Dalam teori perubahan sosial, “virus” N-Ach pernah diperkenalkan oleh David C Mc. Clleland. Perubahan masyarakat tergantung pada potensi Need of Achievement, kebutuhan masyarakat untuk berprestasi. Apabila ingin meningkatkan kualitas sebuah komunitas masyarakat maka injeksikan virus motivasi berprestasi. Virus ini disatu sisi sangat motivatif, merangsang siapa saja untuk selalu berprestasi, bahkan terus mencapai puncak yang tinggi. Namun dalam perkembangannya, virus ini justru mengkondisikan manusia untuk terus selalu menjadi yang “terdepan”, “terunggul” bahkan “harus nomor satu”. Di satu sisi, apa yang diharapkan oleh “virus” Mc. Clellad ini sangat bagus sekali, namun pasti memiliki implikasi serius karena tak ada keinginan manusia untuk “mengalah”. Dan ini terasa di negeri Zamrud Khatulistiwa, khususnya pasca reformasi hingga kini. Elit, dimanapun kasusnya, berebut menjadi nomor satu. Dan, hampir tak ada yang berkeinginan jadi nomor dua. Kalaupun ada, keinginan nomor dua itu hanya “batu loncatan” untuk jadi nomor satu. Lihatlah, apakah ada pasangan Bupati/Wakil Bupati atau Gubernur/Wakil Gubernur bahkan Presiden/Wakil Presiden yang selalu “bersama-sama” untuk periode kedua. Dijamin, Wakil-nya ingin jadi nomor satu pada kesempatan pertarungan berikutnya. Rakyat teramat sibuk melayani elit yang semuanya mau nomer satu.
Bacalah buku “Budaya Ekonomi Jepang” yang ditulis Daoed Joesoef . Mantan Menteri Pendidikan Republik Indonesia beberapakali pada era Soeharto ini menunjukkan kekagumannya terhadap budaya Jepang yang juga “Timur-Oriental” sebagaimana halnya dengan Kita yang Indonesia ini. Tiang penopang kemajuan Jepang yang mengagumkan itu adalah ibu rumah tangga yang melaksanakan tugas keibuannya dengan rasa bangga dan bahagia. Serupa dan persis dengan “pesan” kunci yang ingin disampaikan Daoed Joesoef di atas, kita juga ingat dengan sang pencetus “Ahimsa”, Mohandas Karamachand Mahatma Gandhi. Seketika India merdeka dari Inggris, dengan ikhlas Mahatma Gandhi memberikan kursi perdana menteri kepada Jawaharlal Nehru, yang karib Soekarno ini.Sebuah keputusan yang menyelamatkan India, sekaligus memberikan kesempatan India bertumbuh tanpa diganggu virus perseteruan menjadi nomer satu. Disamping Gandhi, kita juga mengenal kisah manis seorang Muhammad Hatta. Tokoh “cool” ini – untuk tidak menyebut legendaris - sangat berbahagia sekali mengisi hidupnya dengan menjadi nomer dua. Beberapa kali pun terjadi perselisihan dengan Soekarno, orang nomer satu ketika itu, ia selamatkan negeri ini dengan cara berbahagia menjadi nomer dua. Bahkan, ketika ia merasa tidak bisa lagi menjadi bahagian dari orang nomor satu, dengan gentle ia melepaskan diri jadi nomor dua untuk kemudian tidak diperhitungkan lagi. Permintaan ini ia sampaikan dengan hati yang bersahabat pada secondannya, yang selama ini membuat ia berada pada nomor dua.
Dalam konteks di atas, rasanya mendapatkan tempatnya bila saya kutip sebuah cerita yang pernah diungkapkan oleh Gde Prama. Di Timur, kata Prama,pernah lahir guru agung dengan cahaya terang benderang. Jauh sebelum ia mengalami pencerahan, guru ini pernah lahir sebagai kura-kura. Suatu hari di tengah lautan, kura-kura ini melihat manusia terapung. Hanya karena menempatkan hidup orang lebih penting dari hidupnya, ia gendong manusia ini ke pinggir pantai. Setelah kelelahan di pantai, ia tertidur. Dan terbangun dalam keadaan tubuh yang sudah diselimuti ribuan semut. Lagi-lagi karena menganggap hidup orang lebih penting dari hidupnya, ia biarkan ribuan semut ini memakan tubuhnya sampai mati. Padahal, hanya dengan sebuah gerakan ke arah laut, ia selamat dan ribuan semut ini mati. Terinspirasi dari kehidupan seperti inilah, kemudian lahir orang-orang seperti Master Hsing Yun. Dalam karya indahnyaThe Philosophy of Being Second, guru rendah hati yang banyak dipuji ini bertutur mengenai rahasia hidupnya. Di salah satu pojokan bukunya ia menulis: ’you are important, he is important, I am not’. Terdengar aneh memang, terutama bagi mereka yang biasa menyembah ego, meletakkan nomer satu sebagai satu-satunya kelayakan kehidupan. Namun bagi raksasa pelayanan kelas dunia seperti Singapore Airlines dll, keberhasilan mereka disebabkan karena rajin mengajari orang-orangnya: ’orang lain penting, saya tidak penting’. Dalai Lama is a living spiritual giant. Mendapat hadiah nobel perdamaian dan penghargaan sivil tertinggi di AS yang membuatnya sejajar dengan George Washington. Rahasia di balik semua ini juga serupa: musnahnya semua ego, kemudian hanya menyisakan kebajikan.
Motivator ulung, Mario Teguh dalam sebuah episode Golden Ways mengatakan bahwa alam ciptaan Tuhan memang penuh dengan tanda. Mungkin karena ini pula Allah selalu “mengendorse”manusia dalam Al-Qur’an untuk “Mengapa Tidak Kamu fikirkan?”, “Mengapa Tidak Kamu Perhatikan?” dan seterusnya. Ia tidak melarang manusia menjadi nomer satu. Jumlah batu yang menjadi puncak gunung jauh lebih sedikit dibandingkan batu yang menjadi lereng dan dasar gunung. Bila usaha hanya berujung pada nomer dua, ia sebuah pertanda mulya: kita sedang menjadi lereng dan membuat orang lain jadi nomer satu di puncak gunung. Bukankah ini sebuah sikap yang menyentuh? Gde Prama mengingatkan juga pada kita perlambang alam lain, kelapa tumbuh di pantai, cemara tumbuh di gunung. Mc. Clleland telah membuat banyak manusia jadi nomer satu, lengkap dengan hawa panas ala kelapa di pantai. Bila pencinta nomer satu berfokus pada menjadi benar dan hebat, kesejukan ala cemara berfokus pada menjadi baik dan menyentuh. Ia serupa dengan kisah tiga anak yang memilih tiga buah pir pemberian tetangga. Murid Mc.Clleland akan memilih yang terbesar dan tersegar. Anak yang batinnya sejuk akan memilih yang terkecil dan terjelek. Ia berbahagia melihat orang lain menikmati buah pir yang besar dan segar. Dan Anda pun bebas memilih ikut yang mana.
(c) Sumber : Beberapa ungkapan motivatif Gde Prama dan Mario Teguh
Tidak ada komentar:
Posting Komentar