Sejarawan Italia, Bennedicto Croce pernah mengeluarkan ungkapan terkenal : “storia e storia contemporanea”. Artinya kira-kira, sejarah yang benar-benar sejarah adalah sejarah kekinian. Ungkapan ini bisa dipahami dalam dua perspektif. Pertama, Croce ingin mengatakan bahwa penulisan sejarah yang baik haruslah berangkat dari kondisi atau realitas kekinian yang untuk kemudian dicari “akar”nya kedalam “relung panjang sejarah” – meminjam istilah Taufik Abdullah. Pemahaman kedua, Croce ingin menjelaskan posisinya dalam melihat sejarah. Baginya sejarah tersebut sangat terikat dengan konteks masanya yang diistilahkannya sebagai contemporanea – kekiniaan atau ke-masa-an. Intinya adalah, penulisan sejarah, nilai objektifitasnya tersebut sangat terikat dengan ruang dan waktu. Pemahaman orang terhadap suatu fenomena sejarah pada suatu era, akan berbeda dengan era yang lain. Ketika sebuah kalimat tertera dalam sebuah arsip yang dicatat pada era 1910-an :
”Anak-anak di Ajer Banges berjalan di tepian soengai pada senja hari pergi sumbajang dan mengadji ke langgar, poelang tidak pernah laroet malam sehingganja sumbajang isa’ (Isya: pen.) hanja diikoeti oleh orang-orang tua sahaja” (H.A.A.R.S, 1897 : edisi terjemahan dari Bahasa Belanda ke Bahasa Melayu).
Kalimat diatas akan berbeda pemahamannya bila ditafsirkan pada masa sekarang. Senja pada masa itu akan dipahami dalam durasi waktu pukul 4 – 5 sore, sedangkan larut malam dimaknai sebelum sholat Isya (lebih kurang pukul 8 malam). Bila hal tersebut ditafsirkan menurut “kacamata” sekarang, maka senja itu adalah pukul 6 – 7 malam, sedangkan larut malam diatas pukul 10 malam. Demikian juga dengan konsepsi poligami, misalnya. Banyak karya-karya sejarah, khususnya yang berkaitan dengan biografi ulama yang berkaitan dengan praktek poligami. Misalnya penggalan kalimat berikut :
“Syekh Halaban (1863-1933) yang dianggap sebagai ulama kharismatik. Dengan potensi kepemimpinan seperti ini, sangatlah mudah bagi Syekh Halaban untuk memiliki istri banyak, bahkan para orang tua berlomba-lomba untuk “menyodorkan” anak mereka menjadi istri Syekh yang juga guru dari ulama tradisional Minangkabau terkenal – Syekh Inyiak Canduang” (Tim Peneliti FIBA IAIN Padang, 2007).
Konsep poligami dalam kalangan masyarakat pada masa-masa tersebut diatas adalah suatu yang fungsional, baik bagi masyarakat maupun bagi elit sosial-agama tersebut. Nilai-nilai dan fungsi ini hanya bisa diletakkan pada era itu. Ini tidak bisa kita tempatkan pada masa A'a Gym, alm. Zainuddin MZ. ataupun pada era Ustadz Arifin Ilham, misalnya. Apa yang dikemukakan diatas juga secara “gamblang” pernah dikemukakan dengan baik oleh Pramoedya Ananta Toer dalam Novel-sejarahnya yang bertitelkan “Gadis Pantai”. Dengan begitu bagusnya Pram menarasikan bagaimana seorang ulama begitu dikonstruksikan oleh realitas sosial dalam strata yang demikian tinggi. Walau bukan dalam bentuk karya sejarah “sebagaimana mestinya”, akan tetapi novel-sejarah ini setidaknya mampu memberikan kepada kita gambaran yang terjadi pada era awal 1900-an, khususnya di Pantai Selatan Jawa. Bila kita membaca Gadis Pantai ini dengan kaca mata kita sekarang, maka akan kita simpulkan : “ulama yang maniac seks, ulama yang suka daun-daun muda dan ulama yang sangat otoriter serta ulama yang sombong-pongah dengan keulamaannya”.
Begitu juga dengan kalimat dibawah ini :
“Sebagaimana anak muda kampoeng lainnja, tentunja Ridjal amat senang sekali bisa berkawan dengan kakak sepoepoenja jang manis itu. Namanya Halimah. Tapi sajang, ianja akan berkahwin dengan seorang saudagar kaja dari Bangkahulu, saudagar jang juga ulama karena baru pulang dari tanah Mekkah. Halimah yang baroe beroemoer 14 tahun, akan berkahwin beberapa minggoe lagi” (Muhammad Radjab, 1927)
Tentu, bila Syekh Puji hidup pada masa Ridjal ini hidup, ia akan dapat memperistri “anak dibawah umur”. Bila Syekh Puji juga hidup pada masa diatas tersebut, tentu juga ia tidak akan dikenakan sanksi mengawini anak-anak usia dibawah umur. Tapi sayang, Syekh Puji hidup pada masa sekarang. Dan karena itu, alangkah juga naifnya bila kita melihat fenomena diatas dalam pemahaman kacamata kita saat ini pula. Karena itu pulalah, Croce dan kawan-kawannya beranggapan bahwa kebenaran sejarah (tepatnya : objektifitas sejarah itu) sangat bersifat relatif. Soekarno besar pada zamannya, dan masyarakat pada waktu itu, teramat merindukan manusia seperti Soekarno, sedangkan Soeharto juga besar pada era-nya, tapi sayang ia tidak membaca yang dirindukan masyarakat pada masanya juga. Dan, pada artikel saya sebelumnya tentang Pahlawan (terbit di Harian Singgalang/17-11-2011), ada satu paragraf-simpulan, begini : "Ada pahlawan yang besar pada masa dahulu, tapi sekarang seakan-akan tidak dibutuhkan. Ada yang pahlawan yang dihilangkan pada masa dahulu, tapi sekarang jadi buah-bibir yang menggoda untuk dibincangkan".
”Anak-anak di Ajer Banges berjalan di tepian soengai pada senja hari pergi sumbajang dan mengadji ke langgar, poelang tidak pernah laroet malam sehingganja sumbajang isa’ (Isya: pen.) hanja diikoeti oleh orang-orang tua sahaja” (H.A.A.R.S, 1897 : edisi terjemahan dari Bahasa Belanda ke Bahasa Melayu).
Kalimat diatas akan berbeda pemahamannya bila ditafsirkan pada masa sekarang. Senja pada masa itu akan dipahami dalam durasi waktu pukul 4 – 5 sore, sedangkan larut malam dimaknai sebelum sholat Isya (lebih kurang pukul 8 malam). Bila hal tersebut ditafsirkan menurut “kacamata” sekarang, maka senja itu adalah pukul 6 – 7 malam, sedangkan larut malam diatas pukul 10 malam. Demikian juga dengan konsepsi poligami, misalnya. Banyak karya-karya sejarah, khususnya yang berkaitan dengan biografi ulama yang berkaitan dengan praktek poligami. Misalnya penggalan kalimat berikut :
“Syekh Halaban (1863-1933) yang dianggap sebagai ulama kharismatik. Dengan potensi kepemimpinan seperti ini, sangatlah mudah bagi Syekh Halaban untuk memiliki istri banyak, bahkan para orang tua berlomba-lomba untuk “menyodorkan” anak mereka menjadi istri Syekh yang juga guru dari ulama tradisional Minangkabau terkenal – Syekh Inyiak Canduang” (Tim Peneliti FIBA IAIN Padang, 2007).
Konsep poligami dalam kalangan masyarakat pada masa-masa tersebut diatas adalah suatu yang fungsional, baik bagi masyarakat maupun bagi elit sosial-agama tersebut. Nilai-nilai dan fungsi ini hanya bisa diletakkan pada era itu. Ini tidak bisa kita tempatkan pada masa A'a Gym, alm. Zainuddin MZ. ataupun pada era Ustadz Arifin Ilham, misalnya. Apa yang dikemukakan diatas juga secara “gamblang” pernah dikemukakan dengan baik oleh Pramoedya Ananta Toer dalam Novel-sejarahnya yang bertitelkan “Gadis Pantai”. Dengan begitu bagusnya Pram menarasikan bagaimana seorang ulama begitu dikonstruksikan oleh realitas sosial dalam strata yang demikian tinggi. Walau bukan dalam bentuk karya sejarah “sebagaimana mestinya”, akan tetapi novel-sejarah ini setidaknya mampu memberikan kepada kita gambaran yang terjadi pada era awal 1900-an, khususnya di Pantai Selatan Jawa. Bila kita membaca Gadis Pantai ini dengan kaca mata kita sekarang, maka akan kita simpulkan : “ulama yang maniac seks, ulama yang suka daun-daun muda dan ulama yang sangat otoriter serta ulama yang sombong-pongah dengan keulamaannya”.
Begitu juga dengan kalimat dibawah ini :
“Sebagaimana anak muda kampoeng lainnja, tentunja Ridjal amat senang sekali bisa berkawan dengan kakak sepoepoenja jang manis itu. Namanya Halimah. Tapi sajang, ianja akan berkahwin dengan seorang saudagar kaja dari Bangkahulu, saudagar jang juga ulama karena baru pulang dari tanah Mekkah. Halimah yang baroe beroemoer 14 tahun, akan berkahwin beberapa minggoe lagi” (Muhammad Radjab, 1927)
Tentu, bila Syekh Puji hidup pada masa Ridjal ini hidup, ia akan dapat memperistri “anak dibawah umur”. Bila Syekh Puji juga hidup pada masa diatas tersebut, tentu juga ia tidak akan dikenakan sanksi mengawini anak-anak usia dibawah umur. Tapi sayang, Syekh Puji hidup pada masa sekarang. Dan karena itu, alangkah juga naifnya bila kita melihat fenomena diatas dalam pemahaman kacamata kita saat ini pula. Karena itu pulalah, Croce dan kawan-kawannya beranggapan bahwa kebenaran sejarah (tepatnya : objektifitas sejarah itu) sangat bersifat relatif. Soekarno besar pada zamannya, dan masyarakat pada waktu itu, teramat merindukan manusia seperti Soekarno, sedangkan Soeharto juga besar pada era-nya, tapi sayang ia tidak membaca yang dirindukan masyarakat pada masanya juga. Dan, pada artikel saya sebelumnya tentang Pahlawan (terbit di Harian Singgalang/17-11-2011), ada satu paragraf-simpulan, begini : "Ada pahlawan yang besar pada masa dahulu, tapi sekarang seakan-akan tidak dibutuhkan. Ada yang pahlawan yang dihilangkan pada masa dahulu, tapi sekarang jadi buah-bibir yang menggoda untuk dibincangkan".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar