Saya ingin berbagi tentang beberapa pengalaman empirik, interaksi dengan beberapa kalangan, selama Ramadhan dan Syawal ini. Pengalaman yang sangat subjektif, over-analyze bahkan bisa saja terkesan generalitatif. Tapi setidaknya, apa yang terasa, mungkin juga dirasakan yang lain. Apa yang terlihat, bisa saja telah terlihat oleh yang lain sebelum saya. Dalam bahasa penelitian kuantitatif, sample yang merepresentasikan populasi.
Lebaran kemaren, saya merasa beruntung. Mendapat kesempatan pergi melaut dengan beberapa teman satu kampung. Maklum, kampung saya berada di tepi laut - menghadap Lautan Hindia nan "gagah". Setelah dua hari, bersilaturrahim kepada handai taulan-tetangga karib kerabat, hari berikutnya saya ditawari oleh salah seorang teman saya untuk pergi mengail di lautan dalam - "ma irik" istilah dalam ranah per-bahasa-an nelayan. Tentu saya jawab tantangan itu dengan "iya" berkali-kali. Selepas sholat shubuh, kami berangkat dengan bekal kail berbagai ukuran - dan tentunya makanan "enak" a-la lebaran buatan istri (seperti pergi camping). Kapal yang kami bawa seukuran/agak kecil dari kapal tunda, di kampung saya biasa disebut dengan "Kapal TS". Setelah 3 jam berlayar menuju tengah lautan yang mulai agak berwarna biru-pekat, tali kail diturunkan dalam ukuran yang cukup panjang. Beberapa buah dengan berbagai ukuran tali dan mata kail. Pada mata kail, diletakkan ikan seukuran dua jari. Dan selanjutnya, kapal pun berjalan menuju ketengah sambil terus membawa kail ini sambil jalan, sehingga ikan yang seukuran dua jari yang ditancapkan di ujung mata kail terkesan "berlari-lari". Ini akan memancing ikan-ikan yang lebih besar untuk menangkapnya. Karena itulah, "style" memancing jenis ini diistilahkan dengan ma irik (mengheret). Satu persatu ikan tenggiri dan gambolo naik. Kapal terus berlayar ke tengah. Tanpa terasa, sudah 7 jam berlayar. Matahari sepenggalahan, air laut makin biru pekat. Rasanya sudah sangat jauh kami ketengah. Daratan sudah tinggal entah dimana. Kala istirahat, dari kejauhan, terlihat ada satu pulau., ya .. hanya satu pulau, tanpa ada gugusan pulau lainnya. Saya tanyakan pada kawan saya yang kebetulan kulitnya hitam legam dan rambut berwarna kecoklatan (maklum, selalu diterpa mentari terik dan air lautan) tentang pulau yang terlihat dari kejauhan itu. "Pulau A (sengaja saya inisialkan), umumnya dihuni etnik N", katanya. Saya sarankan untuk beristirahat di pulau tersebut. setelah kami merapat, terlihat beberapa anak-anak dan wanita sedang menjemur ikan dan kopra. Rupanya pulau ini cukup ramai di huni, terlihat dari jumlah rumah yang cukup banyak. Setelah kapal kami tambatkan, seperti biasa, kedai-pun di cari. Pada awalnya, saya berencana mencari masjid atau musholla, tapi saya yakin, tak ada terlihat oleh saya puncak gubah dari kejauhan. Apalagi gelengan kepala seorang wanita muda nan cantik lagi putih yang sedang membersihkan ikan di tepian pantai (maklum, biasanya wanita dari etnik N ini terkenal putih bak Cina) pada saya ketika saya tanya, dimana letak masjid atau musholla. Stelah sholat di kapal, kami pun turun. Ada satu kedai di tepian pantai yang menarik perhatian saya. Beberapa pemuda dan orang tua duduk-duduk sambil memandang curiga pada kami. Awalnya kami kecut dan takut, tapi berusaha memberanikan diri untuk menyapa. "Assalamu'alaikum, pak !". Tak ada yang menjawab. Sambil menghilangkan nervous, saya berbasa-basi. "Boleh saya duduk pak. Kami kebetulan pergi melaut, ingin sekedar istirahat sebentar di pulau ini", kata saya. Mereka tetap memandangi kami dengan curiga. Kebetulan beberapa diantara pemuda di kedai itu sedang memegang kelewang. Ukuran dan kilatan kelewang tersebut cukup membuat kami (saya terutamanya) merasa takut luar biasa. Untunglah, ada Pak Tua yang sedang merokok (kalau tak salah, Rokok Pucuk) tersenyum pada saya. "Silahkan pak, disini saja duduknya," katanya dalam dialek etnik N. Bak orang "terkantuk diberi bantal", tawaran Pak Tua itu kami sambut dengan hati senang. Singkat cerita, suasana pun mulai mencair. Apalagi setelah kami keluarkan/tawarkan rokok Sampoerna dan Surya. Bak mendapatkan "anak gadis ranum", mereka berebutan mengambil rokok itu. Abih tandeh. Kami ditawari air manis rasa apek, mungkin Air Nira. Perbincangan pun mulai mengalir. Rupanya pulau ini dihuni hampir 100 Kepala Keluarga dari etnik N. Mayoritas bekerja sebagai petani Kelapa-Kopra dan Nelayan-Penyelam. Membeli kebutuhan harian mereka ke Kota S dengan terlebih dahulu berlayar 8 jam. Hanya ada satu Sekolah Dasar yang "jarang buka". Tapi mereka tampaknya masa bodoh. Mereka lebih menikmati kententraman - lebih tepatnya, keterasingan. Bau badan mereka agak sedikit "anyir", entah kenapa. Mungkin faktor laut atau makanan. Kebetulan, banyak terlihat beberapa ekor B yang berkeliaran. Perbincangan terus mengalir, dan Air Nira-pun terus diminum (saya sempat ke belakang, karena mau muntah minum Air yang konon dahulunya disukai kakek saya). Karena rokok sudah habis untuk membayar "suap" pada beberapa pemuda di kedai ini, maka saya "rampok" pula Rokok Pucuk mereka. Entah kenapa, sambil menghisap Rokok Pucuk ini, keluar saja pertanyaan saya yang (sangat) sensitif, "Pak, masyarakat disini agama-nya apa?". Pak Tua dan beberapa orang pemuda langsung melihat saya, mungkin mereka tak senang mendengar pertanyaan saya itu. "Maafkan saya, Pak!", kata saya kemudian. Pak Tua tadi kemudian tersenyum, menunjukkan pada kami bahwa mereka tak marah. Dari Pak Tua itulah saya pun tahu, bahwa seluruh penduduk Pulau A ini beragama K. Dan menariknya, tahun 1980-an hingga awal 1990-an, setengah penduduk pulau ini beragama Islam. Mereka diIslamkan oleh muballligh dari suatu organisasi sosial keagamaan. Bahkan sempat ada satu musholla kecil. Beberapa orang muballigh pada tahu 1980-an ini berdatangan untuk memberi pencerahan dari Kota S. Konon, muballigh ini disubsidi oleh salah satu organisasi sosial keagamaan. Tapi sayangnya, muballigh yang datang ke pulau A ini tidak merasa betah, bahkan kedatangan mereka tidak pernah dalam waktu yang lama. Biasanya hanya beberapa hari, kemudian pulang lagi ke Kota S. Begitu seterusnya, padahal mereka digaji. Hal ini terus berlangsung hingga awal 1990-an. Kemudian, tak satu-pun lagi muballigh yang datang.
Pertengahan tahun 1990-an, datanglah seorang Pastor dari Negara I ke pulau A ini. Datang dengan niat berdakwah bagi agamanya. Ia menetap secara permanen, mendirikan kapel dan melayani masyarakat dengan hati, bukan gaji. Terkadang ia menolong warga menjemur kopra dan ikan, terkadang ia mengajar anak-anak membaca. Pastor ini mendapat simpati luar biasa dari penduduk pulau A. Ia memutuskan "sejarah"nya, tak mau pulang ke negaranya. Tak mengharapkan uang ataupun gaji. Bahkan makannya justru lebih banyak diberi penduduk, hingga kini. Hanya beberapa tahun, 100 persen, warga pulau ini menganut agama K. Kata Pak Tua yang terus "memupuh" rokok Surya saya, beberapa tahun lalu, datang beberapa orang muballigh dari Kota S memprotes si Pastor. "Kami usir itu muballigh!", kata Pak Tua itu dengan mata membelalak melihat saya. "Ia hanya mau enak, tak mau susah. Coba lihat pastor itu, mau tinggal bersama kami dari dulu, tanpa gaji. Mau hidup di pulau kami. Mau merasakan hidup kami ... blablabla. Eh, tahu-tahu mereka datang, marah-marah, mengapa banyak diantara kami pindah agama". Dan saya pun mengangguk-angguk. Terbayang oleh saya, seandainyalah, militansi muballigh-muballigh itu dahulu semilitan si Pastor, tentu saya tak kesulitan mencari musholla untuk sekedar menumpang sholat. Seandainyalah, muballigh-muballigh itu mau menyatu dan bersungguh-sungguh berdakwah tanpa subsidi sebagaimana halnya yang dilakukan si Pastor, tentu "Assalamu'alaikum" saya waktu mau masuk ke kedai tadi akan dijawab dengan fasih. Jadi tidaklah mengherankan apabila Pak Tua dari etnik N di Pulau A ini, mengetawakan protes muballigh yang "datang kemudian" beberapa tahun lalu karena melihat "jandanya" yang selama ini dipupuknya "diambil" orang. Bak kata mendiang nenek saya, "janganlah sering meninggalkan janda, bila ingin kembali lagi. Dekat-dekati teruslah, kalau tidak, si Janda kamu itu akan berpaling ke lelaki lain". Menjelang sore, setelah saya menumpang sholat Ashar di sebuah ruangan di kedai tersebut, kami berpamitan. "Selamat Sore, Pak. Do'akan kami selamat sampai ke kampung kami", kata saya - tanpa mengucapkan Assalamu'alaikum. Karena salam ini, sudah mulai terasa asing bagi mereka. Sebuah pelajaran berharga saya dapatkan !!
(Teringat ungkapan mendiang Anduang saya yang menanam bibit pohon kelapa diusianya yang hampir renta. "Untuk apa pohon kepala ini Andung tanam, bukankan 40 tahun baru bisa menghasilkan, Andung tidak akan dapat menikmati hasilnya nanti", kata saya. "Mungkin bukan untuk saya, tapi untuk generasi saya berikutnya. Bukan sekarang, tapi nanti. Jangan kamu harapkan nanti, sementara tidak kamu tanam sekarang". Saya-pun terdiam. Andung saya sangat menghargai Proses). BERSAMBUNG !!
Pertengahan tahun 1990-an, datanglah seorang Pastor dari Negara I ke pulau A ini. Datang dengan niat berdakwah bagi agamanya. Ia menetap secara permanen, mendirikan kapel dan melayani masyarakat dengan hati, bukan gaji. Terkadang ia menolong warga menjemur kopra dan ikan, terkadang ia mengajar anak-anak membaca. Pastor ini mendapat simpati luar biasa dari penduduk pulau A. Ia memutuskan "sejarah"nya, tak mau pulang ke negaranya. Tak mengharapkan uang ataupun gaji. Bahkan makannya justru lebih banyak diberi penduduk, hingga kini. Hanya beberapa tahun, 100 persen, warga pulau ini menganut agama K. Kata Pak Tua yang terus "memupuh" rokok Surya saya, beberapa tahun lalu, datang beberapa orang muballigh dari Kota S memprotes si Pastor. "Kami usir itu muballigh!", kata Pak Tua itu dengan mata membelalak melihat saya. "Ia hanya mau enak, tak mau susah. Coba lihat pastor itu, mau tinggal bersama kami dari dulu, tanpa gaji. Mau hidup di pulau kami. Mau merasakan hidup kami ... blablabla. Eh, tahu-tahu mereka datang, marah-marah, mengapa banyak diantara kami pindah agama". Dan saya pun mengangguk-angguk. Terbayang oleh saya, seandainyalah, militansi muballigh-muballigh itu dahulu semilitan si Pastor, tentu saya tak kesulitan mencari musholla untuk sekedar menumpang sholat. Seandainyalah, muballigh-muballigh itu mau menyatu dan bersungguh-sungguh berdakwah tanpa subsidi sebagaimana halnya yang dilakukan si Pastor, tentu "Assalamu'alaikum" saya waktu mau masuk ke kedai tadi akan dijawab dengan fasih. Jadi tidaklah mengherankan apabila Pak Tua dari etnik N di Pulau A ini, mengetawakan protes muballigh yang "datang kemudian" beberapa tahun lalu karena melihat "jandanya" yang selama ini dipupuknya "diambil" orang. Bak kata mendiang nenek saya, "janganlah sering meninggalkan janda, bila ingin kembali lagi. Dekat-dekati teruslah, kalau tidak, si Janda kamu itu akan berpaling ke lelaki lain". Menjelang sore, setelah saya menumpang sholat Ashar di sebuah ruangan di kedai tersebut, kami berpamitan. "Selamat Sore, Pak. Do'akan kami selamat sampai ke kampung kami", kata saya - tanpa mengucapkan Assalamu'alaikum. Karena salam ini, sudah mulai terasa asing bagi mereka. Sebuah pelajaran berharga saya dapatkan !!
(Teringat ungkapan mendiang Anduang saya yang menanam bibit pohon kelapa diusianya yang hampir renta. "Untuk apa pohon kepala ini Andung tanam, bukankan 40 tahun baru bisa menghasilkan, Andung tidak akan dapat menikmati hasilnya nanti", kata saya. "Mungkin bukan untuk saya, tapi untuk generasi saya berikutnya. Bukan sekarang, tapi nanti. Jangan kamu harapkan nanti, sementara tidak kamu tanam sekarang". Saya-pun terdiam. Andung saya sangat menghargai Proses). BERSAMBUNG !!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar