(c) Abdul Hadi WM.
Telah dikemukakan bahwa hikayat perang (epos) berkaitan dengan kesyahidan Husein telah dikenal lama di Indonesia. Dalam bahasa Melayu ada dua versi awal yang paling dikenal luas. Pertama versi yang berjudul Hikayat Sayidina Husein, dan kedua versi yang berjudul Hikayat Muhammad Ali Hanafiyah. Sementara dalam sastra Melayu, Jawa dan Madura versi kedua yang paling populer, dalam sastra Aceh versi pertamalah yang lebih populer. Dalam sastra Aceh versi pertama ditulis pada akhir abad ke-17 M di bawah judul Hikayat Soydina Usen, tanpa membuang bagian yang mengisahkan peperangan antara Muhamad Ali Hanafiyah melawan Yazid. Versi kedua berjudul Hikayat Muhammad Napiah. Di daerah lain, misalnya di tanah Sunda dan pulau Madura, hikayat ini digubah sedemikian rupa dengan menekankan pada kekejaman dan kejahatan yang dilakukan Yazid bin Muawiyah. Versi Sunda diberi judul Wawacan Yazid dan versi Madura diberi judul Caretana Yazid Calaka (Kisah Yazid Celaka). Dalam sastra Minangkabau versi yang popular ialah Kaba Muhammad Ali Hanafiya. Seperti kaba lain hikayat ini dibacakan dalam majlis-majlis sastra yang kerap diadakan terutama pada Hari Asura (Edwar Djamaris 1990). Dalam sastra Jawa salah satu versinya yang populer ialah yang diberi judul Serat Ali Ngapiyah mateni Yazid. Pemberian judul yang berbeda-beda itu tentu dilatari motif tertentu sejalan dengan konteks budaya di mana hikayat itu disalin.
Teks hikayat ini dalam bentuknya yang dikenal sekarang pada mulanya muncul dalam kesusastraan Persia. Para sarjana berpendapat bahwa hikayat ini mulai ditulis pada akhir abad ke-12 M atau awal abad ke-13 M pada zaman pemerintahan Mahmud al-Ghaznawi. Perkiraan ini didasarkan atas kenyataan bahwa pola pengisahan dan gayanya memiliki banyak kemiripan dengan Shah-namah, epos Persia masyhur karangan Firdawsi yang usai ditulis pada tahun 1010 M. Deskripsi dalam Hikayat Muhammad Ali Hanafiyah yang mirip dengan Shah-namah antara lain ialah deskripsi tentang peperangan antara pasukan Muhamad Ali Hanafiyah dengan Yazid (Brakel 1975, Browne 1976). Bukti lain ialah adanya petikan sajak Sa’di dalam hikayat ini, yaitu pada bagian II versi Melayu (hal 338-340) dan disebutnya Tabriz sebagai kota penting di Iran. Sa’di adalah penyair yang hidup antara tahun 1213 – 1292 M. Dengan demikian ia mengalami dua zaman pemerintahan yaitu zaman pemerintahan Dinasti Ghaznawi dan zaman raja-raja Ilkhan Mongol yang menguasai Persia pada tahun 1222 M. Sajak Sa’di yang dikutip itu sendiri merupakan sindiran terhadap Sultan Mahmud al-Ghaznawi. Di lain hal Tabriz baru menjadi kota penting di Iran pada zaman pemerintahan Sultan Ghazan (1295-1304 M) yang menjadikannya sebagai kerajaan Ilkhan Mongol di Persia. Teks Melayu juga menyebut pentingnya kota Sabzavar, padahal kota ini baru menjadi kota penting Syiah pada pertengahan abad ke-14 M.
Persoalan yang sering ditanyakan para peneliti ialah bagaimana teks Persia ini bisa sampai di kepulauan Melayu tidak lama setelah hikayat tersebut rampung penulisannya di Persia. Pertanyaan ini dengan sederhana dapat dijawab. Misalnya dengan merujuk pada catatan perjalanan Ibn Batutah yang berkunjung ke Samudra Pasai pada awal abad ke-14 M. Di ibukota kerajaan Islam Nusantara pertama itu Ibn Batutah menyaksikan sejumlah ulama dan cendekiawan Persia berasal dari Samarkand dan Bukhara. Mereka sering diundang Sultan Pasai ke istana dan sangat dihormati, serta memainkan peranan penting dalam memajukan lembaga pendidikan Islam (Ibrahim Alfian 1999). Dapat dipastikan bahwa mereka bukan saja mengajar bahasa dan kesusastraan Arab, tetapi kesusastraan Persia. Huruf Arab Melayu yang disebut huruf Jawi dan dipakai mula-mula di Pasai didasarkan pada huruf Arab Persia. Jenis tulisan Arab yang digunakan pula ialah huruf Kufi Timur dan Nastaliq yang lazim dipakai oleh penulis-penulis Persia. Bukti-bukti tekstual juga menguatkan pendapat bahwa sumber-sumber Persia memainkan peranan penting bagi bangkitnya kesusastraan Islam di Nusantara sampai periode paling akhir. Hikayat-hikayat Melayu Islam yang awal yang meliputi epos, roman, hikayat nabi-nabi dan wali-wali, serta karangan-karangan bercorak tasawuf termasuk puisi, jika bukan merupakan saduran dari hikayat-hikayat (dashtan) Persia, tidak sedikit di antaranya diilhami oleh karangan penulis-penulis Persia. Epos-epos Islam terkenal seperti Hikayat Amir Hamzah, Hikayat Muhammad Ali Hanafiyah, Hikayat Syah Mardan, dan lain sebagainya digubah berdasarkan sumber Persia. Memang pada mulanya epos-epos Islam telah muncul dalam kesusastraan Arab. Namun epos-epos itu mencapai bentuknya yang matang dan kompleks, serta memiliki nilai estetik yang tinggi, di tangan penulis-penulis Persia abad ke-12 – 14 M. Khusus Hikayat Muhammad Ali Hanafiyah, dasar ceritanya ialah legenda yang hidup di kalangan pengikut sekte Kaisaniyah, sebuah sekte dari madzhab Syiah yang berbeda dari sekte-sekte Syiah lain seperti aliranImam Duabelas (Imamiya), Imam Tujuh (Ismailiya), Imam Lima (Zaidiya) dan lain-lain. Sekte-sekte Syiah yang lain berpendirian bahwa hanya keturunan Ali bin Thalib dan Fatimah saja yang berhak menjabat Imam, maka sekte Kaisaniyah menganggap bahwa jabatan imamah berakhir setelah wafatnya Muhammad Ali Hanafiyah. Hanafiyah adalah putra Ali yang ketiga dari istrinya yang berasal dari suku Hanif dan yang dinikahi Ali setelah wafatnya Fatimah. Sekte ini dikembangkan oleh Kaisan, pengasuh Hanafiyah yang sangat mengagumi kesalehan tuannya.
Agaknya di antara orang-orang Islam yang banyak pindah ke Indonesia dari negeri Arab dan Persia pada awal abad ke-14 hingga pertengahan abad ke-15 M, yaitu pada masa penaklukan bangsa Mongol atas negeri kaum Muslimin dan kekacauan di Persia akibat peperangan yang dicetuskan Timur Leng pada akhir abad ke-14 hingga awal abad ke-15 M, terdapat tidak sedikit penganut Syiah, bukan saja Syiah Imam Dua Belas tetapi juga Syiah Imam Empat (Zaidiyah) dan Kaisaniyah. Sebagian dari mereka, sebagaimana dipaparkan dalam banyak sumber sejarah, bergabung dengan orang-orang Sunni madzab Syafii di Yaman, yang telah lama menjadikan negeri itu sebagai pusat kegiatan keagamaan penganut Sunni madzab Syafii. Dari tempat inilah orang-orang Islam dari negeri Arab dan Persia memulai pelayarannya ke Timur melalui Samudra Hindia dengan tujuan pelabuhan-pelabuhan di India Selatan dan kepulauan Melayu. Pelabuhan Aden di Yaman memang sangat strategis, dan telah sejak lama dijadikan pelabuhan dagang utama yang yang menghubungkan benua Eropa dan Afrika dengan negeri-negeri di sebelah timur seperti India dan kepulauan Melayu (Ali Ahmad 1996; Abdul Hadi W.M. 2001). Berdasarkan ini dapat disimpulkan bahwa orang-orang Kaisaniyahlah yang membawa dan memperkenalkan epos ini di kepulauan Melayu. Latar belakang ceritanya ialah sebagai berikut. Setelah Ali bin Thalib dipilih menjadi khalifah yang menggantikan Usman bin Affan yang mati akibat pembunuhan misterius, Muawiyah yang merupakan kerabat Usman dan menjabat sebagai gubernur Damaskus menentang keputusan itu. Dia merancang untuk melakukan perlawanan. Peperangan meletus di Shiffin pada tahun 657 M. Ali dan pasukannya hampir memperoleh kemenangan, tetapi Muawiyah menawarkan perdamaian untuk mencegah kekalahan tentaranya. Maka diadakanlah tahkim untuk menentukan apakah Ali atau Muawiyah yang berhak memangku jabatan khalifah. Ternyata ini merupakan siasat yang dirancang rapi oleh Muawiyah untuk menggulingkan Ali dan kaum Aliyun yang merupakan pesaingnya yang paling kuat. Hakim yang dipilih untuk menentukan siapa yang berhak menjadi khalifah sebagian besar memihak Muawiyah.Kaum Khawarij yang semula memihak Ali, mengutuk keputusan mengadakan tahkim. Mereka merancang akan membunuh Ali dan Muawiyah. Pada tahun 659 M dua tahun setelah peristiwa itu kaum Khawarij melaksanakan niatnya membunuh kedua pemimpin itu. Muawiyah lolos dari usaha pembunuhan, tetapi Ali tewas dihunus pedang pemimpin Khawarij Abdul Rahman bin Muljam ketika Ali sedang berada di Kufa. Sejak peristiwa berdarah itu Muawiyah merasa lega karena tidak ada lagi yang akan merintangi dirinya menjadi penguasa mutlak kekhalifatan Islam. Tetapi di tempat lain kaum Aliyun mengangkat Hasan sebagai pengganti Ali. Beliau juga akhirnya mati setelah diracun.
Sumber : (c) Abdul Hadi WM (FB)
Foto : isna.com
Teks hikayat ini dalam bentuknya yang dikenal sekarang pada mulanya muncul dalam kesusastraan Persia. Para sarjana berpendapat bahwa hikayat ini mulai ditulis pada akhir abad ke-12 M atau awal abad ke-13 M pada zaman pemerintahan Mahmud al-Ghaznawi. Perkiraan ini didasarkan atas kenyataan bahwa pola pengisahan dan gayanya memiliki banyak kemiripan dengan Shah-namah, epos Persia masyhur karangan Firdawsi yang usai ditulis pada tahun 1010 M. Deskripsi dalam Hikayat Muhammad Ali Hanafiyah yang mirip dengan Shah-namah antara lain ialah deskripsi tentang peperangan antara pasukan Muhamad Ali Hanafiyah dengan Yazid (Brakel 1975, Browne 1976). Bukti lain ialah adanya petikan sajak Sa’di dalam hikayat ini, yaitu pada bagian II versi Melayu (hal 338-340) dan disebutnya Tabriz sebagai kota penting di Iran. Sa’di adalah penyair yang hidup antara tahun 1213 – 1292 M. Dengan demikian ia mengalami dua zaman pemerintahan yaitu zaman pemerintahan Dinasti Ghaznawi dan zaman raja-raja Ilkhan Mongol yang menguasai Persia pada tahun 1222 M. Sajak Sa’di yang dikutip itu sendiri merupakan sindiran terhadap Sultan Mahmud al-Ghaznawi. Di lain hal Tabriz baru menjadi kota penting di Iran pada zaman pemerintahan Sultan Ghazan (1295-1304 M) yang menjadikannya sebagai kerajaan Ilkhan Mongol di Persia. Teks Melayu juga menyebut pentingnya kota Sabzavar, padahal kota ini baru menjadi kota penting Syiah pada pertengahan abad ke-14 M.
Persoalan yang sering ditanyakan para peneliti ialah bagaimana teks Persia ini bisa sampai di kepulauan Melayu tidak lama setelah hikayat tersebut rampung penulisannya di Persia. Pertanyaan ini dengan sederhana dapat dijawab. Misalnya dengan merujuk pada catatan perjalanan Ibn Batutah yang berkunjung ke Samudra Pasai pada awal abad ke-14 M. Di ibukota kerajaan Islam Nusantara pertama itu Ibn Batutah menyaksikan sejumlah ulama dan cendekiawan Persia berasal dari Samarkand dan Bukhara. Mereka sering diundang Sultan Pasai ke istana dan sangat dihormati, serta memainkan peranan penting dalam memajukan lembaga pendidikan Islam (Ibrahim Alfian 1999). Dapat dipastikan bahwa mereka bukan saja mengajar bahasa dan kesusastraan Arab, tetapi kesusastraan Persia. Huruf Arab Melayu yang disebut huruf Jawi dan dipakai mula-mula di Pasai didasarkan pada huruf Arab Persia. Jenis tulisan Arab yang digunakan pula ialah huruf Kufi Timur dan Nastaliq yang lazim dipakai oleh penulis-penulis Persia. Bukti-bukti tekstual juga menguatkan pendapat bahwa sumber-sumber Persia memainkan peranan penting bagi bangkitnya kesusastraan Islam di Nusantara sampai periode paling akhir. Hikayat-hikayat Melayu Islam yang awal yang meliputi epos, roman, hikayat nabi-nabi dan wali-wali, serta karangan-karangan bercorak tasawuf termasuk puisi, jika bukan merupakan saduran dari hikayat-hikayat (dashtan) Persia, tidak sedikit di antaranya diilhami oleh karangan penulis-penulis Persia. Epos-epos Islam terkenal seperti Hikayat Amir Hamzah, Hikayat Muhammad Ali Hanafiyah, Hikayat Syah Mardan, dan lain sebagainya digubah berdasarkan sumber Persia. Memang pada mulanya epos-epos Islam telah muncul dalam kesusastraan Arab. Namun epos-epos itu mencapai bentuknya yang matang dan kompleks, serta memiliki nilai estetik yang tinggi, di tangan penulis-penulis Persia abad ke-12 – 14 M. Khusus Hikayat Muhammad Ali Hanafiyah, dasar ceritanya ialah legenda yang hidup di kalangan pengikut sekte Kaisaniyah, sebuah sekte dari madzhab Syiah yang berbeda dari sekte-sekte Syiah lain seperti aliranImam Duabelas (Imamiya), Imam Tujuh (Ismailiya), Imam Lima (Zaidiya) dan lain-lain. Sekte-sekte Syiah yang lain berpendirian bahwa hanya keturunan Ali bin Thalib dan Fatimah saja yang berhak menjabat Imam, maka sekte Kaisaniyah menganggap bahwa jabatan imamah berakhir setelah wafatnya Muhammad Ali Hanafiyah. Hanafiyah adalah putra Ali yang ketiga dari istrinya yang berasal dari suku Hanif dan yang dinikahi Ali setelah wafatnya Fatimah. Sekte ini dikembangkan oleh Kaisan, pengasuh Hanafiyah yang sangat mengagumi kesalehan tuannya.
Agaknya di antara orang-orang Islam yang banyak pindah ke Indonesia dari negeri Arab dan Persia pada awal abad ke-14 hingga pertengahan abad ke-15 M, yaitu pada masa penaklukan bangsa Mongol atas negeri kaum Muslimin dan kekacauan di Persia akibat peperangan yang dicetuskan Timur Leng pada akhir abad ke-14 hingga awal abad ke-15 M, terdapat tidak sedikit penganut Syiah, bukan saja Syiah Imam Dua Belas tetapi juga Syiah Imam Empat (Zaidiyah) dan Kaisaniyah. Sebagian dari mereka, sebagaimana dipaparkan dalam banyak sumber sejarah, bergabung dengan orang-orang Sunni madzab Syafii di Yaman, yang telah lama menjadikan negeri itu sebagai pusat kegiatan keagamaan penganut Sunni madzab Syafii. Dari tempat inilah orang-orang Islam dari negeri Arab dan Persia memulai pelayarannya ke Timur melalui Samudra Hindia dengan tujuan pelabuhan-pelabuhan di India Selatan dan kepulauan Melayu. Pelabuhan Aden di Yaman memang sangat strategis, dan telah sejak lama dijadikan pelabuhan dagang utama yang yang menghubungkan benua Eropa dan Afrika dengan negeri-negeri di sebelah timur seperti India dan kepulauan Melayu (Ali Ahmad 1996; Abdul Hadi W.M. 2001). Berdasarkan ini dapat disimpulkan bahwa orang-orang Kaisaniyahlah yang membawa dan memperkenalkan epos ini di kepulauan Melayu. Latar belakang ceritanya ialah sebagai berikut. Setelah Ali bin Thalib dipilih menjadi khalifah yang menggantikan Usman bin Affan yang mati akibat pembunuhan misterius, Muawiyah yang merupakan kerabat Usman dan menjabat sebagai gubernur Damaskus menentang keputusan itu. Dia merancang untuk melakukan perlawanan. Peperangan meletus di Shiffin pada tahun 657 M. Ali dan pasukannya hampir memperoleh kemenangan, tetapi Muawiyah menawarkan perdamaian untuk mencegah kekalahan tentaranya. Maka diadakanlah tahkim untuk menentukan apakah Ali atau Muawiyah yang berhak memangku jabatan khalifah. Ternyata ini merupakan siasat yang dirancang rapi oleh Muawiyah untuk menggulingkan Ali dan kaum Aliyun yang merupakan pesaingnya yang paling kuat. Hakim yang dipilih untuk menentukan siapa yang berhak menjadi khalifah sebagian besar memihak Muawiyah.Kaum Khawarij yang semula memihak Ali, mengutuk keputusan mengadakan tahkim. Mereka merancang akan membunuh Ali dan Muawiyah. Pada tahun 659 M dua tahun setelah peristiwa itu kaum Khawarij melaksanakan niatnya membunuh kedua pemimpin itu. Muawiyah lolos dari usaha pembunuhan, tetapi Ali tewas dihunus pedang pemimpin Khawarij Abdul Rahman bin Muljam ketika Ali sedang berada di Kufa. Sejak peristiwa berdarah itu Muawiyah merasa lega karena tidak ada lagi yang akan merintangi dirinya menjadi penguasa mutlak kekhalifatan Islam. Tetapi di tempat lain kaum Aliyun mengangkat Hasan sebagai pengganti Ali. Beliau juga akhirnya mati setelah diracun.
Sumber : (c) Abdul Hadi WM (FB)
Foto : isna.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar