca dengan seksama, menurut Brakel, tampak bahwa banyak bagian-bagian dalam versi Melayu merupakan terjemahan langsung dari sumber Persia, namun membawa makna yang berlainan. Misalnya pada bagian ketiga, terdapat kalimat dalam teks Melayu: “Maka segala hafiz pun mengaji al-Qur’an dan segala lasykar pun dzikr Allah”. Teks Persianya: “wa hamaye yaran o baradaran dar zekr o fekr dar-amadand”. (Semua saudara dan teman memasuki pekuburan seraya mengingat yang wafat dan memikirkannya). Teks Melayu bernuansa kesufian, tampak dalam memberi makna terhadap kata-kata zikir. Pada bagian kedua teks Persia yang menyajikan perkataan Syahrbanum kepada Yazid tertulis kalimat: “Xak bar dar dahane to” (Telanlah bumi oleh mulutmu!). Dalam teks Melayu berubah makna, “Tanah itu masukkan ke dalam mulutmu!”. Ketika Utbah melapor kepada Yazid, kata-katanya dalam teks Persia ditulis: “Man ham az bine mardanegiye isan gerixte amadim” (Kau telah bebas dari rasa takut disebabkan keberanian mereka). Teks Melayu: “Adapun kami dengan gagah berani, maka kami dapat melepas diri kami”. Sekalipun demikian tak pelak unsur Persia masih dipertahankan dalam teks Melayu. Kata-kata Persia seperti gabayi namadin diterjemahkan menjadi kopiahnya namad merah; kata-kata si gaz gadd dast diterjemahkan menjadi tiga puluh gaz tingginya; kata-kata geysare dirubah menjadi kaisar; Umm-i Kulzum (Arab: Umm al-Kulzum) dimelayukan jadi Ummi Kulzum, dan masih banyak lagi. Bahkan kata-kata Persia seperti Zangi (Negro) tetap tidak dirubah. Perbedaan lain ialah bahwa beberapa lukisan kejadian yang terdapat dalam teks Melayu tidak ada dalam teks Persia (Brakel 1975).

Episode Husein dan pengikutnya yang kehausan setibanya di Kerbela tidak dijumpai dalam teks Persia. Episode ini diambil oleh penulis Melayu dari epos Islam lain yang juga masyhur yaitu Hikayat Iskandar Zulkarnaen. Dalam teks Melayu, kaum Aliyun disebut sebagai Ahlul Sunnah juga, sedangkan lawan mereka yaitu kaum Khawarij dan Umayyah dipandang sebagai kaum munafik. Karakter Muhammad Ali Hanafiyah sebagai tokoh epos digambarkan mirip dengan tokoh historis abad ke-8 M bernama Abu Muslim, yang mengangkat senjata melawan pasukan Abbasiyah di Khurasan. Ketika itu pasukan Bani Abbasiyah yang pada mulanya didukung kaum Aliyun mulai memperoleh kemenangan atas pasukan Bani Umayyah. Ketika itulah Abu Muslim mulai ditinggalkan, sehingga balik menentang Abbasiyah. Adapun deskripsi peperangan dalam hikayat tersebut tidak sedikit yang diilhami oleh deskripsi dalam epos Shahnamah karangan Firdawsi.

Sumber : (c) Abdul Hadi WM (FB)
Foto : isna.com

Tidak ada komentar: