Adakah pejabat dan jenderal kita, bahkan hingga kepada abdi negara terendah pangkat dan golongannya sekalipun (sipil/militer/polri) yang mengesampingkan kepentingan dan kebutuhan pribadinya, demi sang Merah Putih? .... Patriot sejati itu, sungguh sungguh tidak lagi memikirkan nasib dirinya sendiri. Yang dipikirkan adalah, dunia luar mengetahui bahwa NKRI dan TNI masih ada, bahkan sanggup melakukan perlawanan. Saking cinta kepada negerinya, Pak Dirman tidak sempat lagi mengurus kebutuhan pribadinya, termasuk seragam resmi sebagai seorang jenderal besar.
Bacalah buku "Jenderal Soedirman : Pemimpin Pendobrak Terakhir Penjajahan di Indonesia - Kisah Seorang Pengawal". Buku tidak akan pernah "mati". Didalamnya ada bahan pembelajaran apapun bentuknya. Sebuah penuntun hidup, kehidupan dan sejarah penghidupan manusia. Apapun bukunya, didalamnya terdapat bekas yang "ditapakkan" oleh penulisnya Sebuah buku yang melukiskan perjuangan seorang patriot sejati bangsa ini. Bapak Tentara kita, Panglima Besar Jendral Sudirman. Bukan sebuah biografi, hanya sepenggal saja yang direkam. Perekam sejarah sepenggal perjalanan Pak Dirman itu hanyalah seorang pengawal. Pengawal dalam setiap langkah, gerak dan sepak terjang serta pemikiran Pak Dirman dalam rentang waktu yang tidak panjang. Adalah (alm) Let. Jen (Purn) Tjokropranolo. Yang kelak dikemudian hari (pernah) menjadi Gubernur DKI Jakarta.
Tapi saya tidak akan menuliskan mengenai sang penulis buku Pak Dirman ini. Bukan juga mengenai perjalanan pak Dirman, diawal membangun Tentara Republik ini. Pun pula bukan mengenai synopsis buku ini. Saya hanya mencoba memaknai selembar dua lembar lampirannya. Sebuah lampiran dalam buku, yang selalu menggoda saya untuk memaknainya secara mendalam pada menjelang Hari Nasional kita Peringatan Hari Ulang Tahun Republik Indonesia 17 Agustus 1945. Mempelajari dan memaknai perjalanan hidup pak Dirman sungguh sangat mengasyikkan. Mengharu biru, penuh suka cita dan tentu didalamnya sarat akan pelajaran hidup, kisah dan romantisme kepahlawan utamanya bagi perjalan bangsa ini kedepan. Kalau sebuah buku saja sarat akan makna yang mendalam, benarkah jika bagian dari lembar demi lembar buku ini juga sama bermaknanya? Tentu jawaban saya ; iya, benar adanya. Hanya selembar surat dari surat surat lainnya, yang menjadi bahan lampiran buku ini. Sepucuk surat untuk Pak Dirman. Tapi lembar inilah, yang senantiasa dan selalu menggoda saya untuk hanyut dalam isi dan makna surat yang tentu kala itu menjadi sangat penting bagi penerimanya, Pak Dirman. Bagi anak bangsa ini, apalagi kini, rasanya makna yang termaktub dalam isi surat ini, sangat sangat-lah penting. Mungkin, bagi para “penjahat bangsa” ini saja dianggapnya hanya selembar surat tak bermakna. Tapi terserahlah, saya toh bukan termasuk Penjahat Bangsa.
Surat tulisan tangan asli Bung Karno itu tertanggal 9 Agustus 1949 (tepat 60 tahun yang lalu). Bukan sebuah surat perintah, bukan surat resmi kenegaraan. Hanya surat pribadi yang mengunakan kop/kertas surat kepresidenan.
Kurang lebih bunyi surat tersebut adalah :Tapi saya tidak akan menuliskan mengenai sang penulis buku Pak Dirman ini. Bukan juga mengenai perjalanan pak Dirman, diawal membangun Tentara Republik ini. Pun pula bukan mengenai synopsis buku ini. Saya hanya mencoba memaknai selembar dua lembar lampirannya. Sebuah lampiran dalam buku, yang selalu menggoda saya untuk memaknainya secara mendalam pada menjelang Hari Nasional kita Peringatan Hari Ulang Tahun Republik Indonesia 17 Agustus 1945. Mempelajari dan memaknai perjalanan hidup pak Dirman sungguh sangat mengasyikkan. Mengharu biru, penuh suka cita dan tentu didalamnya sarat akan pelajaran hidup, kisah dan romantisme kepahlawan utamanya bagi perjalan bangsa ini kedepan. Kalau sebuah buku saja sarat akan makna yang mendalam, benarkah jika bagian dari lembar demi lembar buku ini juga sama bermaknanya? Tentu jawaban saya ; iya, benar adanya. Hanya selembar surat dari surat surat lainnya, yang menjadi bahan lampiran buku ini. Sepucuk surat untuk Pak Dirman. Tapi lembar inilah, yang senantiasa dan selalu menggoda saya untuk hanyut dalam isi dan makna surat yang tentu kala itu menjadi sangat penting bagi penerimanya, Pak Dirman. Bagi anak bangsa ini, apalagi kini, rasanya makna yang termaktub dalam isi surat ini, sangat sangat-lah penting. Mungkin, bagi para “penjahat bangsa” ini saja dianggapnya hanya selembar surat tak bermakna. Tapi terserahlah, saya toh bukan termasuk Penjahat Bangsa.
Surat tulisan tangan asli Bung Karno itu tertanggal 9 Agustus 1949 (tepat 60 tahun yang lalu). Bukan sebuah surat perintah, bukan surat resmi kenegaraan. Hanya surat pribadi yang mengunakan kop/kertas surat kepresidenan.
=======
Presiden
Republik Indonesia
JM (Jang Mulia) Panglima Besar
Saudaraku,
Hari Nasional 17 Agustus sudah mendekat. Saja kira saudara ta’ mempunyai lagi uniform jang bagus. Maka bersama ini saja kirim bahan untuk uniform baru.
Haraplah terima sebagai tanda persaudaraan.
Merdeka !
(tanda tangan Soekarno)
9/8 ‘49
=======
Menilik dan mempelajari surat dari Bung Karno kepada Pak Dirman, sungguh rasanya hati ini menangis. Empat tahun setelah Proklamasi kita pada 17 Agustus 1945, Panglima Besar, Jenderal Tentara kita, ternyata tidak memiliki seragam resmi yang bagus (layak) dikenakan oleh seorang Pemimpin TNI. Apalagi menjelang peringatan HUT Republik Indonesia ke-4 kala itu. Memang, negeri kita masa itu tengah dan masih bergolak karena agresi militer Belanda, sehingga Ibu Kota Negara dan seluruh perangkatnya-pun dipindah ke Jogyakarta. Suasana yang masih carut marut itu, rupanya menjadi perhatian khusus seorang panglima perang, tanpa mempedulikan kepentingan dirinya sendiri. Seperti kita tahu, Pak Dirman bahkan dengan paru – parunya yang tinggal sebelah, dan dalam kondisi sakit parah masih mampu memimpin perang gerilya. Tak tanggung tanggung, beserta segenap pengawalnya beliau rela naik turun gunung, masuk keluar hutan, menyusuri kampung ke pelosok desa, hingga kota. Dari Jogyakarta, ke wilayah Jawa Timur, hingga kembali lagi ke Jogyakarta semua dilakukan demi mempertahankan kedaulatan NKRI. Dengan berjalan kaki, yang berujung Pak Dirman harus ditandu, karena sakitnya.
Terbayangkan, sekitar seminggu lagi (kala itu), upacara kenegaraan Hari Nasional 17 Agustus 1949, Bung Karno mendapati Jenderal perangnya tanpa uniform yang layak pakai. Maka dikirimkannya sepucuk surat (pengantar) kepada Pak Dirman beserta selembar kain untuk kemudian dijahit dan bisa dikenakan saat hari besar Nasional itu. Bung Karno, memang sosok yang sangat sangat memperhatikan penampilan, termasuk busana yang dikenakannya. Pada jamannya, bahkan Bung Karno dikenal juga sebagai trendsetter model pakaian pejabat (sipil juga militer) dinegeri ini. Betapa Bung Karno dengan jas dan busana kenegaraan-nya sungguh mencerminkan bahwa dirinya adalah pribadi yang sangat memperhatikan penampilan diri. Sebagai negeri yang baru merdeka (usia 4 tahun) kala itu, Bung karno tidak ingin Panglima Perangnya terlihat kusam dengan busana yang tak layak pakai juga untuk seorang Jenderal Besar. Maka, dengan rasa persaudaraan yang amat besar pula, dengan rasa hormat dan penuh kasih sayang dihadiahkannya bahan kain untuk Pak Dirman. Pak Dirman, tentu sangat gagah dan berwibawa kala peringatan HUT RI ke-4 pada 17 Agustus 1949 itu. Angan ini pun melayang kepada masa kini. Adakah pejabat dan jenderal kita, bahkan hingga kepada abdi negara terendah pangkat dan golongannya sekalipun (sipil/militer/polri) yang mengesampingkan kepentingan dan kebutuhan pribadinya, demi sang Merah Putih? .... dan Saya, Anda, kita semua termasuk yang mana????
Sumber : dari diskusi FB dengan substansi diskusi serta tulisan dari FB Bentang Waktu (cahjengkol.multiply)
1 komentar:
blognya sangat bagus pak untuk memberi semangat kepada anak negeri tentang keberanian para pahlawan
Posting Komentar