Oleh : Muhammad Ilham
"Ketika tembok Cina selesai didirikan, kemanakah para pekerja bersembunyi atau disembunyikan ?", demikian kata Ernst Bloch.
Untuk logika pertanyaan yang sama (diatas), akan timbul gugatan, kemanakah para mahasiswa bersembunyi atau disembunyikan setelah Suharto beserta rezimnya runtuh ? Kemanakah orang-orang yang dengan idealisme adiluhung mau secara tegar dihabiskan oleh ganas-garangnya Pembuangan Digul? Kemanakah mereka yang selama ini berjuang dengan “hati”, namun karena berbeda prinsip politik, mereka akhirnya dijadikan kambing hitam sejarah ?. Pertanyaan-demi pertanyaan akan terus bergulir. Namun, Ernst Bloch telah menjawabnya. Tembok Cina sejatinya dibuat oleh para pekerja (baca: budak), tapi justru nama Shih Huang-Ti yang tercatat dalam tinta emas sejarah karena “masterpiece” dunia ini. Berapa ribu budak menjadi “martir sejarah” hanya demi ambisi Fir’aun dengan proyek mercusuarnya, piramida. Suharto dan rezimnya telah jatuh, namun nama reformasi justru identik dengan segelintir orang. Terkadang, sejarah butuh tumbal untuk merubah arah geraknya. Bak kata RZ. Leirissa, gerakan-gerakan nativis, ratu adil dan gerakan-gerakan yang dikompori oleh komunis yang nyata-nyata membuat daya dan energi kolonial Belanda “letih”, justru tidak diapresiasi secara proporsional oleh sejarah. Siapa yang kenal dengan Chalid Salim ? Adik “old-man greatest” H. Agus Salim ini, oleh Takashi Shiraisi, dianggap sebagai pribadi konsekuen. Chalid yang menghabiskan masa-masa produktif intelektualnya menggeluti komunis-sosialis, menjadi salah satu penghuni Digul pada tahun 1920-an s/d 1930-an. Masa itu, Digul adalah “daerah hantu pembuangan” yang ditakuti oleh para pejuang Indonesia. Bersama-sama teman-temannya, Chalid yang diakhir hidupnya menganut agama Nasrani (dan ini disyukuri oleh kakaknya Agus Salim karena selama ini Chalid memproklamirkan dirinya sebagai atheis), menghabiskan hari-harinya di daerah zona 3 Digul. Ketika itu, Pembuangan Digul oleh Belanda dibagi atas 3 zona. Zona 1 untuk para digulis (orang buangan) yang setelah dibuang ke Digul memperlihatkan kompromi dan bisa “dibina” oleh kolonial Belanda. Mereka ini diberi insentif untuk biaya hidup. Zona 2 bagi digulis yang dianggap “abu-abu”, antara melawan dan kompromi. Zona 3 merupakan zona bagi digulis yang nyata-nyata melawan kepada Belanda. Mereka tidak diberi biaya hidup. Survival in the fittest nyata terjadi di Zona 3 tersebut. Di Zona 3 ini, para digulis banyak berasal dari Minangkabau, diantaranya Hatta, Syahrir dan Chalid Salim. Tapi sayang, Chalid Salim hilang entah kemana dari catatan sejarah. Sejarah pada akhirnya, meminjam istilah dedengkot mazhab Frankfurt-Juergen Habermass, adalah sejarah yang dikondisikan oleh pemegang hegemoni.
Sejarah secara umum dipahami sebagai suatu studi tentang manusia dalam dimensi waktu (the study of man in time). Dalam konteks ini, disiplin ilmu sejarah berusaha untuk melihat perubahan-perubahan yang berada dalam konteks waktu. Apabila dikoloborasikan dengan ilmu lain, maka pendekatan multi-disipliner merupakan suatu keharusan, karena perubahan merupakan suatu struktur terpenting dalam struktur sosial. Namun, banyak orang yang selalu menghindari kata-kata perubahan, bahkan agak dikhawatirkan. Hal ini terutama terjadi karena kalangan tertentu dalam masyarakat melihat perubahan sebagai suatu ancaman. Stabilitas, menurut pemahaman sebagia orang yang menghindari perubahan tersebut, adalah menegakkan sebuah konsensus, atau dalam bahasa mazhab struktural fungsional, "equilibrium". Untuk itu, orang akan selalu dan terus mencari justifikasi historis dimana kelanggengan, stabilitas danb sejenisnya bisa hancur karena perubahan. Justifikasi intelektual yang mencari pegangan ke masa lampau sangat jelas terlihat dalam perjalanan panjang sejarah "anak bangsa" Indonesia. Kita sebagai bangsa yang merdeka, senantiasa berhadapan dengan ketentuan-ketentuan politik dan ekonomi-global yang tidak dapat dikendalikan, bahkan cenderung tidak disadari seperti yang dikatakan oleh Adam Smith -- "tangan-tangan yang tak terlihat". Ada perasan hanyut dalam arus global itu dan obat untuk menstabilkan semua itu adalah masa lampau yang diharapkan dan dapat menjamin konsensus dan kemapanan. Pandangan seperti ini dikenal dengan istilah historisisme, sebuah pandangan yang mengabaikan sama sekali sejarah sebagai suatu perubahan dan dengan demikian menutup mata bagi kemungkinan-kemungkinan yang lebih baik yang bisa diupayakan untuk masa yang akan datang.
Dalam sejarah Indonesia, pandangan historisisme itu juga pernah ada dan masih dominan. Salah satu sumbernya adalah pandangan sejarah Sukarno yang dilahirkannya pada masa pergerakan. Baginya masa kini adalah masa penderitaan dibandingkan masa-masa sebelumnya. Dan masa yang akan datang adalah revival dari masa lampau dengan segala kearifannya. Sedikit banyaknya, pandangan sejarah ini pernah dominan bahkan pada masa Orde Baru hal ini juga terlihat seperti yang terungkap dari jargon masa datang atau sasaran yang dituju "masyarakat adil makmur". Bahkan, dalam konteks isu politik Indonesia belakangan ini, gagasan untuk kembali ke "nilai-nilai 1945" tergolong dalam wawasan historisisme. Lalu bagaimana dengan Hizbut Tahrir dengan "back to khilafah ????".
Pandangan-pandangan historisisme seperti ini yang melihat dan menginginkan pelajaran moral dan masa lampau untuk legitimasi politik masa kini, itu dengan sendirinya akan menghambat demokrasi. Sejarah dalam paradigma ini berguna untuk menciptakan rasa stabilitas dan kesadaran akan adanya kontinuitas dengan masa lampau. Penulisan sejarah yang berlandaskan wawasan historisisme yang membangkitkan masa lampau sebagai jalan keluar dari segala permasalahan itu, menghambat pandangan ke masa depan. Padahal, Vladimir Ilyich Ulyanov Lenin (sang arsitek USSR) pernah mengatakan bahwa yang paling ditakutinya adalah sejarawan. Kadang-kadang sejarawan tidak merasakan bahwa kehadiran mereka dalam belantara ilmu sebenarnya mampu meluluhlantakkan kebekuan dan ketidakadilan politik penguasa. Fakta-fakta a-la penguasa politik yang hampir banyak terjadi diberbagai belahan negara bangsa, sebagaimana halnya juga terjadi di Indonesia seperti yang terdeskripsi dalam prolog tulisan ini, bisa diluruskan secara objektif oleh sejarawan. Tapi sayang, justru ilmu sejarah kadang-kadang memberikan kontribusi besar menciptakan kemunafikan besar.
Untuk logika pertanyaan yang sama (diatas), akan timbul gugatan, kemanakah para mahasiswa bersembunyi atau disembunyikan setelah Suharto beserta rezimnya runtuh ? Kemanakah orang-orang yang dengan idealisme adiluhung mau secara tegar dihabiskan oleh ganas-garangnya Pembuangan Digul? Kemanakah mereka yang selama ini berjuang dengan “hati”, namun karena berbeda prinsip politik, mereka akhirnya dijadikan kambing hitam sejarah ?. Pertanyaan-demi pertanyaan akan terus bergulir. Namun, Ernst Bloch telah menjawabnya. Tembok Cina sejatinya dibuat oleh para pekerja (baca: budak), tapi justru nama Shih Huang-Ti yang tercatat dalam tinta emas sejarah karena “masterpiece” dunia ini. Berapa ribu budak menjadi “martir sejarah” hanya demi ambisi Fir’aun dengan proyek mercusuarnya, piramida. Suharto dan rezimnya telah jatuh, namun nama reformasi justru identik dengan segelintir orang. Terkadang, sejarah butuh tumbal untuk merubah arah geraknya. Bak kata RZ. Leirissa, gerakan-gerakan nativis, ratu adil dan gerakan-gerakan yang dikompori oleh komunis yang nyata-nyata membuat daya dan energi kolonial Belanda “letih”, justru tidak diapresiasi secara proporsional oleh sejarah. Siapa yang kenal dengan Chalid Salim ? Adik “old-man greatest” H. Agus Salim ini, oleh Takashi Shiraisi, dianggap sebagai pribadi konsekuen. Chalid yang menghabiskan masa-masa produktif intelektualnya menggeluti komunis-sosialis, menjadi salah satu penghuni Digul pada tahun 1920-an s/d 1930-an. Masa itu, Digul adalah “daerah hantu pembuangan” yang ditakuti oleh para pejuang Indonesia. Bersama-sama teman-temannya, Chalid yang diakhir hidupnya menganut agama Nasrani (dan ini disyukuri oleh kakaknya Agus Salim karena selama ini Chalid memproklamirkan dirinya sebagai atheis), menghabiskan hari-harinya di daerah zona 3 Digul. Ketika itu, Pembuangan Digul oleh Belanda dibagi atas 3 zona. Zona 1 untuk para digulis (orang buangan) yang setelah dibuang ke Digul memperlihatkan kompromi dan bisa “dibina” oleh kolonial Belanda. Mereka ini diberi insentif untuk biaya hidup. Zona 2 bagi digulis yang dianggap “abu-abu”, antara melawan dan kompromi. Zona 3 merupakan zona bagi digulis yang nyata-nyata melawan kepada Belanda. Mereka tidak diberi biaya hidup. Survival in the fittest nyata terjadi di Zona 3 tersebut. Di Zona 3 ini, para digulis banyak berasal dari Minangkabau, diantaranya Hatta, Syahrir dan Chalid Salim. Tapi sayang, Chalid Salim hilang entah kemana dari catatan sejarah. Sejarah pada akhirnya, meminjam istilah dedengkot mazhab Frankfurt-Juergen Habermass, adalah sejarah yang dikondisikan oleh pemegang hegemoni.
Sejarah secara umum dipahami sebagai suatu studi tentang manusia dalam dimensi waktu (the study of man in time). Dalam konteks ini, disiplin ilmu sejarah berusaha untuk melihat perubahan-perubahan yang berada dalam konteks waktu. Apabila dikoloborasikan dengan ilmu lain, maka pendekatan multi-disipliner merupakan suatu keharusan, karena perubahan merupakan suatu struktur terpenting dalam struktur sosial. Namun, banyak orang yang selalu menghindari kata-kata perubahan, bahkan agak dikhawatirkan. Hal ini terutama terjadi karena kalangan tertentu dalam masyarakat melihat perubahan sebagai suatu ancaman. Stabilitas, menurut pemahaman sebagia orang yang menghindari perubahan tersebut, adalah menegakkan sebuah konsensus, atau dalam bahasa mazhab struktural fungsional, "equilibrium". Untuk itu, orang akan selalu dan terus mencari justifikasi historis dimana kelanggengan, stabilitas danb sejenisnya bisa hancur karena perubahan. Justifikasi intelektual yang mencari pegangan ke masa lampau sangat jelas terlihat dalam perjalanan panjang sejarah "anak bangsa" Indonesia. Kita sebagai bangsa yang merdeka, senantiasa berhadapan dengan ketentuan-ketentuan politik dan ekonomi-global yang tidak dapat dikendalikan, bahkan cenderung tidak disadari seperti yang dikatakan oleh Adam Smith -- "tangan-tangan yang tak terlihat". Ada perasan hanyut dalam arus global itu dan obat untuk menstabilkan semua itu adalah masa lampau yang diharapkan dan dapat menjamin konsensus dan kemapanan. Pandangan seperti ini dikenal dengan istilah historisisme, sebuah pandangan yang mengabaikan sama sekali sejarah sebagai suatu perubahan dan dengan demikian menutup mata bagi kemungkinan-kemungkinan yang lebih baik yang bisa diupayakan untuk masa yang akan datang.
Dalam sejarah Indonesia, pandangan historisisme itu juga pernah ada dan masih dominan. Salah satu sumbernya adalah pandangan sejarah Sukarno yang dilahirkannya pada masa pergerakan. Baginya masa kini adalah masa penderitaan dibandingkan masa-masa sebelumnya. Dan masa yang akan datang adalah revival dari masa lampau dengan segala kearifannya. Sedikit banyaknya, pandangan sejarah ini pernah dominan bahkan pada masa Orde Baru hal ini juga terlihat seperti yang terungkap dari jargon masa datang atau sasaran yang dituju "masyarakat adil makmur". Bahkan, dalam konteks isu politik Indonesia belakangan ini, gagasan untuk kembali ke "nilai-nilai 1945" tergolong dalam wawasan historisisme. Lalu bagaimana dengan Hizbut Tahrir dengan "back to khilafah ????".
Pandangan-pandangan historisisme seperti ini yang melihat dan menginginkan pelajaran moral dan masa lampau untuk legitimasi politik masa kini, itu dengan sendirinya akan menghambat demokrasi. Sejarah dalam paradigma ini berguna untuk menciptakan rasa stabilitas dan kesadaran akan adanya kontinuitas dengan masa lampau. Penulisan sejarah yang berlandaskan wawasan historisisme yang membangkitkan masa lampau sebagai jalan keluar dari segala permasalahan itu, menghambat pandangan ke masa depan. Padahal, Vladimir Ilyich Ulyanov Lenin (sang arsitek USSR) pernah mengatakan bahwa yang paling ditakutinya adalah sejarawan. Kadang-kadang sejarawan tidak merasakan bahwa kehadiran mereka dalam belantara ilmu sebenarnya mampu meluluhlantakkan kebekuan dan ketidakadilan politik penguasa. Fakta-fakta a-la penguasa politik yang hampir banyak terjadi diberbagai belahan negara bangsa, sebagaimana halnya juga terjadi di Indonesia seperti yang terdeskripsi dalam prolog tulisan ini, bisa diluruskan secara objektif oleh sejarawan. Tapi sayang, justru ilmu sejarah kadang-kadang memberikan kontribusi besar menciptakan kemunafikan besar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar