Pemilihan Kepala Daerah secara langsung, merupakan salah satu "berkah" reformasi. Bila pada masa Orde Baru, suara rakyat bisa dipreteli dan ditunggangi oleh anggota legislatif daerah dalam pemilihan Kepala Daerah, maka sekarang ini, suara rakyat betul-betul dihargai. Namun, setiap perubahan, tidak pernah berjalan bergandengan secara linier dengan kebaikan dan kemashlahatan. Pasti ada sisi-sisi patologis yang ditimbulkannya. Tak terkecuali dengan fenomena pemilihan kepala daerah yang belakangan ini telah, sedang dan akan berlangsung di beberapa daerah di Indonesia. Banyak kejadian-kejadian patologik yang dipandang normal. Dalam Acara "Save Our Nation" yang dipandu Anies Baswedan dan dipublish di Media Indonesia beberapa waktu lalu, banyak catatan-catatatn "sakit" yang dianggap normal berkaitan dengan Pemilihan Kepala Daerah langsung ini. Ada kepala daerah yang sudah dua kali menjabat rela turun pangkat sebagai calon wakil kepala daerah asalkan tetap menjadi penguasa. Patologis karena tidak bisa membedakan antara promosi dan degradasi. Ada lagi kepala daerah yang mendorong anaknya menjadi peserta pemilu kepala daerah untuk menggantikannya. Ini sakit dari jenis yang lain lagi, yaitu memandang jabatan kepala daerah bagaikan jabatan di ranah privat. Bahkan yang lebih sakit, ada juga yang mengajukan istrinya untuk menjadi suksesor. Bahkan, tak kepalang tanggung, ada kepala daerah yang dua istrinya maju serentak bertarung dalam pemilu kada untuk menggantikan sang suami yang poligami.
Semua itu melibatkan kepala daerah yang sedang menjabat. Pertanyaannya, ada apa gerangan sehingga incumbent ngotot mewariskan jabatannya itu kepada anak atau istri? Sedikitnya ada dua jawaban. Pertama, para kepala daerah itu menganggap diri mereka sebagai raja-raja kecil. Dan seperti layaknya kerajaan, takhta pun diwariskan kepada anak. Bahkan, lebih hebat daripada kerajaan, diwariskan kepada istri. Kedua, agar borok dan bobrok semasa jabatannya tidak terungkap. Bila yang meneruskan jabatan itu adalah anak atau istri, selamatlah sang mantan kepala daerah dari upaya sang pengganti untuk membongkar korupsi yang dilakukannya. Tapi, dinasti politik itu tidak akan terjadi bila tidak didukung kekuasaan. Incumbent memiliki kekuatan ini, apalagi kalau kepala daerah yang sedang menjabat itu merangkap ketua atau penasihat partai. Terbukalah jalan untuk memaksa partai untuk mencalonkan kroni incumbent. Selain kekuasaan, ada politik transaksi. Kroni incumbent bisa membeli tiket calon kepala daerah dari partai politik karena mempunyai uang. Tragisnya, uang itu hasil korupsi. Perlu diingat bahwa pemimpin daerah hanya becermin pada tabiat buruk para pemimpin di level nasional. Bukan rahasia lagi, dinasti politik terus dibangun di pusat dengan menjadikan istri atau anak sebagai anggota DPR atau pengurus partai. Sadar atau tidak sadar, politik telah dijadikan seperti perusahaan keluarga. Trah kekuasaan dirawat tidak hanya untuk mempertahankan kekuasaan politik, tetapi juga penguasaan atas akses ke sumber-sumber ekonomi dan finansial.
Sumber : Diskusi "Save Our Nation" dan Media Indonesia
1 komentar:
Suatu refleksi negatif dari Otonomi daerah dan PILKADA langsung adalah munculnya raja2 kecil di daerah. Ngototnya incumbent utk mempertahan dynasti politiknya supaya boroknya tdk terungkap setelah habis masa jabatannya dan ini merupakan indikasi dari makin maraknya korupsi di negeri ini...
Posting Komentar